Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 3: KEMBALINYA SANG RAJA BUKU 5 BAB 3/10 APEL SIAGA DI ROHAN

<<< SEBELUMNYA


Kini semua jalan bergabung di Timur untuk menyongsong datangnya perang dan serbuan Bayang-Bayang. Ketika Pippin berdiri di Gerbang Agung di Kota dan melihat Pangeran Dol Amroth masuk dengan panji-panjinya, pada saat bersamaan Raja Rohan keluar dari perbukitan.

Saat itu sudah mulai senja. Di bawah surutnya sinar matahari, pasukan Penunggang membentuk bayang-bayang panjang meruncing di depan mereka. Kegelapan sudah menyusup masuk di bawah hutan cemara yang bergumam, yang memenuhi lereng pegunungan curam. Sekarang Raja melaju perlahan di penghujung hari. Akhirnya jalan itu mengitari pundak gunung yang panjang dan gersang, lalu terjun ke dalam kekelaman pepohonan yang mendesah lembut. Mereka turun terus dalam barisan panjang berkelok-kelok. Ketika akhirnya mereka tiba di dasar ngarai, ternyata sore sudah turun di tempat-tempat dalam itu. Matahari sudah lenyap. Senja menggantung di atas air terjun.
Sepanjang hari, jauh di bawah sana, sebuah sungai mengalir turun dari celah tinggi di belakang, membelah dinding-dinding penuh pohon cemara; sekarang Ia mengalir keluar dari gerbang batu, masuk ke lembah yang lebih besar. Para Penunggang mengikutinya, dan tiba-tiba Harrowdale terbentang di depan mereka, dengan bunyi gemuruh air di sore hari itu. Di sanalah Snowbourn yang putih, yang bergabung dengan sungai-sungai kecil, mengalir deras, uapnya mengepul di atas bebatuan, merayap turun ke Edoras, bukit-bukit hijau, dan padangpadang datar. Di sebelah kanan, di ujung lembah besar, Starkhorn menjulang di atas penopangnya yang lebar, disapu awan; puncaknya yang bergerigi, diselubungi salju abadi, berkilauan jauh di atas dunia, berbayang-bayang biru di Timur, bebercak merah oleh matahari terbenam di sisi Barat.
Merry, yang sudah mendengar banyak kisah tentang negeri ini dalam perjalanan panjang mereka, menatap kagum negeri asing ini. Sebuah dunia tanpa langit, di mana melalui teluk-teluk udara remang-remang yang kabur, ia hanya melihat lereng-lereng tinggi yang terus mendaki, dinding demi dinding batu besar, serta ngarai-ngarai yang merengut dikitari kabut. Sejenak Ia duduk terenyak setengah bermimpi, mendengarkan bunyi air, bisikan pohon-pohon gelap, derak bebatuan, dan keheningan yang menunggu di balik tiap bunyi. Ia mencintai pegunungan, atau setidaknya senang membayangkannya bila mendengar kisah-kisah tentang negeri-negeri jauh; tapi kini Ia merasa tertekan oleh beban berat Dunia Tengah. Ia ingin sekali menghindari impitan luasnya dunia itu dan duduk di sebuah ruangan yang tenang dekat perapian. la sangat letih, sebab meski berkuda perlahan-lahan, mereka jalan terus hampir tanpa istirahat. Dari waktu ke waktu, selama hampir tiga hari itu Ia terangguk-angguk turun-naik, melewati celah-celah, melintasi lembah-lembah panjang, dan menyeberangi banyak sungai. Kadangkadang di tempat yang jalannya lebih lebar Ia berkuda di samping Raja, dan Ia tidak tahu bahwa banyak Penunggang tersenyum geli melihat mereka berdua berdampingan: hobbit itu di atas kuda poni kelabu berbulu panjang, dan Raja Rohan di atas kudanya yang putih besar. Saat itu Ia bercakap-cakap dengan Theoden, menceritakan kampung halamannya dan tingkah laku penduduk Shire, atau sebaliknya mendengarkan kisah-kisah tentang Mark dan orang-orang hebat di masa lampau. Tapi di hari terakhir itu Merry lebih banyak berjalan sendirian di belakang Raja, tanpa berbicara, mencoba memahami bahasa Rohan yang lambat nyaring dan merdu yang diucapkan orang-orang di belakangnya. Dalam bahasa itu rupanya banyak sekali kata yang dikenalnya, meski diucapkan lebih kuat dan berat daripada di Shire; namun Ia tak juga bisa menangkap arti rangkaian kata-kata itu. Sesekali seorang Penunggang menyanyikan lagu yang menyentuh perasaan, dengan suara jernih, dan Merry merasa hatinya hanyut melambung, meski Ia tidak tahu makna lagu itu.
Namun ia merasa kesepian, terlebih lagi di penghujung hari itu. Ia bertanya-tanya dalam hati, ke mana gerangan Pippin pergi dalam dunia ajaib ini; dan apa yang terjadi dengan Aragorn, Legolas, dan Gimli. Lalu tiba-tiba, seakan-akan sesuatu yang dingin menyentuh hatinya, ia teringat Frodo dan Sam.
"Aku lupa mereka!" katanya, menyesali diri sendiri.
"Padahal mereka lebih penting daripada kita semua. Aku ikut untuk membantu mereka, tapi sekarang mereka pasti sudah ratusan mil jauhnya, kalau mereka masih hidup." Ia menggigil.
"Akhirnya sampai di Harrowdale!" kata Eomer.
"Perjalanan kita hampir selesai." Mereka berhenti. Jalan keluar dari ngarai yang sempit turun dengan curam. Lembah besar di bawah hanya sekilas tampak dalam keremangan senja, seperti pemandangan yang dilihat melalui jendela tinggi. Sekerlip titik cahaya kecil bisa terlihat di dekat sungai.
"Mungkin perjalanan ini sudah selesai," kata Theoden, "tapi aku masih harus pergi jauh. Tadi malam bulan purnama, dan esok pagi aku akan pergi ke Edoras, menghadiri apel siaga di Mark."
"Tapi kalau Tuanku mau mendengar saranku," kata Eomer dengan suara berbisik, "Tuanku harus kembali ke sini, sampai perang selesai, kalah maupun menang." Theoden tersenyum.
"Tidak, anakku sebab begitulah aku akan memanggilmu jangan ucapkan kata-kata lembut Wormtongue di telingaku yang tua ini!" Ia duduk tegak dan menengok ke arah barisan panjang anak buahnya yang mengabur dalam keremangan senja di belakang.
"Rasanya seperti sudah bertahun-tahun, padahal baru beberapa hari sejak aku maju ke barat; tapi aku takkan pernah bertopang tongkat lagi.
Kalau kita kalah perang, apa gunanya aku bersembunyi di pegunungan? Dan kalau kita menang, untuk apa berduka kalaupun aku jatuh saat mengerahkan tenagaku yang terakhir? Tapi sudahlah. Malam ini aku akan tidur di Hold of Dunharrow. Setidaknya satu malam tenang masih tersisa untuk kita. Ayo maju terus!"
Dalam keremangan senja yang kian menggelap, mereka masuk ke lembah. Di sini Snowbourn mengalir di dekat dinding barat lembah, dan tak lama kemudian jalan itu mengantar mereka ke arungan tempat air dangkal berbunyi gemuruh di atas bebatuan. Arungan itu dijaga. Ketika Raja mendekatinya, banyak yang melompat keluar dari balik bayangan batu karang; saat melihat Raja, mereka berseru gembira, "Raja Theoden! Raja Theoden! Raja dari Mark kembali!" Lalu seseorang membunyikan terompet dengan tiupan panjang bergema di lembah. Terompet-terompet lain membalas, dan cahaya-cahaya bersinar dari seberang sungai.
Tiba-tiba serentetan bunyi terompet nyaring berkumandang dari atas, seolah-olah datang dari suatu tempat kosong, memadukan nada-nada mereka ke dalam satu suara, meluncurkannya bergulir dan mengempas dinding-dinding batu.
Demikianlah Raja dari Mark telah kembali pulang dengan membawa kemenangan gemilang, keluar dari Dunharrow di bawah kaki Pegunungan Putih. Di sana Ia menemukan sisa laskar rakyatnya sudah berkumpul; sebab begitu mereka mengetahui kedatangannya, para kapten maju naik kuda untuk menemuinya di arungan, sambil membawa pesan-pesan dari Gandalf. Dunhere, pemimpin penduduk Harrowdale, berada di kepala barisan.
"Saat fajar tiga hari yang lalu, Tuanku," katanya, "Shadowfax datang bagai angin dari Barat ke Edoras, dan Gandalf membawa kabar tentang kemenanganmu yang menggembirakan. Tapi dia juga menyampaikan pesan darimu agar mempercepat apel siaga para Penunggang. Lalu datang Bayangan Bersayap."
"Bayangan Bersayap?" kata Theoden.
"Kami juga melihatnya, tapi di tengah malam buta, sebelum Gandalf meninggalkan kami."
"Mungkin, Tuanku," kata Dunhere.
"Mungkin bayangan yang sama, atau bayangan lain yang serupa, kegelapan yang terbang dalam bentuk seekor burung besar, melintasi Edoras pagi itu, dan semua orang gemetar ketakutan. Karena dia menukik di atas Meduseld, dan ketika dia melayang rendah, hampir serendah bubungan atap rumah, terdengar teriakan melengking dahsyat yang membuat denyut jantung terhenti.
Ketika itulah Gandalf menyarankan agar jangan berkumpul di ladang-ladang, melainkan menemuimu di sini, di lembah bawah pegunungan ini. Dia juga menyuruh kami hanya menyalakan api atau lampu kalau benar-benar sangat perlu. Begitulah yang kami lakukan. Gandalf berbicara dengan kewibawaan besar. Kami percaya bahwa ucapannya sesuai dengan keinginan paduka. Di Harrowdale belum pernah terlihat makhluk jahanam semacam itu."
"Baiklah," kata Theoden.
"Sekarang aku akan pergi ke Hold, dan di sana, sebelum beristirahat, aku akan menjumpai para marsekal dan kapten. Suruh mereka datang sesegera mungkin!"
Pada bagian lembah yang hanya sekitar satu mil lebarnya, jalannya menuju timur, lurus melintasi lembah itu. Dataran dan padang-padang rumput kasar yang tampak kelabu di malam hari terhampar di mana mana, dan di depan sana, di sisi lembah terjauh, Merry melihat dinding yang merengut cemberut; itulah tonjolan terakhir kaki Starkhorn, dibelah oleh sungai di abad-abad lampau.
Di setiap tempat datar banyak orang berkumpul. Beberapa berkerumun sampai ke sisi jalan, mengelu-elukan Raja dan para penunggang dari Barat dengan teriakan gembira; dan menghampar jauh ke belakang berdiri barisan-barisan kemah dan tenda yang berjajar teratur, barisan kuda berpenjaga, dan gudang-gudang senjata yang besar, dengan tombak-tombak terpancang yang tampak seperti semak-semak pohon yang baru saja ditanam. Sekarang seluruhnya tertutup bayangan, namun meski angin dingin bertiup dari atas, tak ada lentera menyala, dan tak ada api dinyalakan. Penjaga-penjaga berjubah tebal berjalan mondar-mandir.
Merry bertanya dalam hati, berapa banyak sebenarnya Penunggang yang berkumpul di sana. Ia tak bisa memperkirakan jumlah mereka dalam keremangan yang semakin gelap, tapi di matanya mereka seperti pasukan besar, kira-kira berkekuatan ribuan orang. Sementara ia melayangkan pandang, rombongan Raja sampai ke batu karang yang menjulang tinggi di sisi timur lembah; di sana tiba-tiba jalannya mendaki, dan Merry memandang penuh kekaguman. Ia belum pernah melihat jalan yang serupa dengan jalan tempat Ia kini berada, karya besar tangan manusia dari masa sebelumnya yang dinyanyikan dalam lagu-lagu. Jalan itu mendaki ke atas, berkelok-kelok seperti ular, menembus lereng batu karang yang terjal. Terjal seperti tangga, jalan itu meliuk ke depan dan ke belakang, sambil terus menanjak. Kuda-kuda bisa berjalan di atasnya, kereta juga bisa ditarik perlahan-lahan; tapi tak mungkin ada musuh yang bisa datang melalui jalan itu, kecuali turun dari angkasa, kalau regu pengamanan mempertahankannya dari atas. Di setiap tikungan berdiri batu-batu besar yang dipahat menyerupai manusia, besar, dengan tungkai dan lengan kaku, berjongkok dengan kaki disilangkan dan lengan pendek dilipat di atas perut.
Beberapa, karena sudah bertahun-tahun dimakan cuaca, telah kehilangan semua detailnya, kecuali lubang gelap mata mereka yang masih menatap sedih orang-orang yang lewat. Para Penunggang hampir tidak memperhatikan kehadiran batu-batu itu. Mereka menyebutnya Orang Pukel, dan tidak menghiraukannya: tak ada lagi, kesan menakutkan dalam batu-batu itu, tapi Merry memandang mereka dengan heran dan perasaan sendu, nyaris iba, melihat mereka tampak mengenaskan dalam keremangan senja.
Setelah beberapa saat, ia menoleh dan menyadari ia sudah mendaki beberapa ratus meter ke atas lembah, tapi jauh di bawah Ia masih bisa melihat samar-samar barisan Penunggang yang berkelok menyeberangi arungan dan berbaris sepanjang jalan, menuju kemah yang disiapkan untuk mereka. Hanya Raja dan pengawal-pengawalnya yang naik ke Hold.
Akhirnya rombongan Raja sampai ke tebing terjal, dan jalan yang menanjak itu masuk ke sebuah celah di antara dinding batu karang, lalu mendaki lereng pendek dan keluar lagi menuju suatu dataran tinggi luas. Orang-orang menyebutnya Firienfeld, sebuah padang pegunungan berumput dan bersemak hijau, tinggi di atas aliran Snowbourn yang dalam, terletak di pangkuan pegunungan besar di belakang: Starkhorn di selatan, dan di sebelah utara, Irensaga yang bergerigi, dan di antaranya, menghadap pasukan berkuda, terdapat tembok hitam suram Dwimorberg, Gunung Hantu yang menjulang keluar dan lereng-lereng terjal yang dipenuhi pepohonan cemara kelam. Dataran tinggi itu terbelah dua oleh barisan ganda batu-batu berdiri yang tidak dibentuk tangan manusia, dan kelihatan remang-remang di senja hari itu, lalu lenyap di tengah pepohonan. Mereka yang berani menapaki jalan itu akan segera sampai ke Dimholt yang hitam di bawah Dwimorberg, dengan tiang batu yang tampak mengancam serta bayangan menganga pintu terlarang.
Seperti itulah Dunharrow yang gelap, hasil karya orang-orang yang sudah lama terlupakan. Nama-nama mereka hilang, dan tak ada lagu atau legenda yang mengingatkan hal itu. Untuk apa mereka membangun tempat ini, sebagai kota atau kuil rahasia, atau makam para raja, tak ada orang di Rohan yang tahu. Di sini mereka bekerja keras di Masa Kegelapan, bahkan sebelum kapal-kapal datang ke pantai barat, atau sebelum Gondor dibangun kaum Dunedain; kini mereka sudah lenyap, dan hanya para Pukel tua yang tersisa, yang masih duduk di tikungantikungan jalan.
Merry tertegun memandang barisan bebatuan: hitam dan sudah dikikis cuaca; beberapa sudah condong, beberapa sudah jatuh, beberapa lagi sudah retak atau pecah; mereka tampak seperti barisan gigi yang tua dan lapar. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya itu, dan ia berharap Raja tidak akan masuk ke dalam kegelapan mengikuti mereka. Lalu ia melihat di kiri-kanan jalan berbatu itu ada kelompokkelompok tenda dan gardu-gardu; tapi tidak didirikan dekat pohon-pohon, malah tampaknya mengelompok agak menjauh dari pepohonan, ke arah tepi batu karang. Jumlah terbesar ada di sebelah kanan, di mana Firienfeld lebih lebar; di kiri ada perkemahan lebih kecil, dan di tengahnya berdiri sebuah paviliun tinggi. Dari sisi itu seorang penunggang kuda keluar untuk menyambut mereka, dan mereka keluar dari jalan.
Ketika mereka semakin dekat, Merry melihat bahwa penunggang kuda itu seorang wanita dengan rambut panjang dijalin, bersinar dalam cahaya senja, tapi ia mengenakan helm, berpakaian seperti tentara, dan menyandang pedang.
"Hidup, Lord dari Mark!" teriaknya.
"Hatiku senang kau sudah kembali."
"Dan kau, Eowyn," kata Theoden, "apakah kau baik-baik saja?"
"Baik-baik saja," jawabnya; namun Merry merasa suaranya mengingkarinya, dan Ia menduga Eowyn baru saja menangis, kalau memang mungkin orang berwajah sekeras itu bisa menangis.
"Semua baik-baik. Perjalanan meletihkan bagi orang-orang itu, sebab mereka direnggutkan tiba-tiba dari rumah. Banyak kata-kata keras, sebab sudah lama sekali sejak peperangan mengusir kita keluar dari padang-padang hijau; tapi tidak terjadi perbuatan-perbuatan jahat. Semuanya sudah teratur sekarang, seperti bisa tuanku lihat. Dan tempat berkemah bagi tuanku sudah disiapkan juga; karena aku sudah mendapat kabar tentang dirimu, dan sudah tahu kapan kau akan datang."
"Kalau begitu Aragorn sudah datang," kata Eomer.
"Apakah dia masih di sini?"
"Tidak, dia sudah pergi," kata Eowyn sambil menoleh ke pegunungan gelap di Timur dan Selatan.
"Ke mana dia pergi?" tanya Eomer.
"Aku tidak tahu," jawab Eowyn.
"Dia datang di malam hari, dan berangkat lagi kemarin pagi, sebelum Matahari naik di atas puncak-puncak gunung. Dia sudah pergi."
"Kau sedih, putriku," kata Theoden.
"Apa yang terjadi? Katakan, apakah dia membicarakan jalan itu?" Ia menunjuk ke garis-garis bebatuan yang sudah menggelap, yang menuju Dwimorberg.
"Tentang Jalan Orang-Orang Mati?"
"Ya, tuanku," kata Eowyn.
"Dan dia sudah masuk ke dalam bayangan, dari mana tak pernah ada yang kembali. Aku tak bisa membujuknya untuk mengurungkan niat. Dia sudah pergi."
"Kalau begitu, jalan kita sudah terpisah," kata Eomer.
"Dia sudah hilang. Kita harus maju perang tanpa dia, dan harapan kita pun menipis." Perlahan-lahan mereka melintasi belukar-belukar pendek dan rerumputan dataran tinggi itu tanpa berbicara lagi, sampai tiba di paviliun Raja.
Di sana Merry mendapati semuanya sudah disiapkan, bahkan dirinya pun tidak dilupakan. Tenda kecil sudah dipasang untuknya di samping kemah Raja; dan di sana Ia duduk sendirian, sementara orang-orang berlalu lalang, masuk ke kemah Raja untuk berbicara. Malam datang dan puncak-puncak gunung yang separuh terlihat di sebelah barat dimahkotai bintang-bintang, tapi sisi Timur gelap dan kosong. Barisan batu sudah memudar dari pandangan, tapi di seberang mereka, lebih kelam daripada kesuraman itu, Dwimorberg menjulang, sesosok bayangan besar yang membisu.
"Jalan Orang-Orang Mati," Merry menggerutu sendiri.
"Jalan Orang-Orang Mati? Apa artinya semua ini? Mereka semua meninggalkan aku sekarang. Mereka semua pergi menuju malapetaka: Gandalf dan Pippin ke medan perang di Timur; Sam dan Frodo ke Mordor; Strider, Legolas, dan Gimli ke Jalan Orang-Orang Mati. Tapi kurasa giliranku akan segera datang. Aku heran apa yang mereka bicarakan, dan apa yang akan dilakukan Raja. Sebab sekarang aku harus ikut ke mana pun dia pergi." Di tengah pikiran-pikiran muram itu, ia tiba-tiba ingat bahwa ia sudah lapar sekali, lalu Ia bangkit untuk melihat apakah orang-orang lain di perkemahan aneh ini juga merasakan hal yang sama. Tapi tepat pada saat itu terompet berbunyi, dan seseorang datang memanggilnya.
Sebagai pelayan, Ia harus melayani Raja di pertemuan dewan.
Di bagian tengah paviliun ada ruangan kecil, dibatasi tirai-tirai bersulam dan dihampari kulit-kulit binatang; di depan sebuah meja kecil duduklah Theoden bersama Eomer dan Eowyn, serta Dunhere, penguasa Harrowdale. Merry berdiri di samping kursi Raja dan melayaninya, sampai akhirnya pria tua itu selesai merenung, lalu berbicara dan tersenyum kepadanya.
"Ayo, Master Meriadoc!" katanya.
"Kau jangan berdiri. Kau duduk di sebelahku, selama aku berada di negeriku sendiri, dan kau harus meringankan hatiku dengan cerita-ceritamu." Mereka memberi tempat kepada hobbit itu di samping tangan kiri Raja, tapi tak ada yang meminta cerita-cerita. Bahkan hanya sedikit pembicaraan, dan mereka makan-minum sambil diam hampir sepanjang waktu, sampai akhirnya, dengan mengerahkan keberanian, Merry mengajukan pertanyaan yang menyiksanya.
"Sudah dua kali, Tuanku, aku mendengar tentang Jalan Orang-orang Mati," katanya.
"Jalan apakah itu? Dan ke manakah Strider, maksudku, Lord Aragorn, pergi?" Raja mengeluh, tapi tak ada yang menjawab, sampai akhirnya Eomer berbicara.
"Kami tidak tahu, dan kami sangat cemas," katanya.
"Tapi mengenai Jalan Orang-Orang Mati, kau sendiri sudah menapaki awal tangganya. Bukan, aku bukan bermaksud membicarakan pertanda buruk! Jalan yang tadi kita daki adalah jalan menuju Pintu, di sana di Dimholt. Tapi apa yang ada di seberangnya, tak ada yang tahu."
"Tak ada yang tahu," kata Theoden, "meski begitu, legenda-legenda kuno yang sekarang jarang diceritakan, melaporkan beberapa hal. Kalau kisah-kisah kuno ini, yang diceritakan turun-temurun dari ayah ke anak di Istana Eorl, memang benar, maka Pintu di bawah Dwimorberg menuju suatu jalan rahasia di bawah pegunungan, yang mengantar pada suatu tempat yang terlupakan. Tapi tak pernah ada yang berani masuk untuk meneliti rahasianya, sejak Baldor, putra Brego, masuk ke Pintu itu dan tak pernah kembali di antara manusia hidup. Dia mengucapkan ikrar yang sembrono, ketika dia mabuk di pesta yang diadakan Brego untuk menyucikan Meduseld yang baru dibangun, dan Baldor, putra mahkota, tak pernah sampai menduduki takhta.
"Katanya Orang-Orang Mati dari Tahun-Tahun Kegelapan menjaga jalan itu, dan tidak mengizinkan manusia hidup memasuki balairung mereka yang tersembunyi; tapi sesekali mereka tampak keluar dari pintu, seperti bayangan, dan berjalan melewati jalan berbatu. Saat itu penduduk Harrowdale menutup rapat pintu-pintu rumah mereka dan menutupi jendela-jendelanya, dan mereka sangat ketakutan. Tapi Orang-orang Mati jarang keluar, hanya pada saat-saat akan ada keributan besar dan menjelang petaka maut yang hebat."
"Meski begitu, orang bilang di Harrowdale," kata Eowyn dengan suara rendah, "di malam-malam tanpa bulan beberapa hari yang lalu, satu pasukan besar berpakaian tempur aneh lewat di sana. Dari mana mereka datang tak ada yang tahu, tapi mereka mendaki jalan berbatu itu dan hilang ke dalam perbukitan, seolah-olah pergi memenuhi janji untuk bertemu."
"Kalau begitu, mengapa Aragorn pergi ke sana?" tanya Merry.
"Adakah alasannya yang bisa kaujelaskan?"
"Kecuali dia mengatakan sesuatu padamu sebagai temannya, yang tidak kami dengar," kata Eomer, "tak ada di dunia ini yang bisa menebak tujuannya."
"Dia sangat berubah sejak pertama kali datang ke istana Raja," kata Eowyn, "lebih muram, dan lebih tua. Kupikir dia tampak aneh, dan seperti orang yang dipanggil Orang-Orang Mati."
"Mungkin dia memang dipanggil," kata Theoden, "dan di hatiku aku merasa takkan bertemu lagi dengannya. Namun dia orang bermartabat seperti raja, dengan takdir yang mulia. Dan putriku, biarkanlah Pelipur hati ini menyelinap ke dalam hatimu yang sedang menanggung kesedihan karena tamu itu. Alkisah ketika kaum Eorlingas keluar dari Utara dan mendaki Snowbourn, sambil mencari tempat-tempat Perlindungan yang kuat untuk saat-saat darurat, Brego dan putranya Baldor menaiki Tangga Hold dan sampai ke depan Pintu. Di ambang pintu duduk seorang pria tua, sudah sangat lanjut usianya; dulu berbadan tinggi tegap, tapi kini sudah layu seperti batu tua. Bahkan mereka mengira dia patung batu, karena dia diam tak bergerak, hanya membisu, sampai mereka mencoba melewatinya dan masuk. Lalu sebuah suara keluar dari dirinya, seperti dari dalam tanah, dan dengan kaget mereka dengar dia berbicara dalam bahasa barat: Jalan ini tertutup.
"Lalu mereka berhenti dan memandangnya, dan melihat dia masih hidup; tapi dia tidak menatap mereka. Jalan ini tertutup, suaranya berkata lagi. Jalan ini dibuat oleh mereka yang sudah Mati, dan yang Mati yang menjaganya, sampai saatnya tiba. Jalan ini tertutup."
"Dan kapankah saatnya tiba?" kata Baldor. Tapi dia tidak memperoleh jawaban. Karena pria tua itu mati saat itu juga dan jatuh tertelungkup; tak ada berita lain yang pernah kami dengar tentang penduduk zaman dulu di pegunungan. Meski begitu, mungkin saat yang dimaksud sudah tiba, dan Aragorn bisa lewat."
"Tapi bagaimana orang bisa tahu apakah saatnya sudah tiba atau belum, kecuali dengan mencoba melewati Pintu itu?" kata Eomer.
"Aku tidak akan mau pergi ke sana meski seluruh pasukan Mordor menghadangku, sementara aku sedang sendirian dan tak punya tempat perlindungan lain. Sayang sekali suasana hati yang aneh menimpa orang hebat seperti itu, lebih-lebih di saat gawat ini! Bukankah sudah cukup banyak kejahatan berkeliaran tanpa harus mencarinya di bawah tanah? Perang sudah dekat." la berhenti, karena saat itu ada suara berisik di luar, suara seorang pria menyerukan nama Theoden, dan suara teguran penjaga.
Tak lama kemudian, kapten Penjaga menyingkap tirai.
"Ada seseorang di sini, Tuanku," katanya, "seorang utusan berkuda dari Gondor. Dia ingin menghadap segera."
"Persilakan dia masuk!" kata Theoden.
Seorang pria jangkung masuk, dan Merry menahan teriakan kagetnya, karena untuk sesaat ia seolah melihat Boromir hidup lagi dan kembali.
Lalu ia sadar ia keliru, karena pria itu orang asing, tapi sangat mirip Boromir, seakan-akan saudaranya: jangkung, gagah, dan bermata kelabu. la berpakaian penunggang kuda dengan jubah hijau tua di atas rompi logam halus; di bagian depan helmnya ada hiasan bintang perak kecil.
Di tangannya Ia membawa sebatang panah berbulu hitam dan berkepala kait baja, tapi ujungnya dicat merah. la berlutut di atas satu lutut dan mempersembahkan panah itu pada Theoden.
"Hidup, Penguasa Rohirrim, sahabat Gondor!" katanya.
"Aku Hirgon, utusan berkuda Denethor, yang membawa tanda perang ini. Gondor sangat membutuhkan bantuan. Sudah sering kaum Rohirrim membantu kami, tapi kini Lord Denethor memohon seluruh kekuatan dan kecepatanmu; kalau tidak, Gondor akan jatuh."
"Panah Merah!" kata Theoden, memegang panah itu seperti orang menerima panggilan yang sudah lama ditunggu, tapi toh merasa ngeri ketika panggilan itu datang. Tangannya gemetar.
"Panah Merah belum pernah terlihat di Mark selama masa kekuasaanku! Sudah sedemikian parahkah keadaannya? Dan bagaimana perkiraan Lord Denethor tentang seluruh kekuatan dan kecepatanku?"
"Untuk hal itu, tentu Tuan sendirilah yang paling tahu," kata Hirgon.
"Tapi tak lama lagi Minas Tirith akan terkepung, dan kecuali Tuanku punya kekuatan untuk membubarkan serangan gabungan banyak pasukan, Lord Denethor menyuruhku menyampaikan pesan bahwa menurutnya pasukan kuat dari Rohirrim lebih baik ada di dalam tembok-temboknya daripada di luar."
"Tapi dia tahu bahwa bangsa kami lebih mahir bertarung di atas kuda, di tempat terbuka, juga bahwa permukiman kami terpisah-pisah dan perlu waktu untuk mengumpulkan para Penunggang kami. Bukankah benar, Hirgon, bahwa Penguasa Minas Tirith tahu lebih banyak daripada yang dia kirim melalui pesannya? Karena kami sudah dalam keadaan perang, seperti kaulihat, dan kami sudah dalam keadaan siaga.
Gandalf si Kelabu saat itu berada di antara kami, dan sekarang pun kami sedang bersiap siaga menghadapi pertempuran di Timur."
"Apa yang diketahui atau diduga Lord Denethor tentang semua ini, aku tidak tahu," jawab Hirgon.
"Tapi keadaan kami benar-benar sangat genting. Penguasaku tidak mengeluarkan perintah pada Tuanku. Dia hanya memohon agar Tuanku ingat persahabatan lama dan sumpahsumpah yang sudah lama diikrarkan, dan berusaha membantu sebisanya, demi kebaikan Tuanku sendiri. Kami mendapat laporan bahwa banyak raja datang dari Timur untuk memperkuat Mordor. Dari Utara sampai ke padang Dagorlad terjadi pertempuran, dan ada selentingan tentang bakal adanya perang. Di Selatan kaum Haradrim bergerak, dan ketakutan sudah mencekam semua pantai kami, sehingga takkan banyak bantuan untuk kami dari sana. Bergegaslah! Sebab di depan tembok-tembok Minas Tirith waktu kiamat kami akan ditentukan dan kalau gelombang bencana tidak dihentikan di sana, maka dia akan membanjiri semua padang elok Rohan, bahkan di Hold ini di tengah perbukitan, takkan ada perlindungan."
"Kabar buruk," kata Theoden, "tapi bukan tidak terpikirkan. Katakan pada Denethor, meski Rohan sendiri tidak merasakan ancaman, kami pasti datang membantunya. Tapi kami sendiri telah menderita banyak kehilangan dalam pertempuran melawan Saruman si pengkhianat, bahkan masih harus memikirkan perbatasan kami di utara dan timur, seperti ditegaskan juga dalam pesan Denethor. Kekuatan Penguasa Kegelapan yang rupanya sangat besar itu bisa saja melibatkan kami dalam pertempuran di depan Kota, juga melancarkan pukulan keras dari seberang Sungai di luar Gerbang Para Raja."
"Tapi kami tidak akan lagi membahas saran-saran bijak. Kami akan datang. Apel siaga direncanakan besok pagi. Seharusnya sepuluh ribu pasukan tombak bisa kukirim melewati padang, untuk menakuti musuh-musuhmu. Tapi aku khawatir jumlah itu sudah berkurang sekarang; karena aku tak mau meninggalkan semua bentengku tanpa penjagaan. Meski begitu, setidaknya enam ribu orang akan pergi bersamaku.
Katakan pada Denethor bahwa kali ini Raja dari Mark sendiri akan datang ke Gondor, meski mungkin dia tidak akan kembali ke negerinya sendiri. Tapi jauh mau jarak ke sana, dan manusia serta kuda harus tiba di sana dengan tenaga cukup untuk bertempur. Kira-kira seminggu sejak esok pagi kalian akan mendengar teriakan Putra-Putra Eorl datang dari Utara."
"Seminggu!" kata Hirgon.
"Kalau harus demikian, ya sudahlah. Tapi kemungkinan besar Tuanku hanya akan menemukan puing-puing, tujuh hari dari sekarang, kecuali bila bala bantuan lain yang tak terduga datang. Bagaimanapun,. mungkin Tuanku masih bisa membubarkan para Orc dan Manusia Hitam berpesta pora di Menara Putih."
"Setidaknya itu yang akan kami lakukan," kata Theoden.
"Tapi aku sendiri baru saja datang dari pertempuran dan menempuh perjalanan yang sangat panjang, jadi sekarang aku akan istirahat dulu. Menginaplah di sini, jadi kau bisa menyaksikan apel siaga Rohan dan pergi dengan hati lebih gembira karena sudah melihatnya sendiri, dan akan lebih cepat karena sudah beristirahat. Di pagi hari perembukan berjalan lebih lancar, dan malam hari hanya akan banyak mengubah pikiran."
Setelah berkata demikian, Raja bangkit berdiri, diikuti yang lainnya.
"Sekarang masing-masing pergilah beristirahat," katanya, "dan tidurlah dengan nyenyak. Dan kau, Master Meriadoc, malam ini kau tidak kuperlukan lagi. Tapi siaplah melayaniku begitu Matahari terbit."
"Aku akan siap," kata Merry, "bahkan jika aku diminta mendampingi Tuanku menempuh Jalan Orang-Orang Mati."
"Jangan ucapkan kata-kata penyebar firasat!" kata Raja.
"Sebab mungkin saja lebih dari satu jalan yang menyandang nama itu. Aku tidak mengatakan memintamu mendampingiku dalam perjalanan mana pun. Selamat malam!"
"Aku tidak mau ditinggal, hanya untuk dipanggil melayani kalau dia sudah kembali!" kata Merry.
"Aku tidak mau ditinggal, tidak mau." Dan sambil mengulangi kata-kata itu berkali-kali, akhirnya Ia tertidur di dalam tendanya. la terbangun karena seseorang mengguncang badannya.
"Bangun, bangun, Master Holbytla!" teriaknya. Merry tersadar dari mimpi dan tersentak duduk. Masih gelap sekali, pikirnya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Raja memanggilmu."
"Tapi Matahari belum terbit," kata Merry.
"Belum, dan tidak akan terbit hari ini, Master Holbytla. Bahkan kelihatannya tidak akan pernah lagi terbit, kalau melihat kegelapan sekarang ini. Tapi waktu tidak berhenti berjalan, meski Matahari hilang. Bergegaslah!" Sambil cepat-cepat mengenakan pakaian, Merry memandang keluar. Dunia terlihat kelam. Bahkan udara terlihat cokelat, semuanya tampak hitam dan kelabu, tanpa bayang-bayang; terasa kesunyian mencekam. Tak ada awan yang tampak, kecuali jauh di barat, seperti jari-jari kemurungan yang terjulur menggapai-gapai dan merayap perlahan, dengan seberkas cahaya merembes dari sela-selanya. Di atas kepala menggantung atap langit berat, suram dan lengang, dan cahaya justru terasa semakin memudar, bukan semakin terang.
Merry melihat banyak orang berkerumun, menatap langit dan menggerutu; wajah mereka kelabu dan murung, beberapa orang tampak ketakutan. Dengan hati berat Merry berjalan ke arah Raja. Hirgon utusan dari Gondor ada di depannya, di sampingnya berdiri orang lain, mirip dengannya dan berpakaian serupa, namun lebih pendek dan lebih lebar. Ketika Merry masuk, Ia sedang berbicara dengan Raja.
"Datangnya dari Mordor, Tuanku," katanya.
"Mulai tadi malam, ketika matahari terbenam. Dari bukit-bukit wilayah Tuanku di Eastfold aku melihatnya naik dan merayap di langit. Sepanjang malam, ketika aku melaju, dia menyusul di belakang dan menelan bintang-bintang sekarang awan besar itu menggantung di atas semua daratan antara daerah ini dan Pegunungan Bayang-Bayang; makin lama semakin kelam.
Perang sudah dimulai."
Sejenak Raja duduk diam. Akhirnya Ia berbicara.
"Jadi, akhirnya kita sampai juga ke sana," katanya.
"Pertempuran besar masa kini; banyak yang akan hancur dan musnah. Tapi setidaknya tak perlu lagi bersembunyi. Kita akan melalui jalan langsung dan terbuka, dengan kecepatan penuh. Apel siaga akan segera dimulai, dan takkan menunggu mereka yang terlambat. Punyakah engkau persediaan cukup di Minas Tirith? Sebab kalau kami harus segera berangkat, maka kami harus pergi tanpa banyak beban, hanya bekal makanan dan minuman cukup untuk sampai ke pertempuran."
"Kami punya persediaan banyak yang sudah lama dipersiapkan," jawab Hirgon.
"Pergilah sekarang dengan bekal ringan dan secepat mungkin!"
"Kalau begitu, panggillah para tentara, Eomer," kata Theoden.
"Para Penunggang agar segera menyusun barisan!" Eomer keluar; tak lama kemudian terompet-terompet berbunyi di Hold, dan dijawab oleh banyak terompet di bawah; tapi menurut Merry bunyinya tidak sejernih dan segagah malam sebelumnya. Kedengarannya redup dan parau di udara pengap, seperti ringkikan mengancam.
Raja berbicara pada Merry.
"Aku akan maju perang, Master Meriadoc," katanya.
"Sebentar lagi aku berangkat. Kubebaskan kau dari melayani diriku, tapi tidak dari persahabatanku. Kau akan tinggal di sini, dan kalau mau, kau akan melayani Lady Eowyn, yang akan memerintah rakyatku atas namaku."
"Tapi, Tuanku," kata Merry terbata-bata, "aku sudah mempersembahkan pedangku. Aku tak ingin dipisahkan darimu seperti ini, Baginda Theoden. Dan karena semua kawanku sudah pergi berperang, aku akan malu kalau ditinggal di belakang."
"Tapi kami akan naik kuda yang tinggi dan cepat," kata Theoden.
"Meski kau gagah berani, kau takkan bisa menunggang hewan seperti itu."
"Kalau begitu ikatlah aku ke punggung salah satu kuda, atau biarkan aku menggantung pada tali kekang, atau apalah," kata Merry.
"Terlalu jauh untuk berlari, tapi aku akan berlari, kalau aku tak bisa berkuda, meski kakiku akan lecet dan aku datang berminggu-minggu terlambat." Theoden tersenyum.
"Daripada begitu, lebih baik kubawa kau bersamaku naik Snowmane," katanya.
"Setidaknya kau bisa ikut aku sampai ke Edoras dan melihat Meduseld; sebab aku akan lewat sana. Sejauh itu Stybba bisa membawamu: pacuan besar baru akan dimulai saat kami sampai ke padang-padang." Lalu Eowyn bangkit berdiri.
"Kemarilah, Meriadoc!" katanya.
"Akan kutunjukkan perlengkapan yang sudah kusiapkan untukmu." Mereka keluar bersama-sama.
"Hanya ini permintaan Aragorn padaku," kata Eowyn ketika mereka berjalan di antara tenda-tenda, "yaitu agar kau dipersenjatai untuk menghadapi pertempuran. Sudah kulaksanakan permintaan itu sebaik mungkin. Sebab jauh di dalam hati, aku tahu kau akan membutuhkan perlengkapan itu sebelum akhir pertempuran." Lalu ia menuntun Merry ke sebuah gardu di antara kemah-kemah pengawal Raja; di sana seorang pengawas senjata membawakannya helm berukuran kecil, perisai bundar, dan perlengkapan-perlengkapan lain.
"Kami tak punya rompi logam yang pas ukurannya untukmu," kata Eowyn, "juga tak sempat membuat hauberk; tapi ini ada rompi kuat dari kulit, juga sabuk dan pisau. Pedang kau sudah punya." Merry membungkuk, dan Lady Eowyn menunjukkan perisai kepadanya, serupa dengan perisai yang diberikan pada Gimli, di atasnya ada lambang kuda putih.
"Ambillah semua barang ini," katanya, "dan pakailah untuk memperoleh kemenangan! Selamat jalan, Master Meriadoc! Mungkin kita masih akan bertemu lagi, kau dan aku."
Demikianlah, di tengah kegelapan yang semakin mencekam, Raja dari Mark bersiap-siap memimpin semua Penunggang-nya ke jalan menuju timur. Banyak yang merasa murung dan ketakutan. Tapi mereka bangsa yang tabah, setia pada penguasa mereka, sehingga tidak terdengar tangisan atau gerutuan, tidak juga di kamp di Hold, di mana para pengungsi dari Edoras bermukim kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang tua. Bencana besar mengancam mereka, tapi mereka menghadapinya dengan diam.
Dua jam yang singkat berlalu. Kini Raja duduk di atas kuda putihnya yang tampak bersinar dalam cahaya remang-remang itu. Tinggi dan gagah ia tampaknya, meski rambut yang terurai dari bawah helm tingginya sudah seputih salju; banyak yang kagum melihatnya, dan jadi bersemangat karena raja mereka begitu teguh dan tidak gentar.
Di sana, di padang-padang datar samping sungai yang gemercik, sudah tersusun pasukan-pasukan, terdiri atas sekitar lima ratus lima puluh Penunggang bersenjata lengkap, dan ratusan lagi dengan kuda-kuda cadangan yang membawa beban bekal ringan. Sebuah terompet tunggal berbunyi. Raja mengangkat tangannya, dan sambil membisu pasukan Mark mulai bergerak. Paling depan berjalan dua belas anak buah istana, para Penunggang termasyhur. Lalu Raja mengikuti, dengan Eomer di sebelah kanannya. Ia berpamitan pada Eowyn yang berdiri di Hold atas sana, dan kenangan itu sangat memedihkan; tapi kini ia memusatkan perhatian pada jalan di depannya. Di belakangnya Merry menunggangi Stybba, berdampingan dengan para utusan dari Gondor, dan di belakang mereka dua belas lagi anak buah istana. Mereka melewati barisan panjang orang-orang yang menunggu dengan wajah tabah dan keras. Tapi ketika mereka sudah hampir sampai ke ujung barisan, salah satu mendongakkan kepala dan sekilas menatap hobbit itu dengan tajam. Seorang pemuda, pikir Merry ketika membalas tatapan itu, tidak begitu tinggi dan tegap seperti kebanyakan yang lain. Merry menangkap kilauan mata kelabu jernih; hatinya menggigil, karena tiba-tiba terlintas dalam pikirannya bahwa wajah itu mencerminkan orang tanpa harapan yang sedang menyongsong kematian.
Mereka terus melaju di jalan, di samping Snowbourn yang mengalir deras di atas bebatuan; melewati dusun-dusun kecil Underharrow dan Upbourn, di mana wajah-wajah murung perempuan mengintip keluar dari balik pintu gelap; demikianlah, tanpa bunyi terompet, harpa, atau, nyanyian, perjalanan besar ke Timur itu diawali. Perjalanan yang banyak dikisahkan dalam lagu-lagu Rohan sampai masa-masa kehidupan manusia setelahnya.
Dari Dunharrow yang gelap di pagi buta bersama para serdadu dan kapten melajulah putra Thengel: ke Edoras ia datang, ke balairung kuno para pengawal Mark, berselubung kabut; dengan papan papan keemasan terkurung kegelapan.
Berpamitan ia pada rakyatnya yang merdeka, pada perapian dan takhta, dan tempat-tempat keramat, di mana sejak lama ia berpesta pora sebelum datangnya senja.
Terus maju sang Raja, meninggalkan ketakutan, takdir ada di depannya. Kesetiaan dimilikinya; sumpah-sumpah sudah diambilnya, semua menepatinya.
Majulah Theoden. Lima hari lima malam ke timur mereka melaju, kaum Eorlingas, melintasi Folde dan Fenmarch dan hutan Firien, enam ribu tombak pergi ke Sunlending, Mundburg nan perkasa di bawah Mindolluin, Kota para raja laut di kerajaan Selatan dikepung musuh, dikelilingi api.
Ajal mendorong mereka maju. Kegelapan menyergap, kuda dan penunggangnya; derap kaki kuda di kejauhan ditelan keheningan: begitu kata lagu-lagunya.
Benarlah, Raja sampai di Edoras di tengah kegelapan, meski saat itu baru tengah hari. Di sana Ia hanya berhenti sebentar untuk memperkuat pasukannya dengan tiga barisan Penunggang yang terlambat datang ke apel siaga. Setelah makan Ia bersiap-siap berangkat lagi, dan berpamitan pada pendampingnya. Tapi Merry untuk terakhir kali memohon agar tidak dipisahkan darinya.
"Sudah kukatakan padamu, ini bukan perjalanan untuk kuda seperti Stybba," kata Theoden.
"Dan dalam pertempuran yang akan kami hadapi di padang-padang Gondor, apa yang akan kaulakukan, Master Meriadoc, meski kau ksatria pedang dan berjiwa lebih besar daripada ukuran tubuhmu?"
"Tentang itu, siapa yang tahu?" jawab Merry.
"Tapi, Tuanku, mengapa kau menerimaku sebagai ksatria pedang, kalau bukan untuk mendampingimu? Aku tidak mau diriku dikisahkan dalam lagu-lagu sebagai orang yang selalu ditinggalkan!"
"Aku menerimamu demi keselamatanmu," jawab Theoden, "juga agar kau menaati apa yang kuperintahkan. Tak ada Penunggang kami yang bisa membawamu, sebab kau akan jadi beban. Seandainya pertempuran berlangsung di depan gerbangku, mungkin tindakanmu akan dipujipuji kaum pemusik; tapi dari sini ke Mundburg di mana Denethor menjadi penguasa, masih seratus dua league jaraknya. Aku takkan mengatakan apa pun lagi." Akhirnya Merry membungkuk dan pergi dengan sedih, sambil menatap barisan penunggang kuda. Pasukan-pasukan sudah mulai bersiap-slap berangkat: orang-orang mengatur pelana, mengencangkan Pengikat, mengelus kuda-kuda; beberapa memandang gelisah ke langit yang semakin mendung. Diam-diam seorang Penunggang mendekat dan berbisik ke telinga si hobbit.
"Saat kemauan dihalangi, ada jalan terbuka, begitu pepatah kami," ia berbisik, "dan aku sendiri sudah menemukan jalan itu." Merry menengadah dan melihat bahwa orang itu ternyata pemuda Penunggang yang diperhatikannya tadi pagi.
"Kau pasti ingin ikut ke mana pun Penguasa Mark pergi; bisa kulihat pada wajahmu."
"Memang," kata Merry.
"Kalau begitu, kau ikut aku," kata si Penunggang.
"Akan kubawa kau duduk di depanku, di bawah jubahku, sampai kita berada jauh di tengah padang, dan kegelapan sudah semakin kelam. Kebaikan semacam ini tak boleh ditolak. Jangan bicara lagi pada siapa pun, ikutlah aku!"
"Terima kasih banyak," kata Merry.
"Terima kasih, Sir, meski aku tak kenal namamu."
"Kau tidak tahu?" kata Penunggang itu lembut.
"Kalau begitu, panggillah aku Dernhelm."
Maka ketika Raja berangkat, di depan Dernhelm duduklah Meriadoc si hobbit, dan kuda jantan besar, Windfola, yang tidak keberatan dengan beban itu, karena Dernhelm tidak seberat kebanyakan orang lain, meski ia lincah dan sosoknya tegap.
Mereka melaju terus ke dalam gelap. Di kerimbunan semak-semak willow tempat Snowbourn mengalir masuk ke Entwash, dua belas league dari Edoras, mereka berkemah malam itu. Lalu maju terus melintasi Folde; melewati Fenmarch, di mana hutan-hutan besar pohon ek merayapi lereng-lereng perbukitan di sebelah kanan mereka, di bawah bayangan Halifirien yang gelap, dekat perbatasan Gondor; di sebelah kiri mereka, kabut menyelimuti rawa-rawa yang digenangi air dari muara-muara Entwash. Dan ketika mereka berjalan maju, datang selentingan tentang perang di Utara. Orang-orang yang berkeliaran sendirian, membawa kabar tentang musuh-musuh yang menyerang perbatasan timur mereka, tentang pasukan-pasukan Orc yang berjalan di Wold di Rohan.
"Maju terus! Maju terus!" teriak Eomer.
"Sudah terlambat sekarang untuk menyimpang. Rawa-rawa Entwash akan melindungi barisan belakang kita. Kita perlu kecepatan. Maju terus!" Demikianlah Raja Theoden keluar dari wilayahnya sendiri, jalan yang panjang terbentang mil demi mil, dan bukit-bukit mercu suar melintas berbaris: Calenhad, Min-Rimmon, Erelas, Nardol. Tapi api mereka sudah padam. Semua daratan tampak kelabu dan diam; bayangan gelap di depan mereka semakin kelam, dan harapan sudah pudar di hati masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates