Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 9/10 SARANG SHELOB


<<< SEBELUMNYA
Mungkin saja sekarang sudah pagi, seperti kata Gollum, tapi kedua hobbit tak bisa melihat perbedaannya, kecuali, mungkin, langit berat di atas tidak begitu hitam lagi, lebih seperti atap asap besar; sementara itu, bukan kegelapan malam pekat yang tampak kecuali di celah-celah dan lubang-lubang melainkan bayangan kelabu kabur yang menyelubungi dunia bebatuan di sekitar mereka. Mereka berjalan terus, Gollum di depan dan kedua hobbit sekarang berdampingan, mendaki jurang panjang di tengah tonjolan dan tiang-tiang batu yang koyak-koyak dimakan cuaca, yang berdiri seperti patung-patung besar tak berbentuk di kedua sisi. Tak ada bunyi. Tidak seberapa jauh di depan, sekitar satu mil, ada tembok besar berwarna kelabu, wujud besar terakhir dari batu pegunungan yang menjulang. Semakin gelap ia menjulang, dan lambat laun semakin tinggi ketika mereka mendekat, sampai menjulang tinggi di atas mereka, menutupi semua pemandangan di belakangnya. Bayangan kelam tergelar di kakinya. Sam mengendus-endus udara.

"Ahhh! Baunya!" katanya. "Semakin keras baunya." Akhirnya mereka berada di bawah bayang-bayang itu, dan di tengahnya mereka melihat lubang gua. "Ini jalan masuknya," kata Gollum perlahan. "Ini jalan masuk ke terowongan." ia tidak menyebutkan namanya: Torech Ungol, Sarang Shelob. Bau busuk keluar dari lubang itu, bukan bau memuakkan dari pembusukan di padang-padang Morgul, melainkan bau busuk tak terkira dari kotoran yang bertumpuk dan ditimbun di dalam gua gelap itu.
"Apakah ini satu-satunya jalan, Smeagol?" tanya Frodo.
"Ya, ya," jawabnya. "Ya, kita harus lewat jalan ini sekarang."
"Maksudmu kau sudah pernah lewat gua ini?" kata Sam. "Bah! Tapi mungkin kau tidak peduli bau busuk." Mata Gollum bersinar. "Dia tidak tahu apa yang terbaik bagi kita, ya kan, sayangku? Tidak, dia tidak tahu. Tapi Smeagol bisa tahan banyak hal. Ya. Dia pernah lewat sini. Oh ya, lewat sini. Ini satu-satunya jalan."
"Dan apa yang menimbulkan bau ini, aku ingin tahu," kata Sam. "Seperti … yah, aku tak ingin mengucapkannya. Aku yakin lubang menjijikkan milik kaum Orc, dengan ratusan tahun kotoran mereka tertimbun di dalamnya."
"Well," kata Frodo, "Orc atau tidak, kalau ini satu-satunya jalan, kita harus melewatinya."
Dengan menarik napas dalam, mereka masuk. Setelah beberapa langkah, mereka sudah berada dalam kegelapan pekat dan tidak tembus pandang. Sejak selasar-selasar Moria yang gelap, Frodo dan Sam belum pernah mengalami kegelapan seperti ini; bahkan di sini lebih gelap dan pekat. Di Moria, udara masih mengalir, masih ada gema, dan terasa ada ruang. Di sini udaranya diam, tak bergerak, berat, dan setiap bunyi tidak bergema. Mereka seolah berjalan dalam uap hitam yang dijalin dari kegelapan itu sendiri, yang kalau dihirup mengakibatkan kebutaan bukan hanya pada mata, tapi juga pada pikiran, sehingga ingatan akan warna, bentuk, dan cahaya sama sekali lenyap dari pikiran.
Seakan-akan malam sudah sejak dulu ada, akan selalu ada, dan hanya malam yang berkuasa.
Tapi untuk beberapa saat mereka masih bisa merasakan, dan mula-mula indra peraba pada jari-jari kaki dan tangan mereka jadi lebih tajam, sampai hampir menyakitkan. Mereka heran karena dinding-dinding terasa mulus, lantai pun datar dan rata, kecuali sesekali di beberapa tempat, mendaki terus dengan kemiringan yang sama. Terowongan itu tinggi dan lebar, begitu lebar sehingga, meski kedua hobbit berjalan berdampingan, hanya menyentuh sisi-sisi tembok dengan tangan terentang, mereka toh terpisah, terputus hubungan dalam kegelapan.
Gollum sudah masuk lebih dulu, dan tampaknya hanya beberapa langkah di depan. Mereka masih bisa mendengar napasnya mendesis dan mendesah tepat di depan mereka. Tapi, setelah beberapa saat, indra-indra mereka semakin tumpul, daya sentuh dan daya dengar seolah kian mati rasa, namun mereka terus maju, meraba-raba, berjalan, maju terus, terutama karena tekad besar mereka sejak memasuki gua ini, kemauan untuk melewati jalan ini, dan hasrat untuk keluar sampai ke gerbang tinggi di sana.
Sebelum mereka berjalan jauh-mungkin belum jauh, tapi Sam sudah tak bisa mengukur waktu dan jarak sekarang Sam yang berjalan di sebelah kanan meraba-raba tembok dan menyadari ada bukaan di sisi itu: sekejap ia menangkap angin lemah dari udara yang tidak begitu berat, kemudian mereka pun lewat.
"Ada lebih dari satu selasar di sini," ia berbisik dengan susah payah: rasanya sulit untuk mengeluarkan suara. "Tempat ini pasti penuh Orc!" Setelah itu, mereka melewati tiga atau empat bukaan seperti itu Sam di sebelah kanan, Frodo di sebelah kiri. Beberapa bukaan itu lebih lebar, beberapa lebih sempit; tapi sampai sekarang jalan utama tak perlu diragukan, karena ia menjulur lurus, tidak berbelok, dan masih terus menanjak. Tapi seberapa panjang jalan itu? Berapa banyak lagi yang bisa mereka tahankan atau harus mereka derita? Kepengapan udara semakin terasa ketika mereka mendaki; dan sekarang, dalam kegelapan, mereka sering merasakan suatu perlawanan yang lebih berat daripada udara busuk di situ. Ketika mereka maju terus, terasa ada benda-benda menyapu kepala atau menyentuh tangan mereka. Mungkin sulur-sulur panjang atau tanaman gantung: mereka tidak tahu benda apa itu. Bau busuk juga semakin tajam. Begitu tajam, sampai rasanya hanya bau itu satu-satunya indra yang masih tersisa, itu pun hanya demi menyiksa mereka. Satu jam, dua jam, tiga jam: berapa jam sudah berlalu dalam terowongan tanpa cahaya ini? Berjam-jam berhari-hari, malah berminggu-minggu rasanya. Sam meninggalkan sisi terowongan
dan mendekati tubuh Frodo, tangan mereka bertemu dan berpegangan, dan begitulah mereka berdua terus berjalan.
Akhirnya Frodo, yang meraba-raba tembok sebelah kiri, sekonyong-konyong sampai ke sebuah lubang. Hampir saja ia jatuh ke samping, ke dalam kekosongan. Di sini ada bukaan dalam batu karang yang jauh lebih lebar dari yang pernah mereka lewati; dan dari sana muncul bau yang sangat busuk, serta perasaan tajam bahwa ada ancaman tersembunyi di sana, sampai Frodo terhuyung-huyung. Saat itu Sam juga terhuyung-huyung dan jatuh ke depan.
Sambil melawan rasa mual dan ketakutan, Frodo mencengkeram tangan Sam. "Bangkit!" katanya dengan suara serak tanpa bunyi.
"Semuanya berasal dan sini, bau busuk dan bahayanya. Ayo! Cepat!" Dengan mengumpulkan sisa kekuatan dan tekadnya, ia menyeret Sam berdiri dan memaksakan anggota tubuhnya sendiri bergerak. Sam tersandung di sebelahnya. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah-setidaknya enam langkah. Mungkin mereka sudah melewati lubang mengerikan yang tidak tampak, tapi entah benar atau tidak, tiba-tiba rasanya lebih mudah bergerak, seolah untuk sementara mereka lepas dari suatu kehendak jahat yang menguasai mereka. Mereka berjuang terus untuk maju, masih bergandengan tangan.
Tapi hampir seketika mereka menjumpai kesulitan baru. Terowongan itu bercabang, atau tampaknya begitu, dan dalam gelap mereka tidak tahu jalan mana yang lebih lebar, atau yang lebih mendekati jalan lurus. Yang mana yang harus mereka ambil, kiri atau kanan? Tak ada petunjuk untuk menuntun mereka, tapi pilihan keliru hampir pasti berakibat fatal.
"Jalan mana yang dilalui Gollum?" Sam terengah-engah. "Dan mengapa dia tidak menunggu?"
"Smeagol!" kata Frodo, berusaha memanggil. "Smeagol!" Tapi suaranya parau, dan nama itu sudah tak berbunyi ketika meninggalkan bibirnya. Tak ada jawaban, tak ada gema, bahkan tak ada getaran di udara.
"Kurasa dia benar-benar pergi kali ini," gerutu Sam. "Barangkali dia memang berniat membawa kita ke tempat ini. Gollum! Kalau suatu saat nanti aku berhasil menangkapmu, kau akan menyesal." Akhirnya, dengan meraba-raba dan mencari-cari dalam gelap, mereka menemukan bahwa lubang ke sebelah kini tertutup: mungkin buntu, atau ada batu besar jatuh ke dalam selasar. "Tak mungkin ini jalannya," bisik Frodo. "Benar atau salah, kita harus lewat jalan satunya."
"Dan cepatlah!" Sam terengah-engah. "Ada sesuatu yang lebih buruk daripada Gollum di sekitar sini. Bisa kurasakan sesuatu mengamati kita." Mereka baru berjalan beberapa meter ketika dari belakang datang suatu bunyi, mengejutkan dan mengerikan dalam kesunyian pekat itu: suatu bunyi berdeguk, menggelegak, dan desis panjang menyeramkan. Mereka berputar menoleh, tapi tak ada yang tampak. Mereka berdiri diam seperti batu, memandang, menunggu entah makhluk apa yang datang.
"Ini perangkap!" kata Sam, dan ia memegang pangkal pedangnya; pada saat bersamaan, ia teringat kegelapan Barrow-downs. "Kalau saja Tom ada bersama kita sekarang!" pikirnya. Lalu, ketika ia berdiri dikurung kegelapan serta rasa putus asa dan amarah yang menghitam di hatinya, ia merasa melihat seberkas cahaya: seberkas cahaya dalam pikirannya, mula-mula hampir tak tertahankan terangnya, seperti sinar matahari bagi mata orang yang sudah lama bersembunyi di sumur tanpa jendela. Lalu cahaya itu berubah menjadi warna-warna: hijau, emas, perak, dan putih. Jauh sekali, seolah dalam lukisan kecil goresan jaman Peri, ia melihat Lady Galadriel berdiri di bentangan rumput di Lorien, dengan berbagai hadiah di tangannya. Dan kau, Penyandang Cincin, ia mendengar Galadriel berkata, jauh tapi jelas, untukmu aku sudah menyiapkan ini.
Desis menggelegak itu semakin dekat, dan ada bunyi berderak, seolah suatu benda bersendi-sendi sedang bergerak perlahan-lahan dalam gelap. Bau busuk mendahuluinya. "Master, Master!" seru Sam, suaranya menyiratkan gairah hidup dan semangat. "Hadiah dari sang Lady! Kaca bintang! Cahaya bagimu di tempat-tempat gelap, begitu katanya. Kaca bintang!"
"Kaca bintang?" gumam Frodo, seperti orang yang menjawab sambil tidur, hampir tidak memahami. "Oh ya! Kenapa aku sampai lupa! Cahaya ketika semua cahaya lain padam! Dan sekarang memang hanya cahaya yang bisa menolong kita."
Perlahan-lahan tangannya bergerak ke dada, dan pelan-pelan ia mengangkat Bejana Galadriel. Sesaat bejana itu bersinar, redup seperti bintang yang sedang naik, berjuang keras dalam kabut berat yang menuju bumi. Kemudian, ketika kekuatannya makin besar, dan dalam pikiran Frodo timbul harapan, bejana itu mulai menyala dan berkobar menjadi api perak, setitik inti cahaya terang menyilaukan, seolah Earendil sendiri sudah datang dalam galur-galur matahari terbenam, dengan Silmaril terakhir di dahinya. Kegelapan mundur dari api perak itu, dan akhirnya api itu seolah bersinar di pusat sebuah bola kristal besar, tangan yang memegangnya berkelip-kelip dengan api putih.
Frodo menatap kagum hadiah indah yang sudah lama dibawanya itu, tanpa menduga nilai dan kekuatannya yang hebat. Jarang ia ingat benda itu dalam perjalanannya, sampai mereka tiba di Lembah Morgul, dan ia belum pernah menggunakannya, takut cahayanya akan, menyingkap kehadiran mereka. Aiya Earendil Elenion Ancalima! teriaknya. Ia tidak tahu apa yang diteriakkannya, sebab rasanya suatu suara lain berbicara melalui suaranya, jernih, tidak terganggu oleh udara busuk gua itu.
Tapi ada kekuatan lain di Dunia Tengah, kekuatan hebat yang sudah tua dan sangat kuat. Dan Dia yang berjalan dalam Kegelapan telah mendengar kaum Peri menyerukan teriakan itu, jauh di relung-relung waktu, namun dia tidak mengindahkannya; sekarang pun itu tidak membuatnya kecil hati. Saat berbicara, Frodo merasa sebuah kekejian besar mendesaknya, dan sebuah mata jahat yang ditujukan
terhadapnya. Tidak jauh di dalam terowongan, antara mereka dengan lubang tempat mereka terhuyung-huyung dan tersandung, ia melihat sepasang mata muncul, dua bercak besar mata berjendela banyak-bahaya yang akan datang itu akhirnya tersingkap. Kecemerlangan kaca bintang itu menyebar kini, berpendar dalam ribuan fasetnya, namun di balik kilauan itu sebuah api mematikan mulai tumbuh dari dalam, nyala api yang dikobarkan dalam semacam sumur pikiran jahat yang sangat dalam. Mata yang mengerikan dan menyeramkan, seperti binatang, namun penuh tekad dan memancarkan. kegembiraan menjijikkan, menatap tamak mangsanya yang terjebak, tanpa harapan untuk lolos.
Frodo dan Sam hampir lumpuh ketakutan; mereka mulai mundur perlahan-lahan, terpaku menatap sorot mengerikan dari mata yang keji itu; tapi semakin mereka mundur, semakin mata itu mendekat. Tangan Frodo gemetar, dan pelan-pelan bejana kaca itu terkulai. Sekonyong-konyong, saat terbebas sementara dari sihir mata itu, mereka membalikkan badan dan lari bersama-sama dengan panik. Tapi ketika mereka berlari, Frodo menoleh dan melihat dengan ngeri bahwa sepasang mata itu melompat mengejar. Bau busuk kematian mengepungnya seperti awan.
"Berhenti! Berhenti!" teriaknya putus asa. "Berlari tak ada gunanya." Pelan-pelan mata itu merangkak menghampiri.
"Galadriel!" teriak Frodo, dan sambil mengumpulkan keberaniannya ia mengangkat sekali lagi bejana kaca itu. Mata itu berhenti. Sejenak pandangannya mengendur, seolah ragu. Hati Frodo berkobar, dan tanpa memikirkan apa yang dilakukannya, entah itu kebodohan, atau putus asa, atau keberanian, ia memegang Bejana tersebut dengan tangan kirinya, dan menghunus pedangnya dengan tangan kanan. Sting keluar dengan bersinar, mata pedang Peri yang tajam itu berkilauan dalam cahaya perak, tapi di kedua tepiannya berkelip cahaya biru. Kemudian, sambil memegang Bejana itu tinggi-tinggi, dan menghunus pedangnya yang bersinar, Frodo, hobbit dari Shire itu, berjalan maju dengan tabah untuk menghadapi sang mata.
Mata itu guncang. Timbul keraguan, di dalamnya ketika cahaya di tangan Frodo menghampirinya. Satu demi satu mata itu meredup, dan perlahan mundur. Belum pernah ada cahaya terang yang begitu mematikan menimpanya. Selama ini, mata itu aman dari cahaya matahari, bulan, dan bintang, di bawah tanah, tapi kini sebuah bintang sudah turun ke dalam bumi. Cahaya itu kian dekat, dan mata itu mulai gemetar.
Lalu satu demi satu mata itu menggelap; mereka berbalik, dan suatu sosok besar, di luar jangkauan cahaya, menghela bayangannya yang besar di antaranya. Dan ia pergi.
"Master, Master!" teriak Sam. ia dekat di belakang Frodo, pedangnya juga terhunus siap. "Bintang-bintang dan kemenangan! Kaum Peri pasti akan membuat lagu kalau mereka mendengar tentang kejadian ini! Mudah-mudahan aku masih hidup untuk menceritakannya pada mereka, dan mendengar mereka menyanyikannya. Tapi jangan jalan terus, Master. Jangan masuk ke sarang itu! Sekarang kesempatan kita satu-satunya. mari kita keluar dari lubang busuk ini.
Maka mereka berputar sekali lagi, mula-mula berjalan, kemudian berlari, karena jalan dalam terowongan itu mendaki terjal, dan setiap langkah membawa mereka semakin jauh di atas bau busuk dan sarang yang tidak tampak itu. Tubuh dan hati mereka kembali diliputi kekuatan. Tapi kebencian sang Pengintai masih bersembunyi di belakang mereka, untuk sementara mungkin buta, tapi belum terkalahkan, masih ingin membunuh. Kini aliran udara datang menyambut mereka, dingin dan tipis. Lubang akhir terowongan ada di depan. Sambil terengah-engah, merindukan tempat tanpa atap, mereka melemparkan diri ke depan, lalu dengan tercengang mereka terhuyung-huyung, terpental kembali. Lubang itu ditutup semacam penghalang, tapi bukan dari batu: lembut dan agak lentur rupanya, namun sangat kuat dan tidak mempan didorong; udara merembes masuk, tapi berkas cahaya tidak. Sekali lagi mereka menyerbu, dan terpental kembali.
Sambil mengangkat Bejana itu, Frodo mengamati. Di depannya ia melihat bidang kelabu yang tak bisa ditembus kecemerlangan kaca bintang, juga tak bisa disinari, seolah bayangan itu terjadi bukan karena kena cahaya, sehingga tak ada cahaya yang bisa menghilangkannya.
Melintasi lebar dan tinggi terowongan itu, sebuah jaring sudah dijalin, teratur seperti sarang labah-labah raksasa, tapi tenunannya lebih rapat dan jauh lebih besar, dan setiap benangnya setebal tambang.
Sam tertawa muram. "Sarang labah-labah!" katanya. "Hanya itu? Sarang labah-labah! Tapi labah-labah macam apa itu! Serbu, hancurkan!" Dengan marah ia memukulkan pedangnya, tapi benang yang dipukulnya tidak putus. Benang itu hanya melentur sedikit, kemudian melenting kembali seperti tali busur yang dipetik, memutar mata pedang dan melemparkan ke atas baik pedang maupun tangan. Tiga kali Sam memukul sekuat tenaga, dan akhirnya satu benang tunggal di antara semua benang yang tak terhitung jumlahnya itu putus dan terpelintir, menggulung dan memecut di udara. Satu ujungnya mencambuk tangan Sam, dan ia berteriak kesakitan, melompat mundur dan menarik tangannya ke atas bibir.
"Bisa makan waktu berhari-hari, membuka jalan seperti ini," katanya. "Kita harus berbuat apa? Apa mata itu sudah kembali?"
"Tidak, tidak terlihat," kata Frodo. "Tapi aku masih merasa mereka memandangiku, atau memikirkan aku: mungkin membuat rencana lain.
Kalau cahaya ini diturunkan, atau padam, mata itu akan segera datang lagi."
"Kita terjebak!" kata Sam pahit, kemarahannya melebihi keletihan dan keputusasaannya. "Seperti serangga dalam jala. Semoga kutukan
Faramir menggigit Gollum dan menggigitnya cepat!"
"Itu tidak akan membantu kita sekarang," kata Frodo. "Ayo! Coba kita lihat, apa yang bisa dilakukan Sting. Ini pedang Peri. Ada jaring-jaring mengerikan di jurang-jurang gelap di Beleriand, di mana dia ditempa. Tapi kau harus menjaga dan menahan mata itu. Nih, ambil kaca bintang ini. Jangan takut. Angkat tinggi-tinggi dan waspada!"
Kemudian Frodo maju ke dekat jala besar kelabu itu, dan menyapunya dengan satu pukulan, menyabetkan sisi tajam pedangnya dengan cepat ke susunan tali yang terjalin rapat, sambil langsung melompat mundur. Pedang yang bersinar biru itu menebas jala jala tersebut seperti sabit besar membabat rumput, hingga mereka meloncat menggeliat, kemudian tergantung bebas. Sebuah koyakan besar menganga.
Pukulan demi pukulan ia lancarkan, sampai akhirnya seluruh jala dalam jangkauannya hancurlah, bagian atasnya bergerak dan bergoyang seperti selubung kendur dalam angin yang berembus masuk. Perangkap itu sudah hancur.
"Ayo!" teriak Frodo. "Maju, maju!" Kegembiraan menggebu-gebu atas lolosnya mereka dari mulut maut mendadak mengisi seluruh benaknya. Kepalanya berputar-putar, seolah habis minum anggur keras. Ia melompat keluar, sambil berteriak.
Daratan remang-remang itu tampak terang di matanya yang sudah melewati gua malam. Asap-asap besar sudah naik dan menipis, dan jamjam terakhir suatu hari muram sedang berlalu; nyala merah dari Mordor sudah padam dalam keremangan suram. Namun Frodo merasa ia tengah menatap pagi yang tiba-tiba kembali dipenuhi harapan. Ia sudah hampir sampai di puncak tembok. Tinggal sedikit lebih tinggi sekarang. Celah itu, Cirith Ungol, ada di depannya, sebuah noktah redup di punggung bukit hitam, dengan tanduk-tanduk batu karang gelap di langit di kedua sisinya. Hanya sejarak lari cepat, jalan lurus untuk pelari cepat, dan ia sudah sampai!
"Celah, Sam!" teriaknya, tanpa menghiraukan lengkingan suaranya, yang setelah terbebas dari udara menyesakkan di terowongan sekarang berbunyi nyaring dan liar. "Celah! Lari, lari, dan kita akan melewatinya lewat sebelum ada yang bisa menghentikan kita!" Sam menyusul secepat kakinya bisa dipaksakan; tapi, meski gembira sudah bebas, ia tetap merasa cemas, dan sambil berlari, ia terus menoleh kembali ke lengkungan gelap terowongan itu, takut melihat sepasang mata, atau suatu wujud yang melampaui khayalannya, meloncat keluar mengejar mereka. Ia maupun majikannya belum tahu seberapa lihainya Shelob. Makhluk itu punya banyak sekali jalan keluar dari sarangnya.
Sudah berabad-abad ia bermukim di situ, suatu bentuk jahat dalam wujud labah-labah, seperti jenis yang pernah hidup di zaman dulu, di Negeri Peri di Barat, yang sekarang sudah terbenam di Samudra; seperti yang dilawan Beren di Pegunungan Teror di Doriath, hingga ia , berjumpa Luthien di padang rumput, di tengah pohon-pohon cemara di bawah sinar bulan, lama berselang. Bagaimana caranya Shelob bisa sampai ke sana, meloloskan diri dari kehancuran, tak ada ceritanya, sebab dari Tahun-Tahun Gelap hanya sedikit dongeng yang ada.
Bagaimanapun, ia ada di sana, lebih dulu daripada Sauron, dan lebih dulu daripada batu pertama Barad-dur; ia hanya melayani dirinya sendiri, minum darah Peri dan Manusia, membengkak gemuk menikmati pesta poranya, menjalin jaring-jaring kegelapan; semua makhluk hidup menjadi makanannya, dan muntahannya adalah kegelapan. Keturunannya yang lebih kecil, anak dari pasangan-pasangannya yang malang, anak-anaknya sendiri yang dibunuhnya, menyebar dari lembah ke lembah, dari Ephel Duath ke bukit-bukit timur, sampai ke Dol Guldur dan Mirkwood yang luas. Tapi tak ada yang bisa menandinginya, Shelob Agung, anak terakhir dari Ungoliant yang mengganggu dunia yang sengsara.
Sudah bertahun-tahun yang lalu Gollum melihatnya; Smeagol yang mengorek-ngorek semua lubang gelap. Di masa lampau ia membungkuk memuja Shelob. Kegelapan dari hasrat jahat makhluk itu mendampinginya dalam keletihannya, memisahkannya dari cahaya dan penyesalan.
Dan ia sudah berjanji akan membawakan makanan. Tapi gairah Shelob bukan gairah Gollum. Shelob tak peduli tentang menara menara, atau cincin, atau apa pun yang merupakan hasil karya pikiran ataupun tangan. Shelob hanya mengharapkan kematian makhluk-makhluk lain, tubuh maupun pikiran, dan ia menghendaki kelimpahan untuk dirinya sendiri, hingga tubuhnya membengkak dan pegunungan tak lagi sanggup menopangnya, dan kegelapan tak bisa lagi menyembunyikannya.
Tapi hasrat itu masih jauh sekali, dan sekarang ini ia sudah lama kelaparan, bersembunyi di sarangnya, sementara kekuatan Sauron semakin besar, dan cahaya serta makhluk-makhluk hidup meninggalkan perbatasan-perbatasannya; kota di lembah itu sudah mati, tak ada Peri maupun Manusia yang mendekatinya, selain Orc-Orc yang sengsara. Makanan yang tidak lezat dan selalu waspada. Tapi ia harus makan, dan meski Orc-Orc itu sibuk menggali jalan-jalan baru yang berliku-liku dari celah dan menara mereka, Shelob selalu menemukan cara untuk menjerat mereka. Tapi ia ingin daging yang lebih manis. Dan Gollum sudah membawakannya untuknya. "Lihat saja, lihat saja," Gollum sering berkata pada dirinya sendiri, ketika suasana hatinya sedang jahat, saat ia melewati jalan berbahaya dan Emyn Muil ke Lembah Morgul. "Kita lihat saja. Mungkin sekali, oh ya, mungkin sekali; kalau Dia sudah membuang tulang-tulang dan pakaian mereka, mungkin kita akan menemukannya, kita akan memperolehnya, sayangku, hadiah untuk Smeagol malang yang membawa makanan enak. Dan kita akan menyelamatkan sayangku, seperti sudah kita janjikan. Oh ya. Dan kalau benda itu sudah aman, Shelob akan tahu, oh ya, dan kita akan membalas budi Shelob, sayangku. Nanti semuanya kita beri imbalan!" Begitu pikirnya dengan cerdik. Namun rencana ini masih disembunyikannya dari Shelob, meski ia sudah menghadap dan membungkuk di
depan labah-labah itu ketika kedua hobbit sedang tidur.
Sementara itu, Sauron tahu di mana Shelob bersembunyi. Ia senang Shelob tinggal di sana dalam keadaan lapar, dengan kekejiannya yang tidak berkurang. Makhluk itu malah menjadi penjaga jalan masuk ke negerinya yang sangat ampuh, lebih ampuh daripada yang mungkin diciptakan Sauron sendiri dengan keahliannya. Orc juga pelayan yang berguna, tapi ia punya banyak sekali. Kalau sesekali Shelob menangkap mereka untuk memenuhi selera makannya, boleh-boleh saja: toh sisanya masih cukup banyak. Dan kadang-kadang, seperti orang melemparkan makanan lezat pada kucingnya (Sauron menyebut Shelob kucingnya, tapi Shelob tidak mengakui Sauron sebagai majikannya) Sauron suka mengirimkan tawanan-tawanan yang tak bisa dimanfaatkannya untuk hal lain: ia menyuruh mereka didesak sampai ke lubang persembunyian Shelob, dan menunggu laporan tentang aksi Shelob.
Begitulah mereka berdua hidup, senang dengan cara masing-masing tidak mencemaskan serangan, kemarahan, maupun akhir kekejian mereka. Belum pernah ada yang lolos dari jaring jaring Shelob, dan sekarang kemarahan dan kelaparannya makin menjadi-jadi.
Tapi Sam sama sekali tidak tahu tentang bahaya ini, bahaya yang mereka kobarkan terhadap diri sendiri. Ia hanya merasa ada ketakutan yang timbul dalam dirinya, suatu ancaman yang tak bisa dilihatnya; dan perasaan ini menjadi beban berat baginya, sampai-sampai menghambat pelariannya, dan kakinya serasa terbuat dari timah.
Kengerian mengepungnya, musuh-musuhnya ada di celah di depannya, sementara majikannya sedang sinting dan justru berlari menyongsong musuh tanpa menghiraukan bahaya. Sam mengalihkan pandang dari bayangan di belakang, juga dari keremangan pekat di bawah batu karang di sisi kirinya. Ia menatap ke depan, dan melihat dua hal yang memperparah kekagetannya. Ia melihat pedang yang masih dipegang Frodo dalam keadaan terhunus, bersinar dengan cahaya biru; dan ia melihat bahwa meski langit di belakangnya sekarang gelap, jendela di menara itu menyala merah.
"Orc!" gerutunya. "Kita tak bisa gegabah begini. Banyak Orc di sekitar sini, dan makhluk-makhluk lain yang lebih jahat daripada Orc." Lalu diam-diam ia menangkupkan tangan pada Bejana yang masih dibawanya. Sejenak tangannya bersinar merah oleh darahnya sendiri, kemudian ia memasukkan cahaya terang itu ke saku bajunya dan menutup rapat jubah Peri-nya. Sekarang ia mencoba mempercepat langkah.
Majikannya sudah sekitar dua puluh langkah di depan, melompat-lompat seperti bayangan; tak lama lagi Frodo akan segera lenyap tertelan dunia kelabu itu.
Baru saja Sam menyembunyikan cahaya kaca bintang itu, Shelob datang. Agak di depan, dan di sebelah kirinya, sekonyong-konyong Sam melihat wujud paling menjijikkan yang pernah dilihatnya, muncul dari sebuah lubang hitam di bawah batu karang, mengerikan melebihi mimpi seram. Makhluk itu sangat mirip labah-labah, tapi jauh lebih besar daripada hewan pemburu besar, dan lebih mengerikan daripada mereka, karena niat keji yang terpancar dari matanya yang kejam. Mata yang dikira Sam sudah kecil hati dan kalah itu ternyata kembali bersinar dengan cahaya busuk, menggumpal di kepalanya yang dijulurkan. Ia mempunyai tanduk besar, dan di belakang lehernya yang seperti batangan pendek terdapat tubuhnya yang membengkak besar, seperti kantong besar yang gembung, bergoyang dan melengkung di antara kakinya; bagian terbesar berwarna hitam, bebercak tandatanda pucat, tapi perut di bawahnya pucat bercahaya dan mengeluarkan bau busuk. Kakinya tertekuk, dengan sendi-sendi besar dan benjol tinggi di atas punggungnya, serta rambut-rambut yang menjulur seperti duriduri baja, dan pada setiap ujung kakinya ada cakar.
Setelah mendesak badannya yang lembek dan anggota tubuhnya yang terlipat keluar dari lubang bagian atas sarangnya, ia bergerak maju dengan kecepatan mengerikan, kadang-kadang berlari dengan kakinya yang berderak, kadang-kadang melompat mendadak. Ia berada di antara Sam dan Frodo. Mungkin ia tidak melihat Sam, atau menghindarinya untuk sementara, karena Sam membawa cahaya. Ia memusatkan seluruh perhatiannya pada satu mangsa, yaitu Frodo yang tidak memegang Bejana-nya, berlari tanpa mengacuhkan sekitarnya, belum menyadari bahaya yang mengancam. Frodo berlari cepat, tapi Shelob lebih cepat; dalam beberapa lompatan ia pasti bisa menangkap Frodo.
Sam terengah-engah dan mengumpulkan seluruh sisa napasnya untuk berteriak. "Awas di belakang!" teriaknya. "Awas, Master! Aku …" tapi sekonyong-konyong teriakannya terhenti.
Sebuah tangan panjang basah menutup mulutnya, dan satu tangan lain mencengkeram lehernya, sementara sesuatu mendekap kakinya.
Karena terkejut, ia jatuh ke belakang, ke dalam cengkeraman penyerangnya.
"Dapat!" desis Gollum di telinganya. "Akhirnya, sayangku, kita menangkapnya, ya, hobbit yang jahat. Kita ambil yang ini. Dia dapat yang lainnya. Oh ya, Shelob akan dapat dia, bukan Smeagol; Smeagol sudah berjanji tidak akan melukai Majikan sama sekali. Tapi Smeagol dapat kau, kau penyelinap kecil jahat dan busuk!" ia meludahi leher Sam.
Murka karena dikhianati, dan merasa putus asa karena hambatan ini, sementara majikannya sedang menghadapi bahaya mematikan, mendadak Sam memperlihatkan kekuatan dan keganasan luar biasa, yang jauh di luar perkiraan Gollum. Apalagi selama ini ia menganggap Sam hobbit yang lamban dan bodoh. Bahkan Gollum sendiri tak mampu menggeliat lebih cepat atau lebih ganas. Pegangannya di mulut Sam terlepas, Sam menunduk dan melompat maju, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pada lehernya. Pedangnya masih di tangan kanan, dan di tangan kirinya, menggantung pada tali, ada tongkat yang diberikan Faramir. Dengan tekad besar Sam berusaha memutar tubuh dan
menikam musuhnya. Tapi Gollum terlalu gesit.
Tangannya yang panjang menjulur cepat, memegang pergelangan tangan Sam: jarinya seperti penjepit; perlahan-lahan dan tanpa kenal ampun ia menekuk tangan Sam ke bawah dan ke depan, sampai Sam melepaskan pedangnya sambil berteriak kesakitan. Pedang itu terjatuh ke tanah; sementara itu, tangan Gollum yang lainnya mencekik leher Sam makin keras.
Kemudian Sam memainkan tipuannya yang terakhir. Dengan seluruh kekuatannya, ia mundur dan menapakkan kakinya dengan kokoh; lalu mendadak ia mendorong kakinya dari tanah, dan melemparkan diri ke belakang dengan seluruh kekuatannya.
Karena tak menduga Sam akan melakukan tipuan sederhana ini, Gollum jatuh terjungkal dengan Sam di atasnya, dan hobbit kekar itu mendarat di perutnya. Gollum mengeluarkan desis tajam, dan sejenak cengkeraman tangannya di leher Sam mengendur; tapi jarinya masih memegang pangkal pedang. Sam melepaskan diri dan menjauh, lalu bangkit berdiri, dengan cepat memutar tubuhnya ke kanan, berputar pada sumbu pergelangan yang dipegang Gollum. Sambil memegang tongkat dengan tangan kirinya, Sam mengayunkannya ke atas, lalu dengan bunyi derak berdesing ia menghantam tangan Gollum yang terulur, persis di bawah sikunya.
Dengan menjerit Gollum melepaskannya. Lalu Sam maju: tanpa menunggu untuk memindahkan tongkat dari kiri ke kanan, ia melancarkan pukulan lain yang juga keras. Cepat seperti ular Gollum meluncur ke pinggir, dan cambukan yang ditujukan ke kepalanya jatuh ke punggungnya. Tongkat itu berderak dan patah. Cukup sudah. Menangkap dari belakang memang taktik lamanya, dan ia jarang gagal. Tapi kali ini, tertipu oleh kedengkiannya, ia membuat kesalahan dengan berbicara dan berbangga sebelum kedua tangannya mencekik leher korbannya. Seluruh rencananya hancur berantakan, sejak cahaya mengerikan itu mendadak muncul dalam kegelapan. Dan sekarang ia berhadapan langsung dengan musuh yang galak, yang ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda. Perkelahian ini bukan untuknya. Sam memungut pedangnya dari tanah dan mengangkatnya. Gollum mendecit, sambil melompat ke pinggir dan mendarat dalam posisi merangkak, ia melompat pergi dengan satu loncatan seperti katak. Sebelum Sam bisa mengejarnya, ia sudah hilang, berlari dengan kecepatan mengagumkan, kembali ke terowongan.
Dengan pedang di tangan, Sam mengejarnya. Untuk sementara ia lupa segala sesuatunya, kecuali kemarahan besar dalam pikirannya, dan hasrat untuk membunuh Gollum. Tapi sebelum ia bisa menyusul, Gollum sudah lenyap. Kemudian, ketika lubang hitam itu sudah ada di depannya dan bau busuk keluar menyongsongnya, seperti gelegar guruh pikiran tentang Frodo dan monster timbul dalam benak Sam. ia membalikkan badan dan berlari liar melewati jalan, memanggil dan memanggil nama majikannya. Sudah terlambat. Sejauh itu rencana Gollum berhasil.
BERSAMBUNG KE BAB 10/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates