Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 1/10 SEMEAGOL DIJINAKKAN

<<< SEBELUMNYA

"Well, Master, kita dalam kesulitan, tak salah lagi," kata Sam Gamgee. ia berdiri sedih di samping Frodo, mengintai keluar dengan mata dikerutkan ke dalam kegelapan.
Kini malam ketiga sejak mereka melarikan diri dari Rombongan, sejauh yang mereka ketahui: entah sudah berapa lama mereka mendaki dan berjalan susah payah di tengah lereng-lereng gersang dan bebatuan Emyn Mull, kadang menapaki kembali jejak mereka karena tak bisa menemukan jalan maju, kadang menemukan bahwa mereka sudah berputar-putar di situ-situ juga, dan akhirnya kembali ke tempat mereka berada berjam-jam sebelumnya. Tapi secara keseluruhan mereka terus berjalan ke arah timur, sedapat mungkin tetap mengikuti jalan tersingkat ke pinggir paling luar simpul perbukitan yang ruwet itu. Tapi mereka selalu menemukan wajah-wajah perbatasannya terjal sekali, tinggi dan tak mungkin dilalui, seperti mengerutkan kening melihat padang di bawah; di luar pinggirannya yang terjun ke bawah, terletak rawa-rawa membusuk. Tak ada yang bergerak di situ, bahkan tak seekor burung pun tampak.

Kedua hobbit itu sekarang berdiri di pinggir batu karang tinggi, gundul, dan muram, kakinya terselubung kabut; di belakang mereka menjulang dataran tinggi yang dimahkotai awan berarak. Malam sudah mulai menyelubungi daratan tak berbentuk di depan mereka; warnanya yang hijau pucat memudar menjadi cokelat cemberut. Jauh di sebelah kanan, Sungai Anduin yang bersinar tertegun-tegun di bawah sinar matahari yang terputus-putus sepanjang hari, kini tersembunyi dalam keremangan. Tapi mata mereka tidak memandang ke seberang Sungai, ke arah Gondor, ke kawan-kawan mereka, ke negeri Manusia. Mereka memandang ke selatan dan timur; di sana, pada batas malam yang akan segera tiba, sebuah garis gelap menggantung, seperti pegunungan asap yang diam di kejauhan. Sesekali nyala merah kecil nun di sana berkelip naik di batas bumi dan langit.
"Betul-betul kesulitan besar!" kata Sam. "Itu satu-satunya tempat yang tak ingin kita lihat lebih dekat, di antara semua negeri yang pernah kita dengar; tapi justru ke sanalah kita menuju! Dan kita justru tak bisa mendekatinya, tak mungkin. Kita sudah lewat jalan yang salah. Kita tak bisa turun; kalaupun bisa, aku yakin kita akan mendapati seluruh daratan hijau itu berupa rawa-rawa menjijikkan. Bah! Bisa kaucium baunya?" ia mendengus mengendus angin.
"Ya, aku bisa menciumnya," kata Frodo, tapi ia tidak bergerak, matanya tetap terpaku ke satu titik, menatap ke garis gelap dan nyala api yang berkelip. "Mordor!" ia menggerutu perlahan. "Kalau aku memang harus ke sana, aku berharap bisa ke sana secepatnya dan mengakhiri semuanya!" ia menggigil. Angin sangat tajam menggigit, tapi dipenuhi bau pembusukan dingin. "Well," katanya, akhirnya mengalihkan pandang, "kita tak bisa di sini semalaman, ada atau tidak ada kesulitan. Kita harus menemukan tempat yang lebih terlindung, dan berkemah lagi; mungkin besok kita akan menemukan jalan lain."
"Atau besoknya lagi, dan besoknya lagi," gerutu Sam. "Atau mungkin tidak akan pernah. Kita sudah menempuh jalan yang salah." .
"Aku ingin tahu," kata Frodo. "Kurasa sudah suratan takdirku untuk pergi ke Bayang-Bayang di sana itu, jadi kita pasti akan menemukan jalannya. Tapi kebaikan atau kejahatankah yang akan menunjukkannya padaku? Kita harus cepat. Itu satu-satunya harapan kita. Penundaan hanya akan menguntungkan Musuh dan di sinilah aku berada: tertahan. Kehendak Menara Gelap-kah yang mengemudikan kita? Semua pilihanku ternyata buruk. Seharusnya aku meninggalkan Rombongan jauh lebih dulu, dan turun dari Utara, sebelah timur Sungai dan Emyn Mull, dengan demikian melintasi Padang Pertempuran, sampai ke celah Mordor. Tapi sekarang tak mungkin kita mencari jalan kembali sendirian, sementara para Orc berkeliaran di tebing timur. Setiap hari yang berlalu merupakan waktu berharga yang hilang. Aku letih, Sam.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Makanan apa yang tersisa?"
"Hanya itu … apa namanya … lembas, Mr. Frodo. Cukup banyak. Lumayanlah, daripada tidak ada sama sekali. Ketika pertama menggigitnya, tak kukira aku akan mengharapkan makanan lain. Tapi sekarang aku berharap ada sepotong roti biasa, dan secangkir bir atau setengah cangkir cukuplah. Aku membawa seluruh perlengkapan masakku dari perkemahan terakhir, tapi apa manfaatnya sampai sekarang? Tak ada yang bisa dibuat api, dan tak ada yang bisa dimasak, bahkan rumput pun tidak!"
Mereka berbalik dan masuk ke sebuah cekungan berbatu. Matahari yang sedang terbenam terjebak ke dalam awan-awan, dan malam datang dengan cepat. Mereka tidur sedapat mungkin, meski sangat kedinginan, bergerak-gerak terus dalam sebuah sudut di antara puncak-puncak bergerigi batu karang yang lapuk; setidaknya mereka terlindung dari angin timur.
"Apa kau melihatnya lagi, Mr. Frodo?" tanya Sam ketika mereka duduk, kaku dan kedinginan, mengunyah wafer lembas dalam cahaya pagi
yang dingin dan kelabu.
"Tidak," kata Frodo. "Sudah dua malam ini aku tidak mendengar apa pun, juga tidak melihat apa pun."
"Aku juga," kata Sam. "Brrr! Mata itu mengagetkanku! Tapi mungkin kita sudah lolos darinya. Si makhluk malang. Gollum! Akan kuberi dia gollum di tenggorokannya, kalau aku bisa menangkapnya."
"Semoga kau tidak perlu melakukan itu," kata Frodo. "Entah bagaimana dia bisa mengikuti kita; mungkin sekarang dia sudah kehilangan jejak kita lagi, seperti katamu. Di daratan kering muram ini, kita tak bisa meninggalkan banyak jejak, juga tidak banyak bau, bahkan untuk hidungnya yang tajam itu."
"Kuharap begitu," kata Sam. "Kuharap kita bisa lepas darinya untuk seterusnya!"
"Begitu pula aku," kata Frodo, "tapi dia bukan masalahku yang utama. Kuharap kita bisa keluar dari perbukitan ini! Aku benci mereka. Aku merasa telanjang di sisi timur, terjebak di sini, hanya dipisahkan oleh dataran mati dengan Bayang-Bayang di sana. Ada Mata di dalamnya.
Ayo! Kita harus turun hari ini, dengan satu dan lain cara."
Tapi hari semakin larut, dan ketika siang sudah menjelang senja, mereka masih merangkak menyusuri punggung bukit, belum menemukan jalan keluar.
Kadang-kadang, dalam keheningan daratan gersang itu, mereka berkhayal mendengar bunyi-bunyi samar di belakang mereka, sebuah batu jatuh, atau bunyi kaki mengepak di atas bebatuan. Tapi kalau mereka berhenti dan berdiri mendengarkan, mereka tidak mendengar apa-apa, hanya angin yang mengeluh di atas ujung-ujung bebatuan itu pun mengingatkan mereka akan napas yang mendesis perlahan melalui gigigigi tajam.
Sepanjang hari punggung luar Emyn Mull membelok perlahan ke utara, sementara mereka terus berjalan. Di sepanjang pinggirnya kini membentang dataran luas penuh batu-batu yang sudah termakan cuaca, sesekali terpotong selokan-selokan seperti parit yang menurun terjal ke takikan dalam pada wajah batu karang. Untuk menemukan jalan di tengah belahan-belahan itu, yang semakin dalam dan semakin sering ditemui, Frodo dan Sam terdorong makin ke kiri, jauh sekali dari pinggiran, tidak memperhatikan bahwa untuk beberapa mil mereka sudah berjalan perlahan namun terus-menerus menuruni bukit: puncak bukit terbenam sampai ke permukaan dataran rendah.
Akhirnya mereka terpaksa berhenti. Punggung bukit membelok tajam ke utara, dibelah sebuah jurang dalam. Di ujung seberang ia kembali menjulang tinggi, satu jarak besar, sekali lompatan: sebuah batu karang kelabu besar menjulang di depan mereka, terjun curam ke bawah, seolah dipotong dengan pisau. Mereka tak bisa maju lebih jauh lagi, dan harus membelok ke barat atau ke timur. Tapi ke barat hanya akan membawa mereka pada lebih banyak kerja keras dan penundaan, kembali ke jantung perbukitan; ke timur akan membawa mereka ke ngarai paling luar.
"Tak bisa lain, kecuali merangkak menuruni parit ini, Sam," kata Frodo. "Mari kita lihat, ke mana tujuannya!"
"Pasti jauh ke bawah sana," kata Sam.
Parit itu lebih panjang dan dalam daripada tampaknya. Agak jauh dari sana, mereka menemukan beberapa pohon kerdil yang benjol-benjol, gerumbulan pohon pertama yang mereka lihat setelah berhari-hari: kebanyakan pohon birch yang terpelintir, diselingi pohon cemra di sanasini. Banyak yang sudah mati dan kurus, termakan habis oleh angin timur. Mungkin dulu, di masa yang lebih cerah cuacanya, pepohonan itu berupa gerumbulan indah di jurang, tapi kini, setelah sekitar lima puluh yard, pepohonan itu berakhir, meski beberapa batang patah masih merangkak terus sampai hampir ke tepian batu karang. Dasar parit, yang terbentang sepanjang sisi retakan batu karang, menurun curam dan kasar, dipenuhi pecahan batu. Ketika akhirnya mereka sampai ke ujungnya, Frodo membungkuk dan mencondongkan badannya keluar.
"Lihat!" katanya. "Kita sudah berjalan jauh sekali, atau mungkin batu karangnya yang sudah terbenam. Di sini jauh lebih rendah daripada sebelumnya, dan tampaknya juga lebih mudah." Sam berlutut di sebelahnya, mengintip dengan enggan dari pinggiran. Lalu ia menoleh ke atas, ke batu karang besar yang menjulang jauh di sebelah kiri mereka. "Lebih mudah!" gerutunya. "Well, memang selalu lebih mudah turun daripada naik. Mereka yang tak bisa terbang bisa melompat!"
"Tapi masih tetap suatu lompatan besar," kata Frodo. "Sekitar, well" ia berdiri sejenak, mengukur dengan matanya "sekitar delapan belas fathom, kukira. Tidak lebih."
"Dan itu sudah cukup!" kata Sam. "Uuh! Aku benci memandang ke bawah dari ketinggian! Tapi melihat lebih baik daripada mendaki."
"Bagaimanapun," kata Frodo, "kurasa kita bisa mendaki di sini; dan menurutku kita harus mencoba. Lihat … batu ini berbeda dengan yang ada beberapa mil dari sini tadi. Batu ini sudah tergelincir dan retak." Tebing paling luar memang tidak begitu terjal lagi, tapi agak menjorok keluar. Tampaknya seperti kubu besar atau dinding samudra yang fondasinya beralih tempat, sehingga arahnya jadi berbelok-belok tidak beraturan, meninggalkan retakan besar dan pinggiran panjang miring yang di beberapa tempat hampir selebar tangga.
"Dan kalau hendak mencoba turun, sebaiknya segera saja. Sebentar lagi gelap. Kurasa akan ada badai." Kekaburan pegunungan di Timur hilang dalam kegelapan yang sudah menggapai ke arah barat dengan lengannya yang panjang. Di kejauhan
terdengar gemuruh petir terbawa angin yang sedang naik. Frodo mengendus-endus udara dan menengadah ragu ke langit. Ia memasang ikat pinggangnya di luar jubah dan mengeratkannya, menempatkan ranselnya di punggung, kemudian melangkah ke pinggiran. "Aku akan mencobanya," katanya.
"Baik!" kata Sam murung. "Tapi aku duluan."
"Kau?" kata Frodo. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
"Aku tidak berubah pikiran. Ini sekadar akal sehat: biarkan yang paling mungkin tergelincir, turun lebih dulu. Aku tak ingin jatuh ke atasmu dan membuatmu jatuh juga jangan sampai dua orang jadi mati dengan sekali jatuh." Sebelum Frodo bisa menghentikannya, ia sudah duduk, mengayunkan kaki melewati pinggiran, dan berputar, meraba-raba dengan jari kakinya, mencari injakan. Entah apakah ia pernah melakukan tindakan yang lebih berani, atau lebih sembrono daripada itu, dengan kepala dingin.
"Jangan, jangan! Sam, tolol kau!" kata Frodo. "Kau bisa mati kalau melompat seperti itu, tanpa melihat dulu apa yang harus dituju.
Kembali!" ia memegang Sam di bawah ketiaknya dan menariknya lagi ke atas. "Sabar dulu!" katanya. Lalu ia berbaring di tanah, menjulurkan tubuh, dan melihat ke bawah; tapi rupanya cahaya cepat meredup, meski matahari belum terbenam. "Kurasa kita bisa berhasil," katanya akhirnya. "Setidaknya aku bisa; kau juga, kalau kau tetap memakai akal sehat dan mengikuti aku dengan cermat."
"Heran, mengapa kau bisa begitu yakin," kata Sam. "Kau kan tak bisa melihat sampai ke dasar, dengan cahaya ini. Bagaimana kalau kau sampai ke bagian yang tidak ada tempat untuk meletakkan tangan atau kakimu?"
"Aku akan memanjat ke atas lagi," kata Frodo.
"Mudah mengatakannya," kata Sam. "Lebih baik menunggu sampai pagi dan lebih banyak cahaya."
"Tidak! Tidak kalau aku bisa berupaya," kata Frodo tiba-tiba, berapi-api. "Aku menyesali setiap jam, setiap menit. Aku akan turun untuk mencobanya. Jangan ikuti aku sebelum aku kembali atau memanggilmu!" Sambil mencengkeram bibir berbatu tebing dengan jarinya, ia menurunkan diri perlahan-lahan. Ketika lengannya sudah hampir sepenuhnya teregang, jari kakinya menemukan tempat berpijak. "Satu langkah turun!" katanya. "Dan dataran ini melebar ke kanan. Aku bisa berdiri di sana tanpa berpegangan. Aku akan …" kata-katanya terpotong.
Kegelapan yang memburu sekarang bergerak dengan kecepatan tinggi, muncul dari Timur dan menelan langit. Ada ledakan guruh keras membelah langit, tepat di atas. Halilintar membakar menghantam bukit-bukit di bawah. Lalu muncul embusan angin keras, dan bersamaan dengan itu, berbaur dengan raungannya, terdengar sebuah teriakan tinggi melengking. Para hobbit pernah mendengar teriakan persis seperti itu, jauh di Marish, ketika mereka lari dari Hobbiton. Bahkan di sana, di hutan di Shire, bunyi itu membekukan darah mereka. Kini, di daratan gersang itu, terornya terasa jauh lebih besar: menembus mereka dengan mata pisau kengerian dan keputusasaan, menghentikan jantung dan napas. Sam jatuh tengkurap. Tanpa sengaja Frodo mengendurkan pegangannya, menutupi kepala dan telinganya dengan tangan.
Ia bergoyang, tergelincir, dan meluncur ke bawah dengan teriakan meratap.
Sam mendengarnya, dan merangkak dengan susah payah ke pinggiran. "Master!" teriaknya. "Master!" Ia tidak mendengar jawaban. Ia menyadari dirinya gemetaran, tapi ia menarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi berteriak, "Master!" Angin seolah mengembus suaranya kembali ke dalam tenggorokan, tapi ketika angin berlalu, menderum naik ke pant dan melintasi bukitbukit, terdengar teriakan lemah sebagai jawaban:
"Sudah, sudah! Aku di sini. Tapi aku tak bisa melihat." Frodo memanggil dengan suara lemah. Sebenarnya ia tidak begitu jauh dari sana. Ia tergelincir dan tidak jatuh, dan terhenti tersentak dengan kaki berpijak di sebuah birai yang lebih lebar, beberapa meter lebih ke bawah. Untung permukaan batu di tempat itu agak condong ke belakang, dan angin menekannya ke batu, sehingga ia tidak terjungkir. Ia mengokohkan dirinya sedikit, menempelkan wajahnya ke permukaan tembok batu yang dingin, sambil merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi entah kegelapan sudah sempurna, atau matanya kehilangan daya penglihatan sekitarnya tampak hitam pekat. Ia bertanya-tanya, apakah ia sudah menjadi buta. Ia menarik napas panjang.
"Kembali! Kembali!" ia mendengar suara Sam dari kegelapan di atas.
"Aku tak bisa," katanya. "Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa menemukan pegangan. Aku belum bisa bergerak."
"Apa yang bisa kulakukan, Mr. Frodo? Apa yang bisa kulakukan?" teriak Sam, menjulurkan badannya jauh sekali. Mengapa majikannya tak bisa melihat? Memang cahaya remang-remang, tapi tidak sampai gelap sekali. Ia bisa melihat Frodo di bawahnya, sebuah sosok kelabu menyedihkan yang condong di depan batu karang. Tapi ia jauh dari jangkauan bantuan tangan siapa pun.
Ada gelegar bunyi guruh lagi; kemudian hujan turun. Deras sekali, berbaur dengan hujan batu, menghantam batu karang, dingin sekali.
"Aku akan turun ke dekatmu," teriak Sam, meski ia tidak tahu bagaimana harus membantu Frodo.
"Tidak, tidak! Tunggu!" Frodo balas berteriak, sekarang lebih kuat. "Aku akan segera lebih baik. Aku sudah merasa baikan. Tunggu! Kau tak bisa melakukan apa pun tanpa tambang."
"Tambang!" teriak Sam, berbicara sendiri dengan penuh gairah dan kelegaan. "Wah, aku memang pantas digantung di ujung tambang, se bagai peringatan bagi orang-orang goblok! Kau benar-benar tolol, Sam Gamgee: itu sudah sering dikatakan Gaffer padaku. Ya, begitulah katanya. Tambang!"
"Berhenti mengoceh!" teriak Frodo, yang sekarang sudah cukup pulih, hingga merasa jengkel bercampur geli. "Jangann hiraukan Gaffermu! Jadi, maksudmu, kau membawa tambang di sakumu? Kalau ya, keluarkan!"
"Ya, Mr. Frodo, di ranselku. Sudah kubawa beratus-ratus mil, dan aku sama sekali lupa!"
"Kalau begitu, cepat ambil dan ulurkan ujungnya!" Cepat Sam melepaskan ranselnya dan mencari-cari di dalamnya. Memang di dasar ransel ada gulungan tambang sutra kelabu buatan penduduk Lorien. ia melemparkan ujungnya pada majikannya. Kegelapan seolah tersingkap dari mata Frodo, atau mungkin penglihatannya pulih kembali. Ia bisa melihat garis kelabu yang turun menjuntai, dan rasanya tambang itu bersinar redup keperakan. Kini, setelah ada satu titik dalam kegelapan untuk memusatkan pandangan, ia tidak terlalu pusing lagi. Dengan tetap mencondongkan tubuh ke depan, ia mengikatkan ujung tambang ke pinggangnya, lalu memegang tambang itu dengan kedua tangannya.
Sam mundur dan menjejakkan kakinya ke sebuah tunggul pohon, sekitar satu-dua meter dari pinggir. Setengah ditarik, setengah merangkak, Frodo muncul dan melemparkan dirinya ke tanah.
Petir menggelegar di kejauhan, dan hujan masih turun deras. Kedua hobbit merangkak kembali ke parit, tapi tidak menemukan banyak perlindungan di sana. Sungai-sungai kecil mulai mengalir turun, dan segera berkembang menjadi banjir yang mencebur dan berasap di atas bebatuan, menyemprot keluar dari batu karang, seperti pancuran-pancuran atap besar.
"Aku bisa setengah tenggelam di bawah sana, atau tersapu bersih," kata Frodo. "Untung kau membawa tambang itu!"
"Lebih beruntung kalau aku ingat sejak, awal," kata Sam. "Mungkin kau ingat mereka memasukkan tambang-tambang ke dalam perahu ketika kita berangkat: di negeri kaum Peri. Aku sangat menyukainya, dan aku memasukkan satu gulungan ke dalam ranselku. Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu. 'Ini bisa membantu dalam berbagai kebutuhan,' kata Haldir, atau salah satu dari mereka. Dan ternyata omongannya betul."
"Sayang sekali aku tak ingat membawa seutas lagi," kata Frodo, "tapi aku meninggalkan Rombongan dengan begitu terburu-buru, dan dalam kebingungan. Seandainya kita punya cukup banyak tambang, kita bisa gunakan untuk turun. Berapa panjang tambangmu? Aku ingin tahu." Sam mengukurnya dengan lambat, dengan lengannya, "Lima, sepuluh, dua puluh, tiga puluh meter, kurang lebih," katanya.
"Siapa sangka!" seru Frodo.
"Ah! Siapa yang tahu?" kata Sam. "Bangsa Peri memang luar biasa. Tampaknya agak tipis, tapi hati dan lembut seperti susu di tangan. Bisa dikemas kecil sekali, dan sangat ringan. Mereka memang bangsa hebat!"
"Tiga puluh meter!" kata Frodo. "Kukira cukup panjang. Kalau badai berhenti sebelum malam, aku akan mencobanya."
"Hujan memang sudah hampir berhenti," kata Sam, "tapi jangan mengambil risiko lagi dalam kegelapan, Mr Frodo! Dan aku masih belum pulih setelah mendengar teriakan yang dibawa angin tadi; kau mungkin sudah. Kedengarannya seperti Penunggang Hitam tapi di angkasa, kalau mereka bisa terbang. Sebaiknya kita tetap berbaring di sini sampai malam lewat."
"Aku tidak mau menghabiskan waktu lebih lama daripada yang kubutuhkan, terjebak di pinggiran ini dengan mata Negeri Gelap memandang melalui rawa-rawa," kata Frodo.
Sambil berkata begitu, ia bangkit berdiri dan pergi ke dasar parit lagi. Ia memandang keluar. Langit sudah mulai jernih lagi di Timur sana.
Sisa-sisa badai sudah terangkat, bergerigi dan basah, dan pertempuran utama sudah berlalu untuk menebarkan sayapnya yang besar di atas Emyn Mull, di mana pikiran gelap Sauron merenunginya untuk sementara. Dari sana badai membalik, menghantam Lembah Anduin dengan hujan batu dan halilintar, menjatuhkan bayangannya ke atas Minas Tirith dengan ancaman perang. Lalu ia semakin turun di pegunungan, mengumpulkan puncak-puncak menaranya yang besar, menggelinding perlahan melintasi Gondor dan pinggiran Rohan, sampai jauh di sana, para Penunggang di padang melihat menara-menaranya yang hitam bergerak ke belakang matahari, ketika mereka berjalan ke arah Barat.
Tapi di sini, di atas gurun dan rawa-rawa berbau busuk, warna biru gelap langit sekali lagi tersingkap, dan beberapa bintang pucat muncul, seperti lubang-lubang kecil putih di langit-langit di atas bulan sabit.
"Rasanya menyenangkan bisa melihat lagi," kata Frodo, menarik napas panjang. "Kau tahu, tadi aku sempat mengira sudah kehilangan penglihatanku. Mungkin karena halilintar, atau sesuatu yang lebih buruk. Aku tak bisa melihat apa pun, sampai tambang kelabu itu turun.
Tambang itu seperti bersinar."
"Memang agak seperti perak dalam gelap," kata Sam. "Aku tak pernah memperhatikannya sebelum ini, meski aku tak ingat pernah mengeluarkannya sejak aku pertama memasukkannya. Tapi kalau kau begitu bertekad memanjat, Mr. Frodo, bagaimana kau akan menggunakannya? Tiga puluh meter, atau katakanlah, sekitar delapan belas fathom: itu kan cuma perkiraanmu tentang ketinggian batu karang itu!" Frodo berpikir sejenak. "Ikatkan ke tunggul itu, Sam!" katanya. "Kurasa keinginanmu untuk turun lebih dulu akan terkabul kali ini. Aku akan menurunkanmu, dan kau cuma perlu menggunakan tangan dan kakimu untuk menolakkan tubuhmu pada batu karang. Tapi kalau kau sesekali menjejakkan kakimu di atas birai dan aku bisa istirahat, itu akan sangat membantu. Kalau kau sudah di bawah, aku akan menyusul.
Aku sudah benar-benar pulih seperti sebelumnya."
"Baiklah," kata Sam dengan berat hati. "Kalau memang harus begitu, biar secepatnya saja!" ia mengangkat tambang dan mengikatnya pada tunggul yang terdekat ke pinggiran; ujung satunya diikatkan ke pinggangnya sendiri. Dengan enggan ia memutar badannya, bersiapsiap melewati ujung untuk kedua kalinya.
Ternyata tidak seburuk yang diduganya. Tambang itu membuatnya merasa percaya diri, meski ia memejamkan matanya lebih dari sekali ketika memandang ke bawah dan antara kakinya. Ada satu titik sulit, di mana tak ada birai, tembok batu karangnya terjal, bahkan cekung untuk suatu jarak pendek; di sana ia tergelincir dan menggelantung pada garis perak tambang itu. Tapi Frodo menurunkannya perlahan-lahan dan kokoh, dan akhirnya selesai sudah. Semula ia takut tambang itu tidak cukup panjang, dan ia akan tergantung-gantung di suatu tempat di atas, tapi ternyata masih ada sisa gulungan di tangan Frodo ketika Sam sampai ke dasar dan berteriak ke atas, "Aku sudah sampai!" Suaranya naik dengan jelas dari bawah, tapi Frodo tak bisa melihatnya; jubah Peri yang kelabu membuat sosoknya berbaur dengan cahaya senja.
Frodo agak lebih lama menyusulnya. Ia sudah mengikat tambang di pinggangnya, ujung di atas juga sudah terikat erat, dan ia sudah memendekkannya agar tambang itu menariknya ke atas sebelum ia sampai ke tanah; tapi ia tak ingin mengambil risiko jatuh, dan ia tidak terlalu percaya pada tambang tipis kelabu itu. Tapi ada dua titik di mana ia sepenuhnya terpaksa bergantung pada tambang tersebut, yakni di permukaan mulus yang tidak ada pegangan untuk jari hobbit-nya yang kuat sekalipun, dan birai-birainya saling terpisah jauh. Tapi akhirnya ia sampai juga di bawah.
"Nah!" serunya. "Kita berhasil Kita sudah lolos dari Emyn Muil! Sekarang apa lagi? Mungkin tak lama lagi kita akan merindukan batu karang keras di bawah kaki kita." Tapi Sam tidak menjawab: ia menatap ke atas batu karang. "Tolol!" katanya. "Sialan! Tambangku yang bagus! Tambang itu terikat pada tunggul, dan kita ada di bawah sini. Ini sama saja dengan meninggalkan tangga bagus bagi Gollum. Kenapa tidak sekalian memasang papan petunjuk untuk memberitahu ke arah mana kita pergi! Sudah kupikir, rasanya kok terlalu mudah."
"Kalau kau bisa menemukan cara lain untuk menggunakan tambang itu dan membawanya turun bersama kita sekaligus, kau boleh mewariskan sebutan tolol itu padaku, atau sebutan lain yang diberikan Gaffer padamu," kata Frodo. "Panjatlah dan lepaskan tambangnya, lalu turunkan dirimu sendiri, kalau kau mau!" Sam menggaruk kepalanya. "Tidak, aku tak bisa memikirkan caranya, maaf," katanya. "Tapi aku tak senang harus meninggalkannya." ia membelai ujung tambang dan menggoyangkannya dengan lembut. "Rasanya sulit berpisah dengan apa pun yang kubawa keluar dari negeri Peri. Apalagi benda yang mungkin dibuat sendiri oleh Galadriel. Galadriel," gumamnya, menganggukkan kepalanya dengan sedih. Ia menengadah dan menarik tambang itu sekali lagi, seperti hendak berpamitan.
Kedua hobbit itu sangat tercengang ketika tambang itu terlepas. Sam terjatuh, gulungan panjang kelabu itu meluncur diam-diam ke atasnya.
Frodo tertawa. "Siapa yang mengikat tambang ini?" katanya. "Untung saja dia bertahan selama itu! Bayangkan, aku sudah mempercayakan bobot badanku seluruhnya pada simpul ikatanmu!" Sam tidak tertawa. "Mungkin aku tidak begitu pintar memanjat, Mr. Frodo," ia berkata dengan nada tersinggung, "tapi aku cukup tahu tentang tambang dan simpul-simpul. Sudah bakat turunan, bisa dikatakan begitu. Kakekku, dan pamanku Andy, kakak tertua Gaffer, biasa berjalan di atas tambang di Tighfield selama bertahun-tahun. Aku bisa memasang ikatan lebih kuat pada tunggul, danpada yang bisa dilakukan orang lain, di dalam maupun di luar Shire."
"Kalau begitu, tambangnya putus-teriris pinggiran batu karang, kurasa," kata Frodo.
"Kukira tidak!" kata Sam dengan nada lebih tersinggung lagi. Ia membungkuk dan mengamati ujung-ujung tambang. "Dan memang tidak.
Bahkan satu untai pun tidak!"
"Kalau begitu, rasanya simpulnya yang salah," kata Frodo.
Sam menggelengkan kepala dan tidak menjawab. Ia meraba tambang itu dengan jarinya, sambil merenung. "Terserah kau, Mr. Frodo," akhirnya ia berkata, "tapi menurutku tambang ini lepas sendiri ketika aku memanggilnya." ia menggulung tambang itu dan memasukkannya dengan penuh kasih sayang ke dalam ranselnya.
"Mungkin juga," kata Frodo, "dan itu yang penting. Sekarang kita perlu memikirkan tindakan selanjutnya. Malam akan segera tiba. Betapa indahnya bintang-bintang, dan Bulan!"
"Pemandangan yang menghibur hati, bukan?" kata Sam sambil melihat ke atas. "Entah bagaimana, mereka seperti Peri. Dan Bulan semakin membesar. Kita sudah sekitar dua malam tidak melihatnya dalam cuaca berawan ini. Sinarnya sudah cukup terang."
"Ya," kata Frodo, "tapi dia tidak akan purnama selama beberapa hari lagi. Sebaiknya kita jangan mencoba melewati rawa-rawa di bawah sinar bulan separuh."
Di bawah keremangan pertama malam itu, mereka menempuh tahap kedua perjalanan mereka. Setelah beberapa saat, Sam menoleh ke jaIan yang sudah mereka lalui. Mulut parit tampak bagaikan titik hitam di batu karang yang kabur. "Aku senang kita mempunyai tambang," katanya. "Si perampok kecil itu pasti kebingungan. Dia boleh coba menginjakkan kakinya yang menjijikkan dan mengepak ngepak pada birai-birai itu!"
Mereka memilih jalan menjauh dari pinggiran batu karang, melewati belantara bebatuan besar dan batu-batu kasar yang basah dan licin karena hujan deras. Tanah masih menurun tajam. Belum jauh berjalan, mereka sampai di sebuah lubang yang tiba-tiba menganga hitam di depan kaki mereka. Memang tidak lebar, tapi terlalu lebar untuk dilompati dalam cahaya remang-remang. Mereka merasa mendengar air menggeluguk di kedalamannya. Celah itu membelok di sebelah kiri mereka, ke arah utara, kembali ke perbukitan, dengan demikian menutup jalan mereka ke arah itu, setidaknya sementara cuaca masih gelap.
"Sebaiknya kita mencoba jalan kembali ke selatan, menyusuri garis batu karang," kata Sam. "Mungkin kita akan menemukan tempat persembunyian di sana, gua atau semacamnya."
"Mungkin juga," kata Frodo. "Aku lelah, dan tak mungkin lebih lama lagi merangkak di antara bebatuan malam ini-meski aku menyesali penundaan ini. Seandainya ada jalan jelas di depan kita, aku akan terus berjalan sampai kakiku tidak kuat."
Temyata berjalan kaki di Emyn Mull yang retak-retak tidak lebih mudah. Sam juga tidak menemukan tempat perlindungan atau gua untuk bernaung: hanya ada lereng-lereng berbatu gersang yang mendaki terjal di batu karang yang sekarang menjulang lagi, lebih tinggi dan lebih terjal ketika mereka kembali. Akhirnya, karena kelelahan, mereka membaringkan diri di bawah tonjolan batu besar yang tidak jauh dari kaki jurang. Di sana mereka duduk meringkuk untuk beberapa saat, merasa sedih di malam dingin itu, sementara kantuk mendatangi, meski mereka berupaya menolaknya sekuat tenaga. Bulan melayang tinggi dan jernih. Cahayanya yang putih tipis menyinari wajah batu karang dan membanjiri tembok-tembok batu karang dingin yang cemberut, mengubah kegelapan yang luas membayang menjadi kelabu pucat dingin, bebercak bayang-bayang hitam.
"Yah!" kata Frodo, bangkit berdiri dan menarik jubahnya lebih rapat ke tubuhnya. "Kau tidur dulu sebentar, Sam. Pakailah selimutku. Aku akan mondar-mandir sebentar untuk berjaga." Mendadak ia terdiam, dan mencengkeram lengan Sam. "Apa itu?" bisiknya. "Lihat di sana, di batu karang!" Sam memandang, lalu terkesiap kaget. "Sss!" katanya. "Itu dia. Itu Gollum! Ular keparat! Bayangkan, tadi kupikir kita sudah membuat dia bingung dengan pendakian kita! Lihat dia! Seperti labah-labah menjijikkan merayap di dinding."
Menuruni wajah ngarai, tipis dan hampir mulus di bawah sinar bulan pucat, sebuah sosok kecil hitam bergerak dengan anggota tubuhnya yang kurus meregang keluar. Mungkin tangan dan jari kakinya yang lembut dan lengket bisa menemukan celah-celah dan injakan kaki yang tak mungkin terlihat atau digunakan hobbit, tapi tampaknya ia merayap turun dengan telapak lengket, seperti semacam serangga besar yang sedang mencari mangsa. Dan ia turun dengan kepala lebih dulu, seolah sedang mengendus-endus arahnya. Sesekali ia mengangkat kepalanya perlahan, memutarnya ke belakang pada lehernya yang kurus panjang, dan kedua hobbit itu menangkap sekilas dua cahaya pudar bersinar, matanya yang berkedip melihat bulan sejenak, kemudian cepat dipejamkan lagi.
"Kaupikir dia bisa melihat kita?" kata Sam.
"Aku tidak tahu," kata Frodo tenang, "tapi kukira tidak. Sulit sekali melihat jubah Peri kita, biarpun dengan mata yang ramah: aku saja tak bisa melihatmu dalam gelap, dari jarak beberapa langkah. Dan kudengar dia tidak menyukai Matahari maupun Bulan."
"Kalau begitu, mengapa dia turun ke sini?" tanya Sam.
"Diam, Sam!" kata Frodo. "Mungkin dia bisa mencium kita. Dan aku yakin pendengarannya tajam, seperti Peri. Kurasa dia sudah mendengar sesuatu sekarang: mungkin suara kita. Tadi kita banyak berteriak di sana; dan kita berbicara terlalu keras barusan, sampai semenit yang lalu."
"Aku sudah muak dengannya," kata Sam. "Dia sudah terlalu sering datang, dan aku akan bicara dengannya, kalau bisa. Bagaimanapun, kita tak bisa luput dari perhatiannya sekarang." Sambil menarik kerudungnya yang kelabu menudungi wajahnya, Sam merangkak diam diam menuju batu karang.
"Hati-hati!" bisik Frodo yang menyusul di belakangnya. "Jangan membuatnya kaget! Dia jauh lebih berbahaya daripada kelihatannya." Sosok hitam yang merayap itu sekarang sudah tiga perempat jalan turun, dan mungkin sekitar lima puluh kaki atau kurang di atas kaki batu karang. Sambil meringkuk diam bagai batu di dalam bayangan batu besar, kedua hobbit memperhatikannya. Rupanya Gollum sampai ke suatu tempat yang sulit dilewati, atau mencemaskan sesuatu. Mereka bisa mendengarnya mendengus, dan sesekali ada bunyi desis kasar napasnya yang terdengar seperti sumpah serapah. Ia mengangkat kepala, dan mereka merasa mendengarnya meludah. Lalu ia maju lagi. Kini mereka bisa mendengar suaranya berkeriut dan bersiul.
"Ahh, sss! Hati-hati, sayangku! Kalau terburu-buru, malah jadi buntu. Jangan mengambil risssiko, ya, sayangku? Jangan, Sayang gollum!" ia mengangkat kepalanya lagi, mengedip ke arah bulan, dan cepat memejamkan mata kembali. "Kita benci itu," desisnya. "Sssinar bergetar menjijikkan-sss-memata-matai kita, sayangku menyakitkan mata kita." Ia sudah semakin turun, bunyi desis itu semakin jelas dan tajam. "Di mmana dia, di mmana dia: sayangku, sayangku. Itu milik kita, dan kita menginginkannya. Pencuri, pencuri, pencuri kecil jorok. Di mana mereka dengan sssayangku yang berharga? Terkutuklah mereka! Kita benci mereka."
"Sepertinya dia tidak tahu kita berada di sini, bukan?" bisik Sam. "Dan apa yang dia maksud dengan sayangku yang berharga itu? Apakah
maksudnya …"
"Sst!" bisik Frodo. "Dia sudah dekat sekarang, cukup dekat untuk mendengar bisikan." Memang Gollum mendadak berhenti lagi, kepalanya yang besar berayun pada lehernya yang kurus, seolah sedang mendengarkan. Matanya yang pucat setengah terbuka. Sam menahan diri, meski jarinya berkedut. Matanya yang dipenuhi kemarahan dan rasa jijik terpaku pada sosok malang itu ketika ia bergerak lagi, masih berbisik dan mendesis pada dirinya sendiri.
Akhirnya ia tinggal selusin kaki di atas tanah, tepat di atas kepala kedua hobbit. Dari titik itu ada lereng terjal, karena batu karangnya agak cekung, dan bahkan Gollum juga tak bisa menemukan injakan untuk kakinya. Ketika sedang berupaya memutar badan, agar kakinya turun lebih dulu, mendadak ia jatuh dengan teriakan melengking. Sambil jatuh, ia melingkarkan kaki dan tangan ke tubuhnya, seperti labah-labah yang talinya sudah putus ketika hendak turun.
Sam keluar dari persembunyiannya, menyeberangi jarak antara dirinya dan kaki batu karang dengan beberapa lompatan. Sebelum Gollum bisa berdiri, ia sudah di atas makhluk itu. Tapi ternyata Gollum lebih hebat dari yang diperkirakannya, meski ditangkap dengan mendadak seperti itu, setelah terjatuh. Sebelum Sam bisa memegangnya dengan kuat, kaki dan lengan Gollum yang panjang sudah melingkar di tubuhnya, menjepit lengannya; cengkeraman itu lembut, tapi sangat kuat, memencetnya perlahan seperti tali-tali yang semakin erat; jari jari basah mencari lehernya, lalu gigi yang tajam menggigit pundaknya. Ia hanya bisa menghantamkan kepalanya yang bulat dan keras ke samping, ke wajah makhluk itu. Gollum mendesis dan meludah, tapi tidak melepaskan Sam.
Keadaan akan buruk sekali bagi Sam, seandainya ia sendirian. Tapi Frodo melompat dan menghunus Sting dari sarungnya. Dengan tangan kirinya ia menarik kepala Gollum pada rambutnya yang tipis dan lemas, meregangkan lehernya yang panjang, dan memaksa matanya yang pucat dan sengit menatap langit.
"Lepaskan! Gollum," katanya. "Ini Sting. Kau sudah pernah melihatnya. Lepaskan, atau kau akan merasakannya kali ini! Akan kutebas lehermu." Gollum runtuh dan menjadi lemas seperti tali basah. Sam bangkit berdiri, meraba pundaknya. Matanya membawa penuh kemarahan, tapi ia tak bisa membalas dendam: musuhnya yang malang berbaring merendahkan diri di atas bebatuan, sambil meratap.
"Jangan lukai kami! Jangan biarkan mereka melukai kita, sayangku! Mereka tidak akan melukai kita, bukan, hobbit kecil manis? Kita tidak bermaksud jelek, tapi mereka melompat ke atas kita seperti kucing ke atas tikus malang, begitu kan, sayangku? Dan kita begitu kesepian, gollum. Kita akan bersikap manis pada mereka, kalau mereka juga manis pada kita, bukan begitu, ya kan, ya kan?"
"Hmm, apa yang harus kita lakukan dengannya?" kata Sam. "Ikat saja, supaya dia tak bisa lagi mengejar kita dengan diam-diam."
"Tapi itu akan mematikan kita, mematikan kita," ratap Gollum. "Hobbit kecil kejam. Mengikat kita di daratan keras dingin dan meninggalkan kita, gollum, gollum." Isak tangis muncul dari tenggorokannya yang ber-gollum-gollum.
"Tidak," kata Frodo. "Kalau mau membunuhnya, kita harus langsung membunuhnya. Tapi kita tak bisa melakukan itu, tidak dalam keadaan seperti ini. Makhluk malang! Dia tidak melakukan kejahatan terhadap kita."
"Oh, memang tidak!" kata Sam sambil menggosok pundaknya. "Tapi tadi dia bermaksud begitu, dan masih berniat begitu, aku yakin.
Mencekik kita sementara kita tidur, itu rencananya "
"Mungkin juga," kata Frodo. "Tapi apa yang dia niatkan, itu masalah lain." ia diam sebentar, berpikir. Gollum berbaring diam, tapi berhenti meratap. Sam berdiri memandangnya dengan marah.
Frodo merasa mendengar suara-suara dari masa lalu; jauh, namun sangat jelas:
Sayang sekali Bilbo tidak menusuk makhluk busuk itu, ketika ada kesempatan! Kasihan? Perasaan Welas Asih-lah yang menahan tangannya.
Perasaan Welas Asih dan Pengampunan: untuk tidak memukul bila tak perlu. Aku tidak merasa kasihan sama sekali pada Gollum. Dia pantas mati. Pantas mati! Menurutku memang begitu. Banyak yang hidup sepantasnya mati. Dan beberapa yang mati sepantasnya tetap hidup. Apa kau bisa memberikan kehidupan pada mereka? Jadi, jangan terlalu bersemangat menebar kematian atas nama keadilan, karena mencemaskan keselamatanmu sendiri. Karena bahkan kaum bijak tidak selamanya tahu apa yang akan terjadi kelak.
"Baiklah," jawab Frodo dengan suara keras, sambil menurunkan pedangnya. "Tapi aku masih takut. Pokoknya aku tidak mau menyentuh makhluk itu. Sebab sekarang, setelah melihatnya, aku merasa kasihan padanya." Sam melongo melihat majikannya yang seperti sedang berbicara pada seseorang yang tidak terlihat. Gollum mengangkat kepalanya.
"Yaa, memang kita malang, ssayangku," ia merengek. "Sengsara sengsara! Hobbit tidak akan membunuh kita, hobbit maniss!"
"Tidak, kami tidak akan membunuhmu," kata Frodo. "Tapi kami juga tidak akan melepasmu. Kau penuh dengan kejahatan dan kenakalan, Gollum. Kau harus ikut kami, itu saja, tapi kami tetap mengawasimu. Dan kau harus membantu kami, kalau bisa. Satu perbuatan baik pantas dibalas dengan perbuatan baik juga."
"Yaa, ya, memang," kata Gollum sambil bangkit duduk. "Hobbit maniss! Kita ikut mereka. Mencarikan jalan aman dalam gelap untuk mereka, ya, akan kita lakukan. Dan ke mana mereka akan pergi di daratan dingin dan keras ini, kita ingin tahu, ya, kita ingin tahu." ia
menatap mereka, matanya yang pucat berkedip-kedip sesaat, memancarkan sorot redup yang menyiratkan kecerdikan dan semangat.
Sam merengut melihatnya, dan mengisap giginya; tapi ia mengerti ada yang aneh dalam suasana hati majikannya, dan masalah itu tak bisa diperdebatkan. Namun ia kaget mendengar jawaban Frodo.
Frodo menatap langsung ke dalam mata Gollum yang tersentak dan langsung memalingkan muka. "Kau sudah tahu, atau kau bisa menduga ke mana kami akan pergi, Smeagol," katanya dengan tenang dan keras. "Kami pergi ke Mordor, tentu. Dan kau tahu jalan ke sana, aku yakin."
"Aah! Sss!" kata Gollum, menutupi telinganya dengan tangan, seolah kejujuran seperti itu, dan keterbukaan menyebut nama itu, menyakitkan baginya. "Kita menduga, ya, kita sudah menduganya," bisiknya, "dan kita tak ingin mereka pergi, bukan begitu? Tidak, ssayangku, hobbit maniss, jangan. Abu, abu, dan debu, dan kehausan ada di sana; dan sumur, sumur, sumur, dan Orc, ribuan Orc. Hobbit hobbit maniss jangan pergi ke-sss-tempat seperti itu."
"Jadi, kau sudah pernah ke sana?" desak Frodo. "Dan kau merasa ditarik untuk kembali ke sana, bukan?"
"Yaa. yaa. Tidak!" teriak Gollum. "Satu kali, tidak sengaja, bukan, ssayangku? Ya, tanpa sengaja. Tapi kami tidak ingin kembali, tidak, tidak!" Lalu mendadak suara dan bahasanya berubah, dan ia terisak, berbicara tapi bukan pada mereka. "Lepaskan mereka, gollum! Kau menyakiti aku. Oh, tanganku yang malang, gollum! Aku, kita, aku tidak mau kembali. Aku tidak bisa menemukannya. Aku sudah letih. Aku, kita tidak bisa menemukannya, gollum, gollum, tidak, tidak ada di mana-mana. Mereka selalu bangun. Kurcaci, Manusia, Peri, Peri mengerikan dengan mata bersinar. Aku tidak bisa menemukannya. Aah!" ia bangkit berdiri dan mengepalkan tangannya yang panjang menjadi simpul tulang tanpa daging, mengayunkannya ke arah Timur. "Kami tidak mau!" teriaknya. "Bukan untukmu." Lalu ia roboh lagi.
"Gollum, gollum," ia mengerang dengan wajah menempel ke tanah. "Jangan pandangi kami! Pergi! Pergi tidur!"
"Dia tidak akan pergi atau tidur atas perintahmu, Smeagol," kata Frodo. "Kalau kau benar-benar ingin bebas dari dia, kau harus membantuku.
Dan itu berarti kau harus mencari jalan untuk kami menuju dia. Tapi kau tak perlu ikut selamanya sampai akhir, tak perlu sampai masuk gerbang negerinya." Gollum duduk lagi, dan menatap dari bawah kelopak matanya. "Dia ada di sana," ia berkotek. "Selalu di sana. Orc-Orc akan membawamu sepanjang jalan. Gampang menemukan Orc di sebelah timur Sungai. Jangan tanya Smeagol. Smeagol malang, malang sekali, dia sudah pernah pergi. Mereka mengambil Kesayangannya, dan dia sudah lenyap sekarang."
"Mungkin kita akan menemukannya lagi, kalau kau ikut kami," kata Frodo.
"Tidak, tidak, tidak pernah! Dia sudah kehilangan Kesayangannya," kata Gollum.
"Bangun!" kata Frodo.
Gollum berdiri dan mundur sampai ke batu karang.
"Nah!" kata Frodo. "Kau memilih berjalan siang atau malam? Kami lelah, tapi kalau kau memilih malam hari, kita akan berangkat malam ini."
"Cahaya besar menyakiti mata kami, begitu," ratap Gollum. "Jangan jalan dulu di bawah Wajah Putih, jangan dulu. Dia akan segera pergi ke balik bukit, yaa. Istirahat dulu sebentar, hobbit maniss!" "Kalau begitu, duduk," kata Frodo, "dan jangan bergerak!" Kedua hobbit duduk mengapitnya, dengan punggung bersandar pada tembok batu, mengistirahatkan kaki. Tak perlu pengaturan dengan katakata: mereka tahu mereka tak boleh tidur sekejap pun. Perlahan-lahan bulan berlalu. Bayang-bayang menyelimuti perbukitan, dan semuanya menjadi gelap di depan. Bintang-bintang semakin rapat dan terang di langit. Tak ada yang bergerak. Gollum duduk dengan kedua kaki ditekuk ke atas, lutut di bawah dagu, tangan datar dan kaki renggang di atas tanah, matanya terpejam; tapi ia tampak tegang, seolah sedang berpikir atau mendengarkan.
Frodo menatap Sam. Mata mereka bertemu, dan mereka saling memahami. Mereka duduk santai, menyandarkan kepala ke belakang, dan memejamkan mata, atau pura-pura memejamkan mata. Dengan segera bunyi napas mereka lembut terdengar. Tangan Gollum agak berkedut.
Hampir tidak kelihatan kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, mula-mula satu mata membuka, lalu mata satunya. Kedua hobbit tidak bergerak.
Mendadak, dengan kegesitan dan kecepatan mengejutkan, Gollum lari ke dalam kegelapan, langsung melompat seperti belalang atau kodok.
Tapi justru itu yang ditunggu-tunggu Frodo dan Sam. Sam sudah menerkamnya sebelum ia maju lebih dari dua langkah setelah loncatannya.
Frodo, yang menyusul, memegang kakinya dan merobohkannya.
"Mungkin tambangmu bisa berguna lagi, Sam," katanya.
Sam mengeluarkan tambangnya. "Dan ke mana kau akan pergi di negeri dingin dan keras ini, Mr. Gollum?" geramnya. "Kami bertanyatanya, ya, kami bertanya-tanya. Untuk mencari beberapa teman Orc-mu, kurasa. Kau makhluk curang jahat. Seharusnya tambang ini mengikat lehermu dengan sangat erat." Gollum berbaring diam, tidak mencoba tipuan lain. Ia tidak menjawab, tapi melemparkan pandangan jahat ke arah Sam.
"Kita butuh sesuatu untuk memegangnya," kata Frodo. "Kita ingin dia berjalan, jadi tak ada gunanya mengikat kakinya atau tangannya, sebab dua-duanya banyak dia gunakan. Ikat satu ujung tambang pada pergelangan kakinya, dan pegang ujung lainnya."
Frodo berdiri di dekat Gollum, sementara Sam mengikat simpulnya.
Hasilnya mengejutkan mereka berdua. Gollum mulai menjerit, bunyi tajam mengiris, sangat mengerikan. Ia menggeliat, mencoba mendekatkan mulut ke pergelangan kakinya, dan menggigiti tambang. Ia terus menjerit.
Akhirnya Frodo yakin ia benar-benar kesakitan; tapi pasti bukan karena ikatannya. Ia memeriksanya, dan menemukan simpul itu tidak terlalu erat, bahkan tak bisa dibilang erat. Sam merasa kasihan, meski tadi ia bicara keras pada Gollum. "Ada apa denganmu?" katanya. "Kalau kau mencoba lari, kau harus diikat; tapi kami tidak bermaksud menyakitimu."
"Sakit, sakit," desis Gollum."Tambang ini membekukan, menggigit Peri yang memilinnya, terkutuklah mereka! Hobbit jahat kejam! Karena itu kita mencoba lari, tentu saja, ssayangku. Kita sudah menduga mereka hobbit kejam. Mereka mengunjungi kaum Peri, Peri galak dengan mata bersinar. Lepaskan tambang ini! Ssakit!"
"Tidak, aku tidak akan melepaskannya," kata Frodo, "tidak, kecuali" ia berhenti untuk berpikir sejenak "kecuali kau membuat janji yang bisa kupercayai."
"Kita bersumpah akan melakukan apa yang dia inginkan, ya, ya," kata Gollum, masih menggeliat dan mencoba meraih pergelangan kakinya.
"Ini menyakitkan kami."
"Sumpah?" kata Frodo.
"Smeagol," kata Gollum dengan tiba-tiba dan jelas, membuka lebar-lebar matanya dan memandang Frodo dengan sinar aneh. "Smeagol akan bersumpah pada Kesayangannya." Frodo berdiri tegak, dan sekali lagi Sam kaget mendengar kata-katanya dan suaranya yang keras. "Pada Kesayanganmu? Berani-beraninya kau!" katanya. "Pikir!"
Satu Cincin untuk menguasai mereka semua dan mengikat mereka dalam Kegelapan.
"Apakah kau mau mengikat janjimu pada benda itu, Smeagol? Cincin itu akan mengikatmu. Tapi dia lebih curang daripadamu. Mungkin dia akan memutar-balikkan kata-katamu. Waspadalah!" Gollum gemetar ketakutan. "Pada Kesayangan-ku, pada Kesayangan-ku!" ulangnya.
"Dan apa yang akan kau ikrarkan?" tanya Frodo.
"Aku akan bersikap baik sekali," kata Gollum. Lalu sambil merangkak ke kaki Frodo ia merendahkan diri di depannya, dan berbisik parau; ia menggigil, seolah kata-kata itu menggoyang tulang-belulangnya dengan kengerian. "Smeagol bersumpah tidak akan pernah membiarkan Dia memilikinya. Tidak akan pernah! Smeagol akan menyelamatkannya. Tapi dia harus bersumpah pada Kesayangan-nya itu."
"Tidak! Tidak padanya," kata Frodo, menatap Gollum dengan iba. "Kau hanya ingin melihat dan menyentuhnya, kalau bisa, meski kau tahu itu akan membuatmu gila. Jangan bersumpah pada Kesayanganmu, tapi bersumpahlah demi benda itu, kalau mau. Karena kau tahu di mana dia. Ya, kau tahu, Smeagol. Dia ada di depanmu." Untuk beberapa saat, Sam merasa seolah majikannya tumbuh membesar, sedangkan Gollum mengkerut: Frodo menjadi sebuah sosok tinggi kokoh, seorang penguasa hebat yang menyembunyikan cahayanya dalam jubah kelabu, dan di kakinya seekor anjing kecil merengek rengek.
Meski begitu, dalam segi tertentu keduanya mempunyai persamaan dan tidak asing: mereka bisa saling memahami pikiran masing masing.
Gollum bangkit dan mulai mencakar-cakar Frodo, merendah-rendah di lutut Frodo.
"Turun! Turun!" kata Frodo. "Sekarang ucapkan janjimu!"
"Kita berjanji, ya, aku berjanji," kata Gollum. "Aku akan melayani penguasa Kesayangan-ku. Majikan baik, Smeagol baik, gollum, gollum!" Mendadak ia mulai menangis dan menggigit pergelangan kakinya lagi.
"Lepaskan tambang itu, Sam!" kata Frodo.
Dengan enggan Sam mematuhinya. Segera Gollum berdiri dan mulai berjingkrak jingkrak seperti anjing kampung yang ditepuk-tepuk oleh majikannya sehabis dicambuk. Sejak saat itu terjadi perubahan pada dirinya, dan bertahan hingga beberapa lama. Ia tidak terlalu sering lagi mendesis dan meratap, dan ia berbicara langsung pada pendamping-pendampingnya, bukan pada dirinya sendiri, Ia akan takut dan tersentak kalau mereka melangkah di dekatnya atau membuat gerakan tiba-tiba, dan ia menghindari sentuhan jubah Peri mereka; tapi ia ramah, bahkan sangat ingin menyenangkan, sampai terlihat mengibakan. Ia akan tertawa terbahak-bahak dan melonjak-lonjak kalau ada kelakar, atau bahkan bila Frodo berbicara ramah kepadanya, dan menangis kalau Frodo menegumya. Sam tidak banyak bicara dengannya. Ia lebih curiga daripada sebelumnya, dan tidak begitu menyukai Gollum yang baru ini, dibandingkan yang lama.
"Well, Gollum, atau apa pun nama panggilanmu," kata Sam, "ayo! Bulan sudah pergi, dan malam semakin larut. Sebaiknya kita berangkat."
"Ya, ya," Gollum setuju, sambil melompat-lompat ke sana kemari. "Mari kita pergi! Hanya ada satu jalan melintasi ujung Utara dan ujung Selatan. Aku menemukannya. Orc tidak menggunakannya, Orc tidak tahu tentang ini. Orc tidak melintasi Rawa-Rawa, mereka berjalan memutar bermil-mil. Untung sekali kau lewat jalan ini. Sangat beruntung kau menemukan Smeagol, ya. Ikuti Smeagol!" Ia maju beberapa langkah, dan menoleh ke belakang dengan sikap bertanya, seperti seekor anjing mengajak berjalan-jalan. "Tunggu dulu,
Gollum!" teriak Sam. "Jangan terlalu jauh di depan! Aku akan memukul ekormu, dan tambangku sudah siap."
"Tidak, tidak!" kata Gollum. "Smeagol sudah berjanji." Di tengah malam larut, di bawah bintang-bintang terang dan tajam, mereka berangkat. Gollum menuntun mereka kembali ke arah utara untuk beberapa saat, melalui jalan tempat mereka mula-mula datang; lalu ia membelok ke kanan, menjauhi pinggiran terjal Emyn Mull, menuruni lereng-lereng berbatu yang hancur, menuju tanah rawa luas di bawah. Mereka segera menghilang lamat-lamat ke dalam kegelapan. Di tanah gersang yang luas di depan gerbang Mordor, keheningan yang hitam menggantung berat.
BERSAMBUNG KE BAB 2/10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates