Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 8/10 TANGGA CIRITH UNGOL

<<< SEBELUMNYA


Gollum menarik-narik jubah Frodo, dan mendesis takut bercampur tak sabar. "Kita harus pergi," katanya. "Jangan berdiri di sini. Cepatlah!" Dengan enggan Frodo membelakangi Barat, mengikuti pemandunya yang menuntunnya keluar, ke Timur yang gelap. Mereka meninggalkan lingkaran pepohonan, dan merangkak menyusuri jalan menuju pegunungan. Jalan ini juga menjulur lurus untuk beberapa saat, tapi lalu mulai membelok ke selatan, sampai tiba tepat di bawah pundak besar batu karang yang sudah mereka lihat dari jauh. Hitam dan menakutkan ia menjulang di atas mereka, lebih gelap daripada langit gelap di belakangnya. Jalan itu merangkak terus di bawah bayangannya, dan sambil melingkarinya jalan itu menjulur ke timur lagi, mulai mendaki dengan terjal.

Frodo dan Sam berjalan terus dengan berat hati, tak lagi mampu memedulikan bahaya besar yang mengancam mereka. Kepala Frodo tertunduk menanggung beban berat. Begitu Persimpangan Jalan dilewati, bobotnya yang hampir terlupakan ketika masih di Ithilien mulai semakin berat lagi. Kini, merasa jalan yang ditapakinya semakin terjal, ia memandang ke atas dengan letih; kemudian ia melihatnya, seperti sudah dikatakan Gollum: kota para Hantu Cincin. Ia gemetaran di tebing berbatu itu.
Suatu lembah panjang bergelombang, teluk gelap yang besar, menghampar jauh ke dalam pegunungan. Di sisi terjauh, agak masuk ke lengan lembah, tinggi di atas tempat duduk batu karang, di atas lutut hitam Ephel Duath, berdiri dinding dan menara Minas Morgul. Semua gelap di sekitarnya, bumi dan langit, tapi menara itu sendiri disinari cahaya. Bukan cahaya bulan terkungkung yang naik melalui dinding dinding pualam Minas Ithil zaman dahulu, Menara Bulan yang indah dan bersinar di cekungan bukit. Cahaya yang sekarang terlihat lebih pucat daripada bulan yang merana dalam gerhana lamban, berpendar bimbang seperti napas dari pembusukan yang berbau tak sedap, cahaya mayat, cahaya yang tidak menyinari apa pun. Di dinding dan menara tampak jendela jendela, seperti lubang-lubang hitam tak terhitung banyaknya, memandang ke dalam kekosongan; tapi puncak menara paling atas berputar perlahan ke satu arah, kemudian ke arah lainnya, seperti hantu besar mengintai ke dalam gelapnya malam. Untuk beberapa saat, ketiga pengembara berdiri di sana, ketakutan, memandang ke atas dengan mata enggan. Gollum yang pertama-tama tersadar. Ia menarik-narik jubah mereka lagi, tapi tidak berbicara. Ia hampir-hampir menyeret mereka maju. Setiap langkah dilakukan dengan enggan, dan waktu seolah melambatkan kecepatan, sehingga antara mengangkat kaki dan meletakkannya kembali terasa seperti bermenit-menit penuh keengganan.
Demikianlah, mereka sampai dengan perlahan ke jembatan putih. Di sini jalanannya berkilauan samar-samar, melewati sungai di tengah lembah, membelok berliku-liku menuju gerbang kota: sebuah mulut hitam menganga di lingkaran luar dinding utara. Di kedua tebing terletak dataran luas, padang-padang gelap dipenuhi bunga-bunga putih pucat. Padang-padang ini juga bersinar, indah namun mengerikan, seperti wujud-wujud gila dalam mimpi buruk; samar-samar mereka mengeluarkan bau rumah mayat yang memuakkan; bau busuk memenuhi udara.
Jembatan terbentang dari padang ke padang. Patung-patung menghiasi ujungnya, diukir dengan terampil menyerupai bentuk manusia dan hewan, namun semuanya rusak dan menjijikkan. Sungai yang mengalir di bawahnya tampak diam dan beruap, tapi uap yang naik, menggulung, dan berputar-putar di sekitar jembatan itu terasa dingin. Frodo merasa pusing, pikirannya berat. Tiba-tiba, seolah digerakkan oleh suatu kekuatan di luar dirinya, ia mulai berjalan cepat, terhuyunghuyung ke depan, tangannya menggapai-gapai terjulur, kepalanya berputar dari satu sisi ke sisi lain. Sam dan Gollum berlari mengejarnya. Sam menangkap majikannya dalam pelukannya, ketika Frodo tersandung hampir jatuh, tepat di ambang jembatan.
"Jangan ke sana! Tidak, jangan ke sana!" bisik Gollum, napas yang mendesis di antara giginya seolah merobek kesepian yang berat itu, seperti desing peluit, dan ia gemetar ketakutan di tanah.
"Tabah, Mr. Frodo!" gerutu Sam ke telinga Frodo. "Kembali! Jangan lewat jalan itu. Kata Gollum jangan, dan kali ini aku setuju dengannya." Frodo menyeka dahi dan mengalihkan pandang dari kota di bukit. Menara yang bersinar itu memukaunya, dan ia menahan hasrat yang timbul dalam dirinya untuk berlari lewat jalan bersinar menuju gerbang. Akhirnya dengan susah payah ia membalikkan badan. Namun ia merasa Cincin itu melawannya, menarik kalung yang menggantung di lehernya; dan matanya, ketika dipalingkan, juga sejenak seperti buta.
Kegelapan di depannya seakan tak tertembus.
Gollum yang merangkak di tanah seperti hewan ketakutan, sudah menghilang dalam keremangan. Sam yang menopang dan menuntun majikannya yang terhuyung-huyung, mengikutinya secepat mungkin. Tak jauh dari tebing sungai terdekat ada celah di tembok batu di samping jalan. Mereka masuk melalui lubang itu, dan tiba di sebuah jalan sempit yang mulanya bersinar redup, seperti jalan utama, tapi setelah mulai mendaki di atas padang bunga-bunga mematikan, jalan itu memudar dan menjadi gelap, berliku-liku sampai ke sisi utara lembah.
Kedua hobbit menyusuri jalan ini berdampingan, tak bisa melihat Gollum di depan mereka, kecuali ketika ia menoleh untuk memanggil mereka maju terus. Saat itu matanya bersinar dengan cahaya hijau keputihan, mungkin mencerminkan kilauan Morgul yang tak sedap, atau dikobarkan oleh suasana hatinya yang menjawab panggilan Morgul. Sam dan Frodo selalu menyadari kilauan mematikan serta lubanglubang mata yang gelap itu, yang membuat mereka selalu menoleh ketakutan, hingga mereka segera mengalihkan mata, untuk menemukan
kembali jalan yang semakin gelap. Dengan lambat dan susah payah mereka maju terus. Ketika sudah melewati bau busuk dan uap sungai beracun itu, napas mereka semakin ringan dan kepala semakin jernih; tapi sekarang tubuh mereka letih sekali, seolah mereka sudah berjalan sepanjang malam membawa beban, atau berenang melawan arus air yang berat. Akhirnya mereka tak bisa berjalan lebih jauh lagi tanpa berhenti dulu sejenak.
Frodo berhenti, dan duduk di atas batu. Mereka sekarang sudah mendaki sampai ke puncak sebongkah besar batu karang gundul. Di depan mereka ada teluk di sisi lembah; melingkari teluk ini, jalanan itu terus terjulur, hanya berupa bidang datar lebar dengan jurang di sebelah kanan; di seberang wajah selatan pegunungan yang curam ia mendaki naik, sampai menghilang dalam kegelapan di atas.
"Aku perlu istirahat sebentar, Sam," bisik Frodo. "Berat sekali, Sam anakku, berat sekali. Entah seberapa jauh aku bisa membawa benda ini? Bagaimanapun, aku harus istirahat sebelum kita memberanikan diri ke sana." ia menunjuk ke jalan sempit di depan.
"Ssst! Ssst!" desis Gollum yang bergegas kembali pada mereka. "Ssst!" ia menaruh jari di bibimya dan menggelengkan kepala kuat-kuat.
Sambil menarik-narik lengan baju Frodo, ia menunjuk ke arah jalan itu; tapi Frodo tak mau bergerak.
"Belum," katanya, "belum." Keletihan, dan lebih dari sekadar keletihan, terasa menekannya; seolah suatu sihir berat sudah menimpa pikiran dan tubuhnya. "Aku harus istirahat," gumamnya.
Mendengar ini, ketakutan dan kecemasan Gollum semakin bertambah, hingga ia berbicara lagi, mendesis di belakang tangannya, seolah menahan suaranya dari pendengar-pendengar yang tidak tampak di udara. "Jangan di sini, tidak. Jangan istirahat di sini. Bodoh! Mata bisa melihat kita. Kalau mereka sampai ke jembatan, mereka akan melihat kita. Menyingkir dari sini! Naik, naik! Ayo!"
"Ayo, Mr. Frodo," kata Sam. "Dia benar. Kita tak bisa tetap di sini." "Baiklah," kata Frodo dengan suara lemah, seperti setengah tertidur.
"Akan kucoba." Dengan susah payah ia berdiri.
Tapi sudah terlambat. Saat itu batu karang di bawah mereka bergetar dan bergoyang. Bunyi keras menderum, lebih keras daripada sebelumnya, menggelegar di dalam tanah dan bergema di pegunungan. Lalu dengan ketajaman mendadak muncul sebuah kilatan merah besar. Jauh di luar pegunungan timur ia melompat ke langit, dan memercikkan warna merah ke awan-awan yang merendah. Di lembah bayangan dan cahaya dingin mematikan, kilatan itu tampak luar biasa liar dan garang. Puncak-puncak batu dan punggung gunung melompat berdiri bagi pisau tertakik, hitam tajam di depan kobaran api yang naik di Gorgoroth. Lalu bunyi petir menggelegar.
Dan Minas Morgul menjawab. Ada kobaran halilintar tajam: cabang-cabang nyala biru meloncat dari menara dan dari bukit-bukit yang mengepung, naik ke awan-awan yang muram. Bumi mengerang, dan dari kota terdengar bunyi teriakan. Berbaur dengan suara-suara parau melengking seperti burung pemangsa, serta ringkikan kuda yang liar karena ketakutan dan kemarahan, terdengar teriakan mengoyak, bergetar, naik dengan cepat menjadi nada tajam menusuk di luar batas pendengaran. Kedua hobbit berputar-putar, melemparkan diri sambil menutup telinga dengan tangan.
Ketika teriakan mengerikan itu berakhir, mereda menjadi suatu ratapan memuakkan yang berangsur diam, Frodo perlahan-lahan mengangkat kepala. Di seberang lembah sempit, hampir sejajar dengan matanya, berdiri tembok kota jahat itu, gerbangnya yang besar dibentuk menyerupai mulut menganga dengan gigi-gigi mengilap. Gerbang itu sudah terbuka lebar, dan dari dalamnya keluar sepasukan tentara.
Seluruh pasukan itu berpakaian hitam, gelap seperti malam. Di depan tembok-tembok pudar dan ubin-ubin jalan yang mengilap Frodo bisa melihat mereka, sosok-sosok hitam kecil baris demi baris, berjalan cepat dan diam, keluar dalam aliran tanpa henti. Di depan mereka adalah pasukan kavaleri penunggang kuda yang bergerak seperti bayangan yang teratur, di ujungnya ada satu yang lebih besar: seorang Penunggang, hitam seluruhnya, di kepalanya yang berkerudung ia memakai topi baja seperti mahkota yang bersinar dengan cahaya mengancam. Sekarang ia sudah mendekati jembatan di bawah, dan mata Frodo mengikutinya, tak mampu berkedip atau melepaskan pandangan. Bukankah itu pimpinan Sembilan Penunggang yang kembali ke bumi untuk memimpin pasukan mengerikan itu ke pertempuran? Ya, dialah raja Hantu yang tangannya telah menikamkan pisau mematikan kepada sang Penyandang Cincin. Luka lama itu berdenyut sakit, dan rasa dingin membekukan menyebar ke jantung Frodo.
Tepat saat pikiran-pikiran itu menusuknya dengan ketakutan dan menahannya hingga ia bagai tersihir, Penunggang itu mendadak berhenti, tepat di ambang jembatan, dan di belakangnya seluruh pasukan ikut berhenti. Ada keheningan yang sangat tajam. Mungkin Cincin yang memanggil pimpinan Hantu itu, dan untuk beberapa saat ia terganggu, merasakan kekuatan lain di lembah itu. Kepala gelap bertopi baja dan bermahkotakan ketakutan itu berputar ke sana kemari, menyapu kegelapan dengan matanya yang tidak terlihat. Frodo menunggu, tak mampu bergerak, seperti burung didekati ular. Saat menunggu, ia merasa diperintahkan untuk memakai Cincin itu. Namun ia tak mau menyerah. Ia tahu Cincin itu akan mengkhianatinya, dan meski memakainya, ia belum punya kekuatan untuk menghadapi raja Morgul itu, belum. Atas perintah itu, ia tak lagi bisa menjawabnya atas kehendak sendiri, meski ia begitu ketakutan. Ia hanya merasa dipengaruhi oleh suatu kekuatan besar dari luar. Kekuatan itu mengambil tangannya, dan ketika Frodo memperhatikan dengan pikirannya tidak menghendaki, tapi juga sangat tegang, seperti menyaksikan cerita lama yang sudah berlalu kekuatan itu menggerakkan tangannya inci demi inci menuju rantai di lehernya.
Lalu tekadnya bangkit; perlahan-lahan ia memaksa tangannya kembali dan menyuruhnya menemukan benda lain, sebuah benda yang tersembunyi dekat dadanya. Rasanya dingin dan keras ketika ia mencengkeramnya: bejana dari Galadriel yang sudah lama disimpannya,
hampir terlupakan sampai detik itu. Ketika ia menyentuhnya, untuk beberapa saat semua pikiran tentang Cincin itu terusir dari benaknya. Ia mengeluh dan menundukkan kepala.
Saat itu si raja Hantu membalikkan badan dan memacu kudanya, melaju melewati jembatan, diikuti seluruh pasukannya yang gelap.
Mungkin kerudung Peri itu menipu matanya yang tak terlihat, dan pikiran musuhnya yang kecil, yang telah diperkuat, mengalihkan pikirannya. Tapi ia sedang terburu-buru. Saatnya sudah tiba, dan ia harus pergi ke peperangan di Barat, mengikuti perintah Majikan-nya.
Segera ia lewat, seperti bayang-bayang masuk ke dalam bayangan, melewati jalan berliku-liku, di belakangnya barisan-barisan hitam masih menyeberangi jembatan. Sejak zaman Isildur; belum pernah pasukan sedemikian besar keluar dari lembah itu; belum pernah ada pasukan yang begitu jahat dan kuat persenjataannya menyerang arungan Anduin; tapi itu baru satu pasukan, dan bukan pasukan terbesar yang sekarang dikirimkan Mordor.
Frodo tersentak. Tiba-tiba ia teringat Faramir. "Badai sudah meledak," pikirnya. "Gabungan besar tombak dan pedang akan pergi ke Osgiliath. Akankah Faramir melintas tepat waktu? Dia sudah menduga, tapi tahukah dia waktunya yang tepat? Siapa yang bisa mempertahankan arungan kalau Raja Sembilan Penunggang sudah datang? Dan pasukan lain juga akan datang. Aku terlambat. Semuanya gagal. Aku terlalu berlama-lama di jalan. Semuanya gagal. Bahkan kalau tugasku sudah terlaksana, takkan ada yang tahu. Takkan ada siapa pun yang bisa kuberitahu. Akan sia-sia saja." ia meratap kelelahan. Dan pasukan Morgul masih melintasi jembatan.
Lalu di kejauhan, seolah datang dari kenangan tentang Shire pada suatu pagi cerah, ketika hari baru dimulai dan pintu-pintu dibuka, ia mendengar suara Sam berbicara. "Bangun, Mr. Frodo! Bangun!" Seandainya suara itu menambahkan, "Sarapanmu sudah siap," ia tidak akan kaget. Suara Sam terdengar sangat mendesak. "Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi," katanya.
Ada bunyi dentingan teredam. Gerbang Minas Morgul sudah ditutup. Barisan tombak terakhir sudah lenyap. Menara itu masih menyeringai dari seberang lembah, tapi cahaya di dalamnya sudah meredup. Seluruh kota kembali ke keremangan yang gelap, dan keheningan. Namun masih tetap dipenuhi kewaspadaan.
"Bangun, Mr. Frodo! Mereka sudah pergi, dan sebaiknya kita juga pergi. Masih ada yang hidup di tempat itu, sesuatu yang bermata, atau pikiran yang bisa melihat; semakin lama kita tetap di satu tempat, semakin cepat dia akan menemukan kita. Ayo, Mr. Frodo!" Frodo mengangkat kepala, kemudian berdiri. Keputusasaan belum meninggalkannya, tapi kelemahan itu sudah berlalu. Ia bahkan tersenyum muram, perasaannya kini begitu bertolak belakang dengan beberapa saat sebelumnya. Apa yang perlu ia lakukan, harus ia lakukan, kalau bisa. Tidak penting apakah Faramir, Aragorn, Elrond, Galadriel, Gandalf, atau siapa pun yang lain akan pernah tahu tentang itu. Ia memegang tongkatnya dengan satu tangan dan bejana Galadriel di tangan lainnya. Ketika melihat cahaya terang itu sudah keluar melalui jemarinya, ia memasukkan bejana itu ke dekat dadanya, memegangnya dekat ke hatinya. Kemudian, sambil membelakangi kota Morgul yang kini hanya berupa kilauan kelabu di seberang teluk gelap, ia bersiap-siap menapaki jalan mendaki.
Gollum tampaknya sudah merangkak pergi menyusuri pinggiran kegelapan di sana, ketika gerbang Minas Morgul dibuka, meninggalkan kedua hobbit di tempat mereka terbaring. Sekarang ia datang merangkak kembali, giginya gemerutuk dan jarinya dikertakkan. "Bodoh! Tolol!" desisnya. "Cepatlah! Jangan kira bahaya sudah lewat. Belum. Cepatlah!" Mereka tidak menjawab, tapi mengikutinya sampai ke pinggiran yang mendaki. Hal itu sama sekali tidak disukai kedua hobbit, tidak juga setelah menghadapi begitu banyak bahaya lain; tapi itu tidak berlangsung lama. Dengan segera jalan itu mencapai sebuah sudut membulat, di mana sisi pegunungan membengkak lagi, dan di sana tiba-tiba memasuki lubang sempit di batu karang. Mereka sudah sampai ke tangga pertama yang diceritakan Gollum. Kegelapan hampir sempurna, dan mereka tak bisa melihat banyak di luar jangkauan tangan mereka; tapi mata Gollum bersinar pucat, beberapa meter di atas, ketika ia menoleh ke arah mereka.
"Hati-hati!" bisiknya. "Tangga. Banyak tangga. Harus hati-hati!" Kehati-hatian memang dibutuhkan. Awalnya Sam dan Frodo merasa gampang, karena ada dinding di kedua sisi, tapi tangga itu curam sekali, hampir tegak, dan ketika mereka terus mendaki, mereka semakin menyadari jurang hitam panjang di belakang. Selain itu, anak-anak tangganya sempit sekali, berbeda-beda lebarnya, dan sering menipu: sudah usang dan mulus di pinggirnya, beberapa sudah pecah, dan beberapa pecah ketika kaki menapakinya. Kedua hobbit berjuang terus, sampai akhirnya mereka berpegangan ke anak tangga di depan, dan memaksa lutut mereka yang sakit untuk melipat dan meluruskan kaki; tangga itu masih terus mendaki semakin dalam ke gunung yang curam, sementara dinding batu menjulang semakin tinggi di atas kepala.
Akhirnya, tepat ketika merasa sudah tak tahan lagi, mereka melihat mata Gollum memandang ke arah mereka lagi. "Kita sudah di atas," bisiknya. "Tangga pertama sudah lewat. Hobbit pintar sudah bisa naik setinggi ini, hobbit sangat pintar. Tinggal beberapa anak tangga lagi, itu saja, ya."
Dalam keadaan sangat pusing dan letih, Sam dan Frodo yang mengikutinya, merangkak menaiki anak tangga terakhir, lalu duduk menggosok kaki dan lutut. Mereka berada dalam sebuah selasar gelap yang rupanya masih mendaki di depan sana, meski lerengnya lebih lembut dan tanpa anak tangga. Gollum tidak membiarkan mereka beristirahat lama.
"Masih ada tangga lain," katanya. "Tangga yang jauh lebih panjang. Istirahat kalau kita sudah sampai ke puncak tangga berikutnya. Sekarang belum." Sam mengerang. "Lebih panjang, katamu?" tanyanya.
"Ya, ya, lebih panjang," kata Gollum. "Tapi tidak begitu sulit.
Hobbit sudah mendaki Tangga Lurus. Berikutnya Tangga Putar." "Dan setelah itu apa?" kata Sam.
"Kita akan lihat," kata Gollum pelan. "Ya, kita akan lihat!"
"Rasanya kaubilang ada terowongan," kata Sam. "Bukankah ada terowongan atau semacamnya yang harus dilewati?"
"Oh, ya, ada terowongan," kata Gollum. "Tapi hobbit tak bisa istirahat sebelum mencoba itu. Kalau sudah melewatinya, berarti mereka sudah hampir sampai ke puncak. Dekat sekali, kalau mereka bisa lewat. Oh ya!" Frodo menggigil. Pendakian itu membuatnya berkeringat, tapi sekarang ia merasa dingin dan lembap, dan di selasar bertiup angin dingin, berembus turun dari ketinggian yang tidak tampak di atas sana. Ia bangkit dan menggoyangkan badan. "Well, mari kita lanjutkan!" katanya.
"Ini bukan tempat untuk duduk-duduk."
Selasar itu seakan bermil-mil panjangnya, dan udara dingin selalu saja mengalir di atas mereka, membesar menjadi angin tajam ketika mereka naik semakin tinggi. Gunung-gunung seolah berusaha mengecilkan hati mereka dengan napas beku mematikan, agar mereka memalingkan diri dari rahasia tempat-tempat tinggi, atau untuk meniup mereka ke kegelapan di belakang. Mereka baru tahu mereka sudah sampai ke ujung, ketika mendadak mereka merasa tak ada dinding di sebelah kanan. Mereka hanya bisa melihat sedikit saja. Sosok-sosok besar tak berbentuk dan bayangan kelabu tebal menjulang di atas dan di sekitar mereka, tapi sesekali seberkas cahaya merah pudar berkobar naik di bawah awan-awan yang merendah, dan untuk sekejap mereka melihat puncak-puncak tinggi, di depan dan di kedua sisi, seperti tiangtiang yang menopang atap besar. Rupanya mereka sudah mendaki sekian ratus kaki, sampai ke sebuah dataran lebar. Batu karang ada di sebelah kiri, dan jurang di sebelah kanan.
Gollum memimpin jalan di bawah batu karang. Untuk sementara mereka tidak lagi mendaki, tapi tanah sekarang lebih hancur dan berbahaya dalam gelap, ada balok-balok dan bongkah-bongkah batu yang terjatuh menghalangi jalan. Mereka berjalan lambat dan hati-hati. Entah sudah berapa jam berlalu sejak mereka masuk Lembah Morgul, Sam maupun Frodo tak bisa mengira-ngira. Malam serasa tak berujung.
Akhirnya mereka sekali lagi melihat sebuah tembok menjulang, dan sebuah tangga di depan. Sekali lagi mereka berhenti, dan sekali lagi mulai mendaki. Pendakian panjang dan melelahkan; tapi tangga ini tidak masuk ke dalam sisi pegunungan. Di sini wajah batu karang besar mendaki ke belakang, jalanannya berbelok-belok seperti ular. Pada satu titik, jalan itu merayap ke pinggir, langsung sampai ke ujung jurang gelap. Ketika Frodo melirik ke bawah, ia melihat ngarai besar di ujung Lembah Morgul, seperti sebuah sumur dalam yang luas. Di kedalamannya terjulur jalan hantu dan kota mati ke Jalan Tak Bernama, bersinar seperti ulat kelap kelip. Lekas-lekas Frodo memalingkan muka.
Tangga masih terus naik, membelok dan merayap; akhirnya, dengan satu tanjakan terakhir, pendek dan lurus, ia mendaki keluar ke sebuah dataran lain. Jalan itu sudah menyimpang dari jalan utama di jurang besar, dan sekarang mengikuti arahnya sendiri yang meliuk berbahaya di dasar sebuah belahan, di tengah wilayah yang lebih tinggi dari Ephel Duath. Samar-samar kedua hobbit bisa melihat tonjolan-tonjolan dan puncak bergerigi dan batu di kedua sisi, di antaranya ada retakan-retakan dan celah-celah besar yang lebih hitam daripada malam, di mana musim dingin yang terlupakan sudah menggerogoti dan memahat batu yang tak pernah disinari matahari. Dan kini cahaya merah di langit tampak lebih kuat, meski mereka tidak tahu apakah pagi hari yang mengerikan akan datang ke tempat gelap ini, ataukah yang mereka lihat itu hanyalah nyala api akibat kekejaman Sauron yang sedang menyiksa Gorgoroth di luar sana. Masih jauh sekali, dan masih tinggi di atas, Frodo yang menengadah melihat puncak jalan keras itu. Di depan kemerahan langit timur terlihat sebuah belahan di punggung bukit paling atas, sempit, terbelah sangat dalam di antara dua pundak hitam; dan di masing-masing pundak ada terompet batu.
la berhenti dan memandang lebih cermat. Terompet di sebelah kiri tinggi dan ramping; di dalamnya menyala cahaya merah, atau mungkin nyala merah dan daratan di luar bersinar melalui sebuah lubang. Sekarang ia melihatnya: ternyata sebuah menara hitam yang berdiri di atas celah luar. Ia menyentuh tangan Sam dan menunjuknya.
"Aku tak suka melihatnya!" kata Sam. "Jadi, jalan rahasiamu ini toh dijaga juga," geramnya, berbicara pada Gollum. "Kuduga selama ini kau sudah tahu, bukan?"
"Semua jalan diawasi, ya," kata Gollum. "Tentu saja begitu. Tapi hobbit harus mencoba salah satunya. Jalan ini mungkin yang tidak terlalu ketat diawasi. Mungkin mereka semua sudah berangkat perang, mungkin!"
"Mungkin," gerutu Sam. "Well, tampaknya masih cukup jauh, dan masih lama sebelum kita sampai di sana. Juga masih ada terowongan.
Kupikir kau sekarang perlu istirahat, Mr. Frodo. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, pagi atau malam, tapi kita sudah berjalan terus selama berjam-jam."
"Ya, kita perlu istirahat," kata Frodo. "Mari kita cari pojok yang tidak kena angin, dan mengumpulkan kekuatan untuk putaran terakhir."
Karena ia merasa begitulah kenyataannya. Kengerian negeri di sana itu, dan tugas yang harus dilakukannya di sana, tampak jauh, masih terlalu jauh untuk mengganggunya. Seluruh pikirannya tertuju pada cara untuk menerobos atau lewat di atas tembok dan penjagaan yang tak bisa ditembus itu. Kalau suatu saat ia bisa melakukan hal yang mustahil itu, berarti selesailah tugasnya, atau begitulah tampaknya bagi Frodo di saat gelap penuh keletihan itu, sementara ia berjalan susah payah dalam bayang-bayang gelap di bawah Cirith Ungol.
Mereka duduk dalam sebuah celah gelap di antara dua tonjolan batu karang: Frodo dan Sam agak masuk ke dalam, dan Gollum meringkuk di tanah, dekat bukaannya. Di sana kedua hobbit menyantap bekal mereka, yang rasanya bakal menjadi hidangan terakhir sebelum mereka masuk ke Negeri Tak Bernama itu bahkan mungkin hidangan terakhir yang akan mereka makan bersama. Mereka makan sedikit makanan dari Gondor, dan wafer dari kaum Peri, juga minum sedikit. Tapi mereka menghemat air dan hanya minum sedikit untuk membasahi mulut yang kering.
"Aku ingin tahu, kapan kita akan menemukan air lagi?" kata Sam. "Tapi di negen itu mereka juga minum, bukan? Orc juga minum, kan?"
"Ya, mereka minum," kata Frodo. "Tapi jangan bicarakan itu. Minuman seperti itu bukan untuk kita."
"Kalau begitu, kita perlu sekali mengisi botol air," kata Sam. "Tapi tidak ada air di atas sini: aku tidak mendengar bunyi aliran atau tetesan sama sekali. Bagaimanapun, Faramir bilang kita jangan minum air di Morgul."
"Tidak ada air yang mengalir keluar dari Imlad Morgul, begitu katanya," kata Frodo. "Kita bukan berada di lembah itu sekarang, dan kalau kita sampai ke sebuah mata air, maka airnya mengalir masuk, bukan keluar, darinya."
"Aku tidak bakal mau minum air di sini," kata Sam, "kecuali kalau aku sudah hampir mati kehausan. Ada kesan jahat di tempat ini." ia mengendus-endus. "Dan bau aneh, kukira. Kauperhatikan itu? Bau yang aneh, agak pengap. Aku tak suka ini."
"Aku sama sekali tak suka apa pun di sini," kata Frodo, "tangga atau batu, napas atau tulang. Bumi, udara, dan air semuanya seperti dikutuk.
Tapi mau tak mau jalan kita harus lewat sini."
"Ya, memang," kata Sam. "Dan seharusnya kita tidak berada di sini, seandainya kita tahu lebih banyak tentang ini, sebelum kita berangkat.
Tapi kupikir memang sering terjadi hal seperti ini. Peristiwa peristiwa gagah berani dalam dongeng-dongeng dan lagu-lagu lama, Mr. Frodo: petualangan, aku menyebutnya. Dulu aku mengira untuk hal-hal seperti itulah orang-orang mengagumkan dalam kisah-kisah itu pergi dan mencarinya, karena mereka menginginkannya, karena petualangan itu menggairahkan dan karena kehidupan agak menjemukan, jadi seperti semacam olahraga, bisa dikatakan begitu. Tapi ternyata bukan begitu kenyataannya dengan kisah-kisah yang benar-benar penting, atau kisahkisah yang tetap diingat sepanjang masa. Tampaknya orang-orang begitu saja terdampar di dalamnya, biasanya jalan mereka memang diarahkan lewat sana, seperti kaukatakan. Sebenamya mereka punya banyak kesempatan untuk kembali, seperti kita, tapi mereka tidak melakukannya. Dan kalau mereka kembali, kita tidak akan tahu, sebab mereka jadi terlupakan. Kita mendengar tentang mereka yang tetap maju terus dan tidak semuanya menemukan akhir yang baik, ingat itu; setidaknya bukan akhir yang dianggap baik oleh orang-orang di dalam kisah itu sendiri, bukan oleh orang-orang di luar cerita itu. Maksudku, mereka pulang dan menemukan segalanya baik-baik saja, meski tidak sepenuhnya sama-seperti Mr. Bilbo tua. Tapi kisah-kisah semacam itu belum tentu kisah yang paling bagus untuk didengar, meski mungkin bagus untuk terdampar di dalamnya! Aku ingin tahu, cerita macam apa tempat kita terdampar ini?"
"Aku juga bertanya-tanya," kata Frodo. "Tapi aku tidak tahu. Begitulah biasanya sebuah cerita. Ambillah satu yang kausukai. Kau mungkin tahu atau menduga, kisah macam apa itu, berakhir bahagia atau sedih, tapi orang-orang di dalamnya saat itu belum tahu. Dan kau tak ingin mereka tahu sebelumnya."
"Tidak, Sir, tentu saja tidak. Misalnya Beren, dia tak pernah menduga dia akan pergi mengambil Silmaril dari Mahkota Besi di Thangorodrim, tapi dia toh melakukannya, dan tempat itu jauh lebih buruk dan lebih berbahaya daripada yang kita hadapi sekarang. Tapi kisah itu panjang sekali, berlalu melampaui kebahagiaan, memasuki kesedihan, dan masih banyak lagi Silmaril berlalu dan sampai ke Earendil. Dan, Sir, wah, aku belum pernah memikirkannya! Kitakan mempunyai sedikit cahaya Silmaril itu dalam bejana kaca bintang yang diberikan Lady Galadriel kepadamu! Wah, kalau dipikir-pikir, kita masih berada dalam kisah yang sama! Kisah itu masih terus berlanjut.
Bukankah kisah-kisah besar tak pernah berakhir?"
"Tidak, mereka tak pernah berakhir sebagai kisah," kata Frodo. "Tapi orang-orang di dalamnya datang dan pergi ketika peran mereka berakhir. Peran kita akan berakhir kemudian atau segera."
"Lalu kita bisa istirahat dan tidur," kata Sam. Ia tertawa muram. "Dan maksudku memang begitu, Mr. Frodo. Maksudku kita benar benar beristirahat, tidur, dan bangun menghadapi pekerjaan pagi hari di kebun. Hanya itu yang kuharapkan selama mi. Semua rencana besar yang penting bukanlah untuk orang semacam aku ini. Bagaimanapun, aku ingin tahu apakah kita akan dimasukkan ke dalam lagu atau cerita.
Sekarang kita memang sudah berada dalam satu cerita; tapi maksudku: dituangkan ke dalam kata-kata, diceritakan dekat perapian, atau dibaca dalam buku besar dengan huruf-huruf merah dan hitam, bertahun-tahun kemudian. Dan orang-orang akan berkata, 'Ayo kita dengarkan kisah Frodo dan Cincin!' Dan anak-anak akan berkata, 'Ya, itu salah satu dongeng favoritku. Frodo gagah berani, bukan begitu, Dad?' 'Ya, anakku, dia hobbit paling termasyhur, dan itu artinya besar sekali. "'
"Itu terlalu berlebihan," kata Frodo, dan ia tertawa, tawa jernih panjang dari dalam hatinya. Suara semacam itu belum pernah terdengar di
tempat itu sejak Sauron datang ke Dunia Tengah. Sam merasa sekonyong-konyong semua batu mendengarkan, dan batu karang tinggi itu condong ke arah mereka. Tapi Frodo tidak menghiraukan; ia tertawa lagi. "Wah, Sam," katanya, "mendengar omonganmu entah kenapa membuatku gembira sekali, seolah cerita itu sudah ditulis. Tapi kau melupakan salah satu tokoh utama: Samwise yang berhati teguh."
"Aku ingin dengar lebih banyak tentang Sam, Dad. Mengapa mereka tidak memuat lebih banyak tentang omongannya, Dad? Itu justru yang kusukai, membuatku tertawa. Dan Frodo tak mungkin berhasil tanpa Sam, ya kan, Dad?"'
"Nah, Mr. Frodo," kata Sam, "seharusnya kau tidak berkelakar. Aku serius."
"Begitu juga aku," kata Frodo, "dan memang begitu. Kita bergerak terlalu cepat. Kau dan aku, Sam, masih terjebak di salah satu tempat terburuk dalam cerita ini, dan sangat mungkin seseorang akan berkata pada titik ini, 'Tutup bukunya, Dad; kami tak ingin membacanya lagi.’"
"Mungkin," kata Sam, "tapi bukan aku yang akan bicara begitu. Peristiwa yang sudah berlalu dan dijadikan bagian dari cerita-cerita besar memang berbeda. Wah, bahkan Gollum bisa kedengaran bagus dalam dongeng, setidaknya lebih baik daripada kenyataannya. Dan dulu dia juga suka sekali mendengarkan cerita. Aku ingin tahu, apakah menurut pendapatnya sendiri dirinya adalah pahlawan atau penjahat?"
"Gollum!" teriaknya. "Kau ingin jadi pahlawan ke mana pula dia?" Tak ada tanda-tanda Gollum berada di mulut perlindungan mereka, juga tidak di dalam bayangan di dekat situ. Ia menolak makanan mereka, tapi mau menerima seteguk air, seperti biasanya. Kemudian tampaknya ia meringkuk untuk tidur. Saat itu mereka menyangka salah satu alasan kepergiannya kemarin adalah untuk berburu makanan yang disukainya; kini rupanya ia menyelinap pergi lagi, sementara mereka bercakap-cakap. Tapi untuk apa kali ini?
"Aku tak suka dia menyelinap pergi tanpa memberitahu," kata Sam. "Apalagi sekarang. Dia tak mungkin mencari makanan di atas sini, kecuali ada batu yang disukainya. Di sini lumut pun tak ada!"
"Tak ada gunanya mencemaskan dia sekarang," kata Frodo. "Tanpa dia, kita tak mungkin pergi sejauh ini, tidak dalam jarak pandang celah ini sekalipun. Karena itu, kita terpaksa menerima saja ulahnya. Kalau dia licik, ya sudah, dia memang licik"
"Bagaimanapun, aku lebih suka kalau bisa mengawasinya," kata Sam. "Apalagi kalau dia memang licik. Kau ingat dia tak pernah mau menceritakan apakah jalan ini dijaga atau tidak? Dan sekarang kita melihat menara di sini mungkin menara itu kosong, mungkin juga tidak.
Apa menurutmu dia pergi menjemput mereka, Orc atau apa saja?"
"Tidak, kurasa tidak," jawab Frodo. "Memang bukan tak mungkin dia punya rencana busuk, tapi kurasa dia tidak pergi menjemput Orc atau pelayan Musuh. Kenapa harus menunggu sampai sekarang, setelah mendaki dengan susah payah, dan pergi begitu dekat ke negeri yang ditakutinya? Dia bisa saja mengkhianati kita berkali-kali dan mengumpankan kita kepada para Orc sejak kita bertemu dengannya. Tidak, kalau dia memang punya rencana jahat, itu pasti rancangannya sendiri, yang dikiranya masih sangat rahasia."
"Well, kurasa kau benar, Mr. Frodo," kata Sam. "Tapi aku tetap cemas. Aku tidak salah: aku tidak ragu dia akan menyerahkanku pada kaum Orc dengan senang hati. Tapi aku lupa Kesayangan-nya itu. Ya, kurasa selama ini niatnya adalah mendapatkan Kesayangannya itu. Itu satusatunya inti dalam semua rencananya, kalau dia punya rencana. Tapi bagaimana dia bisa mewujudkan rencananya itu dengan membawa kita naik kemari, aku tak tahu."
"Mungkin sekali dia sendiri belum bisa memikirkannya," kata Frodo. "Dan menurutku dia bukan hanya punya satu rencana dalam kepalanya yang kacau-balau itu. Kurasa sebenarnya dia ingin mencoba menyelamatkan Kesayangan-nya itu dari tangan Musuh, sedapat mungkin.
Sebab bisa menjadi malapetaka terakhir bagi dirinya sendiri, kalau Musuh memperoleh Kesayangan-nya. Di luar itu, mungkin dia hanya menunggu waktu dan kesempatan."
"Ya, Slinker dan Stinker, seperti pernah kukatakan," kata Sam. "Tapi semakin dekat ke negeri Musuh, Slinker akan semakin mirip Stinker.
Camkan kata-kataku: kalau kita sampai ke celah itu, dia tidak akan membiarkan kita membawa benda berharga itu melewati perbatasan tanpa mencoba mencegahnya."
"Kita belum sampai ke sana," kata Frodo.
"Tidak, tapi sebaiknya kita memasang mata sampai kita tiba di sana. Kalau kita tertangkap sedang tidur, Gollum akan cepat sekali menerkam. Tapi bukan berarti sekarang tidak aman bagimu untuk tidur sebentar, Master. Aman kalau kau berbaring dekat denganku. Aku akan senang sekali melihatmu tidur. Aku akan menjagamu; kalau kau berbaring dekat aku, dengan tanganku memelukrnu, takkan ada yang bisa menyentuhmu tanpa diketahui Sam."
"Tidur!" kata Frodo, dan ia mengeluh, seolah di tengah-tengah padang pasir ia melihat fatamorgana hijau sejuk. "Ya, aku bisa tidur, walau di tempat ini sekalipun."
"Kalau begitu, tidurlah, Master! Baringkan kepalamu di pangkuanku."
Dan begitulah Gollum menemukan mereka beberapa jam kemudian, ketika ia kembali, merangkak dan merayap melewati jalan gelap di depan. Sam duduk bersandar pada batu, kepalanya jatuh ke samping, napasnya berat. Di pangkuannya berbaring Frodo, tenggelam dalam tidur lelap; di dahinya yang putih Sam meletakkan salah satu tangannya yang cokelat, tangan satunya menggeletak lembut pada dada majikan nya. Kedamaian terpancar pada wajah mereka.
Gollum memandang mereka. Ekspresi aneh menyapu wajahnya yang kurus dan lapar. Sinar di matanya lenyap, matanya menjadi redup dan kelabu, tua dan letih. Kedut kesakitan seolah memelintirnya, dan ia memalingkan muka, memandang kembali ke jalan di atas, lalu menggelengkan kepala, seolah terlibat perdebatan dalam hati. Lalu ia kembali, perlahan mengulurkan tangannya yang gemetar, dan dengan hati-hati sekali ia menyentuh lutut Frodo tapi sentuhan itu hampir seperti belaian. Untuk sekilas, seandainya salah satu di antara yang sedang tidur itu bisa melihatnya, mereka pasti menyangka melihat seorang hobbit tua yang lelah, menyusut karena usia yang sudah membawanya jauh melebihi waktunya, melampaui keluarga dan teman-temannya, dan padang-padang serta sungai-sungai masa remajanya, sebuah sosok tua kelaparan yang mengibakan.
Tapi karena sentuhan itu Frodo bergerak dan berseru pelan dalam tidurnya, dan Sam langsung terbangun. Hal pertama yang dilihatnya adalah Gollum sedang "mencakar-cakar Majikan," pikimya.
"Hei kau!" katanya kasar. "Apa yang kaulakukan?"
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," kata Gollum lembut. "Majikan baik!"
"Masa?" kata Sam. "Tapi tadi kau ke mana menyelinap pergi dan menyelinap kembali, kau bajingan tua?" 
Gollum mundur, cahaya kehijauan bersinar di bawah kelopak matanya yang berat. Sekarang ia tampak hampir seperti labah-labah, meringkuk bersandar pada kakinya yang ditekuk, matanya melotot. Saat sekejap itu sudah berlalu, tak bisa kembali lagi. 
"Menyelinap, menyelinap!" desisnya. "Hobbit selalu sangat sopan, ya. Oh, hobbit baik! Smeagol membawa mereka lewat jalan rahasia yang tak seorang pun tahu. Dia lelah, dia haus, ya … haus; dia menuntun mereka dan mencari jalan, dan mereka bilang dia menyelinap, menyelinap. Kawankawan baik sekali. Oh ya, sayangku, baik sekali." 
Sam agak menyesal, meski tetap tak percaya. 
"Maaf," katanya. "Aku menyesal, tapi kau mengagetkanku. Dan seharusnya aku tidak tidur, itu sebabnya aku agak ketus. Tapi Mr. Frodo lelah, dan kuminta dia tidur sebentar; yah, begitulah ceritanya. Maaf. Tapi sebenarnya kau ke mana?"
"Menyelinap," kata Gollum, dan sinar hijau itu tidak hilang dari matanya.
"Oh, ya sudah," kata Sam, "terserah kau! Kurasa itu tidak terlalu jauh dari kebenarannya. Dan sekarang lebih baik kita semua menyelinap bersama-sama. Jam berapa sekarang? Apakah masih hari ini atau sudah besok?"
"Sudah besok," kata Gollum, "atau hari ini adalah besok saat hobbit tidur. Bodoh sekali, sangat berbahaya kalau Smeagol malang tidak menyelinap ke sekitar untuk berjaga."
"Kurasa kita akan segera jemu dengan kata itu," kata Sam. "Tapi tak apa. Aku akan membangunkan Majikan." Dengan lembut ia menyingkapkan rambut Frodo yang jatuh ke alisnya, dan sambil membungkuk ia berbicara dengan lembut.
"Bangun, Mr. Frodo! Bangun!" Frodo bergerak dan membuka mata, lalu tersenyum melihat wajah Sam dekat wajahnya. "Membangunkan aku pagi-pagi, bukan, Sam?" katanya. "Masih gelap!"
"Ya, di sini selalu gelap," kata Sam. "Tapi Gollum sudah kembali, Mr. Frodo, dan dia bilang sekarang sudah besok. Jadi, kita harus berjalan lagi. Putaran terakhir." Frodo menarik napas dalam sekali dan bangkit duduk. "Putaran terakhir!" katanya. "Halo, Smeagol! Sudah menemukan makanan? Sudah istirahat?"
"Tidak ada makanan, tidak ada istirahat, tidak ada apa-apa untuk Smeagol," kata Gollum. "Dia penyelinap." Sam mendecakkan lidah, tapi menahan diri.
"Jangan mengata-ngatai dirimu sendiri, Smeagol," kata Frodo. "Itu tidak bijak, biarpun benar atau salah."
"Smeagol harus menerima apa yang diberikan kepadanya," jawab Gollum. "Dia diberi nama itu oleh Master Samwise, hobbit yang tahu banyak." Frodo menatap Sam. "Ya, Sir," katanya. "Aku memang menggunakan kata itu, ketika bangun dengan kaget dari tidurku dan menemukan dia sudah dekat sekali. Aku sudah bilang aku menyesal, tapi sebentar lagi aku tidak akan menyesal lagi."
"Ayo, yang sudah ya sudah," kata Frodo. "Tapi sekarang kita mesti bicara, kau dan aku, Smeagol Katakan, bisakah kami sekarang menemukan sendiri sisa jalan ini? Kita sudah melihat celah itu, jalan masuknya, dan kalau kita bisa menemukannya sekarang, maka kupikir persetujuan kita berakhir. Kau sudah memenuhi janjimu, dan kau bebas: bebas untuk kembali mencari makanan dan istirahat, ke mana pun kau mau pergi, kecuali ke anak buah Musuh. Dan suatu saat nanti aku akan memberimu imbalan, aku atau mereka yang ingat aku."
"Jangan, jangan dulu!" rengek Gollum. "Oh tidak! Mereka tak bisa mencari jalan sendiri, kan? Oh tidak. Masih ada terowongan. Smeagol harus tetap mendampingi. Tidak ada istirahat. Tidak ada makanan. Tidak sekarang."
BERSAMBUNG KE BAB 9/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates