Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 3: KEMBALINYA SANG RAJA BUKU 5 BAB 1/10 MINAS TIRITH

<<< SEBELUMNYA (SINOPSIS)
Pippin mengintip keluar dari balik jubah Gandalf. Hatinya bertanya-tanya, ini mimpi atau bukan. Ia serasa masih berada dalam mimpi yang meluncur cepat, yang telah menyelubunginya begitu lama sejak perjalanan berkuda ini dimulai. Dunia sekitar yang diselimuti kegelapan bagai mendesir lewat, angin menderu keras di telinganya. Ia tak bisa melihat apa pun kecuali bintang-bintang yang bergulir. Di sebelah kanannya bayangan-bayangan besar menutupi langit, dan pegunungan Selatan berderap melewatinya. Sambil terkantuk-kantuk dicobanya merangkai kembali berbagai peristiwa dalam perjalanan mereka, tapi ingatannya masih berkabut.
Mula-mula mereka berkuda dengan kecepatan sangat tinggi, tanpa berhenti, lalu saat fajar ia melihat secercah sinar keemasan redup. Mereka telah tiba di kota sunyi dan rumah besar kosong di atas bukit. Baru saja mereka sampai di sana, bayangan bersayap itu terbang kembali melewati mereka; orang-orang lemas ketakutan. Tapi Gandalf menenangkannya dengan kata-kata lembut, dan Ia pun tertidur di pojok, letih tapi tak bisa tidur nyaman; samar-samar ia ingat banyak orang datang dan pergi, ada suara orang-orang berbicara, dan Gandalf memberi perintah. Lalu melaju naik kuda lagi, melaju dalam kegelapan malam. Sekarang malam kedua, eh bukan, malam ketiga sejak ia memandang ke dalam Batu Penglihatan itu. Ia terbangun seketika, saat teringat kejadian mengerikan itu, dan menggigil, sementara deru angin dipenuhi suara-suara yang mengusik.
Seberkas cahaya merebak di langit, kobaran api kuning di balik tembok-tembok gelap. Pippin gemetar ketakutan, sejenak ia sangat cemas, bertanya-tanya ke negeri mengerikan mana Gandalf membawanya. Ia menggosok-gosok mata, lalu melihat bulan sedang muncul di atas bayang-bayang di timur, dan kini hampir purnama. Jadi, malam belum begitu larut dan perjalanan masih panjang. Pippin beringsut dan berkata.
"Di mana kita, Gandalf?" tanyanya.
"Di wilayah Gondor," jawab penyihir itu.
"Kita sedang melewati daerah Anorien." Beberapa saat sunyi. Lalu, "Apa itu?" teriak Pippin tiba-tiba, sambil mencengkeram jubah Gandalf.
"Lihat! Api, api merah! Apakah ada naga di negeri ini? Lihat, ada lagi!" Sebagai jawaban, Gandalf berseru keras-keras pada kudanya.
"Terus, Shadowfax! Kita harus cepat. Waktu kita singkat. Lihat! Api mercusuar Gondor sudah dinyalakan untuk meminta bantuan. Perang sudah berkobar. Lihat, ada api di atas Amon diri, dan di atas Eilenach; dan yang lainnya ke arah barat: Nardol, Erelas, Min-Rimmon, Calenhad, dan Halifirien di perbatasan-perbatasan Rohan." Tapi Shadowfax malah memperlambat derapnya menjadi langkah berjalan biasa, lalu mengangkat kepalanya dan meringkik. Dari dalam kegelapan datang jawaban: ringkikan kuda-kuda lain; tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda; tiga penunggang menyusul melewati mereka, bagai hantu-hantu melayang di bawah sinar bulan, lenyap ke arah Barat. Shadowfax kembali tenang dan melompat berlari, terselubung malam, bagai angin yang menderu.
Pippin mulai mengantuk lagi dan tidak begitu memperhatikan Gandalf yang menceritakan berbagai adat kebiasaan Gondor, tentang Penguasa Kota yang membangun mercusuar di puncak bukit-bukit paling luar sepanjang kedua perbatasan padang luas itu, dan menempatkan pos penjagaan pada titik-titik tersebut, di mana selalu ada kuda segar yang siap membawa utusan-utusan ke Rohan di Utara, atau ke Belfalas di Selatan.
"Sudah lama sekali mercu-mercu suar di Utara tidak dinyalakan," kata Gandalf, "dan di zaman Gondor purba, hal itu tidak diperlukan, karena mereka memiliki Tujuh Batu Penglihatan." Pippin bergerak gelisah.
"Tidurlah lagi, dan jangan takut!" kata Gandalf "Sebab kau tidak pergi ke Mordor seperti Frodo, tapi ke Minas Tirith. Di sana kau akan aman, lebih aman dibanding tempat lain di dunia saat ini. Kalau Gondor jatuh, atau Cincin diambil, maka Shire bukan tempat perlindungan yang aman."
"Kau tidak menghiburku," kata Pippin, tapi rasa kantuk menyerangnya lagi. Yang terakhir diingatnya sebelum tertidur dan bermimpi adalah kilasan puncak-puncak putih yang menjulang tinggi, berkilauan seperti pulau-pulau mengambang di atas awan saat mereka menangkap cahaya bulan yang sedang bergerak ke barat. Ia bertanya-tanya, di mana Frodo sekarang; apakah sudah sampai di Mordor, atau sudah mati; ia tidak tahu bahwa nun jauh di sana, Frodo sedang menatap bulan yang sama, yang terbenam di luar Gondor sebelum fajar menyingsing.
Pippin terbangun mendengar suara-suara orang. Satu hari lagi dalam persembunyian, dan satu malam perjalanan telah berlalu. Cahaya langit tampak temaram: fajar dingin sudah menyongsong, kabut kelabu menyelubungi. Shadowfax berdiri, tubuhnya penuh keringat yang mengepulkan uap, namun Ia tetap mengangkat lehernya dengan tegap dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Banyak pria jangkung berjubah tebal berdiri di sampingnya; di belakang mereka, dalam kabut, berdiri sebuah tembok batu. Tampaknya sebagian sudah menjadi puing, tapi sebelum malam berakhir sudah terdengar bunyi orang-orang bekerja terburu-buru: dentam palu, denting kulir, dan derit roda.
Obor dan nyala api bersinar di sana-sini dalam kabut. Gandalf sedang berbicara dengan orang-orang yang merintangi jalannya. Pippin mendengarkan, dan menyadari dirinyalah yang sedang dibahas.
"Yea, memang kami kenal kau, Mithrandir," kata pemimpin orang-orang itu.
"Kau tahu kata sandi untuk Tujuh Gerbang dan kau bebas masuk. Tapi kami tidak kenal pendampingmu. Siapa dia? Kurcaci dari pegunungan di Utara? Kami tak ingin ada orang asing di negeri kami pada saat ini, kecuali mereka pejuang gagah berani yang bisa kami harapkan bantuan dan keteguhan hatinya."
"Aku yang akan menjaminnya di depan takhta Denethor," kata Gandalf.
"Dan mengenai keberanian … keberanian tak bisa dinilai dari ukuran badan. Dia sudah melewati lebih banyak pertempuran dan bahaya daripadamu, Ingold, meski kau dua kali lebih jangkung daripadanya; dia datang setelah penyerbuan ke Isengard, yang akan kami kabarkan pada kalian, dan dia sudah sangat letih; kalau tidak, pasti aku akan membangunkannya. Namanya Peregrin, orang yang sangat berani."
"Orang?" kata Ingold ragu, lalu yang lain tertawa.
"Orang!" teriak Pippin, terbangun seketika.
"Orang! Sama sekali bukan! Aku ini hobbit. Aku bukan orang dan aku tidak pemberani, kecuali mungkin sesekali, bila diperlukan. Jangan biarkan Gandalf menipu kalian."
"Banyak orang yang sudah melakukan perbuatan-perbuatan besar juga tidak membual," kata Ingold.
"Tapi apa sebenarnya hobbit?"
"Hobbit adalah Halfling," jawab Gandalf.
"Bukan, bukan Halfling yang satu itu," tambahnya ketika melihat keheranan pada wajah orangorang tersebut.
"Bukan dia, tapi salah seorang dari kaumnya."
"Ya, dan yang sudah mengembara bersamanya," kata Pippin.
"Boromir dari Kota kalian ada bersama kami saat itu. Dia menyelamatkan aku di tengah salju Utara, dan tewas terbunuh ketika membelaku dari musuh yang banyak jumlahnya."
"Damai!" kata Gandalf "Kabar duka itu sebenarnya harus disampaikan pada ayahnya lebih dulu."
"Tapi kami sudah menduga," kata Ingold, "sebab akhir-akhir ini banyak pertanda aneh. Cepatlah masuk sekarang! Penguasa Minas Tirith akan senang berjumpa seseorang yang membawa berita terakhir tentang putranya, entah dia manusia maupun …"
"Hobbit," kata Pippin.
"Hanya sedikit yang bisa kuberikan pada penguasamu, tapi apa yang bisa kulakukan, akan kulakukan, sebagai penghormatanku terhadap Boromir yang gagah berani."
"Selamat jalan!" kata Ingold; para pria itu memberi jalan pada Shadowfax, dan kuda itu masuk ke suatu gerbang sempit di tembok.
"Semoga kau bisa memberi saran bagus pada Denethor yang sedang membutuhkannya, dan pada kami semua, Mithrandir!" seru Ingold.
"Tapi konon kau selalu datang membawa kabar duka dan bahaya, seperti sudah kebiasaanmu."
"Aku jarang datang, kecuali bila pertolonganku dibutuhkan," jawab Gandalf.
"Dan tentang saran, padamu kukatakan bahwa kau agak terlambat memperbaiki tembok Pelennor. Hanya dengan mengandalkan keberanian kau bisa menghadapi badai yang bakal datang itu, dan harapan yang aku bawa. Sebab aku tidak selalu membawa kabar buruk. Tapi tinggalkan kulir kalian dan asahlah pedang kalian!"
"Pekerjaan ini akan selesai sebelum sore nanti," kata Ingold.
"Ini bagian terakhir tembok yang diperbaiki untuk pertahanan: bagian yang paling kecil kemungkinannya diserang, karena menghadap ke arah tempat sahabat-sahabat kami dari Rohan. Sudahkah kau punya kabar tentang mereka? Akankah mereka memenuhi panggilan kami, menurutmu?"
"Ya, mereka akan datang. Tapi mereka sudah terlibat banyak pertempuran di belakang kalian. Jalan ini dan semua jalan lain tidak lagi aman sekarang. Waspadalah! Kalau bukan karena Gandalf si Pembawa Kabar Buruk, kalian mungkin akan melihat pasukan musuh datang dari wilayah Anorien, bukan para Penunggang Kuda Rohan. Dan itu masih mungkin terjadi. Selamat berjaga, jangan tertidur!"
Sekarang Gandalf melintas masuk ke daerah luas di belakang Rammas Echor. Begitulah sebutan bangsa Gondor untuk tembok benteng yang sudah mereka bangun dengan kerja keras, setelah Ithilien jatuh ke dalam bayang-bayang Musuh. Sejauh sepuluh league lebih tembok itu menjulur dari pegunungan dan meliuk mendekatinya lagi, dengan demikian mengurung Padang-Padang Pelennor: tanah indah dan subur di lereng dan teras-teras yang menurun ke kedalaman Sungai Anduin. Di timur laut, pada titik terjauh Gerbang Agung Kota, tembok itu berjarak empat league; bertengger di atas tebing yang tampak kelam, gerbang itu menghadap ke arah daratan-daratan panjang di sebelah sungai; mereka membuatnya tinggi dan kuat; karena pada titik itu, di atas sebuah jalan layang berdinding, jalan itu masuk dari arungan-arungan dan jembatan-jembatan Osgiliath, melewati sebuah gerbang yang dijaga, yang berdiri di antara menara-menara yang sering diserang.
Bagian tembok terdekat hanya berjarak sekitar satu league dari Kota, letaknya di sebelah tenggara. Di sana Anduin yang mengalir dalam lengkungan besar mengitari bukit-bukit Emyn Amen di Ithilien Selatan, membelok tajam ke barat, dan tembok luar menjulang di atas tebingnya; di bawahnya terdapat dermaga dan pelabuhan Hariond untuk kapal-kapal yang datang ke hulu sungai dari selatan.
Tanah pemukiman itu subur sekali, digarap secara Was dan banyak kebun buah-buahan, juga banyak peternakan dengan gudang pengering buah hop dan penyimpan daun; ada ceruk di bukit tempat beternak domba, ada kandang sapi, dan sungai-sungai kecil mengalir melintasi alam hijau, dari dataran tinggi turun ke Anduin. Meski begitu, tidak banyak peternak dan petani yang bermukim di sana. Sebagian besar rakyat Gondor tinggal di dalam ketujuh lingkaran Kota, atau di lembah-lembah tinggi pegunungan di perbatasan di Lossarnach, atau lebih jauh ke selatan di Lebennin yang indah dengan kelima sungainya yang mengalir deras. Di antara pegunungan dan laut bermukim penduduk tangguh yang dianggap bangsa Gondor juga, meski mereka sudah berdarah campuran; di antara mereka terdapat orang-orang hitam dan pendek yang nenek moyangnya berasal dari bangsa terlupakan, yang berdiam dalam bayang-bayang perbukitan di masa Tahun-Tahun Kegelapan sebelum kedatangan para raja. Tapi di Belfalas, Pageran Imrahil tinggal di kastilnya, Dol Amroth, di dekat laut, dan Ia berdarah bangsawan, begitu pula rakyatnya, manusia-manusia jangkung yang gagah dan bermata kelabu laut.
Setelah Gandalf berkuda beberapa lama, cahaya pagi mulai muncul di langit. Pippin bangkit duduk, dan memandang ke atas. Di sebelah kirinya ada lautan kabut, menjulang menjadi bayangan pudar di Timur; tapi di sebelah kanannya pegunungan tinggi menjulang, menjulurkan kepala, membentang dari Barat sampai ke ujung yang terjal dan berakhir dengan mendadak, seolah-olah ketika daratan diciptakan, Sungai mendobrak suatu rintangan besar, sambil memahat sebuah lembah luas yang di masa mendatang akan menjadi negeri penuh pertempuran dan pertikaian. Dan di ujung Pegunungan Putih Ered Nimrais, Pippin melihat sosok gelap Gunung Mindolluin, bayangan ungu gelap lembahlembahnya, dan wajahnya yang memutih menjulang tinggi di pagi hari. Semuanya persis seperti telah dikatakan Gandalf. Dan di atas lututnya yang menjorok keluar terletak Kota Benteng, dengan tujuh dinding batu yang sangat kuat dan kuno, hingga seolah-olah bukan dibangun, melainkan dipahat dari tulang-belulang bumi oleh para raksasa.
Di bawah tatapan kagum Pippin, dinding-dinding itu berganti warna dari kelabu menjadi putih, agak memerah dalam cahaya fajar; tiba-tiba matahari keluar dari atas bayangan timur dan memancarkan berkas cahaya yang menerpa wajah Kota. Lalu Pippin berteriak keras, karena Menara Ecthelion, yang berdiri tinggi di sebelah dalam dinding teratas, bersinar di depan langit, berkilauan bak paku mutiara dan perak, tinggi dan indah, puncaknya bersinar seakan-akan terbuat dari kristal; panji-panji putih terlihat berkibar di atas dinding-dinding benteng, tertiup angin pagi, dan di kejauhan Ia mendengar bunyi nyaring yang jernih, seperti bunyi terompet dari perak.
Demikianlah saat matahari baru terbit, Gandalf dan Peregrin melaju ke Gerbang Agung Orang-Orang Gondor. Pintu besinya dibukakan untuk mereka.
"Mithrandir! Mithrandir!" teriak orang-orang.
"Sekarang kami yakin bahwa badai sudah dekat!"
"Memang sudah di atas kalian," kata Gandalf.
"Aku terbang menunggang sayapnya. Biarkan aku lewat! Aku harus menghadap penguasa kalian, Yang Mulia Denethor, selagi kekuasaan masih di tangannya. Apa pun yang akan terjadi, akhir dari Gondor yang kalian kenal selama ini sudah dekat. Biarkan aku lewat!" Maka orang-orang pun memberi jalan, tidak lagi bertanya-tanya, meski mereka memandang heran pada hobbit yang duduk di depannya dan kuda yang ditungganginya. Penduduk Kota jarang menggunakan kuda dan jarang kelihatan kuda di jalan-jalan kota, kecuali kuda-kuda yang ditunggangi utusan-utusan penguasa mereka. Lalu mereka berkata, "Bukankah itu salah satu kuda hebat milik Raja Rohan? Mungkin bangsa Rohirrim akan segera datang untuk memperkuat pertahanan Kita." Dan Shadowfax pun melangkah gagah menapaki jalan panjang berkelokkelok.
Minas Tirith dibangun tujuh tingkat, masing-masing dipahat ke dalam bukit, di sekeliling masing-masing tingkat didirikan sebuah tembok, dan di setiap tembok ada sebuah gerbang. Tapi gerbang-gerbang itu tidak berada dalam satu garis lurus: Gerbang Agung di Tembok Kota terletak di sebelah timur jalan keliling, tapi tingkat berikutnya menghadap setengah ke selatan, dan yang ketiga setengah ke utara, begitulah seterusnya arah hadapan itu dibolak-balik sampai ke yang paling atas; sehingga jalan berlantai batu keras yang menanjak menuju Benteng itu harus berkelok ke satu arah lalu ke arah lainnya, melintasi wajah perbukitan. Dan setiap kali jalan itu lewat tempat yang segaris dengan Gerbang Agung, ada sebuah terowongan lengkung, menembus batu karang besar yang menjorok keluar, membagi seluruh lingkaran Kota menjadi dua, kecuali yang pertama. Sebab di sana berdiri sebuah kubu baluarti dari batu, menjulang tinggi di bagian belakang pelataran besar di balik Gerbang, ujungnya tajam bagai lunas kapal menghadap ke timur. Kubu ini sebagian dibentuk secara alam oleh perbukitan, sebagian lagi merupakan kriya hebat dari zaman purba. Begitu tinggi kubu ini, hingga mencapai lingkaran paling atas, dan di sana, di puncaknya, terdapat dinding benteng; dengan begitu, orang-orang di Benteng bisa seperti para pelaut dalam kapal sebesar gunung, memandang dari puncaknya ke bawah, sampai ke Gerbang yang terletak 210 meter di bawahnya. Jalan masuk ke Benteng juga menghadap ke timur, dan dipahat dari inti batu karang; sebuah lereng terjal yang diterangi lampu menanjak naik sampai atas, ke gerbang ketujuh. Barulah orang bisa mencapai Takhta Agung, dan Wahana Air Mancur di depan kaki Menara Putih: tinggi dan indah, lima puluh fathom dari dasar sampai ke puncaknya, di mana panji-panji para Pejabat Istana berkibar 300 meter di atas padang datar.
Sungguh sebuah benteng yang kuat, dan tak mungkin ditaklukkan pasukan musuh, kalau di dalam masih ada orang-orang bersenjata; kecuali bila ada musuh yang bisa mendekat dari belakang dan memanjat menyusuri bagian bawah Mindolluin, dengan demikian bisa sampai di tingkap sempit yang menghubungkan Bukit Penjagaan ke pegunungan. Tapi bahu tingkap itu pun, yang menjulang sampai ke puncak tembok kelima, dihalangi dengan kubu-kubu besar sampai ke tebing curam yang menonjol keluar di atas ujung sebelah barat; dan di tempat itu berdiri rumah-rumah dan kuburan berkubah raja-raja dan bangsawan penguasa zaman dulu, yang sudah membisu selamanya di antara pegunungan dan menara.
Pippin memandang kota batu yang besar itu dengan penuh kekaguman. Kota itu jauh lebih besar dan menakjubkan daripada apa pun yang pernah diimpikannya; lebih besar dan lebih kuat daripada Isengard, dan jauh lebih indah. Namun sesungguhnya kota itu kian lama kian rapuh; dan kini sudah kehilangan separuh penduduknya yang seharusnya bisa bermukim nyaman di sana. Di setiap jalan mereka melewati rumah besar atau pelataran, dengan tulisan indah berbentuk aneh dan kuno di atas pintu dan gerbang lengkung: menurut dugaan Pippin, tulisan itu adalah nama-nama orang-orang besar dan keluarga-keluarga besar yang pernah tinggal di sana; namun kini yang tersisa hanya kesunyian membisu, tak ada langkah kaki di jalan lebar berubin batu itu, tidak terdengar suara apa pun di serambi-serambinya, juga tidak ada wajah-wajah yang melongok keluar dari pintu atau jendela.
Akhirnya mereka keluar dari kegelapan dan tiba di gerbang ketujuh. Matahari panas yang bersinar di atas sungai, sementara Frodo berjalan di padang-padang Ithilien, di sini menyinari dinding-dinding mulus dan tiang-tiang yang berdiri kokoh, serta lengkungan besar dengan dasar yang dipahat menyerupai kepala raja bermahkota. Gandalf turun dari kudanya, sebab tak ada kuda yang diizinkan masuk ke dalam Benteng.
Shadowfax membiarkan dirinya dituntun pergi setelah diberi bisikan halus oleh majikannya.
Pasukan Pengawal di gerbang berpakaian jubah hitam, helm mereka berbentuk aneh, berpuncak tinggi, dengan pelindung pipi yang panjang dan melekat ketat pada wajah mereka; di atas pelindung pipi terdapat sayap putih burung laut; tapi helm-helm itu berkilauan seperti perak, karena memang dibuat dari tempaan mithril, logam pusaka peninggalan zaman kuno yang agung. Pada rompi-rompi hitam mereka terlihat sulaman pohon putih yang mekar berkembang seperti salju, di bawah sebuah mahkota perak dan bintang-bintang bersegi banyak. Itulah seragam para pewaris Elendil. Tidak ada lagi yang memakainya di seluruh Gondor, kecuali para Pengawal Benteng di depan Istana Air Mancur, di mana Pohon Putih pernah tumbuh.
Tampaknya kabar kedatangan mereka sudah lebih dulu diketahui; mereka langsung dipersilakan masuk, diam, tanpa pertanyaan. Dengan cepat Gandalf melangkah melintasi pelataran berubin. Sebuah air mancur indah menari-nari di sana, di bawah sinar matahari pagi, dikelilingi sebidang tanah berumput hijau cerah; namun di tengah-tengah, terkulai di atas kolam, berdiri sebatang pohon mati, butir-butir air mengalir perlahan dengan sedih pada cabang dan ranting rantingnya yang gundul dan sudah patah-patah, akhirnya menetes kembali ke air yang jernih.
Pippin meliriknya sepintas ketika ia bergegas di belakang Gandalf. Kelihatan menyedihkan, pikirnya, dan Ia heran mengapa pohon mati itu dibiarkan tetap di sana, sementara semua yang lain dipelihara dengan baik.
Tujuh bintang dan tujuh batu dan satu pohon putih.
Kata-kata yang dibisikkan Gandalf kembali ke dalam ingatan Pippin. Tahu-tahu Ia sudah berdiri di depan pintu-pintu balairung besar di bawah menara kemilau itu; mengikuti Gandalf, ia melewati para pengawal pintu yang diam dan jangkung, masuk ke dalam bayang-bayang sejuk rumah batu itu.
Mereka menapaki jalan berubin batu, panjang dan kosong, dan sementara itu Gandalf berbicara perlahan pada Pippin.
"Berhati-hatilah dengan kata-katamu, Master Peregrin! Kau tidak bisa berceloteh sesuka hati di sini. Theoden pria tua yang ramah. Tapi Denethor sama sekali berbeda; dia angkuh dan halus, berasal dari keturunan yang jauh lebih agung dan lebih kuat, meski dia tidak disebut raja. Dia akan lebih banyak berbicara denganmu, dan banyak menanyaimu, sebab kaulah yang bisa menceritakan tentang putranya, Boromir. Dia sangat menyayangi Boromir: mungkin malah terlalu sayang; terlebih karena mereka berbeda watak. Dia akan mengira lebih mudah mengorek berita yang ingin diketahuinya darimu daripada dari aku. Jangan ceritakan lebih dari yang perlu, dan jangan bicarakan masalah tugas Frodo. Aku yang akan mengemukakan itu, bila sudah saatnya nanti. Juga jangan katakan apa-apa tentang Aragorn, kecuali bila terpaksa."
"Mengapa tidak? Apa yang salah dengan Strider?" bisik Pippin.
"Dia juga berniat datang ke sini, bukan? Bagaimanapun, tak lama lagi dia pasti datang."
"Mungkin, mungkin," kata Gandalf.
"Meski kalau dia datang, kemungkinan besar dengan cara yang tidak terduga oleh siapa pun, tidak juga oleh Denethor. Sebaiknya memang begitu. Setidaknya Aragorn datang tanpa pemberitahuan dari kita." Gandalf berhenti di depan sebuah pintu tinggi dari logam yang dipoles.
"Ketahuilah, Master Pippin, sudah tak ada waktu lagi untuk mengajarimu sejarah Gondor; kalau saja kau belajar sedikit tentang sejarahnya, ketika kau masih kanak-kanak. Tapi kau suka bolos dari pelajaran, untuk bermain-main di hutan di Shire. Turuti saja kataku! Tidak bijak membawa kabar kematian putra mahkota pada seorang penguasa agung, sambil membahas kedatangan seseorang yang akan menuntut kedudukannya sebagai raja bila dia datang. Cukup jelaskah itu?"
"Kedudukan sebagai raja?" kata Pippin kaget.
"Ya," kata Gandalf.
"Jika selama ini kau berjalan dengan telinga tertutup dan pikiran tertidur, sekarang bangunlah!" Lalu Gandalf mengetuk pintu.
Pintu terbuka, tapi tidak tampak orang yang membukanya. Pippin melihat ke dalam balairung besar. Cahaya masuk dari jendela-jendela di lorong-lorong lebar di kedua sisi, di balik barisan tiang tinggi yang menopang atapnya. Tiang-tiang besar dari batu pualam hitam, menjulang sampai ke mahkota atap yang dipahat berbentuk hewan-hewan aneh serta sulur-sulur dedaunan; jauh di atasnya, dalam keremangan kubah yang besar, tampak saputan emas pudar, disisipi pola hiasan sulur yang mengalir beraneka warna. Tak ada hiasan gantung atau jaring jaring bertingkat, juga tak ada benda-benda tenunan atau dari kayu di balairung panjang bersuasana khidmat itu; namun di antara tiang-tiang berjajar patung-patung batu tinggi yang dingin membisu.
Tiba-tiba Pippin teringat pahatan batu karang di Argonath, dan dengan takjub Ia memandang lorong penuh patung raja-raja yang sudah lama mati itu. Di ujung ruangan, di atas sebuah panggung bertangga, ada sebuah takhta tinggi di bawah langit-langit pualam yang dibentuk menyerupai mahkota; di belakangnya ada pahatan gambar pohon yang sedang berbunga, dihiasi batu permata. Tapi takhta itu kosong. Di bawah panggung, di atas anak tangga paling bawah yang lebar dan panjang, ada sebuah kursi batu, hitam dan tanpa hiasan, dan di kursi itu duduk seorang laki-laki tua yang menatap pangkuannya. Tangannya menggenggam tongkat putih dengan tombol emas. Ia tidak menengadah.
Dengan khidmat Gandalf dan Pippin melangkah mendekatinya, sampai mereka berdiri tiga langkah dari tumpuan kakinya. Lalu Gandalf berbicara.
"Hidup, Penguasa dan Pejabat Agung Istana Minas Tirith, Denethor putra Ecthelion! Aku datang membawa amanat dan berita dalam masa kegelapan ini." Lalu laki-laki tua itu mengangkat kepala. Pippin melihat wajahnya yang kaku, dengan raut gagah dan kulit bagai gading. Hidungnya panjang dan agak melengkung di antara sepasang mata besar dan gelap; wajah itu justru mengingatkan Pippin pada Aragorn, bukan Boromir.
"Masamasa ini memang sungguh gelap," katanya, "dan pada saat-saat seperti ini biasanya kau datang, Mithrandir. Tapi meski semua pertanda meramalkan bahwa malapetaka Gondor sudah dekat, kegelapan itu tidaklah seberat kegelapan hatiku sendiri. Kabarnya kau membawa orang yang melihat kematian putraku. Diakah itu?"
"Memang betul," kata Gandalf.
"Salah satu dari dua sekawan. Yang satunya berada bersama Theoden dari Rohan, dan mungkin akan datang ke sini juga. Mereka Halfling, seperti bisa kaulihat, tapi bukan dia yang dimaksud oleh pertanda-pertanda itu."
"Tapi dia tetap seorang Halfling," kata Denethor muram, "dan aku tidak begitu suka sebutan itu, sebab kata-kata terkutuk itulah yang telah membingungkan dewan penasihat kami dan membuat putraku pergi untuk tugas berbahaya yang membawanya pada kematian. Boromir-ku! Kini kami sangat membutuhkanmu. Seharusnya Faramir yang pergi waktu itu."
"Dia memang berniat begitu," kata Gandalf.
"Namun jangan sampai kau bersikap tidak adil dalam kesedihanmu! Boromir telah mengajukan diri dan tak ingin orang lain yang melakukan tugas itu. Dia memang hebat, dan selalu berupaya meraih apa yang diinginkannya. Aku sudah mengembara jauh bersamanya dan kenal wataknya. Tapi kau membicarakan kematiannya. Apa kau sudah mendengar kabar itu sebelum kami datang?"
"Aku menerima ini," kata Denethor, dan sambil meletakkan tongkatnya ia mengangkat dari pangkuannya benda yang selama ini Ia amati.
Dengan kedua tangannya Ia mengangkat masing-masing separuh bagian dari sebuah tanduk besar yang patah di tengah tanduk sapi liar berlapis perak.
"Itu terompet yang selalu dipakai Boromir!" teriak Pippin.
"Memang," kata Denethor.
"Aku juga pernah memakainya, begitu pula setiap putra tertua keluarga kami sebelumnya, sampai jauh di masa sebelum runtuhnya kekuasaan para raja, sejak Vorondil ayah Mardil berburu ternak Araw di padang-padang Rhun nun jauh di sana. Terakhir kali kudengar terompet ini berbunyi sayup-sayup di padang utara tiga belas hari yang lalu, dan Sungai membawanya padaku, sudah patah tidak akan berbunyi lagi." Ia diam sebentar, suasana sunyi mencekam. Tiba-tiba ia memandang Pippin dengan muram.
"Apa ceritamu tentang itu, Halfling?"
"Tiga belas, tiga belas hari," Pippin berkata terbata-bata.
"Ya, ' kurasa begitulah. Ya, aku berdiri di sampingnya ketika dia meniup terompetnya. Tapi bantuan tak juga datang. Makin banyak Orc yang muncul."
"Jadi," kata Denethor, sambil menatap tajam wajah Pippin, "kau berada di sana? Ceritakan lebih banyak! Mengapa tidak ada yang datang membantu? Dan bagaimana kau bisa lolos, sedangkan Boromir tidak, padahal dia begitu hebat, dan hanya Orc-Orc yang merintanginya?" Wajah Pippin memerah dan Ia lupa ketakutannya.
"Orang paling hebat pun bisa terbunuh oleh sebatang panah," katanya, "dan Boromir tertembus banyak sekali panah. Terakhir aku melihatnya duduk di samping sebatang pohon, mencabut sebatang panah dari sisi tubuhnya.
Lalu aku pingsan dan ditawan. Aku tidak melihatnya lagi, dan tidak tahu lebih banyak lagi. Tapi aku sangat menghormatinya, karena dia gagah berani. Dia mati demi menyelamatkan kami, saudaraku Meriadoc dan aku, yang diserang di hutan oleh pasukan sang Penguasa Kegelapan; meski dia tewas dan gagal, rasa terima kasihku tidak berkurang karenanya." Kemudian Pippin menatap mata Denethor lekat-lekat, sebab Ia tersinggung oleh cemoohan dan kecurigaan dalam suara dingin pria tua itu.
"Mungkin tawaranku ini tak berarti bagi Penguasa manusia yang demikian agung, apalagi aku hanya hobbit sederhana, Halfling dari Shire Utara; tapi aku ingin mempersembahkan diriku, demi membayar utangku." Sambil menyingkap jubahnya, Pippin menghunus pedangnya yang kecil dan meletakkannya di depan kaki Denethor.
Senyum lamat-lamat, seperti seberkas sinar dingin matahari di senja musim dingin, muncul di wajah tua itu; tapi Ia menundukkan kepala dan mengulurkan tangannya, sambil menyingkirkan pecahan-pecahan terompet itu.
"Berikan senjata itu padaku!" katanya.
Pippin mengangkatnya dan menyodorkan pangkal pedangnya kepada Denethor.
"Dari mana asal benda ini?" kata Denethor.
"Sudah sangat sangat kuno. Pasti pedang ini ditempa bangsa kami sendiri di Utara di zaman lampau?"
"Asalnya dari kuburan di perbatasan negeriku," kata Pippin.
"Tapi sekarang hanya hantu-hantu jahat yang tinggal di sana, dan aku tak ingin bercerita lebih banyak tentang mereka."
"Banyak cerita aneh yang kauketahui rupanya," kata Denethor, "dan sekali lagi terbukti bahwa penampilan bisa mengecoh baik bagi manusia maupun Halfling. Kuterima persembahanmu. Sebab kau tidak takut menghadapi kata-kata; dan kau berbicara sopan, meski bunyinya aneh bagi kami orang-orang di Selatan. Kami membutuhkan semua orang terhormat, besar maupun kecil, di masa-masa mendatang. Ikrarkan sumpahmu sekarang!"
"Pegang pangkal pedangmu," kata Gandalf, "dan ikuti kata-kata Yang Mulia, kalau hatimu sudah bulat."
"Aku sudah yakin," kata Pippin.
Pria tua itu meletakkan pedang Pippin di pangkuannya, Pippin menyentuh pangkalnya dengan tangan, dan perlahan-lahan mengikuti katakata Denethor, "Dengan ini aku bersumpah setia dan mengabdi kepada Gondor, kepada Penguasa dan Pejabat Agung Istana wilayah ini, untuk berbicara dan berdiam diri, berbuat dan membiarkan, datang dan pergi, dalam kekurangan maupun kemakmuran, dalam damai maupun perang, hidup maupun mati, sejak saat ini, sampai Tuanku membebaskan aku, atau kematian menjemputku, atau dunia berakhir. Demikianlah sumpahku, Peregrin putra Paladin dari Shire, negeri asal kaum Halfling."
"Dan aku mendengar, aku Denethor putra Ecthelion, Penguasa Gondor, Pejabat Istana Raja Agung, dan aku tidak akan melupakannya, juga tidak akan lupa memberi imbalan untuk apa yang telah diberikan: kesetiaan dibalas dengan cinta kasih, keberanian dengan penghormatan, pelanggaran sumpah akan mendapat balasannya." Kemudian Pippin menerima kembali pedangnya dan menyarungkannya.
"Dan kini," kata Denethor, "perintah pertamaku padamu: bicaralah dan jangan diam saja! Ceritakan kisahmu selengkapnya, dan cobalah mengingat segala sesuatu tentang putraku Boromir sebisamu. Duduk dan mulailah!" Sambil berbicara ia memukul sebuah gong kecil dari perak yang berdiri di dekat tumpuan kakinya. Dengan segera para pelayan berdatangan. Pippin baru menyadari bahwa mereka sudah sejak tadi berdiri di relung-relung kedua sisi pintu, tak terlihat ketika Pippin dan Gandalf masuk.
"Bawakan anggur dan makanan serta kursi untuk para tamu," kata Denethor, "dan jagalah agar tidak ada yang mengganggu kami selama satu jam ini."
"Hanya satu jam itu yang bisa kusisihkan, sebab masih banyak urusan penting lain yang harus diperhatikan," kata Denethor pada Gandalf.
"Banyak yang jauh lebih penting, kelihatannya, namun tidak terlalu mendesak bagiku. Tapi mungkin kita bisa bercakap-cakap lagi di penghujung hari ini nanti,"
"Dan mudah-mudahan lebih awal," kata Gandalf.
"Sebab aku berkuda ke sini dari Isengard yang jaraknya seratus lima puluh league dengan kecepatan angin, bukan hanya untuk membawa kepadamu seorang prajurit kecil, meski dia sangat sopan. Tak adakah artinya bagimu bahwa
Theoden sudah melakukan pertempuran besar, bahwa Isengard sudah dikalahkan, dan bahwa aku sudah mematahkan tongkat Saruman?"
"Sangat berarti bagiku. Tapi aku sudah tahu cukup banyak tentang peristiwa-peristiwa itu untuk menentukan sikapku dalam menghadapi ancaman bahaya dari Timur." Denethor menatap Gandalf dengan matanya yang hitam, dan kini Pippin melihat kemiripan di antara mereka; ia juga merasakan ketegangan di antara kedua orang itu, seolah-olah ada garis api membara yang membentang dari mata ke mata, yang mungkin saja bisa meledak dan berkobar mendadak.
Memang Denethor lebih kelihatan seperti penyihir besar daripada Gandalf, lebih agung, gagah perkasa; dan tampak lebih tua. Namun jauh di dalam hatinya Pippin merasa Gandalf-lah yang lebih kuat, lebih bijak, dan memliki keagungan terselubung. Dan Gandalf jauh lebih tua daripada Denethor.
"Seberapa jauh lebih tuakah?" tanya Pippin dalam hati. Aneh sekali, Ia belum pernah memikirkan hal itu. Treebeard pernah mengatakan sesuatu tentang kaum penyihir, tapi saat itu Ia tidak menganggap Gandalf sebagai salah satunya. Siapa sebenarnya Gandalf? Kapan dan di manakah Ia mula-mula muncul di permukaan bumi, dan kapan ia akan meninggalkannya? Kemudian lamunannya terputus, Ia melihat Denethor dan Gandalf masih saling menatapi seolah-olah sedang saling membaca pikiran. Akhirnya Denethor yang mengalihkan pandang lebih dulu.
"Ya," katanya, "meski Batu-Batu Penglihatan itu sudah hilang, menurut kata orang-orang, Penguasa-Penguasa Gondor tetap mempunyai penglihatan lebih tajam daripada orang biasa, dan banyak sekali berita yang datang pada mereka. Tapi duduklah sekarang!"
Kemudian datanglah orang-orang membawakan kursi dan bangku rendah, salah satu membawa baki berikut cangkir dan kendi perak, serta kue-kue putih. Pippin duduk, tapi tak bisa melepaskan pandangannya dari bangsawan tua itu. Ia merasa Denethor melirik sekilas ke arahnya ketika menyebutkan Batu-Batu itu. Benarkah demikian, atau hanya khayalannya saja? "Nah, sekarang ceritakan kisahmu, pelayanku," kata Denethor, setengah ramah, setengah mengejek.
"Aku menyambut gembira" kata pippin tak pernah melupakan pertemuan di balairung besar itu, di bawah tatapan tajam sang Penguasa Gondor yang menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan licin. Sementara itu, ia sangat menyadari kehadiran Gandalf di sampingnya, memperhatikan dan mendengarkan, sambil (menurut perasaan Pippin) menahan amarah dan rasa tak sabar yang mulai timbul. Ketika satu jam telah berlalu dan Denethor memukul gong lagi, Pippin sudah sangat letih.
"Sekarang pasti belum lebih dari jam sembilan," pikirnya, "aku bisa makan tiga sarapan berturut-turut.,"
"Bawalah Lord Mithrandir ke penginapan yang sudah disiapkan untuknya," kata Denethor, "dan pendampingnya boleh tinggal bersamanya untuk sementara, bila mau. Tapi umumkan bahwa dia sudah diambil sumpah sebagai pelayanku. Dia akan dikenal dengan nama Peregrin putra Paladin, dan akan diberitahu kata-kata sandi umum. Beritahu para Kapten bahwa mereka ditunggu di sini, segera sesudah tanda jam ketiga berbunyi.
"Dan kau, Lord Mithrandir, harus datang juga, kapan saja kau mau. Takkan ada yang menghalangimu datang kepadaku kapan saja, kecuali saat aku tidur. Buanglah kemarahanmu atas kebodohan orang tua ini, lalu kembalilah ke sampingku!"
"Kebodohan?" kata Gandalf.
"Tidak, Tuanku, kalau kau sudah pikun, kau akan mati. Bahkan kesedihanmu bisa kaugunakan sebagai tameng.
Kaupikir aku tidak mengerti tujuanmu menanyai orang yang paling tidak tahu apa-apa selama satu jam, sementara aku berada di sampingnya?"
"Kalau kau memahaminya, tentu kau sudah puas," kata Denethor.
"Bodoh kiranya kalau keangkuhan membuat orang meremehkan bantuan dan nasihat yang dibutuhkannya; tapi kau suka menghambur-hamburkan pemberian itu sesuai rencanamu sendiri. Bagaimanapun, Penguasa Gondor takkan mau dijadikan alat bagi tujuan orang lain, meski tujuan paling mulia sekalipun. Dan baginya sekarang ini tak ada tujuan yang lebih mulia di dunia daripada kebaikan untuk Gondor; dan kekuasaan di Gondor, Tuanku, ada di tanganku dan bukan orang lain, kecuali bila sang raja kembali ke sini."
"Kecuali bila raja kembali?" kata Gandalf.
"Nah, Tuanku Pejabat Istana, tugasmu adalah sedapat mungkin mempertahankan sebagian kerajaan ini sampai terjadinya peristiwa itu sampai sang raja kembali. Sedikit sekali orang-orang yang memperhatikan hal ini sekarang.
Dalam tugas itu kau akan memperoleh segala bantuan yang kau minta. Tapi kukatakan ini: aku bukan penguasa wilayah mana pun, baik Gondor maupun wilayah lain, besar maupun kecil. Tapi sudah tugasku untuk menyelamatkan semua hal berharga yang terancam bahaya di dunia ini. Dan bila dilihat dari tugasku, aku tidak sepenuhnya gagal meskipun Gondor hancur, bila masih ada yang bertahan melewati malam ini, yang di kemudian hari masih bisa tumbuh subur dan berkembang serta berbuah. Karena aku pun seorang pejabat penjaga. Tidakkah kau tahu itu?" Setelah mengatakan itu, Gandalf membalikkan badan dan berjalan keluar dari balairung dengan Pippin berlari di sampingnya.
Gandalf sama sekali tidak memandang atau berbicara dengan Pippin ketika mereka pergi. Mereka diantar pemandu keluar dari pintu balairung, melintasi Pelataran Air Mancur, dan masuk ke sebuah lorong di antara bangunan-bangunan batu yang tinggi. Setelah beberapa tikungan, mereka tiba di sebuah rumah dekat dinding benteng di sisi utara, tak jauh dari bahu yang menghubungkan bukit dengan pegunungan. Di dalamnya, di lantai pertama di atas jalan, menaiki sebuah tangga lebar berukir, si pemandu membawa mereka ke sebuah kamar indah, terang dan luas, dengan banyak hiasan gantung emas polos yang berkilau pucat. Perabotnya hanya sedikit, hanya sebuah meja kecil, dua kursi, dan satu bangku; tapi di kedua sisi ada relung bertirai dengan tempat tidur berseprai bagus di dalamnya, beserta kendi dan baskom untuk membasuh tubuh. Ada tiga jendela sempit yang tinggi, menghadap ke utara, dengan pemandangan ke lengkungan besar Sungai Anduin yang masih terselubung kabut, juga ke Emyn Mull dan Rauros di kejauhan sana. Pippin harus memanjat ke atas bangku agar bisa melihat melalui relung jendela yang lebar.
"Kau marah padaku, Gandalf?" tanya Pippin ketika si pemandu sudah keluar dan menutup pintu.
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin."
"Memang!" kata Gandalf, tiba-tiba tertawa; Ia mendekati Pippin, merangkul hobbit itu, pandangannya menerawang ke luar jendela. Pippin sekarang menatap heran ke wajah itu, yang begitu dekat dengan wajahnya sendiri, karena bunyi tawanya terdengar riang gembira. Semula ia hanya melihat garis-garis kesusahan dan duka di wajah penyihir tua itu; tapi setelah menatap lebih cermat, Ia melihat bahwa di balik ekspresi susah itu ada suatu kegembiraan besar: ibarat air mancur keceriaan yang cukup untuk membuat seisi kerajaan tertawa, seandainya ia memancar keluar.
"Memang kau sudah berbuat sebaik mungkin," kata Gandalf, "dan kuharap untuk waktu sangat lama kau tidak terjepit lagi di antara dua lakilaki tua yang mengerikan. Meski begitu, Penguasa Gondor mendapat lebih banyak informasi darimu daripada yang kauduga, Pippin. Kau tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa bukan Boromir yang memimpin Rombongan keluar dari Moria, dan bahwa di antara kalian ada seorang yang mulia, yang akan datang ke Minas Tirith; dan bahwa dia mempunyai pedang yang tersohor. Orang banyak menganggap penting dongeng-dongeng tentang masa lampau di Gondor; Denethor sudah lama memikirkan sajak dan rima Kutukan Isildur sejak Boromir pergi."
"Dia tidak seperti orang-orang lain di masa kini, Pippin. Apa pun keturunannya dari ayah ke putra, kebetulan darah Westernesse mengalir hampir murni dalam dirinya, seperti juga dalam diri putranya yang lain, Faramir, namun tidak dalam diri Boromir, yang justru putra kesayangannya. Denethor mempunyai penglihatan tajam. Kalau mau, dia bisa melihat apa yang dipikirkan orang lain, meski mereka berada jauh darinya. Sulit untuk menipunya, bahkan berbahaya untuk mencobanya."
"Ingatlah itu! Sebab kini kau sudah disumpah sebagai pelayannya. Aku tidak tahu apa yang mendorongmu melakukan hal itu. Tapi tindakanmu bagus. Aku tidak menghalanginya, sebab perbuatan baik tak boleh dihambat oleh nasihat dari hati yang dingin. Hatinya tersentuh, begitu pula rasa humornya, kalau boleh kukatakan begitu. Dan setidaknya kau sekarang bebas pergi ke mana pun kau mau di Minas Tirith bila sedang tidak bertugas. Namun ada sisi lain yang melekat pada tugasmu. Kau ada di bawah perintahnya, dan dia tidak akan lupa itu. Tetaplah waspada!" Gandalf diam sejenak, kemudian mendesah.
"Ya sudahlah, tak ada gunanya memikir-mikirkan apa yang akan terjadi besok. Satu hal, hari esok pasti akan membawa hal-hal yang lebih buruk daripada hari ini, untuk waktu cukup lama. Dan tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk mengelakkannya. Papan permainan sudah ditata, dan bidak-bidak sudah bergerak. Satu bidak yang ingin sekali kujumpai adalah Faramir.
Sekarang dia menjadi putra mahkota Denethor. Kurasa dia tidak berada di Kota; tapi aku belum punya waktu untuk mencari berita tentang dia. Aku harus pergi, Pippin. Aku harus ke Dewan Penasihat Penguasa dan mencari tahu sebanyak mungkin. Tapi Musuh sudah mengawali langkah, dan akan membuka permainan penuh. Bidak-bidak pun akan melihat banyak hal, Peregrin putra Paladin, serdadu Gondor. Asahlah pedangmu!" Gandalf pergi ke pintu, dan di sana ia membalikkan badan.
"Aku harus bergerak cepat, Pippin," katanya.
"Bantulah aku kalau kau pergi keluar. Meski kau belum beristirahat, kalau kau tidak terlalu letih, pergilah mencari Shadowfax, perhatikan apakah dia diperlakukan dengan baik. Orang-orang di sini baik terhadap hewan-hewan, karena mereka bangsa yang baik dan bijak, tapi mereka kurang terampil, khususnya dalam memelihara kuda." Gandalf pergi, dan tepat pada saat itu terdengar bunyi lonceng berdentang jernih di suatu menara benteng itu. Tiga kali dentang, bagai bunyi perak di udara, lalu berhenti: jam ketiga setelah terbitnya matahari.
Sesaat kemudian Pippin pergi ke pintu, menuruni tangga dan melihat-lihat ke jalan. Matahari bersinar hangat dan cerah, menara-menara serta rumah-rumah tinggi menjatuhkan bayangan panjang dan tegas ke arah barat. Gunung Mindolluin mengangkat topi dan jubah saljunya jauh tinggi ke angkasa biru. Orang-orang bersenjata hilir-mudik di jalan-jalan Kota, seolah-olah akan pergi ke pergantian tugas dan pos pada saat lonceng berbunyi.
"Kalau di Shire kita menyebutnya jam sembilan," kata Pippin keras-keras pada diri sendiri.
"Waktu yang tepat untuk sarapan enak di dekat jendela terbuka, di bawah sinar matahari musim semi. Ah, aku ingin sekali sarapan! Apakah orang-orang di sini juga sarapan, atau mungkin sudah lewat? Kapan mereka makan malam dan di mana?" Tak lama kemudian Ia melihat seorang pria berpakaian hitam dan putih, datang melalui jalan sempit dari pusat benteng, menuju dirinya.
Pippin merasa kesepian dan sudah bertekad akan menyapa orang itu saat melewatinya; tapi ternyata tidak perlu. Orang itu melangkah langsung menghampirinya.
"Apakah kau Peregrin, si Halfling?" katanya.
"Aku diberitahu bahwa kau sudah disumpah sebagai pelayan Penguasa dari Kota ini. Selamat datang!" Ia mengulurkan tangannya dan Pippin menyambutnya.
"Namaku Beregond putra Baranor. Aku tidak bertugas pagi ini, dan aku dikirim untuk mengajarimu kata-kata sandi, dan menceritakan banyak hal yang pasti ingin kauketahui. Aku sendiri ingin belajar darimu. Kami belum pernah melihat Halfling di negeri ini, dan meski kami sudah mendengar selentingan tentang mereka, tidak banyak yang diceritakan dalam dongeng-dongeng yang kami kenal. Terlebih lagi kau sahabat Mithrandir. Kau kenal baik dengannya?"
"Well," kata Pippin.
"Sepanjang hidupku yang singkat ini aku cukup tahu tentang dia, boleh dibilang begitu; dan akhir-akhir ini aku melancong jauh bersamanya. Tapi masih banyak yang perlu diketahui tentang dia, dan aku baru tahu sebagian kecil saja. Apa-apa yang kuketahui tentang dia tidak jauh beda dengan yang diketahui beberapa orang lain yang mengenalnya. Kurasa hanya Aragorn dalam Rombongan kami yang benar-benar mengenalnya."
"Aragorn?" kata Beregond.
"Siapa dia?"
"Oh," kata Pippin terbata-bata, "dia ikut dengan kami. Kurasa dia sekarang berada di Rohan."
"Kau juga pernah ke Rohan, kudengar. Banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu tentang negeri itu, sebab kami menggantungkan harapan pada mereka. Tapi aku lupa tugas utamaku, mendahulukan menjawab apa-apa yang kautanyakan. Apa yang ingin kauketahui, Master Peregrin?"
"Eh, begini," kata Pippin, "satu pertanyaan yang mendesak sekali dalam benakku sekarang ini adalah, eh … bagaimana tentang sarapan dan semuanya itu? Maksudku, kapan waktu-waktu untuk makan, kalau kau paham maksudku, dan di mana ruang makan, kalau memang ada? Dan kedai-kedai makanan? Aku mencari-cari, tapi tak satu pun kulihat ketika kami berjalan, padahal aku sangat berharap bisa minum sedikit begitu kami tiba di negeri yang penduduknya ramah dan bijak ini." Beregond menatapnya serius.
"Oh, serdadu tulen, aku paham," katanya.
"Konon orang-orang yang pergi berperang selalu berharap mendapat makanan dan minuman; meski aku sendiri tidak banyak mengembara. Kalau begitu, kau belum makan hari ini?"
"Ya, sebenarnya … sebenarnya sih sudah," kata Pippin.
"Aku mencicipi secangkir anggur dan satu-dua potong kue putih atas kemurahan hati penguasamu; tapi sebelumnya dia menyiksaku selama satu jam dengan pertanyaan-pertanyaan, dan itu membuatku lapar." Beregond tertawa.
"Di meja makan, orang-orang kecil bisa melakukan perbuatan besar, begitu ungkapan kami. Tapi kau sudah berbuka puasa sebaik siapa pun di benteng ini, dengan penghormatan lebih tinggi pula. Tempat ini sebuah benteng dan menara penjagaan, yang sekarang dalam keadaan siaga perang. Kami bangun sebelum matahari terbit, makan sedikit saat hari masih remang-remang, dan pergi bertugas pada jam pembuka. Tapi jangan putus asa!" Ia tertawa lagi melihat kecemasan pada wajah Pippin.
"Mereka yang mendapat tugas agak berat boleh makan sedikit untuk memulihkan kekuatan menjelang siang. Lalu ada nuncheon, pada tengah hari atau setelahnya, sesuai kesempatan di antara tugas; orang-orang juga berkumpul untuk makan sore, dan hiburan bila ada, sekitar saat matahari terbenam.
"Ayo! Kita jalan lagi sebentar, lalu mencari sedikit penyegar, makan minum di tembok benteng, dan menikmati keindahan pagi ini."
"Sebentar!" kata Pippin dengan wajah merah.
"Kerakusan, atau istilah sopannya: kelaparan, usirlah itu dari benakku. Tapi Gandalf, atau Mithrandir seperti kau menyebutnya, memintaku mengurus kudanya, Shadowfax, kuda jantan hebat dari Rohan, kesayangan Raja, katanya, meski dia sudah memberikan kuda itu pada Mithrandir atas jasa layanannya. Menurutku majikannya yang baru ini lebih menyayangi kudanya daripada orang-orang, dan kalau niat baiknya cukup berarti bagi kota ini, kau akan memperlakukan Shadowfax dengan penuh hormat: dengan kemurahan hati lebih besar daripada kau memperlakukan hobbit ini, jika mungkin."
"Hobbit?" kata Beregond.
"Begitulah kami menyebut diri kami sendiri," kata Pippin.
"Aku senang mengetahuinya," kata Beregond.
"Bisa kukatakan bahwa logat aneh tidak merusak bahasa yang indah, dan kaum hobbit pandai berbicara. Tapi ayolah! Perkenalkan aku pada kuda bagus itu. Aku menyukai binatang, dan di kota batu ini kami jarang melihat binatang; sebab bangsaku datang dari lembah-lembah pegunungan, dan sebelum itu dari Ithilien. Tapi jangan cemas, kunjungan kita singkat saja, sekadar penghormatan, dan dari sana kita pergi ke ruang sepen."
Pippin melihat Shadowfax diberi kandang bagus dan diurus dengan baik. Di lingkaran keenam, di luar dinding benteng, ada beberapa kandang kuda bagus, khusus untuk kuda-kuda cepat, dekat dengan tempat tinggal para utusan berkuda sang Penguasa: utusan-utusan yang selalu siap pergi atas perintah mendesak dari Denethor atau kapten-kapten pimpinannya. Tapi kini semua kuda dan penunggangnya sedang pergi.
Shadowfax meringkik kecil dan menolehkan kepala ketika Pippin masuk ke kandangnya.
"Selamat pagi!" kata Pippin.
"Gandalf akan datang sesegera mungkin. Dia sibuk dan mengirimkan salam. Aku harus memeriksa apakah kau baik-baik saja; kuharap kau beristirahat, setelah bekerja keras." Shadowfax mendongakkan kepala ke belakang dan mengentakkan kaki. Tapi Ia membolehkan Beregond menyentuh kepalanya dengan lembut dan membelai sisi tubuhnya yang besar.
"Dia tampak segar dan siap berpacu, bukan seperti baru datang dari perjalanan jauh," kata Beregond.
"Betapa kuat dan gagahnya dia! Di mana pakaiannya? Pasti mewah dan indah."
"Tidak ada yang cukup mewah dan indah untuknya," kata Pippin.
"Dia tidak mau memakainya. Kalau dia setuju membawamu, dia akan membawamu; kalau tidak, tak ada tali kekang, sanggurdi, cambuk, atau tali kulit yang bisa menjinakkannya. Selamat tinggal, Shadowfax! Sabarlah. Pertempuran sudah dekat."
Shadowfax mendongak-dongakkan kepala dan meringkik, sampai kandangnya bergetar dan mereka menutup telinga. Lalu mereka pergi, setelah memastikan palungnya terisi penuh.
"Sekarang ke palungan kita," kata Beregond, dan Ia membawa pippin kembali ke benteng, ke sebuah pintu di sisi utara menara besar. Di sana mereka menuruni tangga panjang yang sejuk, masuk ke sebuah lorong yang diterangi lampu-lampu. Di sisi tembok ada lubang-lubang palka, salah satunya terbuka.
"Ini gudang dan ruang sepen pasukanku, Para Pengawal," kata Beregond.
"Salam, Targon!" ia berteriak melalui lubang itu.
"Masih pagi, tapi ada pendatang baru yang dipekerjakan Penguasa. Dia datang berkuda dari jauh dan lama dalam perjalanan, dengan ikat pinggang kencang.
Dia sudah bekerja keras pagi tadi, dan dia lapar sekarang. Berikan apa yang ada!" Mereka mendapat roti, mentega, keju, serta apel: yang terakhir dari simpanan musim dingin, keriput tapi bagus dan manis; juga satu kendi kulit berisi ale yang baru saja dibuat, piring kayu serta cangkir. Semuanya mereka masukkan ke dalam keranjang rotan, lalu mereka keluar lagi ke bawah sinar matahari; Beregond membawa Pippin ke sebuah tempat di ujung timur dinding benteng yang menjorok keluar, di mana ada lubang di dinding dengan bangku batu di bawah ambangnya. Dari sana mereka bisa memandang ke dunia luar di pagi hari.
Mereka makan dan minum; kadang-kadang membicarakan Gondor dan adat-istiadatnya, kadang-kadang tentang Shire dan negeri-negeri ajaib yang sudah dikunjungi Pippin. Dan semakin banyak mereka bercakap-cakap, semakin heran Beregond. Dengan kagum Ia menatap hobbit itu, yang mengayun-ayunkan kakinya yang pendek sambil duduk di bangku, atau berdiri berjinjit untuk bisa mengintip dari atas ambang ke daratan di bawah.
"Aku tidak akan menyembunyikan apa pun darimu, Master Peregrin," kata Beregond.
"Terus terang, dalam pandangan kami, kau tampak seperti anak kecil, laki-laki seumur kira-kira sembilan musim panas; tapi kau sudah mengalami begitu banyak bahaya dan melihat hal-hal ajaib yang mungkin hanya dialami dan bisa dibanggakan oleh sedikit orang tua yang sudah beruban. Tadinya kukira Penguasa kami hanya iseng-iseng mengambil seorang pesuruh laki-laki, seperti biasa dilakukan raja-raja zaman dulu. Tapi sekarang aku tahu bahwa bukan demikian halnya, dan kau harus memaafkan kebodohanku."
"Ya sudahlah," kata Pippin.
"Meski kau sebenarnya tidak begitu salah. Aku memang masih termasuk remaja menurut hitungan bangsaku sendiri, dan masih empat tahun lagi sebelum aku 'dewasa', seperti istilah kami di Shire. Tapi jangan terlalu perhatikan diriku. Kemarilah melihat, dan ceritakan padaku apa-apa yang kulihat."
Matahari sudah merayap naik, kabut di lembah pun sudah tersingkap. Kabut terakhir sedang melayang pergi, persis di atas mereka, sebagai untaian awan putih yang menunggangi angin dingin dari Timur, yang kini memukul-mukul dan menarik-narik panji-panji serta bendera-bendera di benteng. Nun jauh di dasar lembah, sekitar lima puluh league dalam jarak pandang mata, Sungai Besar terlihat kelabu berkilauan, keluar dari barat laut, melengkung dalam sapuan besar ke selatan, lalu ke barat lagi, sampai hilang dari pandangan ke dalam kilauan dan kekaburan, dan jauh dari sana Laut menghampar, lima puluh league jauhnya.
Pippin bisa melihat seluruh Pelennor terhampar di depannya, sampai di kejauhan, dipenuhi noktah-noktah tanah dan rumah pertanian serta dinding-dinding kecil, lumbung dan kandang, tapi Ia tak melihat satu pun ternak atau hewan lain. Banyak jalan dan jejak melintasi padang-padang hijau, dan banyak yang lalu-lalang: kereta-kereta berbaris menuju Gerbang Agung, dan yang lain keluar. Sesekali seorang penunggang kuda datang, melompat turun dari atas pelana, dan bergegas masuk ke Kota. Tapi kebanyakan lalu-lintas pergi keluar melalui jalan raya utama, dan jalan itu membelok ke selatan, lalu menikung lebih cepat daripada Sungai, menyusuri perbukitan dan segera hilang dari pandangan. Jalan utama lebar dan berubin kuat, dan sepanjang sisi timur membentang sebuah jalan lebar berumput hijau untuk berkuda, di sebelah luarnya ada dinding. Di jalan kuda banyak penunggang menderap hilir-mudik, tapi jalan utama penuh sesak dengan kereta-kereta besar bertutup yang pergi ke arah selatan. Tapi tak lama kemudian Pippin melihat bahwa sebenarnya semuanya sangat teratur: kereta-kereta bergerak maju dalam tiga jalur, satu berjalan lebih cepat dan ditarik oleh kuda; satu lagi lebih lambat, berupa kereta-kereta yang lebih besar dengan badan kereta beraneka warna, ditarik oleh sapi; sepanjang sisi barat jalan banyak gerobak lebih kecil yang ditarik susah payah oleh manusia.
"Itu jalan ke lembah Tumladen dan Lossamach, dan desa-desa pegunungan, yang berlanjut sampai ke Lebennin," kata Beregond. 'Itu keretakereta terakhir yang pergi untuk menyelamatkan orang-orang tua, anak-anak, dan wanita yang harus pergi bersama mereka. Mereka semua harus pergi dari Gerbang, dan jalan harus sudah kosong sebelum tengah hari: begitulah perintah yang diturunkan. Tindakan menyedihkan ini terpaksa diambil." Ia mengeluh.
"Mungkin dari antara mereka yang sekarang terpisah, hanya sedikit yang akan saling bertemu lagi. Sejak dulu memang terlalu sedikit anak-anak di kota ini; tapi sekarang bahkan tidak ada sama sekali kecuali beberapa anak muda yang tidak mau pergi, dan memilih menyumbangkan tenaga di sini: putraku sendiri salah satu dari mereka." Selama beberapa saat mereka diam. Pandangan Pippin menerawang cemas ke arah timur, seolah takut akan melihat ribuan Orc berdatangan melintasi padang-padang.
"Apa itu yang kulihat di sana?" tanyanya, sambil menunjuk ke tengah lengkungan Sungai Anduin.
"Kota lainkah itu, atau apa?"
"Dulu memang sebuah kota," kata Beregond, "ibu kota Gondor, sedangkan tempat ini hanya bentengnya. Di sana itu puing-puing Osgiliath di kedua sisi Anduin, yang direbut dan dibakar musuh-musuh kami, lama berselang. Meski begitu, di masa muda Denethor kami merebutnya kembali: bukan untuk dihuni, tapi dipertahankan sebagai pos terdepan, dan untuk membangun kembali jembatan bagi lalu-lintas pasukan kami. Lalu Penunggang-Penunggang Jahat dari Minas Morgul datang."
"Para Penunggang Hitam?" kata Pippin, membuka matanya lebar-lebar, ketakutan lamanya bangkit kembali.
"Ya, mereka hitam," kata Beregond, "dan rupanya kau tahu tentang mereka, meski kau tidak menyebutnya dalam kisah-kisahmu."
"Aku tahu tentang mereka," kata Pippin perlahan, "tapi aku tidak mau bicara tentang mereka, sudah begitu dekat, sangat dekat." Ia berhenti berbicara dan memandang ke atas Sungai, seolah-olah hanya bisa melihat sebuah bayangan besar mengancam. Barangkali yang dilihatnya itu hanya pegunungan yang menjulang di batas penglihatan, dengan puncak-puncak bergerigi yang dikaburkan oleh sekitar dua puluh league udara berkabut; mungkin juga hanya dinding awan, dan di luarnya lagi ada kegelapan yang lebih kelam. Tapi sementara ia memandang, rasanya kegelapan itu semakin besar dan luas, naik sangat perlahan untuk mencekik wilayah matahari.
"Begitu dekat ke Mordor?" kata Beregond tenang.
"Ya, di situlah letaknya. Kami jarang menyebutnya; tapi kami sudah sejak dulu bermukim dalam jarak pandang bayangan itu: kadang-kadang kelihatan lebih kabur dan lebih jauh; kadang-kadang lebih dekat dan lebih gelap.
Sekarang dia sedang membesar dan menggelap; karena itu ketakutan dan keresahan kami juga memuncak. Dan para Penunggang Jahat, kurang dari setahun yang lalu mereka merebut kembali tempat-tempat penyeberangan. Banyak serdadu terbaik kami tewas. Boromirlah yang memukul mundur musuh dari pantai barat ini, dan kami masih menguasai separuh Osgiliath yang letaknya lebih dekat ke sini. Untuk sementara. Tapi kini kami menduga akan ada serangan gencar lagi di sana. Mungkin serangan utama dari perang yang akan datang."
"Kapan?" kata Pippin.
"Apa kau punya perkiraan? Sebab tadi malam aku melihat api mercusuar dan para utusan berkuda; Gandalf mengatakan itu pertanda perang sudah dimulai. Kelihatannya dia terburu-buru sekali. Tapi sekarang tampaknya situasinya sudah lebih tenang."
"Sebab sekarang semuanya sudah siap," kata Beregond.
"Tinggal satu tarikan napas panjang sebelum terjun."
"Tapi mengapa mercu suar dinyalakan tadi malam?"
"Sudah terlambat sekali untuk minta bantuan kalau kita sudah diserbu," jawab Beregond.
"Tapi aku tidak tahu rencana Penguasa dan kaptenkaptennya. Mereka punya banyak cara untuk mengumpulkan berita. Dan Lord Denethor tidak seperti orang kebanyakan: dia bisa melihat masa depan. Ada yang mengatakan bila dia duduk sendirian di ruangannya yang tinggi di Menara pada malam hari, dan memusatkan pikirannya ke sana kemari, dia bisa membaca masa depan; kadang kala dia bahkan mencari pikiran Musuh, dan bergulat dengannya. Karena itu dia jadi begitu tua, tua sebelum waktunya. Tapi bagaimanapun, Tuanku Faramir sedang berada di luar sana, di seberang Sungai, menjalani tugas berbahaya, dan mungkin dia sudah mengirim berita."
"Tapi kalau kau ingin tahu pendapatku mengapa mercu suar dinyalakan, tampaknya ada berita kemarin sore dari Lebennin. Ada armada besar sedang mendekati muara Anduin, diawaki para perompak dari Umbar di Selatan. Mereka sudah lama tidak gentar terhadap kekuasaan Gondor. Mereka sudah bersekutu dengan Musuh, dan kini melancarkan gempuran hebat demi mendukung dia. Serangan ini akan banyak mengurangi bantuan yang kami harapkan dari Lebennin dan Belfalas, yang penduduknya berhati tabah dan banyak jumlahnya. Karena itu kami semakin mengharapkan bantuan dari Rohan; dan kami semakin gembira mendengar kabar kemenangan yang kaubawa."
"Meski begitu" ia berhenti dan berdiri, melihat sekeliling, ke utara, timur, dan selatan "kejadian di Isengard seharusnya memperingatkan kami bahwa kami sudah terperangkap dalam jaringan dan strategi besar. Ini bukan lagi sekadar pertikaian di ford-ford, merampok Ithilien dan Anorien, penyergapan dan penjarahan. Ini sudah menjadi perang besar yang telah lama direncanakan, dan kami hanya segelintir bidak di dalamnya, meski kami terlalu sombong untuk mengakuinya. Sudah terjadi pertempuran-pertempuran di luar Perairan Dalam, begitu kabarnya; dan di utara, di Mirkwood dan sekitarnya; dan di selatan, di Harad. Sekarang semua wilayah akan diuji, akankah tetap tegar berdiri, atau jatuh terpuruk … ke bawah Bayang-Bayang.
"Tapi, Master Peregrin, kami mendapat kehormatan ini: sejak dulu kamilah yang menanggung pukulan terberat dari kebencian si Penguasa Kegelapan, sebab kebencian itu berpangkal dari masa silam yang sudah lama berselang, melampaui jarak jauh dari seberang Lautan. Di sinilah pukulan palu paling keras akan dijatuhkan. Karena itu Mithrandir tergesa-gesa datang kemari. Sebab kalau kami jatuh, siapa lagi yang bisa berdiri? Dan, Master Peregrin, adakah kau melihat harapan bahwa kami akan tetap berdiri?" Pippin tidak menjawab. Ia memandang tembok-tembok besar, menara-menara dan panji-panji yang gagah, dan matahari di langit tinggi, kemudian ke kegelapan yang mulai membesar di Timur; dan ia memikirkan jemari panjang Bayang-Bayang itu: Orc-Orc di hutan dan di pegunungan, pengkhianatan Isengard, burung mata-mata jahat, dan para Penunggang Hitam yang sudah berkeliaran bahkan di jalan-jalan di Shire-serta teror bersayap itu, para Nazgul. Ia gemetar, dan rasanya harapan pun mulai menyusut. Tepat pada saat itu sinar matahari sejenak terputus dan tertutup, seakan-akan dilewati semacam sayap gelap. Nyaris di luar batas pendengaran, Pippin serasa mendengar teriakan, tinggi jauh di angkasa: samar-samar, namun membuat jantung tercekat, kejam dan dingin. Wajah Pippin menjadi pucat, dan ia bersandar di tembok sambil gemetar ketakutan.
"Apa itu?" tanya Beregond.
"Kau juga merasakan sesuatu?"
"Ya," gerutu Pippin.
"Itu pertanda kejatuhan kita, bayangan maut, Penunggang Jahat di angkasa."
"Ya, bayangan maut," kata Beregond.
"Aku khawatir Minas Tirith akan jatuh. Malam gelap akan datang. Kehangatan darahku serasa sudah surut."
Untuk beberapa saat mereka duduk berdampingan dengan kepala tertunduk tanpa berbicara. Tiba-tiba Pippin menengadah dan melihat matahari masih bersinar, panji-panji juga masih berkibar ditiup angin. la mengguncang dirinya sendiri.
"Sudah berlalu," katanya.
"Tidak, aku belum boleh putus asa. Gandalf pernah tewas, tapi sekarang sudah kembali bersama kita. Kita masih bisa berdiri, meski hanya di atas satu kaki, atau setidaknya masih berdiri di atas lutut kita."
"Benar sekali ucapanmu!" teriak Beregond sambil bangkit berdiri, lalu melangkah kian kemari.
"Tidak, meski semua harus berakhir pada waktunya, Gondor belum akan hancur. Meski tembok-tembok direbut musuh nekat yang hendak menumpuk daging bangkai di depannya.
Masih banyak benteng lain, dan jalan-jalan rahasia untuk melarikan diri ke pegunungan. Harapan dan kenangan masih akan hidup di suatu lembah tersembunyi yang rumputnya masih hijau."
"Bagaimanapun, aku ingin semua ini sudah berlalu, entah baik atau buruk hasil akhirnya," kata Pippin.
"Aku bukan pejuang, dan aku tidak menyukai pertempuran; menunggu di ujung sebuah pertempuran yang tak bisa kuelakkan sungguh sangat menyiksa. Hari ini rasanya sudah begitu panjang! Aku akan jauh lebih senang bila kita tidak terpaksa berdiri dan menunggu, tanpa bertindak, tanpa melancarkan pukulan ke mana pun. Di Rohan juga takkan pernah ada pukulan yang dilancarkan, kalau bukan karena Gandalf."
"Nah, kau menusuk persis di titik pedih yang dirasakan banyak orang!" kata Beregond.
"Tapi mungkin keadaan akan berubah bila Faramir kembali. Dia berani, lebih berani daripada dugaan banyak orang; sebab di masa kini orang-orang tak percaya bahwa seorang kapten seperti dia bisa bijak dan piawai dalam buku-buku pengetahuan dan lagu-lagu, sekaligus tabah dan cepat mengambil keputusan di medan pertempuran. Tapi begitulah Faramir. Mungkin kurang nekat dan bersemangat seperti Boromir, namun tidak kalah tegas. Meski begitu, apa yang bisa dilakukannya? Kami tak mampu menyerbu wilayah pegunungan sebelah sana. Jangkauan kami sudah memendek, dan kami tak bisa memukul sebelum musuh masuk ke dalam jangkauan kami. Barulah tangan kami akan memukul dengan mantap!" Ia memukul pangkal pedangnya.
Pippin memandangnya: tinggi, gagah, dan mulia, seperti semua laki-laki yang sudah dilihatnya di negeri itu; matanya bersinar-sinar saat memikirkan pertempuran.
"Sayang sekali! Tanganku sendiri terasa ringan bagai bulu," pikirnya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Kita ini bidak, kata Gandalf? Mungkin begitu; tapi kita berada di papan catur yang salah."
Begitulah mereka bercakap-cakap sampai matahari sudah tinggi, dan tiba-tiba lonceng tengah hari dibunyikan. Benteng mulai ramai, sebab semua orang pergi makan, kecuali para pengawal.
"Kau mau ikut aku?" kata Beregond.
"Kau boleh bergabung di ruang makan denganku hari ini. Aku belum tahu ke pasukan mana kau akan dimasukkan; atau bisa juga Penguasa menempatkanmu langsung di bawah perintahnya. Tapi kau pasti akan diterima bila bergabung. Dan memang sebaiknya kau bertemu orang sebanyak kaubisa, sementara masih ada waktu."
"Aku akan senang kalau bisa ikut," kata Pippin.
"Terus terang, aku kesepian. Aku meninggalkan sahabat karibku di Rohan, dan tak ada orang yang bisa kuajak bicara atau berkelakar. Siapa tahu aku benar-benar bisa bergabung dengan pasukanmu? Apakah kau kaptennya? Kalau ya, apakah kau bisa menerimaku, atau menyampaikan keinginanku?"
"Bukan, bukan," tawa Beregond, "aku bukan kapten. Aku tak punya jabatan, pangkat, atau kebangsawanan. Aku hanya serdadu biasa dari Pasukan Ketiga Benteng. Meski begitu, Master Peregrin, menjadi serdadu di pasukan Pengawal Menara di Gondor sudah dianggap bergengsi di Kota, dan orang-orang seperti itu mendapat penghormatan di negeri ini."
"Kalau begitu, hal itu jauh di luar jangkauanku," kata Pippin.
"Bawalah aku kembali ke kamar kami, dan kalau Gandalf tidak ada di sana, aku akan ikut denganmu, ke mana saja kau suka-sebagai tamu."
Gandalf tak ada di tempat penginapan, juga tidak mengirimkan pesan, maka Pippin pergi dengan Beregond dan diperkenalkan pada anggotaanggota Pasukan Ketiga. Pippin disambut hangat, Beregond juga mendapat penghormatan sama seperti tamunya. Sudah banyak tersiar kabar di benteng tentang pendamping Mithrandir dan pertemuannya yang tertutup dengan sang Penguasa; menurut desas-desus, seorang Pangeran Halfling datang dari Utara dan sudah bersumpah setia kepada Gondor dan lima ribu pedang. Ada pula yang mengatakan bahwa bila para Penunggang dari Rohan datang, masing-masing akan membawa seorang pejuang Halfling, bertubuh kecil, tapi gagah berani.
Dengan menyesal Pippin terpaksa harus meluruskan kisah penuh harapan itu, tapi Ia tak bisa melepaskan diri dari kedudukannya yang baru, yang bagi orang-orang Gondor dianggap sangat pantas untuk orang yang bersahabat dengan Boromir dan dihormati oleh Lord Denethor; karena itu mereka berterima kasih kepadanya atas kehadirannya di antara mereka; dengan penuh gairah mereka mendengarkan semua perkataan dan cerita-ceritanya tentang negeri-negeri lain, serta memberikan sebanyak mungkin makanan dan minuman yang diinginkannya.
Hanya satu masalah yang dihadapinya, yaitu agar tetap "waspada", sesuai nasihat Gandalf, dan jangan sampai mengumbar mulut terlalu bebas.
Akhirnya Beregond bangkit berdiri.
"Selamat tinggal untuk sementara" katanya.
"Aku bertugas sampai matahari terbenam, begitu juga semua yang ada di sini. Tapi kalau kau kesepian, seperti katamu tadi, mungkin kau perlu seorang pemandu ceria untuk mengantarmu berkeliling Kota. Putraku dengan senang hati akan mengantarmu. Dia anak baik, menurutku. Kalau kau mau, pergilah ke lingkaran paling bawah dan tanyakan Old Guesthouse di Rath Celerdain, Jalan Pembuat Lampu. Kau akan menemukannya di sana, dengan anak-anak lain yang masih tinggal di Kota. Mungkin ada beberapa objek menarik untuk dilihat di dekat Gerbang Agung, sebelum ditutup." Beregond keluar, yang lainnya segera menyusul. Hari masih cerah, meski mulai berkabut, cuaca cukup panas meski saat itu bulan Maret dan tempat ini berada jauh di selatan. Pippin mengantuk, tapi tempat penginapan tampak muram, maka ia memutuskan turun menjelajahi Kota. Ia mengambil beberapa sisa makanan yang disimpannya, dan membawanya ke Shadowfax. Makanan itu diterima dengan baik, meski kuda itu kelihatannya tidak kekurangan makan. Lalu Pippin turun melewati jalan-jalan yang berliku-liku.
Banyak orang menatapnya ketika Ia lewat. Di depannya mereka bersikap sopan dan serius, menyalaminya dengan gaya Gondor, dengan kepala tertunduk dan tangan di dada; tapi di belakangnya Ia mendengar banyak teriakan, karena mereka yang ada di luar memanggil yang lainnya untuk datang dan melihat Pangeran bangsa Halfling, pendamping Mithrandir. Banyak yang menggunakan bahasa lain daripada Bahasa Umum, tapi sebentar kemudian Ia sudah tahu apa yang dimaksud dengan Emil Pheriannath, dan bahwa gelarnya sudah mendahuluinya ke dalam Kota.
Akhirnya, setelah melalui jalan-jalan yang di atasnya penuh lengkungan serta lorong-lorong indah berubin, Ia sampai ke lingkaran paling bawah yang paling lebar, dan di sana ia ditunjukkan arah ke Jalan Pembuat Lampu, sebuah jalan lebar yang membentang menuju Gerbang Agung. Di jalan itu Ia menemukan Old Guesthouse, sebuah bangunan besar dari batu kelabu yang sudah dimakan cuaca, dengan dua sayap menjulur ke belakang dari jalan, dan bentangan lapangan hijau sempit di antaranya. Di belakang lapangan itu ada sebuah rumah berjendela banyak, dengan teras sepanjang lebar bangunannya, tiang-tiang, dan tangga sampai ke rumput. Beberapa anak lelaki sedang bermain-main di antara tiang-tiang, dan Pippin berhenti untuk memandangi mereka. Hanya anak-anak inilah yang dilihat Pippin di Minas Tirith. Akhirnya salah satu di antara mereka melihat Pippin, dan dengan teriakan lantang Ia berlari melintasi rumput dan masuk ke jalan, disusul yang lainnya. la berdiri di depan Pippin, menatapnya dari atas ke bawah.
"Salam!" katanya.
"Dari mana kau datang? Kau orang asing di Kota."
"Tadinya aku orang asing," kata Pippin, "tapi katanya aku sudah menjadi pria Gondor sekarang."
"Ah yang benar saja!" kata anak itu.
"Kalau begitu, kita semua di sini juga pria dewasa. Berapa umurmu, dan siapa namamu? Umurku sudah sepuluh tahun, dan sebentar lagi tinggiku 150 senti. Aku lebih tinggi daripada kau. Tapi memang ayahku seorang Pengawal, salah satu yang paling jangkung. Apa pekerjaan ayahmu?"
"Pertanyaan mana yang harus kujawab lebih dulu?" kata Pippin.
"Ayahku bertani di sekitar Whitwell, dekat Tuckborough di Shire. Umurku hampir dua puluh sembilan, jadi aku unggul dalam usia; meski tinggi badanku hanya 120 senti, dan tidak banyak kemungkinan tumbuh lagi, kecuali ke samping."
"Dua puluh sembilan!" kata anak itu, dan ia bersiul.
"Wah, kau sudah tua juga! Sama tuanya dengan pamanku Iorlas. Tapi," tambahnya penuh harap, "aku bertaruh bisa menjatuhkanmu atau membantingmu."
"Mungkin bisa, kalau aku membiarkanmu," kata Pippin sambil tertawa.
"Dan mungkin aku juga bisa melakukan yang sama kepadamu: di negeriku yang kecil, kami tahu beberapa jurus gulat. Dan di negeriku aku dianggap cukup besar dan kuat; aku tidak pernah membiarkan orang menjatuhkanku. Jadi, kalau sampai perlu diuji dan tak bisa dielakkan lagi, mungkin aku terpaksa membunuhmu. Kalau sudah dewasa kau akan tahu bahwa penampilan orang bisa mengecoh; meski kau mengira aku anak laki-laki asing dan gampang dimangsa, kuperingatkan kau: aku tidak begitu, aku ini Halfling, keras, berani, dan jahat!" Pippin memasang wajah menakutkan sampai anak itu mundur selangkah, tapi langsung maju kembali dengan tangan dikepal dan sinar laga di matanya.
"Tidak!" Pippin tertawa.
"Jangan pula percaya apa yang dikatakan orang asing tentang diri mereka sendiri! Aku bukan tukang berkelahi.
Tapi bagaimanapun lebih sopan kalau penantang memperkenalkan dirinya sendiri." Anak itu berdiri tegak dengan gagah.
"Aku Bergil putra Beregond dari Pasukan Pengawal," katanya.
"Sudah kuduga," kata Pippin, "karena kau mirip ayahmu. Aku kenal dia, dan dia memang menyuruhku mencarimu."
"Kalau begitu, mengapa tidak langsung kaukatakan?" kata Bergil, dan tiba-tiba ia tampak cemas.
"Jangan katakan dia sudah berubah pikiran dan menyuruhku pergi bersama para gadis! Tapi tidak, kereta terakhir sudah berangkat."
"Pesannya tidak seburuk itu, bahkan mungkin baik," kata Pippin.
"Katanya daripada menantang aku, mungkin kau lebih suka membawaku keliling kota sebentar dan mengusir kesepianku. Sebagai imbalannya, aku bisa menceritakan kisah-kisah dari negeri-negeri jauh." Bergil bertepuk tangan dan tertawa lega.
"Bagus sekali," teriaknya.
"Ayo ikut aku! Sebentar lagi kami memang akan ke Gerbang untuk menonton. Kami berangkat sekarang."
"Apa yang akan terjadi di sana?"
"Para Kapten dari Perbatasan akan datang melalui Jalan Selatan sebelum matahari terbenam. Ikutlah dengan kami, dan kau akan menyaksikannya sendiri."
Bergil ternyata kawan yang menyenangkan, pendamping terbaik yang diperoleh Pippin sejak ia berpisah dengan Merry, dan tak lama kemudian mereka sudah tertawa-tawa dan bercakap-cakap riang sambil berjalan, tanpa menghiraukan pandangan yang dilemparkan orangorang pada mereka. Sebentar kemudian mereka sudah berada di tengah kerumunan orang yang sedang menuju Gerbang Agung. Di sana Bergil semakin menghormati Pippin, sebab ketika Pippin mengucapkan nama dan kata sandinya, penjaga di sana memberi salam hormat dan mengizinkannya lewat; terlebih lagi, Ia membolehkan Pippin membawa serta pendampingnya.
"Bagus sekali!" kata Bergil.
"Kami anak-anak lelaki tidak diizinkan lagi melewati Gerbang tanpa didampingi orang dewasa. Sekarang kita bisa menonton lebih jelas." Di luar Gerbang berdiri kerumunan orang di sepanjang pinggir jalan dan sisi pelataran besar berlapis ubin, tempat semua jalan ke Minas Tirith bermuara. Semua mata memandang ke selatan, dan sejenak kemudian terdengar bisikan bergemuruh, "Ada kepulan debu di sana! Mereka datang!" Pippin dan Bergil menyelinap untuk menerobos sampai ke depan kerumunan, dan menunggu. Terompet-terompet berbunyi di kejauhan, dan bunyi sorak-sorai mengalir ke arah mereka seperti angin yang semakin kencang. Lalu terdengar tiupan terompet nyaring, dan di sekitar mereka semua orang berteriak.
"Forlong! Forlong!" Pippin mendengar orang-orang memanggil.
"Apa kata mereka?" tanyanya.
"Forlong sudah datang," jawab Bergil, "Forlong Gendut, Penguasa Lossarnach. Kakekku tinggal di sana. Hore! Itu dia. Forlong yang baik!" Di ujung barisan berjalan seekor kuda besar bertungkai gemuk, dan di atasnya duduk seorang pria berbahu lebar dan bertubuh besar, namun sudah tua dan berjanggut kelabu, mengenakan baju besi dan helm hitam, serta menyandang tombak panjang dan berat. Di belakangnya berbaris gagah sepasukan pria penuh debu, bersenjata lengkap dan membawa kapak-kapak perang yang besar. Wajah mereka muram, tubuh mereka lebih pendek dan hitam daripada pria-pria yang dilihat Pippin selama ini di Gondor.
"Forlong!" teriak orang-orang.
"Sahabat yang setia! Forlong!" Tapi ketika orang-orang Lossarnach sudah lewat, mereka menggerutu, "Sedikit sekali! Cuma dua ratus orang, atau berapa? Kita mengharapkan sepuluh kali jumlah itu. Rupanya begitulah berita terakhir dari armada hitam. Mereka hanya menyisihkan sebagian kecil kekuatan mereka. Tapi biarlah, tambahan kecil pun tetap berarti."
Demikianlah pasukan-pasukan berdatangan, disambut gembira dan masuk melalui Gerbang; orang-orang dari Perbatasan berbaris untuk membela Kota Gondor dalam masa gelap itu; tapi jumlah mereka selalu terlalu sedikit, selalu lebih sedikit daripada yang diharapkan atau dibutuhkan. Pasukan dari Lembah Ringlo di belakang putra penguasa mereka, Dervorin, berjalan kaki: tiga ratus orang. Dari dataran tinggi Morthond, Lembah Blackroot yang luas, si jangkung Duinhir bersama kedua putranya, Duilin dan Derufin, dengan lima ratus pasukan panah.
Dari Anfalas, Langstrand yang jauh di sana, dalam barisan panjang yang terdiri atas aneka ragam orang, pemburu dan peternak, serta orangorang dari desa-desa kecil, dengan Perlengkapan seadanya, kecuali para penghuni rumah tangga penguasa mereka, Golasgil. Dari Lamedon, beberapa manusia bukit berwajah muram tanpa kapten. Nelayan-nelayan dari Ethir, jumlahnya beberapa ratus lebih, disisihkan dari kapalkapal. Hirluin yang Elok dari Perbukitan Hijau di Pinnath Gelin, dengan tiga ratus pria perkasa berpakaian hijau. Dan yang terakhir, yang paling gagah, Imrahil, pangeran dari Dol Amroth, saudara Penguasa, dengan panji-panji berlapis emas bergambar lambang Kapal dan Angsa Perak, dan pasukan ksatria berbaju besi lengkap menunggang kuda-kuda kelabu; di belakang mereka ada tujuh ratus serdadu, jangkung seperti para bangsawan, bermata kelabu, berambut hitam, datang sambil bernyanyi.
Itu sudah semuanya, kurang dari tiga ribu orang jumlahnya. Tak ada lagi yang datang. Teriakan dan bunyi langkah kaki mereka masuk ke Kota kemudian menghilang. Para penonton masih berdiri diam selama beberapa saat. Debu terus mengambang di udara, karena angin berhenti bertiup dan senja terasa berat. Saat penutupan gerbang segera tiba, matahari merah sudah lenyap di belakang Mindolluin. Kegelapan pun turun di atas Kota.
Pippin menengadah. Ia merasa seolah-olah langit berubah kelabu seperti abu, seakan-akan debu dan asap tebal menggantung di atas mereka, dan cahaya pun meredup pudar. Tapi di Barat matahari yang sedang terbenam sudah menggelar tabir asap merah api, maka kini Mindolluin terlihat gelap kelam di depan kobaran cahaya merah yang dipenuhi bercak bara api.
"Begitulah, hari yang indah berakhir dalam geram kemarahan!" kata Pippin, lupa pada anak yang berdiri di sampingnya.
"Memang itulah yang akan terjadi, kalau aku tidak kembali sebelum lonceng matahari terbenam," kata Bergil.
"Ayo! Itu bunyi terompet untuk penutupan Gerbang."
Sambil bergandeng tangan mereka masuk ke Kota lagi. Merekalah yang terakhir masuk sebelum Gerbang ditutup; ketika mereka sampai ke Jalan Pembuat Lampu, semua lonceng di menara-menara berdentang khidmat. Di jendela-jendela terlihat cahaya lampu, dan dari rumah-rumah serta bangsal-bangsal serdadu terdengar nyanyian.
"Selamat berpisah untuk sementara," kata Bergil.
"Kirim salam untuk ayahku, dan bilang terima kasih untuk pendamping yang dia kirimkan.
Datanglah lagi segera, kumohon. Aku sebenarnya berharap tak ada perang, supaya kita berdua bisa bersenang-senang bersama. Kita bisa pergi ke Lossarnach, ke rumah kakekku; menyenangkan sekali di sana, dengan hutan dan padang penuh bunga-bunga. Tapi mungkin suatu saat nanti kita bisa pergi ke sana. Musuh tidak akan pernah mengalahkan Penguasa kita, dan ayahku gagah berani. Selamat jalan dan datanglah kembali!" Mereka berpisah, dan Pippin bergegas kembali ke benteng. Rasanya jauh sekali, hingga Ia kepanasan dan sangat lapar; malam pun turun dengan cepat dan pekat. Tak satu pun bintang menghiasi langit. Makan malam sudah dimulai ketika Pippin datang ke bangsal. Beregond menyambutnya dengan gembira, dan menyuruh Pippin duduk di sampingnya sambil menanyakan kabar putranya. Setelah makan, pippin masih tinggal beberapa saat, kemudian Ia pamit pergi, karena hatinya terasa berat. Ia sangat ingin segera menemui Gandalf lagi.
"Kau sudah tahu jalan?" kata Beregond di pintu bangsal yang kecil itu, di sisi utara benteng, tempat mereka tadi duduk.
"Malam ini gelap sekali, dan jadi lebih gelap karena ada perintah bahwa cahaya lampu di dalam Kota harus diredupkan dan tidak boleh memancar keluar dari dinding. Ada juga perintah lain: kau akan dipanggil menghadap Lord Denethor besok pagi-pagi. Dugaanku, kau tidak akan dimasukkan ke Pasukan Ketiga. Tapi kita masih bisa berharap akan bertemu lagi. Selamat jalan dan tidurlah dengan damai." Tempat penginapan itu gelap, hanya diterangi cahaya lentera kecil di atas meja. Gandalf tidak ada di sana. Pippin semakin gundah. la memanjat ke atas bangku dan mencoba memandang ke luar jendela, tapi ternyata ia seperti menatap telaga tinta hitam. Ia turun dan menutup jendela, lalu naik ke tempat tidur. Selama beberapa saat ia berbaring dan mendengarkan, kalau-kalau Gandalf kembali; kemudian ia terlelap dan tidur dengan gelisah.
Tengah malam Ia terbangun oleh cahaya. Ia melihat Gandalf sudah kembali dan sedang berjalan mondar-mandir di ruangan itu, di balik kelambu relung tempat tidur. Banyak lilin di lantai, dan gulungan-gulungan kertas. Ia mendengar penyihir itu mendesah dan bergumam, "Kapan Faramir kembali?"

"Halo!" kata Pippin, sambil menjulurkan kepala dari kelambu.
"Kukira kau sudah lupa sama sekali tentang aku. Aku senang kau sudah kembali. Hari ini rasanya panjang sekali."
"Tapi malam ini hanya singkat sekali," kata Gandalf "Aku kembali ke sini karena aku perlu ketenangan, sendirian. Kau harus tetap tidur di tempat tidur, selagi masih bisa. Saat matahari terbit aku akan membawamu ke Lord Denethor lagi. Tidak, maksudku kalau panggilannya sudah datang, bukan saat matahari terbit. Kegelapan sudah dimulai. Takkan ada fajar."

BERSAMBUNG KE BAB 2/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates