Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 5/10 JENDELA YANG MENGHADAP KE BARAT

<<< SEBELUMNYA


Sam merasa baru tidur beberapa menit ketika ia bangun dan menyadari hari sudah siang, dan Faramir sudah kembali. Ia membawa banyak sekali orang; memang semua yang selamat dalam penggerebekan itu berkumpul di lereng dekat situ, sekitar dua atau tiga ratus orang. Mereka duduk dalam setengah lingkaran besar; Faramir duduk di tanah, di tengah lengan-lengan lingkaran, sementara Frodo berdiri di depannya. Tampaknya seperti pemeriksaan sidang pengadilan terhadap seorang tawanan.

Sam merangkak keluar dari pakis, tapi tak ada yang memperhatikan. Ia menempatkan dirinya di ujung barisan orang-orang, agar bisa melihat dan mendengar apa yang sedang berlangsung. Ia memperhatikan dan mendengarkan dengan saksama, siap lari membantu majikannya bila diperlukan. Ia bisa meilihat wajah Faramir yang sekarang tak bertopeng: keras dan otoriter, ada kecerdasan tajam di balik sorot matanya yang menyelidik. Keraguan terpancar dari mata kelabunya yang terus memandang Frodo.
Sam segera menyadari bahwa sang kapten tidak puas dengan cerita Frodo tentang dirinya sendiri pada beberapa titik: apa perannya dalam Rombongan yang berangkat dari Rivendell; mengapa ia meninggalkan Boromir, dan ke mana ia hendak pergi. Ia terutama sering kembali ke masalah Kutukan Isildur. ia melihat jelas bahwa Frodo menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.
"Tapi dengan kedatangan seorang Halfling, Kutukan Isildur akan bangkit, atau begitulah kata-kata itu harus ditafsirkan," ia bersikeras.
"Kalau kau adalah Halfling yang disebut-sebut itu, tentu kau membawa benda itu ke Rapat Akbar yang kauceritakan, dan di sana Boromir melihatnya. Apakah kau menyangkal itu?" Frodo tidak menjawab. "Nah!" kata Faramir. "Kalau begitu, aku ingin tahu lebih banyak darimu tentang benda itu; apa yang menyangkut Boromir adalah urusanku. Menurut dongeng-dongeng lama, sebatang panah Orc menewaskan Isildur. Tapi panah Orc banyak sekali, dan melihat salah satu panah itu tidak akan dianggap pertanda Maut oleh Boromir dari Gondor. Apakah kau menyimpan benda itu? Kaubilang benda itu tersembunyi; tapi bukankah itu karena kau memilih menyembunyikannya?"
"Bukan, bukan karena aku yang memilih," jawab Frodo. "Benda ini bukan milikku. Dia bukan milik makhluk fana, besar maupun kecil; kalau ada yang bisa mengakuinya sebagai miliknya, dialah Aragorn putra Arathorn, pemimpin Rombongan dari Moria ke Rauros."
"Mengapa dia, dan bukan Boromir, pangeran dari Kota yang dibangun putra-putra Elendil?"
"Sebab Aragorn adalah keturunan langsung Isildur, putra Elendil sendiri, ayah ke ayah. Dan pedang yang disandangnya adalah pedang Elendil." Suara menggumam kaget menyebar di antara orang-orang yang duduk di dalam lingkaran itu. Beberapa berseru keras-keras, "Pedang Elendil! Pedang Elendil datang ke Minas Tirith! Kabar besar!" Tapi wajah Faramir tidak berubah.
"Mungkin," katanya. "Tapi pengakuan yang begitu besar perlu dipastikan, dan bukti-bukti jelas diperlukan, kalau Aragorn ini akan datang ke Minas Tirith. Dia belum datang, atau siapa pun dari Rombongan-mu, ketika aku berangkat enam hari yang lalu."
"Boromir puas dengan pengakuan itu," kata Frodo. "Bahkan kalau Boromir ada di sini, dia akan menjawab semua pertanyaanmu. Dia sudah berada di Rauros beberapa hari yang lalu, dan berniat langsung kembali ke kotamu. Kalau kau kembali, kau akan segera menemukan jawabannya di sana. Peranku dalam Rombongan itu diketahui olehnya, juga oleh yang lain, karena ditugaskan padaku oleh Elrond dari Imladris di depan Rapat Akbar. Dengan tugas itulah aku masuk ke negeri ini, tapi bukan hakku untuk mengungkapkannya pada siapa pun di luar Rombongan. Tapi mereka yang mengaku melawan Musuh sebaiknya jangan merintangi." Nada suara Frodo angkuh, apa pun yang dirasakannya, dan Sam setuju dengannya, tapi itu tidak menenteramkan Faramir.
"Jadi!" katanya, "kau minta aku menangani urusanku sendiri, pulang kembali dan membiarkanmu. Boromir akan menceritakan semuanya kalau dia datang. Kalau dia datang, katamu! Apa kau sahabat Boromir?" Frodo ingat jelas serangan Boromir kepadanya, dan sejenak ia ragu. Mata Faramir yang memperhatikannya memancarkan sinar keras.
"Boromir anggota Rombongan kami yang gagah berani," kata Frodo akhirnya. "Ya, aku sahabatnya." Faramir tersenyum muram. "Kalau begitu, kau akan sedih mendengar bahwa Boromir sudah tewas?"
"Aku akan sedih," kata Frodo. Melihat sorot mata Faramir, ia menjadi bimbang. "Tewas?" katanya. "Maksudmu dia sudah tewas, dan kau tahu itu? Kau berusaha menjebakku dalam kata-kata, mempermainkan aku? Atau sekarang kau mencoba menjeratku dengan tipuan?"
"Aku tidak akan menjerat Orc sekalipun dengan tipuan," kata Faramir.
"Kalau begitu bagaimana dia tewas, dan bagaimana kau tahu tentang itu? Katamu tak ada anggota Rombongan yang sampai ke kota ketika kau berangkat."
"Bagaimana caranya dia tewas, justru aku berharap sahabat dan pendampingnya akan menceritakan padaku."
"Tapi dia masih hidup dan kuat ketika kami berpisah. Dan dia masih hidup, sejauh kuketahui. Meski memang banyak bahaya di dunia."
"Memang banyak," kata Faramir, "dan pengkhianatan salah satunya yang tidak kurang berbahaya." Sam sudah semakin tak sabar dan marah mendengar percakapan itu. Kata-kata terakhir itu sudah keterlaluan. Ia berlari ke tengah lingkaran, menghampiri majikannya.
"Maaf, Mr. Frodo," katanya, "tapi ini sudah keterlaluan. Dia tidak berhak berbicara seperti itu padamu. Kau sudah banyak berkorban demi dia dan semua Manusia hebat ini, juga untuk yang lain."
"Begini, Kapten!" ia berdiri persis di depan Faramir, berkacak pinggang, ekspresi wajahnya seolah ia sedang berbicara dengan seorang hobbit muda yang lancang ketika ditanyai tentang kunjungannya ke kebun. Terdengar suara bergumam, tapi juga terlihat wajah-wajah nyengir orang-orang yang menyaksikannya: melihat Kapten mereka duduk di tanah, berhadapan mata dengan seorang hobbit muda yang berdiri dengan kaki terentang lebar, mendengus marah. Ini pemandangan yang luar biasa bagi mereka. "Lihat!" kata Sam. "Apa maksudmu? Langsung saja, sebelum semua Orc dari Mordor menyerbu kita! Kau sinting kalau mengira majikanku membunuh Boromir, lalu lari. Tapi katakan saja, dan selesaikan! Lalu kami ingin tahu, apa yang akan kaulakukan berkaitan dengan itu. Sayang sekali kalian tak bisa membiarkan orang lain mengurus urusan mereka sendiri. Musuh akan sangat senang kalau bisa melihatmu sekarang. Pasti dia mengira sudah dapat teman baru."
"Sabar!" kata Faramir, tidak marah. "Jangan bicara mendahului majikanmu yang lebih cerdas. Dan aku tidak butuh siapa pun untuk mengajariku tentang bahaya yang mengancam kita. Biarpun begitu, aku masih mau menimbang-nimbang, agar bisa menilai suatu masalah sulit dengan bijak. Kalau aku juga tergesa-gesa sepertimu, sudah kubunuh kau sejak awal. Karena aku diperintahkan membunuh siapa pun yang kujumpai berada di daratan ini tanpa seizin Penguasa Gondor. Tapi aku tidak membunuh manusia atau hewan dengan sia-sia, dan bukan dengan senang hati meski diperlukan. Aku juga tidak berbicara sia-sia. Jadi, tenanglah. Duduk di samping majikanmu, dan diamlah!" Sam duduk dengan wajah merah. Faramir berbicara pada Frodo lagi. "Kau bertanya bagaimana aku tahu putra Denethor sudah tewas. Kabar kematian mempunyai banyak sayap. Malam sering membawa kabar pada keluarga dekat. Boromir adalah kakakku." Bayangan kesedihan terpancar di wajahnya. "Apa kau ingat tanda khas yang dibawa Pangeran Boromir di antara semua perlengkapannya?" Frodo berpikir sebentar, khawatir ada jebakan baru, dan bertanya-tanya bagaimana debat ini akan berakhir. Ia sudah susah payah menyelamatkan Cincin dari rengkuhan tangan Boromir yang angkuh dan entah bagaimana ia bisa berhasil di tengah-tengah begitu banyak pejuang gagah dan kuat ini. Meski begitu, dalam hati ia merasa bahwa Faramir, meski penampilannya mirip sekali dengan saudaranya, bukanlah orang yang sombong, juga lebih keras dan bijak. "Aku ingat Boromir membawa terompet," kata Frodo akhirnya.
"Ingatanmu benar. Rupanya kau memang pernah melihatnya," kata Faramir. "Kalau begitu, mungkin kau bisa melihat terompet itu dalam ingatanmu: terompet besar dari tanduk lembu jantan dari Timur, diikat perak dan ditulisi huruf-huruf kuno. Terompet itu dibawa putra sulung keluarga kami selama beberapa generasi; konon kalau terompet itu ditiup dalam saat kesulitan, di mana pun dalam perbatasan Gondor, dalam wilayah seperti di masa lalu, bunyinya tidak akan lewat tanpa diperhatikan."
"Lima hari sebelum menempuh perjalanan ini, sebelas hari yang lalu sekitar jam jam ini, aku mendengar terompet itu ditiup: kedengarannya datang dari utara, tapi redup, seolah hanya gema dalam benakku. Ayahku dan aku merasa itu pertanda berita buruk, karena kami belum mendengar berita sama sekali dari Boromir sejak dia pergi, dan tak ada penjaga di perbatasan yang melihatnya lewat. Dan pada malam ketiga setelahnya, ada kejadian lain yang lebih aneh."
"Malam hari aku duduk dekat Sungai Anduin, dalam keremangan kelabu di bawah bulan muda yang pucat, memperhatikan sungai yang terus mengalir, dan ilalang yang sedih mendesir. Begitulah kami selalu menjaga pantai-pantai dekat Osgiliath, yang sebagian dikuasai musuhmusuh kami, yang keluar dari sana untuk mengganggu negeri kami. Tapi malam itu seluruh dunia tertidur di tengah malam. Kemudian aku melihat, atau serasa melihat, sebuah perahu mengambang di air, mengilap kelabu sebuah perahu kecil berbentuk aneh dan berhaluan tinggi tak ada yang mengayuh atau mengemudikannya."
"Aku tertegun melihatnya, sebab seberkas sinar pucat mengitarinya. Aku bangkit dan berjalan ke tebing, lalu mulai melangkah ke air, bagai tertarik ke perahu itu. Lalu perahu itu berbelok ke arahku dan mengurangi kecepatannya, mengambang perlahan dalam jangkauan tanganku, namun aku tak berani menyentuhnya. Ia mengambang cukup dalam, seolah terisi beban berat. Ketika lewat di depanku, perahu itu seolah terisi penuh oleh air jernih, yang dari dalamnya memancarkan sinar. Dan di dalam air itu berbaring seorang pejuang."
"Di lututnya tergeletak sebilah pedang patah. Tubuhnya penuh luka-luka. Dia ternyata Boromir, kakakku, sudah tewas. Aku kenal pakaiannya, pedangnya, wajahnya yang kusayangi. Hanya satu yang tidak ada: terompetnya. Dan ada satu benda yang tidak kukenal: ikat pinggang indah, seolah terbuat dari rangkaian daun-daun emas di pinggangnya. Boromir! teriakku. Di mana terompetmu? Ke mana kau pergi? Oh Boromir! Tapi dia sudah berlalu. Perahu itu kembali memasuki aliran sungai, hanyut berkilauan ke dalam malam pekat. Seperti mimpi, tapi bukan mimpi, karena aku tidak terbangun sesudahnya. Dan aku tidak ragu dia memang sudah tewas, berlalu ke Samudra, menyusuri Sungai."
"Aduh!" kata Frodo. "Itu memang Boromir yang kukenal. Sebab ikat pinggang emas itu diberikan kepadanya di Lothlorien oleh Lady Galadriel. Dia pula yang memberi kami pakaian seperti yang kaulihat sekarang, kelabu bangsa Peri. Bros ini hasil kriya yang sama." ia menyentuh daun hijau dan perak yang mengikat jubahnya, di bawah tenggorokannya.
Faramir memandangnya dengan cermat. "Indah sekali," katanya. "Ya, ini hasil kriya yang sama. Jadi, kalian lewat Negeri Lorien? Dulu namanya Laurelind Orenan, tapi kini sudah lama berada di luar pengetahuan Manusia," tambahnya lembut, menatap Frodo dengan ke kaguman baru di matanya. "Sekarang banyak hal aneh tentang dirimu mulai kupahami. Tidakkah kau mau menceritakan lebih banyak padaku? Karena aku terpukul sekali bahwa Boromir tewas dalam jarak pandang kampung halamannya."
"Aku tak bisa mengatakan lebih dari yang sudah kukatakan," jawab Frodo. "Namun ceritamu menimbulkan firasat di hatiku. Kurasa yang kaulihat itu hanyalah sebuah visi, suatu bayangan peristiwa buruk yang sudah atau akan terjadi. Kecuali itu memang tipuan bohong dari Musuh. Aku sudah melihat wajah-wajah pejuang gagah dari zaman dulu berbaring tidur di dalam kolam Rawa-Rawa Mati, atau begitulah kelihatannya, karena tipuan sihimya."
"Tidak, yang kulihat itu bukan tipuan," kata Faramir. "Hasil karya Musuh memenuhi hati dengan kebencian; padahal hatiku dipenuhi kesedihan dan rasa iba."
"Tapi bagaimana mungkin hal seperti itu bisa benar-benar terjadi?" tanya Frodo. "Sebab tak ada perahu yang bisa digotong melewati bukitbukit berbatu Tol Brandir; lagi pula, Boromir berniat pulang melintasi Entwash dan padang-padang Rohan. Bagaimana bisa sebuah perahu melintasi air terjun besar yang menggelegak berbuih, tanpa tersendat di telaga-telaga mendidih, meski diisi penuh dengan air?"
"Aku tidak tahu," kata Faramir. "Tapi dari mana perahu itu berasal?"
"Dari Lorien," kata Frodo. "Dengan tiga perahu semacam itu kami mendayung melintasi Anduin, sampai ke Air Terjun. Perahu itu juga buatan kaum Peri."
"Kau melewati Negeri Tersembunyi," kata Faramir, "tapi kurang memahami daya kekuatannya. Kalau manusia berurusan dengan Wanita Sihir yang tinggal di Hutan Emas, hal-hal aneh akan terjadi. Sangat berbahaya bagi manusia fana untuk pergi dari dunia Matahari ini, dan hanya sedikit yang kembali dari sana tanpa berubah, begitulah kata orang-orang."
"Boromir, oh Boromir!" serunya. "Apa yang dia katakan padamu, Wanita yang hidup abadi itu? Apa yang dilihatnya? Apa yang bangkit di hatimu ketika itu? Mengapa kau melewati Laurelind Orenan, bukan lewat jalanmu sendiri, naik kuda Rohan dan pulang di pagi hari?" Lalu ia berbicara lagi pada Frodo dengan suara tenang. "Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, kau tentu bisa menjawabnya, Frodo putra Drogo.
Mungkin tidak di sini, dan tidak sekarang. Tapi agar kau tidak menganggap ceritaku hanya khayalan, akan kuceritakan ini. Terompet Boromir akhirnya kembali dalam kenyataan, bukan hanya sebagai bayangan. Terompetnya datang, tapi sudah terbelah dua, seperti dipatahkan oleh kapak atau pedang. Beberapa keping pecahannya sampai ke pantai: salah satu ditemukan di antara ilalang, di mana para penjaga Gondor berbaring, sebelah utara di bawah aliran masuk Sungai Entwash; yang lainnya ditemukan berputar-putar di atas aliran sungai oleh penjaga di sana. Kebetulan yang aneh, yang hanya timbul bila terjadi pembunuhan, begitu kata orang-orang."
"Dan kini dua keping pecahan terompet putra tertua ada di pangkuan Denethor yang duduk di takhtanya yang tinggi, menunggu kabar berita.
Dan kau tak bisa menceritakan padaku tentang patahnya terompet itu?"
"Tidak, aku tidak tahu tentang itu," kata Frodo. "Tapi hari ketika kau mendengarnya ditiup, kalau hitunganmu benar, adalah hari ketika kami berpisah, ketika aku dan pelayanku meninggalkan Rombongan. Kini ceritamu membuatku cemas. Kalau Boromir ketika itu berada dalam bahaya dan tewas dibunuh, aku khawatir semua pendampingku juga tewas. Padahal mereka adalah keluargaku dan sahabat-sahabatku."
"Tidakkah kau mau melupakan sebentar kecurigaanmu padaku dan membiarkan aku pergi? Aku letih, juga sangat sedih dan takut. Tapi ada tugas yang harus kulakukan, atau berusaha kulakukan, sebelum aku pun tewas dibunuh. Dan aku perlu menyelesaikan tugas ini lebih cepat, kalau hanya kami berdua yang tersisa dari rombongan kami."
"Pulanglah, Faramir, Kapten Gondor yang gagah, dan pertahankan kotamu selagi masih bisa. Biarkan aku pergi ke mana takdirku membawa."
"Bagiku pembicaraan ini sangat tidak menyenangkan," kata Faramir, "tapi ketakutanmu jelas terlalu berlebihan. Kecuali orang-orang Librien sendiri datang kepadanya, siapa yang mendandani Boromir seperti untuk pemakaman? Bukan Orc ataupun pelayan Dia yang Tak Bernama.
Beberapa dari Rombonganmu masih hidup, kukira."
"Tapi apa pun yang terjadi dalam Perjalanan ke Utara, kau, Frodo, tak lagi kucurigai. Masa-masa sulit ini membuatku waspada terhadap kata kata dan wajah Manusia, tapi mungkin aku boleh menebak tentang kaum Halfling!" Kini ia tersenyum, "Ada yang aneh pada dirimu, Frodo, sifat bangsa Peri, mungkin. Tapi pembicaraan kita ternyata mengandung makna lebih dalam dari yang sebelumnya kuduga. Seharusnya aku membawamu ke Minas Tirith sekarang, untuk menghadap Denethor. Biarlah aku mati kalau keputusanku kini ternyata merugikan kotaku.
Aku tidak akan terburu-buru memutuskan apa yang harus dilakukan. Tapi kami harus berangkat dari sini tanpa penundaan lebih lama lagi." Ia melompat berdiri dan mengeluarkan beberapa perintah. Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya segera memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan pergi ke beberapa arah, menghilang dengan cepat dalam bayangan batu karang dan pepohonan. Hanya Mablung dan Damrod tetap di sana.
"Sekarang kau, Frodo dan Samwise, akan ikut bersamaku dan pengawalku," kata Faramir. "Kau tak bisa terus menyusuri jalan ke selatan, seandainya itu niatmu. Tidak aman untuk beberapa hari, dan selalu diawasi lebih cermat setelah penggerebekan ini. Bagaimanapun, kau tidak bakal bisa pergi jauh hari ini, karena kau lelah. Begitu pula kami. Kami akan pergi ke suatu tempat rahasia, sekitar sepuluh mil dari sini. Para Orc dan mata-mata Musuh belum menemukannya, dan kalaupun mereka menemukannya, kami bisa mempertahankannya untuk waktu lama, meski melawan banyak musuh. Di sana kita bisa berbaring dan beristirahat. Di pagi hari aku akan memutuskan apa yang terbaik dilakukan bagiku, juga bagimu."
Frodo hanya bisa menuruti permintaan atau perintah itu. Saat itu, tampaknya tindakan tersebut cukup bijak, sebab penggerebekan yang dilakukan orang-orang Gondor membuat pengembaraan di Ithilien semakin berbahaya.
Mereka segera berangkat: Mablung dan Damrod agak di depan, Faramir dengan Frodo dan Sam di belakang. Dengan menyusuri sisi kolam di mana para hobbit sudah mandi, mereka menyeberangi sungai, mendaki tebing panjang, dan masuk ke wilayah hutan kehijauan yang membentang di bawah dan ke arah barat. Sementara berjalan, secepat yang dimungkinkan oleh langkah kaki kedua hobbit, mereka berbicara dengan suara pelan.
"Aku memotong pembicaraan kita," kata Faramir, "bukan hanya karena waktu sudah mendesak, seperti diingatkan oleh Master Samwise, tapi juga karena kita semakin mendekati masalah yang sebaiknya tidak diperbincangkan secara terbuka di depan banyak orang. Karena itulah aku lebih banyak membicarakan masalah kakakku dan membiarkan masalah Kutukan Isildur. Kau tidak sepenuhnya jujur padaku, Frodo."
"Aku tidak berbohong, dan aku sudah memberitahukan kebenarannya sebisa mungkin," kata Frodo.
"Aku tidak menyalahkanmu," kata Faramir. "Kau berbicara dengan taktis pada saat-saat sulit, dan bijak, menurutku. Tapi aku bisa tahu atau menduga lebih banyak daripada yang kauungkapkan. Kau tak bersahabat dengan Boromir, atau tidak berpisah dalam suasana bersahabat.; Kau, dan Master Samwise, punya keluhan terhadapnya. Aku sangat menyayangi kakakku, dan dengan senang hati akan membalas kematiannya, tapi aku kenal betul dia. Kutukan Isildur aku menebak bahwa Kutukan Isildur berada di antara kalian, dan merupakan penyebab pertikaian dalam Rombongan-mu. Jelas benda itu adalah pusaka yang sangat hebat, dan benda semacam itu tidak menyebarkan kedamaian di antara para sekutu, begitulah selalu yang terjadi menurut dongeng-dongeng kuno. Bukankah ucapanku mendekati kebenarannya?"
"Dekat sekali," kata Frodo, "tapi tidak tepat. Tak ada pertikaian dalam Rombongan, meski ada keraguan: keraguan tentang jalan yang akan kami ambil dan Emyn Muil. Tapi dongeng-dongeng kuno memang mengajari kita tentang bahayanya mengucapkan kata-kata gegabah mengenai benda-benda pusaka."
"Ah, kalau begitu dugaanku benar: masalahmu hanya dengan Boromir. Dia ingin benda itu dibawa ke Minas Tirith. Sayang sekali! Takdir yang berliku-liku telah mengunci bibirmu. Kau yang terakhir melihatnya, dan kau menyembunyikan dariku apa yang sangat ingin kuketahui: apa yang ada dalam hati dan pikirannya pada saat-saat terakhir hidupnya. Entah dia keliru atau tidak, aku yakin satu hal ini: dia mati dengan terhormat. Wajahnya lebih elok daripada ketika dia masih hidup.
"Tapi, Frodo, aku mula-mula mendesakmu dengan keras tentang Kutukan Isildur. Maafkan aku! Itu sangat tidak bijak, di waktu dan tempat seperti itu. Aku belum sempat berpikir panjang. Kami sudah mengalami pertempuran berat, dan aku banyak pikiran. Tapi ketika berbicara denganmu, aku semakin dekat pada sasaran, maka aku sengaja menembak lebih melebar. Karena kau perlu tahu bahwa banyak pengetahuan kuno masih disimpan di antara para Penguasa kota dan tidak disebarkan keluar. Keluargaku bukan keturunan Elendil, meski darah Niunenor mengalir dalam diri kami. Karena garis keturunan kami berasal dari Mardil, kepala rumah tangga istana yang baik, yang menggantikan memerintah ketika Raja pergi berperang. Dialah Raja Earnur, yang terakhir dari garis keturunan Anarion, dan dia tidak mempunyai putra.
Dia tak pernah kembali. Sejak itu, kota diperintah para pelayan istana, meski itu sudah beberapa generasi Manusia yang lalu.
"Dan aku ingat ketika Boromir masih anak-anak, ketika kami bersama-sama belajar riwayat ayah-ayah kami dan sejarah kota kami. Dia selalu tidak puas bahwa ayahnya bukan raja. ‘Berapa ratus tahun diperlukan untuk membuat pelayan menjadi raja, kalau raja tidak kembali?' dia bertanya. 'Di tempat lain, yang keturunan rajanya kurang agung, mungkin hanya beberapa tahun,' ayahku menjawab. 'Di Gondor sepuluh ribu tahun tidak akan cukup.' Sayang sekali! Boromir malang! Cerita ini cukup menunjukkan sifatnya, bukan?"
"Ya," kata Frodo. "Meski begitu, dia selalu memperlakukan Aragorn dengan penuh hormat."
"Aku tidak meragukan itu," kata Faramir. "Kalau dia puas dengan pengakuan Aragorn, seperti katamu, dia pasti sangat menghormatinya.
Tapi waktu itu belum ada tekanan. Mereka belum sampai di Minas Tirith atau menjadi saingan dalam peperangan-peperangannya.
"Tapi aku melenceng. Kami di rumah Denethor kenal banyak pengetahuan kuno karena tradisi, dan terlebih lagi dalam harta kami banyak benda-benda disimpan: buku-buku dan catatan-catatan yang ditulis pada perkamen, ya, dan pada batu, pada daun-daun dari emas dan perak, dalam aneka macam huruf. Beberapa tak bisa dibaca oleh seorang pun; dan sisanya hanya sedikit yang pernah membukanya. Aku bisa sedikit-sedikit membacanya, karena aku pernah belajar. Catatan-catatan inilah yang membawa Pengembara Kelabu pada kami. Aku pertama kali melihatnya ketika aku masih kanak-kanak, dan dia sudah dua atau tiga kali datang sejak itu."
"Pengembara Kelabu?" kata Frodo. "Apakah dia punya nama?"
"Kami memanggilnya Mithrandir dalam bahasa Peri," kata Faramir, "dan dia puas. Banyak namaku di banyak negeri, katanya. Mithrandir di antara kaum Peri, Tharkun untuk kaum Kurcaci; Olorin namaku di masa remaja, di Barat yang sudah terlupakan, di Selatan Incanus, di Utara Gandalf; ke Timur aku tidak pergi."
"Gandalfl" kata Frodo. "Sudah kukira. Gandalf si Kelabu, penasihat kami tersayang. Pemimpin Rombongan kami. Dia hilang di Moria."
"Mithrandir hilang!" kata Faramir. "Nasib buruk bagi rombonganmu. Sulit memang untuk mempercayai bahwa orang yang begitu luas
pengetahuannya, dan punya daya begitu hebat karena dia melakukan banyak hal mengagumkan di tengah-tengah kami bisa tewas. Sungguh suatu kehilangan besar bagi dunia. Apa kau yakin dia tewas, bukan hanya meninggalkanmu?"
"Sayang sekali! Ya," kata Frodo. "Aku melihatnya jatuh ke dalam jurang."
"Rupanya ada kisah yang sangat mengerikan tentang ini," kata Faramir. "Mungkin bisa kauceritakan padaku nanti malam. Kurasa Mithrandir ini bukan sekadar ahli pengetahuan: seorang pelaku tindakan-tindakan besar pada masa kita. Seandainya dia berada di tengahtengah kami, bisa kami tanyakan padanya makna kata-kata keras dalam impian kami, dan dia bisa menjelaskannya pada kami tanpa perlu perantara utusan.
Tapi mungkin dia tidak akan melakukan itu, dan Boromir memang ditakdirkan tewas. Mithrandir tak pernah berbicara pada kami tentang masa depan, atau menyingkapkan niatnya. Entah bagaimana caranya, dia memperoleh izin dari Denethor untuk melihat rahasia harta kami.
Aku belajar sedikit darinya, kalau dia mau mengajari kami (meski itu jarang terjadi). Dia selalu mencari dan menanyai kami, terutama tentang semua yang berhubungan dengan Pertempuran Besar di Dagorlad, di masa awal Gondor, ketika Dia yang tidak kami sebutkan, ditaklukkan. Dan dia sangat ingin tahu cerita-cerita tentang Isildur, meski kami hanya bisa sedikit bercerita; sebab kami tak pernah tahu pasti tentang kematiannya." Sekarang suara Faramir merendah menjadi bisikan. "Tapi aku tahu atau menduga, dan selama ini menyimpannya sebagai rahasia: bahwa Isildur mengambil sesuatu dari tangan Dia yang Tak Bernama, sebelum dia pergi dari Gondor, dan tak pernah terlihat lagi di antara makhluk fana. Di sinilah kukira jawaban atas pertanyaan Mithrandir. Tapi waktu itu tampaknya hanya orang-orang yang suka belajar tentang masa lalu yang berkepentingan dengan masalah tersebut. Begitu pula ketika teka-teki mimpi kami diperdebatkan, tak terpikir olehku bahwa Kutukan Isildur adalah benda yang sama. Karena Isildur disergap dan dibunuh panahpanah Orc, menurut satu-satunya legenda yang kami kenal, dan Mithrartdir tak pernah menceritakan lebih dari itu.
"Apa sebenamya Benda ini, tak bisa aku duga; tapi pasti suatu pusaka dahsyat dan berbahaya. Senjata jahat, mungkin, yang diciptakan sang Penguasa Kegelapan. Kalau benda itu memberi keuntungan dalam pertempuran, aku bisa percaya bahwa Boromir yang angkuh dan berani, sering gegabah, dan selalu mengharapkan kemenangan Minas Tirith (dengan demikian kemuliaan dirinya sendiri), mungkin menginginkan benda semacam itu dan terpikat olehnya. Sayang sekali dia pergi untuk tugas itu! Seharusnya aku yang dipilih oleh ayahku dan para tetua, tapi dia mengajukan dirinya sendiri, karena dia lebih tua dan lebih tabah (keduanya memang benar), dan dia tak mau dihalangi.
"Tapi jangan takut! Aku tidak akan mengambil benda itu, meski tergeletak di dekat jalan raya. Juga tidak seandainya Minas Tirith jatuh dalam kehancuran dan hanya aku yang bisa menyelamatkannya dengan menggunakan senjata sang Penguasa Kegelapan demi kebaikan negeriku dan kemuliaanku. Tidak, aku tak ingin mengharapkan kemenangan macam itu, Frodo putra Drogo."
"Begitu juga Dewan Penasihat," kata Frodo. "Begitu juga aku. Aku tak ingin melakukan hal semacam itu."
"Aku sendiri," kata Faramir, "ingin melihat Pohon Putih berkembang lagi di halaman istana raja-raja, Mahkota Perak kembali, dan Minas Tirith penuh kedamaian: Minas Anor kembali seperti semula, penuh cahaya, tinggi dan indah, seperti ratu di antara ratu-ratu lain: bukan majikan dari banyak budak, tidak, bahkan bukan majikan yang baik hati di antara budak-budak yang taat. Perang memang terpaksa dilakukan, untuk membela diri terhadap perusak yang akan melahap semuanya; tapi bukan pedang yang tajam berkilau yang kucintai, bukan juga panah yang mendesing cepat, atau pejuang yang hebat. Aku hanya mencintai apa yang kubela: kota Orang-Orang Numenor; aku ingin dia dicintai karena kenangan-kenangannya, kekunoannya, keindahannya, dan kebijakannya yang sekarang. Bukan ditakuti, kecuali seperti orang yang disegani karena martabatnya, usianya, dan kebijaksanaannya."
"Jadi, jangan takut padaku! Aku tidak minta kau menceritakan lebih dari itu. Aku bahkan tidak memintamu mengatakan apakah pembicaraanku sekarang sudah lebih mendekati kebenaran. Tapi kalau kau mempercayaiku, mungkin aku bisa memberimu nasihat dalam pencarianmu yang sekarang, apa pun itu ya, dan bahkan membantumu." Frodo tidak menjawab. Hampir saja ia menyerah pada keinginan untuk memperoleh bantuan dan nasihat, untuk menceritakan pada laki-laki muda yang serius ini, yang kata-katanya tampak bijak dan indah, semua yang ada dalam pikirannya. Tapi sesuatu menahannya. Hatinya berat dengan kekhawatiran dan kesedihan: kalau dia dan Sam memang sisa terakhir dari Sembilan Pengembara, maka kini dialah yang memegang pimpinan tunggal atas rahasia tugas mereka. Lebih baik tidak mempercayai daripada mengeluarkan kata-kata gegabah. Dan ingatan akan Boromir, serta perubahan mengerikan akibat godaan Cincin pada dirinya, terbayang jelas dalam ingatannya ketika ia memandang Faramir dan mendengarkan suaranya: mereka tidak mirip, namun juga banyak kesamaannya.
Untuk beberapa saat, mereka berjalan terus dalam diam, bergerak bagai bayang-bayang kelabu dan hijau di bawah pepohonan tua, menapak tanpa bersuara; di atas mereka banyak burung bernyanyi, dan matahari berkilauan di atas atap dedaunan gelap di hutan-hutan yang hijau abadi di Ithilien.
Sam tidak ikut ambil bagian dalam percakapan tadi, meski ia mendengarkan sekaligus memperhatikan dengan telinga hobbit-nya yang taiam semua bunyi lembut negeri hutan di sekitarnya. Satu hal yang diperhatikannya, dalam seluruh pembicaraan itu tidak satu kali pun nama Gollum disebut. Ia gembira, meski merasa tak ada gunanya berharap tidak pernah mendengar nama itu lagi. Ia juga segera menyadari bahwa meski mereka berjalan sendirian, banyak orang di dekat mereka: bukan hanya Damrod dan Mablung yang keluar-masuk dari bayang-bayang
di depan, tapi ada yang lain di kedua sisi, semua berjalan dengan cepat dan sembunyi-sembunyi ke suatu tempat tertentu.
Satu kali ia menoleh mendadak ke belakang, seolah merasa ada yang memperhatikan. Ia merasa menangkap kilasan sebuah bayangan gelap menyelinap ke belakang batang pohon. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi menutupnya lagi. "Aku tidak yakin," ia berkata pada dirinya sendiri, "dan mengapa aku harus mengingatkan mereka pada bajingan tua itu, kalau mereka memilih melupakannya! Kuharap aku bisa!"
Begitulah mereka berjalan, sampai hutan semakin menipis dan daratan mulai turun lebih curam. Lalu mereka menyimpang lagi ke kanan, dan dengan cepat sampai ke sebuah sungai kecil dalam ngarai sempit: sungai yang sama, yang jauh di atas mengucur dari kolam bundar, sekarang sudah menjelma menjadi aliran deras, melompat menuruni bebatuan di palung yang dalam, di atasnya menggantung ilex dan boxwood yang gelap. Ke arah barat mereka bisa melihat di bawah, dalam kabut cahaya, dataran rendah dan padang-padang luas, berkilauan di bawah sinar matahari yang menjelang terbenam, jauh di barat, air Sungai Anduin yang lebar."
"Sayang sekali! Di sini aku terpaksa bersikap kurang sopan," kata Faramir. "Kuharap kalian mau memaafkan aku yang sejauh ini sudah mengesampingkan tugasnya, hingga tidak membunuh atau mengikat kalian. Tapi ada perintah bahwa tak satu pun orang asing meski orang dari Rohan yang berjuang di pihak kami boleh melihat jalan yang sekarang kita tapaki dengan mata terbuka. Aku terpaksa menutup mata kalian."
"Terserah," kata Frodo. "Bahkan kaum Peri juga melakukan itu bila perlu, dan dengan mata tertutup kami menyeberangi perbatasan Lothlorien yang indah. Gimli si Kurcaci agak marah, tapi para hobbit menaatinya."
"Bukan ke tempat indah aku membawa kalian," kata Faramir.
"Tapi aku gembira kau mau menaatinya, hingga aku tak perlu memaksa dengan kekerasan." Ia memanggil dengan pelan. Mablung dan Damrod keluar dari balik pepohonan dan kembali kepadanya. "Tutup mata tamu-tamu ini," kata Faramir. "Erat, tapi jangan sampai membuat mereka merasa tidak nyaman. Jangan ikat tangan mereka. Mereka bersumpah tidak akan berusaha melihat. Aku percaya mereka bisa memejamkan mata sendiri, tapi mata bisa berkedip kalau kaki tersandung. Tuntun mereka agar tidak terhuyung-huyung." Dengan selendang hijau, kedua pengawal mengikat mata kedua hobbit, dan menarik kerudung mereka sampai hampir ke mulut; kemudian dengan cepat mereka masing-masing memegang satu hobbit dan terus berjalan. Frodo dan Sam hanya bisa menduga-duga dalam gelap tentang akhir perjalanan mereka. Setelah beberapa saat, mereka menyadari berada di sebuah jalan yang menurun terjal; dengan segera jalan itu semakin sempit, hingga mereka hanya bisa berjalan satu-satu, menyentuh dinding di kedua sisi; kedua pengawal mengemudikan mereka dari belakang, memegangi pundak mereka. Sekali-sekali mereka sampai di tempat-tempat yang tidak rata, dan untuk beberapa saat mereka diangkat, kemudian ditempatkan di tanah lagi. Bunyi air mengalir ada di sebelah kanan mereka terus, semakin dekat dan keras. Akhirnya mereka dihentikan. Dengan cepat Mablung dan Damrod memutar-mutar badan mereka, dan mereka kehilangan seluruh perasaan tentang arah. Mereka mendaki sedikit: rasanya dingin, dan bunyi aliran air menjadi lemah. Kemudian mereka diangkat dan digotong menuruni banyak tangga, lalu membelok di suatu tikungan. Mendadak mereka mendengar air lagi, kini keras, mengalir deras dan mendebur. Bunyi itu serasa mengepung mereka, dan terasa hujan gerimis halus pada tangan dan pipi mereka. Akhirnya mereka diletakkan lagi di tanah. Untuk beberapa saat mereka berdiri seperti itu, setengah takut, mata tertutup, tidak tahu di mana mereka berada; dan tidak ada yang berbicara.
Kemudian suara Faramir terdengar dari belakang. "Biarkan mereka melihat!" katanya. Selendang-selendang dilepaskan, dan kerudung disingkap ke belakang. Mereka mengedipkan mata, lalu menarik napas kaget.
Mereka berdiri di lantai basah berlapis ubin yang dipoles, yang merupakan ambang sebuah gerbang batu karang yang dipahat kasar ke gua gelap di belakang. Tapi di depan mereka menggantung tirai air tipis, begitu dekat, hingga Frodo bisa mengulurkan tangan ke dalamnya.
Tempat itu menghadap ke barat. Berkas-berkas mendatar sinar matahari yang sedang terbenam di baliknya menerpa tirai, dan cahaya merah terpecah menjadi sinar berkelip dengan aneka warna yang berubah ubah. Mereka seolah berdiri di jendela sebuah menara Peri, bertirai untaian permata, perak, dan emas, batu merah delima, nilam, dan kecubung, semua menyala dengan api yang tidak membakar.
"Setidaknya kita sampai di saat yang tepat untuk memberi imbalan atas kesabaran kalian," kata Faramir. "Ini adalah Jendela Matahari Terbenam, Henneth Annun, jeram paling indah di Ithilien, negeri penuh air mancur. Hanya sedikit orang asing yang pernah melihatnya. Tapi di belakangnya tak ada balairung kerajaan untuk mendampingi! Masuklah sekarang dan lihatlah!" Tepat ketika ia berbicara, matahari terbenam dan nyala api meredup di dalam air yang mengalir. Mereka membalik dan lewat ke bawah lengkungan rendah yang mengancam. Segera mereka berada di dalam ruangan batu karang, lebar dan kasar, dengan atap lengkung yang tidak rata. Beberapa obor dinyalakan, menjatuhkan cahaya redup pada dinding-dinding yang berkilauan. Sudah banyak orang di sana. Yang lain masih berdatangan, berdua atau bertiga, melalui pintu gelap sempit di satu sisi. Ketika mata mereka sudah menyesuaikan diri dengan keremangan, kedua hobbit itu melihat bahwa gua tersebut lebih luas daripada dugaan mereka, dan berisi sejumlah besar persediaan senjata dan makanan.
"Nah, di sinilah tempat perlindungan kami," kata Faramir. "Bukan tempat yang nyaman, tapi di sini kalian bisa melewatkan malam penuh kedamaian. Setidaknya di sini kering, dan ada makanan, meski tak ada api. Dahulu kala air mengalir melalui gua ini dan keluar dari lengkungan, tapi alirannya diubah di sebelah sana, dekat mulutnya, oleh pekerja-pekerja zaman dulu, dan sungai mengalir terjun dari ketinggian ganda melalui batu karang jauh di atas. Semua jalan masuk ke gua ini lalu ditutup terhadap aliran air atau yang lainnya, kecuali satu. Sekarang hanya ada dua jalan keluar: jalan tempat kalian masuk dengan mata tertutup, dan melalui Tirai jendela masuk ke cekungan dalam yang berisi pisau-pisau batu. Sekarang istirahatlah sebentar, sampai makan malam dihidangkan."
Kedua hobbit dibawa ke pojok dan diberikan sebuah tempat tidur rendah untuk berbaring, kalau mereka mau. Sementara itu, orang-orang sibuk di dalam gua, cekatan dan tanpa suara. Meja-meja ringan diambil dari dekat dinding dan diletakkan di atas kuda-kuda, dipenuhi perlengkapan makan. Semuanya polos dan sebagian besar tidak berhias, tapi buatannya bagus dan indah: piring-piring bundar, mangkuk dan piring dari tanah liat cokelat yang diglasir atau dari kayu peti yang dibubut, mulus dan bersih. Di sana-sini ada cangkir atau baskom dari perunggu yang dipoles; gelas minum berbentuk piala dan perak diletakkan di depan tempat duduk Kapten, di tengah meja yang terletak di pusat.
Faramir berkeliling di antara orang-orang, dengan lembut menanyai masing-masing ketika ia masuk. Beberapa datang dari pengejaran kaum Southron; yang lain, yang ditinggal sebagai pengintai dekat jalan, masuk paling akhir. Semua orang Southron sudah ketahuan nasibnya, kecuali mumak yang besar itu: apa yang terjadi padanya, tidak ada yang tahu. Dan pihak musuh tidak terlihat gerakan apa pun; bahkan matamata Orc tidak ada di luar.
"Kau tidak melihat dan mendengar apa pun, Anborn?" tanya Faramir pada pendatang terakhir.
"Well, tidak, Pangeran," kata orang itu. "Setidaknya bukan Orc. Tapi aku melihat, atau merasa melihat, sesuatu yang agak aneh. Waktu itu senja sudah larut, dan segala sesuatu, jadi terlihat lebih besar daripada sebenarnya. Jadi, mungkin juga yang kulihat itu hanya tupai." Sam memasang telinga ketika mendengar itu. "Kalau memang tupai, warnanya pasti hitam, dan aku tidak melihat ekornya. Sosoknya seperti sebuah bayangan di tanah, dan dia meluncur cepat ke belakang batang pohon ketika aku mendekat, memanjat ke atas secepat tupai. Kau tak ingin kami membunuh hewan-hewan liar dengan sia-sia, dan tampaknya dia cuma hewan liar, maka aku tidak mencoba memanahnya.
Bagaimanapun, sudah terlalu gelap untuk menembak, dan makhluk itu sudah menghilang ke dalam kegelapan dedaunan, dalam sekejap. Tapi aku tetap di sana untuk beberapa saat, karena tampaknya aneh, kemudian aku buru-buru kembali. Rasanya aku mendengar makhluk itu mendesis padaku dari atas ketika aku pergi. Mungkin seekor tupai besar. Barangkali di bawah bayangan Dia yang Tak Bernama, beberapa hewan liar dari Mirkwood berkeliaran ke hutan-hutan kami. Kata orang-orang, di sana ada tupai hitam."
"Barangkali," kata Faramir. "Tapi itu berarti pertanda buruk. Kita tidak menginginkan pelarian dari Mirkwood di Ithilien." Sam merasa Faramir melirik cepat ke arah para hobbit ketika berbicara; tapi Sam tidak mengatakan apa-apa. Untuk beberapa saat, ia dan Frodo berbaring memperhatikan cahaya obor, dan orang-orang yang bergerak kian kemari sambil berbicara dengan suara teredam. Kemudian tiba-tiba Frodo tertidur.
Sam berdebat dengan dirinya sendiri. "Mungkin dia benar," pikirnya, "dan mungkin juga tidak. Omongan manis bisa menyembunyikan hati yang busuk." ia menguap. "Aku bisa tidur selama seminggu, untuk memulihkan diri. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan, kalaupun aku tetap terjaga? Aku sendirian, dengan Manusia-Manusia besar di sekitarku. Tidak ada, Sam Gamgee; tapi kau harus tetap bangun." Dan entah bagaimana ia berhasil. Cahaya meredup dari pintu gua, dan selubung kelabu air terjun semakin pudar, lalu hilang dalam kegelapan yang semakin pekat. Bunyi air selalu terdengar, nadanya tak pernah berubah, pagi atau sore atau malam. Air itu bergumam dan berbisik tentang tidur. Sam mengganjal matanya dengan buku jari.
Kini lebih banyak obor dinyalakan. Sebuah tong anggur dibuka. Tong-tong Beberapa tong dari gudang dibuka. Orang-orang mengambil air dan berapa mencuci tangan dalam baskom. Sebuah mangkuk tembaga besar dan secarik kain putih dibawa kepada Faramir, dan ia membasuh dirinya.
"Bangunkan tamu-tamu kita," katanya, "dan bawakan air untuk mereka. Sudah saatnya makan." Frodo duduk dan menguap, lalu meregangkan badan. Sam, yang tidak biasa dilayani, memandang heran kepada pria jangkung yang membungkuk sambil memegang baskom penuh air di depannya.
"Taruh saja di tanah, Bung," katanya. "Begitu lebih nyaman buatku dan buatmu." Lalu ia memasukkan kepalanya ke dalam air dingin itu, membasahi leher dan kedua telinganya. Orang-orang yang melihatnya merasa kaget sekaligus geli.
"Apakah di negerimu ada kebiasaan membasuh kepala sebelum makan malam?" kata orang yang melayani kedua hobbit.
"Tidak, biasanya justru sebelum sarapan," kata Sam. "Tapi kalau kurang tidur, air dingin di leher rasanya seperti hujan di daun selada layu.
Nah! Sekarang aku bisa melek cukup lama untuk makan sedikit." Mereka dibawa ke tempat duduk di samping Faramir: tong-tong berlapis kulit bulu yang lebih tinggi daripada bangku-bangku Manusia, sehingga mereka bisa duduk nyaman. Sebelum makan, Faramir dan semua anak buahnya menoleh ke arah barat untuk beberapa saat, dalam diam. Faramir memberi tanda kepada Frodo dan Sam agar melakukan hal yang sama.
"Begitulah kebiasaan kami," katanya ketika mereka duduk. "Kami memandang ke Numenor yang pernah ada, ke rumah kaum Peri di baliknya, dan ke wilayah di luar negeri kaum Peri, yang akan selalu ada. Apakah kau tidak mempunyai kebiasaan semacam itu saat makan?"
"Tidak," kata Frodo, yang merasa sangat kasar dan tidak terpelajar. "Tapi, sebagai tamu, kami membungkuk kepada tuan rumah kami, dan setelah makan kami bangkit dan mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Itu juga kami lakukan," kata Faramir.
Setelah mengembara dan berkemah untuk waktu begitu lama, dan berhari-hari dilewatkan di belantara sepi, makan malam itu seperti pesta bagi kedua hobbit: minum anggur kuning pucat, sejuk dan wangi, makan roti dan mentega, daging asin, buah-buahan kering, dan keju merah yang bagus, dengan tangan bersih dan memakai pisau dan piring bersih. Frodo dan Sam tidak menolak apa pun yang ditawarkan, juga tidak porsi kedua, bahkan ketiga. Anggur mengalir dalam urat darah dan anggota tubuh mereka yang letih. Mereka merasa gembira dan ringan hati hal yang belum pernah mereka rasakan sejak meninggalkan negeri Lorien.
Selesai makan, Faramir membawa mereka ke suatu relung di bagian belakang gua, sebagian tertutup tirai-tirai; sebuah kursi dan dua bangku dibawa ke sana. Sebuah lampu kecil dari tanah hat menyala dalam relung.
"Mungkin kalian ingin segera tidur," katanya, "terutama Samwise yang budiman, yang tidak mau memejamkan matanya sebelum makan entah karena takut rasa laparnya hilang, atau takut padaku, aku tidak tahu. Tapi tidak baik tidur terlalu cepat setelah makan, apalagi menyusul puasa yang lama. Mari kita bercakap-cakap dulu. Tentang perjalanan kalian dari Rivendell pasti banyak yang bisa diceritakan. Kalian juga mungkin ingin tahu sesuatu dari kami dan negeri tempat kalian sekarang berada. Ceritakan tentang Boromir kakakku, tentang Mithrandir tua, dan tentang penduduk Lorien yang elok." Frodo sudah tidak mengantuk, dan ia mau berbicara. Tapi, meski makanan dan anggur sudah membuatnya nyaman, ia belum kehilangan seluruh kewaspadaannya. Sam berseri-seri dan bersenandung, tapi ia puas hanya mendengarkan Frodo berbicara, dan kadang-kadang saja berani berseru menyatakan persetujuan.
Frodo menceritakan banyak kisah, tapi selalu membelokkan masalah dari kisah pencarian Rombongan dan Cincin, lebih banyak membesarkan bagian gagah berani yang diperankan Boromir dalam semua petualangan mereka, dengan serigala-serigala dari belantara, salju di bawah Caradhras, dan di pertambangan Moria di mana Gandalf tewas. Faramir terutama sangat terharu dengan cerita pertempuran di atas jembatan.
"Pasti Boromir jengkel harus lari dari para Orc," katanya, "atau bahkan dari makhluk busuk yang kausebut Balrog meski dia yang terakhir pergi."
"Dia yang terakhir," kata Frodo, "tapi Aragorn terpaksa memimpin kami. Hanya dia yang tahu jalan setelah kejatuhan Gandalf. Seandainya tidak harus menjaga kami, orang-orang yang lebih lemah ini, dia maupun Boromir pasti tidak akan lari ketika itu."
"Mungkin, lebih baik bila Boromir tewas di sana bersama Mithrandir," kata Faramir, "dan tidak berjalan terus menyongsong takdir yang menunggunya di atas air terjun Rauros."
"Mungkin. Tapi sekarang ceritakan kisahmu sendiri," kata Frodo, mengalihkan pembicaraan lagi. "Karena aku ingin belajar lebih banyak tentang Minas Ithil dan Osgiliath, dan Minas Tirith yang bertahan lama. Harapan apa yang kaupunyai untuk kota itu dalam peperanganmu yang berlangsung lama?"
"Harapan apa yang kami punyai?" kata Faramir. "Sudah lama kami tidak mempunyai harapan. Pedang Elendil, kalau dia kembali, mungkin bisa mengobarkannya lagi, tapi kurasa pedang itu pun hanya sanggup menunda hari buruk, kecuali kalau datang bantuan lain yang tidak terduga, dari kaum Peri atau Manusia. Karena Musuh semakin banyak, sedangkan kami semakin menyusut. Kami bangsa yang sudah gagal, kami adalah musim gugur yang takkan pernah melihat musim semi."
"Manusia Numenor dulu tinggal di seantero pantai dan wilayah sekitar laut di Daratan Besar, tapi sebagian besar dari mereka jatuh ke dalam kejahatan dan kebodohan. Banyak yang terpikat oleh Kegelapan dan sihir hitamnya; beberapa jatuh ke dalam kemalasan dan pengangguran, dan beberapa bertikai antara mereka sendiri, sampai mereka dikalahkan dalam kelemahan mereka oleh orang-orang liar."
"Sihir jahat tak pernah dipraktekkan di Gondor, dan Dia Yang Tak Bemama tidak disanjung di sana; kebijakan serta keindahan lama yang dibawa dari Barat masih lama dipertahankan di masa putra putra Elendil Yang Elok, dan masih tetap berada di sana. Meski begitu, Gondor telah menyebabkan pembusukannya sendiri, dan mengalami penurunan secara bertahap, mengira Musuh tertidur, padahal Musuh hanya terusir, tapi belum hancur."
"Kematian selalu hadir, karena bangsa Numenor masih berhasrat akan kehidupan abadi yang tidak berubah, seperti selama masa kerajaan lama yang sudah hilang dari tangan mereka. Raja-raja mendirikan kuburan yang lebih hebat daripada rumah-rumah untuk orang hidup, dan menganggap nama-nama lama dalam garis keturunan mereka lebih penting daripada nama-nama putra-putra mereka. Para penguasa yang tidak mempunyai putra duduk di balairung kuno sambil melamun tentang lambang-lambang; di ruang-ruang rahasia, orang-orang tua yang sudah layu membuat obat-obat mujarab, atau di menara-menara tinggi mengajukan pertanyaan tentang bintang-bintang. Dan raja terakhir dari garis keturunan Anarion tidak mempunyai putra mahkota."
"Tapi para pelayan lebih bijak dan lebih beruntung. Lebih bijak, karena mereka merekrut kekuatan bangsa kekar dari pantai, dan penduduk pegunungan yang tabah dari Ered Nimrais. Mereka melakukan gencatan senjata dengan bangsa-bangsa angkuh dari Utara, yang dulu sering menyerang kami, orang-orang gagah berani, tapi masih bertalian keluarga jauh dengan kami, tidak seperti kaum Easterling yang liar atau Haradrim yang kejam."
"Demikianlah maka di masa Cirion, Steward Kedua Belas (ayahku adalah yang kedua puluh enam), mereka datang membantu kami. Di Padang Celebrant yang luas mereka menghancurkan musuh-musuh yang sudah merebut provinsi-provinsi kami di utara. Itulah kaum Rohirrim, penguasa kuda, begitu kami menyebut mereka. Kami serahkan pada mereka padang-padang Calenardhon yang sejak itu disebut Rohan; karena provinsi itu sudah lama sekali jarang penduduknya. Mereka menjadi sekutu kami, dan terbukti selalu setia pada kami, membantu dalam kesulitan, dan menjaga jalan-jalan kami di utara dan Celah Rohan."
"Mereka mempelajari pengetahuan dan adat-istiadat kami sebanyak yang mereka anggap perlu, dan para penguasa mereka berbicara dalam bahasa kami bila dibutuhkan; tapi sebagian besar dari mereka masih memegang adat-istiadat nenek moyang mereka, dan di antara mereka sendiri mereka berbicara dalam bahasa Utara. Kami menyayangi mereka: laki-laki jangkung dan wanita-wanita cantik, sama-sama gagah berani, berambut emas, bermata cerah, dan kuat; mereka mengingatkan kami pada Manusia dahulu kala, di Zaman Peri. Menurut ahli-ahli pengetahuan kami, mereka sejak dulu mempunyai pertalian keturunan dengan kami, karena mereka berasal dan Tiga Istana Manusia, seperti halnya bangsa Numenor pada masa awalnya; mungkin bukan dari Hador Rambut Emas, sahabat kaum Peri, tapi dari keturunan dan rakyatnya yang menolak panggilan dan tidak pergi menyeberangi Samudra, masuk ke Barat."
"Beginilah pembagian Manusia dalam adat-istiadat kami: Bangsa Agung, atau Manusia dari Barat, yaitu kaum Numenor; Bangsa Menengah, Manusia Senja, seperti kaum Rohirrim dan keluarga mereka yang masih tinggal jauh di Utara; dan Bangsa Liar, Manusia Kegelapan."
"Tapi sekarang, sementara kaum Rohirrim tumbuh semakin mirip dengan kami, berkembang dalam seni dan peradaban, kami pun jadi semakin mirip dengan mereka, dan hampir-hampir tak layak lagi menyandang gelar Bangsa Agung. Kami sudah menjelma menjadi Bangsa Menengah, Manusia Senja, namun menyimpan kenangan akan hal-hal lain. Sama seperti kaum Rohirrim, kami kini menyukai peperangan dan keberanian, baik sebagai olahraga maupun tujuan; dan meski menurut kami seorang pejuang harus punya keterampilan dan pengetahuan, bukan sekadar menguasai senjata dan membunuh, kami toh lebih menghargai seorang pejuang daripada orang-orang dengan keahlian lain.
Begitulah kebutuhan masa kini. Begitu pula kakakku, Boromir: dia pemberani, dan dia dianggap orang terbaik di Gondor. Dia memang sangat gagah berani: tak ada putra mahkota dari Minas Tirith yang bekerja begitu keras selama bertahun-tahun, begitu tak kenal takut dalam pertempuran, dan begitu nyaring meniup Terompet Besar itu." Faramir mengeluh dan diam sejenak.
"Kau tidak bicara banyak tentang kaum Peri dalam kisah-kisahmu, Sir," kata Sam, yang tiba-tiba bangkit keberaniannya. Ia memperhatikan Faramir menyebut kaum Peri dengan penuh penghormatan, dan sikapnya itulah yang membuat Sam menaruh respek padanya dan menghilangkan kecurigaannya, melebihi kesopanan yang ditunjukkan Faramir, serta makanan dan anggur yang dihidangkannya.
"Memang tidak, Master Samwise," kata Faramir, "karena aku tidak ahli dalam pengetahuan tentang kaum Peri. Tapi di sini kau menyentuh satu hal lain lagi, di mana kami mengalami perubahan, merosot dari Numenor ke Dunia-Tengah. Kalau Mithrandir adalah pendamping kalian, dan kalau kau sudah berbicara dengan Elrond, tentunya kau tahu bahwa kaum Edain, Nenek Moyang kaum Numenor, bertempur bersama kaum Peri dalam peperangan-peperangan pertama, dan diberi imbalan kerajaan di tengah Samudra, dalam jarak pandang kampung halaman kaum Peri. Tapi di Dunia-Tengah, Manusia dan Peri jadi saling terasing di masa kegelapan, karena pengaruh sihir Musuh, dan karena perjalanan waktu. Masing-masing bangsa terpisah semakin jauh. Kini Manusia takut dan mencurigai kaum Peri, namun hanya tahu sedikit tentang mereka. Dan kami dari Gondor tumbuh seperti Manusia lain, seperti Orang-Orang Rohan; karena mereka pun, yang menjadi musuh Penguasa Kegelapan, menghindari kaum Peri dan berbicara tentang Hutan Emas dengan penuh ketakutan.
"Tapi di antara kami masih ada yang berurusan dengan kaum Peri bila perlu. Sesekali masih ada yang diam-diam pergi ke Lorien, dan jarang kembali. Aku tidak. Karena menurutku sangat berbahaya sekarang bagi manusia fana untuk sengaja mencari Kaum Peri. Meski begitu, aku iri bahwa kau sudah berbicara dengan Wanita Peri itu."
"Lady dari Lorien! Galadriel!" seru Sam. "Kau harus melihatnya, Sir, harus. Aku hanya seorang hobbit, dan pekerjaanku di rumah cuma berkebun, Sir. Aku tidak pintar bersajak tidak mahir mengarang sajak: paling-paling sedikit sajak jenaka, kadang-kadang, tapi bukan puisi sejati maka aku tak bisa menggambarkan yang kumaksud. Seharusnya ini dinyanyikan. Kau perlu Strider, alias Aragorn, atau Mr. Bilbo tua, untuk itu. Tapi aku berharap bisa membuat nyanyian tentang dia. Dia cantik sekali, Sir! Memikat! Kadang-kadang seperti pohon besar yang sedang berbunga, kadang-kadang seperti daffadowndilly putih, mungil dan ramping. Keras bagai berlian, lembut bagai sinar bulan. Hangat seperti cahaya matahari, dingin seperti es di dalam bintang-bintang. Angkuh dan jauh seperti gunung salju, dan ceria seperti gadis remaja dengan bunga daisy di rambutnya di musim semi. Tapi itu omong kosong semua, jauh sekali dari sasaranku."
"Kalau begitu, dia memang sangat cantik," kata Faramir. "Cantik yang berbahaya."
"Aku tidak tahu tentang berbahaya," kata Sam. "Tampaknya orang-orang membawa bahaya mereka sendiri masuk ke Lorien, dan menemukannya di sana karena mereka sendiri membawanya. Tapi barangkali bisa kausebut dia berbahaya, karena dia sendiri punya daya
kekuatan. Kau, kau bisa hancur berkeping-keping menabrakkan dirimu padanya, seperti kapal menabrak batu karang, atau membenamkan dirimu sendiri, seperti hobbit di sungai. Tapi batu karang maupun sungai tak bisa disalahkan. Nah, Boro …" ia berhenti dan wajahnya memerah.
"Ya? Nah, Boromir … itu yang hendak kaukatakan?" kata Faramir. "Kau akan bilang apa? Dia membawa bahayanya sendiri?"
"Ya, Sir, maaf, padahal kakakmu itu orang hebat, kalau boleh kukatakan begitu. Tapi kau memang sudah mencium kebenaran sejak tadi.
Nah, aku memperhatikan Boromir dan mendengarkannya, sejak Rivendell sampai dalam perjalanan aku hanya menjaga majikanku, bukan bermaksud jahat pada Boromir dan menurutku di Lorien-lah dia pertama kali melihat jelas apa yang sudah lebih dulu kuduga: apa yang diinginkannya. Sejak pertama kali melihatnya, dia menginginkan Cincin Musuh!"
"Sam!" seru Frodo kaget. Ia sedang melamun, dan mendadak tersentak. tapi sudah terlambat.
"Aduh duh!" kata Sam, wajahnya jadi pucat, kemudian merah padam. "Telanjur lagi aku! Setiap kali kau membuka mulut besarmu itu, kedokmu pasti langsung terbuka, begitu kata Gaffer selalu, dan itu memang benar. Ya ampun, ya ampun!"
"Nah begini, Sir!" katanya pada Faramir dengan segenap keberanian yang bisa dikerahkannya. "Jangan mengambil kesempatan terhadap majikanku hanya karena pelayannya yang bodoh ini. Kau sudah berbicara bagus sekali selama ini, hingga aku jadi tidak waspada, membahas Peri dan sebagainya. Tapi penampilan elok dibarengi perbuatan elok, begitu kata orang. Sekarang kesempatan untuk menunjukkan kualitasmu."
"Begitu rupanya," kata Faramir, pelan dan sangat lambat, dengan senyuman aneh. "Jadi, itulah jawaban terhadap semua teka-teki! Cincin Utama yang disangka sudah hilang dari dunia. Boromir mencoba mengambilnya dengan paksa? Dan kau lolos? lari langsung kepadaku! Dan di sini, di belantara, aku menangkapmu: dua Halfling, sepasukan tentara di bawah perintahku, dan Cincin segala Cincin. Nasib yang sangat bagus! Kesempatan bagi Faramir, kapten dari Gondor, untuk menunjukkan kualitasnya! Ha!" ia bangkit berdiri, sosoknya jangkung dan keras, mata kelabunya bersinar-sinar.
Frodo dan Sam melompat dan kursi mereka dan berdiri berdampingan membelakangi dinding, meraba-raba pangkal pedang mereka. Sepi sekali. Semua orang di gua berhenti berbicara dan memandang heran ke arah mereka. Tapi Faramir duduk kembali di kursinya dan mulai tertawa perlahan-lahan, kemudian mendadak serius lagi.
"Sayang sekali Boromir! Ujian itu terlalu berat baginya!" katanya. "Kalian sudah menambah dukaku, kalian dua pengembara asing dari jauh, membawa bahaya Manusia! Tapi kalian tidak pintar menilai Manusia, seperti aku bisa menilai Halfling. Kami, Orang-Orang Gondor, selalu mengatakan kebenaran. Kami jarang membual, lalu berbuat, atau mati dalam upaya itu. Meski kutemukan Cincin itu di jalan raya, tidak akan aku mengambilnya, begitu sudah kukatakan. Meski seandainya aku memiliki hasrat besar terhadap benda ini, dan meski seandainya aku tidak tahu pasti tentang benda itu ketika aku berbicara, toh aku akan memegang kata-kataku sebagai sumpah, dan menaatinya.
"Tapi aku bukan orang seperti itu. Atau aku cukup bijak untuk tahu bahwa ada bahaya-bahaya yang iebih baik dihindari manusia. Duduklah dengan damai! Dan tenanglah, Samwise. Anggaplah ketelanjuranmu berbicara memang sudah ditakdirkan. Hatimu pintar dan juga setia, dan bisa melihat lebih jernih daripada matamu. Mungkin kelihatannya aneh, tapi tak usah cemas telah mengungkapkan hal itu padaku. Mungkin keterusteranganmu bisa membantu majikan yang kausayangi. Segalanya akan berjalan baik baginya, sejauh kekuasaanku memungkinkan.
Jadi, tenanglah. Tapi jangan lagi menyebut keras keras benda ini. Satu kali sudah cukup."
Kedua hobbit kembali ke tempat duduk mereka, dan duduk diam. Orang-orang kembali menghadapi makanan dan minuman mereka, menganggap kapten mereka hanya berkelakar atau semacamnya dengan tamu-tamunya, dan itu sudah lewat.
"Well, Frodo, setidaknya sekarang kita saling memahami," kata Faramir. "Kalau kau menerima beban ini tanpa kehendakmu sendiri melainkan karena permintaan orang lain, maka kau mendapat rasa iba dan hormatku. Dan aku kagum padamu: membiarkannya tersembunyi dan tidak menggunakannya. Kalian merupakan bangsa dari dunia baru bagiku. Apakah semua keluarga kalian seperti ini? Pasti negerimu suatu wilayah penuh kedamaian dan kepuasan dan di sana ada ahli ahli kebun yang sangat dihormati."
"Tidak semuanya baik di sana," kata Frodo, "tapi memang ahli-ahli kebun dihormati."
"Tapi pasti penduduk di sana lambat-laun juga letih, bahkan di kebun-kebun mereka, seperti semua makhluk di bawah Matahari. Kalian jauh dari rumah dan letih dari perjalanan. Cukup untuk malam ini.
Tidurlah, kalian berdua dengan damai, kalau bisa. Jangan takut! Aku tak ingin melihat, menyentuh, atau mengetahui lebih banyak daripada yang sudah kuketahui (yang sudah cukup) tentang benda itu, agar jangan sampai bahaya merintangi aku dan aku jatuh lebih rendah dalam ujian ini daripada Frodo putra Drogo. Sekarang istirahatlah tapi sebelumnya ceritakan dulu padaku, kalau mau, ke mana kau ingin pergi, dan apa tujuanmu. Sebab aku harus berjaga, dan menunggu, dan berpikir. Waktu berlalu. Di pagi hari, kita masing-masing harus cepat pergi melalui jalan yang diperuntukkan bagi kita." Frodo merasa gemetaran ketika rasa takutnya yang mula-mula itu lewat. Sekarang keletihan besar menyelubunginya seperti awan. Ia tak mampu menyembunyikan dan melawannya lebih lama lagi.
"Aku akan mencari jalan masuk ke Mordor," katanya lemah. "Aku akan pergi ke Gorgoroth. Aku harus menemukan Gunung Api dan
melemparkan benda itu ke dalam kobaran Maut. Gandalf bilang begitu. Aku tidak yakin akan sampai ke sana." Faramir menatapnya sejenak dengan tercengang. Lalu mendadak ia menangkap tubuh Frodo yang bergoyang, dan sambil mengangkatnya dengan lembut, membawanya ke tempat tidur dan membaringkannya di sana, menyelimutinya dengan hangat. Segera Frodo tertidur lelap.
Satu tempat tidur lain diletakkan di sampingnya, untuk pelayannya. Sam ragu sejenak, kemudian sambil membungkuk rendah ia berkata,
"Selamat malam, Kapten, My Lord. Kau telah mempergunakan kesempatan ini, Sir." ‘
"Begitukah?" kata Faramir.
"Ya, Sir, dan kau telah menunjukkan kualitasmu: yang tertinggi." Faramir tersenyum. "Kau pintar bicara, Master Samwise. Tapi tidak: pujian dari orang terpuji lebih tinggi nilainya daripada semua imbalan.
Meski begitu, tak ada yang perlu dipuji dalam hal ini. Aku tidak berhasrat atau terpikat untuk berbuat lain dari yang sudah kulakukan."
"Ah, Sir," kata Sam, "kaubilang majikanku punya sifat-sifat Peri; itu memang benar dan bagus. Tapi menurutku kau juga punya sifat yang mengingatkan aku pada, pada … well, pada Gandalf, pada penyihir-penyihir."
"Mungkin," kata Faramir. "Mungkin samar-samar kau bisa merasakan sifat-sifat bangsa Numenor. Selamat malam!"

BERSAMBUNG KE BAB 6/10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates