Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 3: KEMBALINYA SANG RAJA BUKU 5 BAB 4/10 PENYERBUAN GONDOR

<<< SEBELUMNYA



Pippin dibangunkan oleh Gandalf. Di kamar mereka lilin-lilin dinyalakan, sebab hanya cahaya redup senja yang masuk dari jendela-jendela; udara pengap, seakan-akan halilintar sedang mendekat.
"Jam berapa sekarang?" kata Pippin sambil menguap.
"Sudah lewat jam kedua," kata Gandalf "Sudah saatnya bangun dan berpakaian pantas. Kau dipanggil Penguasa Kota untuk diberitahu tugastugas barumu."

"Apakah dia akan memberikan sarapan?"
"Tidak! Aku yang menyediakannya hanya itu yang akan kauterima sampai tengah hari. Sekarang makanan dibagi-bagikan menurut perintah." Pippin memandang sedih jatahnya-sepotong kecil roti dan olesan mentega yang menurutnya sangat sedikit, berikut secangkir susu.
"Kenapa kau membawaku kemari?" katanya.
"Kau tahu betul kenapa," kata Gandalf.
"Agar kau tidak melakukan kenakalan lagi; kalau kau tidak suka berada di sini, ingatlah bahwa kau sendiri penyebabnya." Pippin diam saja.
Tak lama kemudian, Pippin berjalan bersama Gandalf sepanjang selasar yang dingin, menuju pintu Serambi Menara. Di sana Denethor duduk dengan murung, seperti labah-labah tua yang sabar, pikir Pippin; ia seperti belum bergerak sejak kemarin. Ia menawarkan kursi pada Gandalf, tapi Pippin dibiarkan sendiri untuk beberapa saat, tidak dihiraukan. Akhirnya pria tua itu berbicara kepadanya, "Nah, Master Peregrin, kuharap hari kemarin sudah kaumanfaatkan dengan baik, untuk kesenanganmu? Meski aku khawatir makanan di kota ini tidak semelimpah yang kauharapkan." Pippin merasa kurang enak, rupanya hampir semua yang ia katakan atau lakukan, entah bagaimana bisa diketahui Penguasa Kota, dan banyak juga pikirannya yang bisa ditebak. Ia tidak menjawab.
"Apa yang akan kaulakukan untuk melayaniku?"
"Kupikir Anda akan memberitahukan tugasku, Sir."
"Akan kuberitahukan, kalau aku sudah tahu kemampuanmu," kata Denethor.
"Dan itu mungkin bisa secepatnya kuketahui kalau kau tetap bersamaku. Pelayan kamarku meminta izin pergi ke asrama serdadu di luar, jadi kau akan menggantikan dia untuk sementara. Kau akan melayaniku, membawa pesan-pesan, dan berbicara padaku, kalau perang dan perundingan masih menyisakan waktu senggang bagiku.
Bisakah kau menyanyi?"
"Ya," kata Pippin.
"Ya, cukup baik kalau untuk bangsaku sendiri. Tapi kami tak punya lagu-lagu yang pantas untuk ruang balairung besar dan di saat buruk seperti ini, Lord. Kami jarang bernyanyi tentang topik yang mengerikan, paling-paling tentang hujan atau angin. Dan kebanyakan lagu-lagu yang kukenal berkisah tentang hal-hal yang membuat kami tertawa; atau tentang makanan dan minuman, tentu saja."
"Dan mengapa lagu-lagu seperti itu kurang pantas dinyanyikan di serambiku, atau di masa gelap seperti sekarang? Bukankah kami yang sudah lama hidup di bawah Bayang-Bayang boleh mendengarkan gema dari negeri yang tidak diganggu kegelapan? Dengan demikian, kami akan merasa penjagaan kami tidak sia-sia, meski mungkin ucapan terima kasih tak pernah kami terima." Pippin jadi gelisah. Ia tidak begitu senang harus menyanyikan lagu dari Shire untuk Penguasa Minas Tirith, apalagi lagu-lagu jenaka yang paling dikenalnya; lagu-lagu itu agak terlalu, ah … terlalu kasar untuk kesempatan seperti sekarang. Tapi untuk sementara Ia terhindar dari cobaan itu. Ia tidak diperintahkan menyanyi. Denethor berbicara pada Gandalf, menanyakan kaum Rohirrim dan kebijakan-kebijakan mereka, serta kedudukan Eomer, keponakan Raja. Pippin kagum menyaksikan pengetahuan luas sang Penguasa tentang bangsa yang tinggal jauh, padahal pasti sudah lama sekali Denethor tidak pergi ke luar negerinya.
Akhirnya Denethor melambaikan tangannya ke arah pippin dan menyuruhnya pergi.
"Pergilah ke gudang senjata di Benteng," katanya, "ambillah di sana seragam dan perlengkapan untuk kaupakai di Menara. Sudah disiapkan. Sudah kuperintahkan kemarin. Kembalilah kalau kau sudah mengenakannya!" Begitulah, tak lama kemudian Pippin sudah berpakaian aneh, semuanya serba hitam dan perak. Ia memakai hauberk kecil, cincin-cincinnya mungkin ditempa dari baja, tapi hitam legam; dan sebuah helm bermahkota tinggi dengan sayap hitam kecil di kedua sisinya, di tengahtengahnya terdapat hiasan bintang perak. Di atas baju logamnya ada rompi pendek berwarna hitam, dan pada dadanya ada sulaman lambang pohon perak. Pakaiannya yang lama dilipat dan disimpan. Ia diperbolehkan menyimpan jubah kelabu dari Lorien, tapi tak boleh memakainya saat sedang bertugas. Seandainya Ia tahu, sekarang ia benar-benar mirip Emil Pheriannath, pangeran kaum Halfling, seperti julukan yang diberikan orang-orang kepadanya; tapi ia merasa tidak nyaman. Dan kemuraman mulai membebani semangatnya.
Sepanjang hari itu gelap dan suram. Sejak fajar tanpa matahari, sampai sore bayangan gelap semakin kelam, dan semua yang berada di Kota merasa tertekan. Jauh di atas, sebuah awan besar melayang perlahan ke arah barat dari Negeri Hitam, melahap cahaya, diterbangkan angin perang; tapi di bawah, udara diam tak bergerak, seolah-olah seluruh Lembah Anduin menunggu datangnya badai dahsyat yang membawa malapetaka.
Sekitar jam kesebelas, Pippin dibebaskan sebentar dari tugasnya. Ia keluar mencari makanan dan minuman untuk menghibur hatinya yang murung dan membuat tugasnya melayani lebih terdukung. Di ruang makan ia bertemu lagi dengan Beregond, yang baru saja datang dari tugas melintasi Pelennor ke Menara Penjagaan di atas Jalan Layang. Berdua mereka berjalan ke dinding, karena Pippin merasa seperti dipenjara bila berada di dalam ruangan, dan merasa pengap meski berada di benteng tinggi. Sekarang mereka duduk berdampingan lagi di relung yang menghadap ke timur, di mana sehari sebelumnya mereka makan dan minum.
Saat itu matahari terbenam, tapi kesuraman besar sudah menjulur jauh ke Barat. Sesaat sebelum terbenam ke dalam Laut, barulah Matahari bisa lolos sejenak untuk mengirimkan seberkas sinar, sebagai salam pamit sebelum malam tiba; tepat pada saat yang sama, Frodo juga melihatnya ketika Ia berada di Persimpangan Jalan; cahaya itu menyentuh kepala raja yang sudah jatuh. Namun padang-padang Pelennor, di bawah bayangan Mindolluin tidak tersapu oleh berkas cahaya itu; mereka tampak cokelat dan layu.
Pippin merasa sudah bertahun-tahun yang lalu duduk di sana, pada suatu saat yang setengah terlupakan, ketika ia masih seorang hobbit, pengembara riang yang tidak banyak tersentuh hatinya oleh bahaya-bahaya yang sudah dilaluinya. kini Ia telah menjadi serdadu kecil di sebuah kota yang sedang bersiap-siap menghadapi serbuan besar, berpakaian dengan gaya Menara Penjagaan yang gagah namun muram.
Seandainya saat dan tempatnya berbeda, mungkin Pippin akan senang dengan pakaiannya yang baru, tapi sekarang Ia tahu bahwa ia bukan memainkan peran dalam suatu pertunjukan; Ia benar-benar melayani seorang majikan yang keras, dalam situasi berbahaya yang sangat dahsyat. Hauberk yang dipakainya sangat mengganggu, helmnya pun terasa membebani. Jubahnya sudah Ia letakkan di bangku. la mengalihkan pandangannya yang letih dan padang-padang gelap di bawah, dan menguap. Lalu Ia mengeluh.
"Kau jemu hari ini?" kata Beregond.
"Ya," kata Pippin, "sangat jemu karena menganggur dan menunggu. Aku hanya menganggur di depan pintu kamar majikanku selama berjam-jam, sementara dia berembuk dengan Gandalf, Pangeran, dan orang-orang penting lain. Aku tidak biasa meladeni orang lain sementara mereka makan, Master Beregond. Itu cobaan berat bagi seorang hobbit. Pasti kaupikir aku seharusnya merasa terhormat. Tapi apa gunanya kehormatan seperti itu? Apa gunanya makanan dan minuman di bawah bayangan gelap yang menjalar ini? Apa artinya ini? Bahkan udara kelihatan tebal dan cokelat! Seringkah kau mengalami kesuraman semacam ini bila angin datang dan Timur?"
"Tidak," kata Beregond, "ini bukan cuaca dari dunia ini. Ini alat buatan Penguasa Kegelapan yang keji; semacam panggangan asap dan Gunung Api, yang dikirimkannya untuk menggelapkan hati dan pikiran. Dan memang itulah yang terjadi. Kuharap Lord Faramir kembali.
Dia tidak akan cemas. Tapi siapa yang tahu apakah dia akan kembali, menyeberangi Sungai keluar dan Kegelapan?"
"Ya," kata Pippin, "Gandalf juga sangat cemas. Rupanya dia kecewa tidak menemukan Faramir di sini. Dan dia sendiri, ke manakah perginya? Dia meninggalkan Dewan Penasihat Raja sebelum makan tengah hari, dan kelihatannya dia sedang resah. Jangan-jangan dia mendapat firasat kabar buruk."
Tiba-tiba, sementara bercakap-cakap, mereka terkejut hingga terdiam membisu, membeku seperti batu yang memasang telinga. Pippin gemetaran, meringkuk dengan tangan menekan telinga; tapi Beregond yang sedang memandang ke luar dinding benteng ketika membicarakan Faramir, tetap berdiri, kaku, melotot terkejut. Pippin kenal teriakan mengerikan yang didengarnya: sama dengan yang pernah Ia dengar di Marish di Shire, tapi kini sudah semakin besar kekuatan dan kekejiannya, menusuk hati dengan keputusasaan beracun.
Akhirnya Beregond berbicara dengan susah payah.
"Mereka sudah datang!" katanya.
"Kerahkan keberanianmu dan lihatlah! Banyak makhluk jahat di bawah." Dengan enggan Pippin memanjat bangku dan memandang dari atas tembok. Padang Pelennor terhampar samar-samar di bawahnya, semakin jauh semakin kabur ke arah garis samar-samar Sungai Besar. Tapi kini di tengah angkasa di bawahnya, Ia melihat lima sosok mirip burung, mengerikan seperti burung pemakan bangkai, tapi lebih besar daripada elang, kejam seperti elmaut, melayang cepat melintasi padang, bagai bayangan malam yang datang terlalu awal. Kadang-kadang mereka menukik mendekat, terbang hampir dalam jarak tembakan panah dan tembok, kadang terbang menjauh berputar-putar.
"Penunggang Hitam!" gerutu Pippin.
"Penunggang Hitam di udara! Tapi lihat, Beregond!" teriaknya.
"Mereka mencari sesuatu, bukan? Lihat bagaimana mereka berputar-putar dan menukik, selalu ke titik di bawah sana! Dan bisakah kau melihat sesuatu bergerak di tanah? Benda-benda kecil gelap. Ya, orang-orang berkuda empat atau lima! Ah! Aku tidak tahan! Gandalf! Gandalf, tolong selamatkan kami!" Lagi terdengar teriakan panjang melengking, lalu menghilang, dan Pippin menjatuhkan diri dan tembok, terengah-engah seperti hewan yang diburu. Di antara teriakan itu, samar-samar dan sangat jauh ia mendengar bunyi terompet di bawah, berakhir dengan nada tinggi panjang.
"Faramir! Lord Faramir! Itu bunyi terompetnya!" teriak Beregond.
"Pemberani! Tapi bagaimana dia bisa selamat sampai ke Gerbang, kalau elang-elang jahat itu punya senjata lain selain ketakutan? Tapi lihat! Mereka maju terus. Mereka akan sampai ke Gerbang. Tidak! Kuda-kuda mereka kocar-kacir ketakutan. Lihat! Penunggangnya terlempar jatuh; mereka lari. Tidak, satu masih di atas kuda, tapi dia kembali pada yang lainnya. Pasti itu Kapten kita, dia bisa mengendalikan manusia maupun hewan. Ahl salah satu makhluk busuk itu menukik ke arahnya.
Tolong! Tolong! Tak adakah yang membantunya? Faramir!" Lalu Beregond melompat dan lari ke dalam gelap. Malu karena merasa takut sementara Beregond dan pasukan Pengawal lebih memikirkan kapten yang disayanginya, Pippin bangkit dan mengintip atas. Saat itu ia menangkap kilatan putih dan perak datang dari Utara, seperti bintang kecil di bawah, di atas padang-padang yang diselubungi senja. Gerakannya secepat panah dan semakin besar ketika mendekat, bergabung cepat dengan keempat orang yang berlari menuju Gerbang. Pippin seolah-olah melihat cahaya pudar memancar darinya, dan bayangan-bayangan gelap pun menyingkir; ketika kilatan itu semakin dekat, ia serasa mendengar suara besar berteriak, seperti gema di tembok-tembok.
"Gandalf!" teriaknya.
"Gandalfl Dia selalu datang di saat-saat paling gelap. Maju terus! Maju, Penunggang Putih! Gandalf, Gandalf?" ia berteriak liar, seperti penonton lomba besar yang bersorak-sorai mendorong semangat pelari yang sudah di atas angin.
Tapi bayangan-bayangan gelap yang menyambar sudah melihat pendatang baru itu. Salah satu berputar ke arahnya; Pippin rasanya melihat Gandalf mengangkat tangan, dan dari tangan itu keluar seberkas cahaya putih yang menusuk ke atas. Nazgul itu meraung panjang dan terbang menjauh; keempat makhluk lainnya bimbang, lalu terbang cepat ke atas, melingkar-lingkar, dan lenyap ditelan awan rendah di timur; untuk sejenak Padang Pelennor tidak begitu gelap lagi.
Pippin memperhatikan; ia melihat penunggang kuda tadi dan Penunggang Putih bertemu dan berhenti, menunggu mereka yang berjalan kaki.
Sekarang banyak orang bergegas keluar dari Kota; tak lama kemudian, mereka semua hilang dari pandangan di bawah dinding luar, dan Pippin tahu mereka sudah masuk ke Gerbang. Karena menduga mereka akan segera menuju Menara dan ke Pejabat Istana, ia bergegas pergi ke jalan masuk benteng. Di sana banyak orang lain bergabung dengannya, yang sudah menyaksikan pacuan dan penyelamatan, dari atas dinding.
Segera sesudah itu terdengar bunyi hiruk-pikuk di jalan-jalan yang menuju ke atas, dari lingkaran-lingkaran luar; terdengar banyak sorak sorai dan seruan nama Faramir dan Mithrandir. Lalu Pippin melihat obor-obor dan dua penunggang kuda berjalan lambat, diikuti kerumunan orang yang berdesakan. Satu penunggang berpakaian putih, tapi sudah tidak bersinar lagi, kelihatan pucat dalam cahaya senja, seolah-olah apinya sudah padam atau terselubung; satunya lagi berkulit gelap dan kepalanya tertunduk. Mereka turun dari kuda masing-masing, dan sementara para pengurus kuda mengambil Shadowfax serta kuda satunya, kedua penunggang itu menghampiri penjaga gerbang: Gandalf berjalan tegap, jubah kelabunya tersingkap ke belakang, matanya masih menyala-nyala; orang satunya berpakaian serbahijau, berjalan perlahan dan agak terhuyung-huyung, seperti orang yang letih atau terluka.
Pippin mendesak ke depan saat mereka lewat di bawah lampu lengkungan gerbang; ketika melihat wajah Faramir yang pucat, ia menarik napas kaget. Wajah Faramir menunjukkan ekspresi ketakutan atau kecemasan yang luar biasa, tapi Ia sudah berhasil mengatasinya dan sudah kembali tenang: Ia berdiri gagah dan murung ketika berbicara dengan penjaga, dan Pippin yang memandangnya melihat bahwa ia mirip sekali dengan kakaknya, Boromir. Sejak awal Pippin menyukai Boromir karena sikapnya yang agung namun ramah. Entah mengapa tiba-tiba hatinya sangat terharu melihat Faramir, suatu perasaan yang belum pernah dialaminya. Faramir mempunyai pembawaan agung, seperti kadang-kadang ditunjukkan oleh Aragorn; mungkin tidak seagung Aragorn, tapi juga tidak semisterius dan menjaga jarak seperti Aragorn: salah satu dari Raja-Raja Manusia yang dilahirkan di masa belakangan, namun menyimpan kebijakan dan kemurungan bangsa Peri. Sekarang Pippin tahu mengapa Beregond menyebut nama Faramir dengan penuh kasih sayang. Dia kapten yang mampu membuat anak buahnya mau mengikutinya, dan Beregond pun mau mengikutinya, sampai ke bawah bayang-bayang sayap hitam sekalipun.
"Faramir!" teriak Pippin, bersama-sama semua yang lain.
"Faramir!" Dan Faramir, menangkap suaranya yang asing di tengah kegemparan penduduk Kota, berputar dan memandangnya terheran-heran.
"Dari mana kau datang?" katanya.
"Seorang Halfling, dan memakai seragam Menara! Dari mana …?" Tapi Gandalf melangkah mendekati Faramir dan berkata, "Dia datang bersamaku dari negeri kaum Halfling," katanya.
"Dia datang bersamaku. Tapi janganlah kita berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus dibicarakan dan dilakukan, dan kau letih. Dia akan ikut bersama kita. Sudah seharusnya, sebab dia harus mendampingi tuannya lagi sekarang ini. Ayo, Pippin, ikut kami!"
Akhirnya mereka sampai ke ruangan pribadi Penguasa Kota. Di dalam ruangan itu beberapa kursi empuk mengelilingi kompor arang; anggur dihidangkan; di sana Pippin, hampir tidak kelihatan, berdiri di belakang kursi Denethor dan tidak merasa letih, karena ia sangat bergairah mendengarkan semua yang dibahas.
Ketika Faramir sudah mengambil roti putih dan minum seteguk anggur, ia duduk di kursi rendah di sisi kiri ayahnya. Agak jauh di sisi lainnya, Gandalf duduk di kursi kayu berukir; mulanya Ia seperti tertidur. Sebab mula-mula Faramir hanya membicarakan tugas yang diembannya ketika Ia berangkat sepuluh hari yang lalu, dan ia membawa kabar tentang Ithilien serta gerakan Musuh dan sekutu sekutunya; Ia juga menceritakan pertempuran di jalan, saat orang-orang Harad dan hewan besar mereka digulingkan: begitulah seorang kapten melapor kepada atasannya perkara-perkara yang sudah sering didengar, hal-hal sepele dalam pertempuran perbatasan yang kini tampak sia-sia dan remeh, setelah dilucuti kemasyhurannya.
Lalu tiba-tiba Faramir memandang Pippin.
"Tapi sekarang kita sampai ke masalah-masalah aneh," katanya.
"Sebab ini bukan Halfling pertama yang kulihat, yang muncul dari legenda utara dan masuk ke negeri-negeri Selatan." Mendengar itu Gandalf duduk tegak dan mencengkeram lengan kursinya; tapi ia tidak mengatakan apa pun, dengan sorot matanya ia menghentikan seruan kaget yang akan keluar dari bibir Pippin. Denethor memandang wajah-wajah mereka dan menganggukkan kepala, seolah menyatakan bahwa sudah cukup banyak yang dibacanya pada wajah mereka, sebelum mereka sendiri membuka suara. Dengan perlahan-lahan, sementara yang lain duduk diam dan tenang, Faramir menceritakan kisahnya, sambil memandang Gandalf, meski sesekali tatapannya beralih pada Pippin, seolah-olah untuk menyegarkan ingatan akan hobbit lain yang pernah dilihatnya.
Ketika ceritanya sampai pada pertemuan dengan Frodo dan pelayannya serta kejadian-kejadian di Henneth Annun, Pippin menyadari bahwa tangan Gandalf yang mencengkeram lengan kursinya yang berukir tampak gemetar. Sekarang tangan itu kelihatan putih dan sangat tua, dan saat Pippin memandangnya, mendadak getaran ketakutan menyerangnya dan Ia menyadari bahwa Gandalf sendiri juga khawatir, bahkan takut. Udara di ruangan itu pengap dan diam. Akhirnya, ketika Faramir menceritakan perpisahannya dengan para pengembara itu, serta niat mereka untuk pergi ke Cirith Ungol, suaranya jadi terbata-bata; ia menggelengkan kepala dan mengeluh. Lalu Gandalf melompat berdiri.
"Cirith Ungol? Lembah Morgul?" katanya.
"Waktunya, Faramir, waktunya! Kapan kau berpisah dengannya? Kapan mereka akan sampai ke lembah terkutuk itu?"
"Aku berpisah dengan mereka pada pagi dua hari yang lalu," kata Faramir.
"Dari sana jaraknya lima belas league ke lembah Morgulduin kalau mereka berjalan lurus ke selatan; lalu mereka masih berada lima league di sebelah barat Menara terkutuk. Dengan kecepatan paling tinggi, mereka tak mungkin bisa sampai ke sana sebelum hari ini, dan mungkin mereka belum sampai di sana. Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Tapi kegelapan ini bukan karena petualangan mereka."
"Awalnya kemarin sore, seluruh Ithilien tertutup bayang-bayang gelap tadi malam. Sudah jelas bahwa Musuh telah lama merencanakan untuk menyerang kita, dan saatnya sudah ditentukan sebelum para pengembara itu pergi dari perlindunganku." Gandalf melangkah mondar-mandir.
"Pagi dua hari yang lalu, sudah hampir tiga hari perjalanan! Seberapa jauh tempat berpisah itu?"
"Sekitar dua puluh lima league seukuran jarak terbang burung," jawab Faramir.
"Tapi aku tak mungkin datang lebih cepat. Kemarin sore aku berada di Cair Andros, pulau panjang di Sungai sebelah utara yang masih kita pertahankan; dan kuda-kuda disimpan di tebing sebelah sini.
Ketika kegelapan semakin pekat, aku tahu bahwa kita perlu bergerak cepat, jadi aku pergi ke sana bersama tiga orang lain yang juga bisa berkuda. Sisa pasukanku kukirim ke selatan untuk memperkuat benteng di arungan Osgiliath. Kuharap tindakanku tidak salah?" Ia memandang ayahnya.
"Salah?" seru Denethor, matanya mendadak berkilat-kilat.
"Mengapa kau bertanya? Orang-orang itu di bawah perintahmu. Atau kau meminta penilaianku atas setiap tindakanmu? Kau bersikap merendah di depanku, padahal sudah lama kau berpaling dari nasihatku. Lihat, kau bicara dengan sangat fasih, seperti biasa; tapi kulihat matamu terus-menerus memandang Mithrandir, untuk meyakinkan apakah kau sudah berbicara dengan baik atau terlalu banyak? Sudah lama dia menguasai hatimu."
"Anakku, ayahmu memang sudah tua, tapi belum pikun. Aku bisa melihat dan mendengar, seperti biasanya; hanya sedikit dari apa yang hanya setengahnya kau ungkapkan atau tidak kau ungkapkan, yang tersembunyi dariku. Aku tahu jawaban atas banyak teka-teki! Sayang sekali, sayang sekali tentang Boromir!"
"Kalau apa yang kulakukan membuatmu gusar, Ayah," kata Faramir tenang, "aku menyesal tidak mendapatkan nasihatmu sebelum beban pengambilan keputusan yang begitu berat dipikulkan padaku."
"Akankah itu berpengaruh pada keputusanmu?" kata Denethor.
"Kurasa kau tetap akan berbuat hal yang sama. Aku kenal betul sifatmu. Kau selalu ingin tampil agung dan murah hati, seperti raja zaman dahulu; anggun dan lembut. Mungkin sikap itu pantas bagi seorang bangsawan, kalau dia duduk di atas takhta dan di masa damai. Tapi di masa-masa genting, kelembutan bisa membuahkan kematian."
"Biarlah kalau itu mesti terjadi," kata Faramir.
"Biarlah?" teriak Denethor.
"Yang mati bukan hanya dirimu, Lord Faramir, tapi juga ayahmu, dan seluruh rakyatmu, padahal tugasmulah melindungi mereka sekarang, setelah Boromir tewas."
"Apakah Ayah berharap kami bertukar tempat?" kata Faramir.
"Ya, itu yang kuharapkan," kata Denethor.
"Sebab Boromir setia padaku, bukannya menjadi murid seorang penyihir. Dia pasti ingat kegawatan situasi ayahnya, dan tak akan membuang sia-sia apa yang dipersembahkan keberuntungan pada kita. Dia pasti akan membawa hadiah besar untukku." Sejenak Faramir tak sanggup menahan diri.
"Kuharap Ayah ingat, mengapa aku, dan bukan dia, yang pergi ke Ithilien. Pada kesempatan itu, setidaknya nasihatmulah yang berlaku, belum lama ini. Penguasa Kota-lah yang menugaskan Boromir berangkat pergi."
"Jangan mengaduk-aduk kepahitan yang telah kuramu bagi diriku sendiri," kata Denethor.
"Bukankah sudah bermalam-malam aku merasakannya di lidahku, firasat bahwa masih ada hal lebih buruk menungguku? Dan begitulah kenyataannya. Andai saja kejadiannya tidak seperti ini! Andai saja benda itu jatuh ke tanganku!"
"Kau tak perlu menyesal!" kata Gandalf "Tak mungkin Boromir membawanya padamu. Dia sudah mati, dan dia mati dengan pantas; semoga dia beristirahat dalam damai! Tapi kau menipu dirimu sendiri. Boromir tergoda oleh benda itu, dan dengan mengambilnya dia akan hancur.
Dia pasti akan menyimpannya sendiri, dan saat dia kembali, kau takkan mengenali putramu lagi." Wajah Denethor menjadi kaku dan dingin.
"Kau merasa sulit mengendalikan Boromir, bukan?" katanya perlahan.
"Tapi aku ayahnya, dan aku yakin dia akan membawa benda itu padaku. Mungkin kau bijak, Mithrandir, tapi dengan segala kehalusanmu itu kebijakan bukan hanya milikmu seorang. Masih ada saran-saran yang bukan dari penyihir, dan bukan juga dari orang bodoh yang bertindak terburu-buru. Dalam hal ini, aku punya lebih banyak pengetahuan dan kebijakan daripada yang kauduga."
"Kalau begitu, bagaimanakah kebijakanmu itu?" kata Gandalf.
"Aku cukup jeli untuk melihat bahwa ada dua kebodohan yang mesti dihindari. Menggunakan benda ini sangatlah berbahaya. Saat ini, mempercayakannya pada seorang Halfling tolol dan menyuruhnya masuk ke negeri Musuh, seperti yang kaulakukan, dan juga putraku ini, sungguh suatu kegilaan."
"Dan apakah yang akan dilakukan Lord Denethor?"
"Dua-duanya tidak. Tapi yang pasti, dengan alasan apa pun, Denethor takkan membahayakan benda ini dan mengambil risiko kehancuran total bagi kita semua, andaikan benda ini sampai jatuh kembali ke tangan musuh. Tidak, seharusnya benda itu tetap disembunyikan, jauh dan dalam. Tidak digunakan, menurutku, kecuali dalam keadaan sangat gawat, tapi harus disimpan di luar jangkauan Musuh, kecuali bila dia memperoleh kemenangan mutlak, sehingga apa pun-yang terjadi takkan mengganggu kita lagi, karena kita sudah mati."
"Kau hanya memikirkan Gondor, seperti biasanya, Tuanku," kata Gandalf "Tapi ada bangsa-bangsa lain dan nyawa-nyawa lain, dan waktu yang masih akan terus berlangsung. Dan aku, aku bahkan menaruh kasihan pada budak-budaknya."
"Lalu ke mana orang-orang lain akan mencari bantuan, kalau Gondor jatuh?" jawab Denethor.
"Andaikan benda itu ada di ruang besi di benteng ini, kita takkan gemetar ngeri di bawah kegelapan, sambil mencemaskan hal terburuk; pemikiran kita pun takkan terganggu. Kalau kau tak percaya aku bisa bertahan melewati ujian ini, berarti kau belum mengenalku."
"Bagaimanapun, aku tidak mempercayaimu," kata Gandalf.
"Jika aku percaya, sejak dulu sudah kukirimkan benda itu ke sini, hingga terhindarlah aku dan orang-orang lain dari siksaan besar. Sekarang, setelah mendengarmu berbicara, aku bahkan makin tak percaya padamu, seperti aku tak percaya pada Boromir. Tidak, tahan dulu amarahmu! Aku pun tidak mempercayai diriku sendiri, dan aku menolak benda ini, andai pun diberikan sebagai hadiah. Kau kuat dan masih bisa mengendalikan dirimu sendiri dalam beberapa hal, Denethor, tapi jika kau memperoleh benda ini, dia akan mengalahkanmu. Meski dikubur di bawah kaki Mindolluin, dia masih akan menggerogoti pikiranmu saat kegelapan semakin tebal, dan perkara-perkara yang lebih buruk akan menimpa kita, menyusulnya dengan cepat." Sejenak mata Denethor kembali berkilat-kilat ketika ia memandang Gandalf, dan sekali lagi Pippin merasakan kedua orang itu adu kekuatan dalam tatapan; namun kini sorot mata mereka seperti pisau yang berkilat-kilat sementara mereka saling menyerang. Pippin gemetar, khawatir akan terjadi suatu pukulan mengerikan. Tapi mendadak Denethor mengendur dan bersikap dingin lagi. '"Jika aku begini! Jika kau begitu!" katanya.
"Berandai-andai seperti itu sia-sia saja. Benda itu sudah masuk ke dalam Bayang-Bayang, dan pada waktunya nanti, kita akan tahu bencana apa yang menantinya, dan akan menimpa kita. Saatnya tak lama lagi. Dalam sedikit waktu yang masih tersisa, mudah-mudahan semua yang melawan Musuh dengan caranya masing-masing, bersatu dan tetap bersemangat tinggi, serta masih punya ketabahan untuk mati sebagai orang merdeka." Ia berbicara pada Faramir.
"Bagaimana menurutmu benteng di Osgiliath?"
"Tidak begitu kuat," kata Faramir.
"Aku sudah mengirim pasukan dari Ithilien untuk memperkuatnya, seperti sudah kulaporkan tadi."
"Tidak cukup, kukira," kata Denethor.
"Di sanalah pukulan pertama akan datang. Mereka memerlukan seorang kapten yang tangguh di sana." .
"Di sana dan di banyak tempat lainnya," kata Faramir, dan ia mengeluh.
"Aduh, aku sedih sekali tentang kakakku yang sangat kucintai!" Ia bangkit berdiri.
"Sudah bolehkah aku pergi, Ayah?" Lalu Ia terhuyung-huyung dan bersandar ke kursi ayahnya.
"Kau letih," kata Denethor.
"Kau baru dari perjalanan jauh dan berpacu cepat, di bawah bayang-bayang kejahatan di angkasa, begitulah kudengar."
"Jangan bicarakan hal itu!" kata Faramir.
"Kalau begitu, kita tidak akan membicarakannya," kata Denethor.
"Sekarang pergilah beristirahat sebisa mungkin. Besok keadaan akan semakin genting." Kemudian semua memohon diri pada Penguasa Kota dan pergi beristirahat sebisa mungkin. Di luar gelap tanpa bintang ketika Gandalf, dengan Pippin di sampingnya, membawa sebuah obor kecil, berjalan menuju tempat penginapan mereka. Mereka tidak berbicara sampai mereka berada di belakang pintu tertutup. Pippin memegang tangan Gandalf.
"Katakan padaku," katanya, "apakah masih ada harapan? Untuk Frodo maksudku; atau setidaknya terutama bagi Frodo." Gandalf meletakkan tangannya di atas kepala Pippin.
"Sebenamya sejak dulu tidak banyak harapan," jawabnya.
"Hanya harapan orang bodoh, kata orang-orang. Dan saat aku mendengar tentang Cirith Ungol …" Ia berhenti dan melangkah ke jendela, seakan-akan matanya bisa menembus kegelapan malam di Timur.
"Cirith Ungol!" gerutunya.
"Kenapa lewat sana?" Ia memutar badannya.
"Tadi jantungku hampir berhenti berdenyut, Pippin, ketika mendengar nama itu. Tapi sebenarnya aku merasa bahwa kabar yang dibawa Faramir mengandung harapan. Sebab sudah jelas sekarang bahwa Musuh telah membuka perang, dan sudah membuat gerakan pertama ketika Frodo masih bebas.
Jadi, sekarang, selama beberapa hari matanya akan tertuju ke sana kemari, jauh dari negerinya sendiri. Tapi, Pippin, dari jauh bisa kurasakan ketergesaan dan ketakutannya. Dia sudah memulai lebih awal dari rencananya semula. Ada sesuatu yang mengusiknya." Gandalf berdiri merenung sejenak.
"Mungkin," gerutunya.
"Mungkin kebodohanmu justru membantu, anakku. Coba lihat sekitar lima hari yang lalu dia menyadari bahwa kita sudah mengalahkan Saruman, dan sudah mengambil Batu itu. Tapi lantas kenapa? Toh kita tak bisa memanfaatkannya, atau memakainya tanpa sepengetahuan dia. Ah! Ada satu pertanyaan sekarang. Aragorn? Saat baginya sudah dekat. Dia kuat dan tangguh, Pippin; dia berani, tekadnya kuat, mampu memutuskan sendiri, dan berani mengambil risiko besar bila dibutuhkan.
Mungkin itu masalahnya. Mungkin dia sudah memakai Batu itu dan menunjukkan dirinya pada Musuh, menantangnya, demi tujuan ini.
Apakah memang begitu? Nah, kita takkan mengetahuinya sampai para Penunggang Rohan datang, kalau mereka tidak terlambat. Hari-hari mendatang akan sangat buruk. Ayo kita tidur selagi masih sempat!"
"Tapi," kata Pippin.
"Tapi apa?" kata Gandalf.
"Aku hanya mengizinkan satu tapi malam ini."
"Gollum," kata Pippin.
"Bagaimana mungkin mereka malah bepergian bersamanya, bahkan mengikutinya? Dan aku tahu bahwa Faramir tidak menyukai tempat dia membawa Frodo dan Sam, seperti halnya kau. Apa masalahnya?"
"Aku tak bisa menjawab sekarang," kata Gandalf.
"Tapi dalam hati aku sudah menduga bahwa Frodo dan Gollum akan bertemu sebelum akhir cerita. Demi kebaikan, atau demi kejahatan. Tapi aku tak mau membahas Cirith Ungol malam ini. Aku mengkhawatirkan pengkhianatan; pengkhianatan oleh makhluk malang itu. Tapi apa yang harus terjadi biarlah terjadi. Ingat saja bahwa seorang pengkhianat bisa mengkhianati dirinya sendiri dan berbuat suatu kebaikan tanpa sengaja. Kadang-kadang hal semacam itu bisa terjadi. Selamat malam!"
Pagi berikutnya kelabu seperti senja berdebu, dan semangat orang-orang yang sempat terangkat dengan kedatangan Faramir, sekarang merosot lagi. Bayang-Bayang bersayap tidak tampak lagi hari itu, tapi sesekali, tinggi di atas kota, ada teriakan sayup-sayup, dan banyak yang mendengarnya berdiri kaget sambil merasakan sekelebat ketakutan, sementara yang tidak begitu kuat hatinya, gemetar dan menangis.
Dan sekarang Faramir sudah pergi lagi.
"Mereka tidak membiarkan dia istirahat," bisik beberapa orang.
"Penguasa kita terlalu-keras pada putranya, dan kini dia harus melakukan tugas dua orang, untuk dirinya sendiri dan demi dia yang sudah tiada." Orang-orang terus memandang ke arah utara, sambil bertanya, "Di mana para Penunggang dari Rohan?" Sebenarnya Faramir pergi bukan karena kemauannya sendiri. Tapi Penguasa Kota adalah pemimpin Dewan Penasihat, dan hari itu ia sama sekali tak mau menuruti saran orang lain. Pagi-pagi sekali Dewan Penasihat sudah dipanggil. Di sana semua kapten menilai bahwa menghadapi ancaman dari Selatan, kekuatan mereka tidak memadai untuk memulai serangan dari pihak mereka, kecuali bila para Penunggang Rohan datang. Sementara itu, mereka perlu mengambil posisi di tembok-tembok dan menunggu.
"Meski begitu, kita takkan begitu saja mengabaikan pertahanan di bagian luar, yang dibangun kaum Rammas dengan kerja keras. Dan Musuh harus membayar mahal bila menyeberangi Sungai. Itu tak bisa dilakukannya, menyerang Kota dengan kekuatan penuh, baik di sebelah utara Cair Andros, karena ada rawa-rawa, atau ke selatan menuju Lebenniri, karena lebarnya Sungai, yang membutuhkan banyak kapal. Pasti dia akan mencoba menyerang Osgiliath, sama seperti ketika Boromir menghadangnya agar tak bisa masuk."
"Itu baru uji coba," kata Faramir.
"Hari ini mungkin kita berhasil membuat Musuh membayar sepuluh kali lipat kehilangan kita dalam penyeberangan itu, tapi mungkin juga kita akan menyesali pertukaran itu. Sebab bagi musuh kehilangan satu pasukan tidak seberapa besar artinya, sedangkan bagi kita itu suatu kerugian besar. Dan menarik pasukan kita dari tempat itu untuk ditugaskan di tempat jauh, akan berbahaya kalau ternyata musuh berhasil menyeberang dengan kekuatan besar."
"Dan bagaimana dengan Cair Andros?" kata Pangeran.
"Itu juga harus dipertahankan, kalau Osgiliath dipertahankan. Jangan lupa bahaya di sebelah kiri. Kaum Rohirrim mungkin datang, mungkin tidak. Tapi Faramir sudah menceritakan tentang pasukan-pasukan yang semakin banyak menuju Gerbang Hitam. Lebih dari satu pasukan mungkin keluar dari gerbang itu, dan menyerang lebih dari satu jalan masuk."
"Banyak risiko yang harus diambil dalam perang," kata Denethor.
"Cair Andros sudah dijaga, dan tak ada lagi pasukan yang bisa dikirim ke sana sejauh ini. Tapi aku tak mau menyerahkan Sungai dan Pelennor tanpa perjuangan-tidak kalau ada kapten di sini yang masih punya keberanian untuk melakukan kehendak penguasanya." Kemudian semua diam. Tapi akhirnya Faramir berkata, "Aku tidak menentang kehendakmu, Ayah. Karena kau sudah kehilangan Boromir, aku akan pergi melakukan apa yang bisa kulakukan sebagai penggantinya … kalau Ayah memerintahkannya."
"Aku memerintahkanmu," kata Denethor.
"Kalau begitu, selamat tinggal!" kata Faramir.
"Tapi kalau aku kembali, kuharap anggapan Ayah tentang diriku lebih baik."
"Itu tergantung kondisimu saat kau kembali," kata Denethor.
Gandalf yang terakhir berbicara pada Faramir sebelum ia pergi ke timur.
"Jangan sia-siakan hidupmu dengan sembrono atau karena dendam," katanya.
"Kau akan dibutuhkan di sini, untuk hal-hal lain selain perang. Ayahmu mencintaimu, Faramir, dan dia akan ingat itu sebelum akhir perang. Selamat jalan!"
Maka Lord Faramir pun pergi lagi, membawa sepasukan orang yang mau atau bisa dibiarkan pergi. Di atas tembok, beberapa orang menatap melalui kegelapan ke arah reruntuhan kota, dan mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sana, karena pandangan mereka terhalang.
Yang lain, seperti biasa, selalu melihat ke utara dan menghitung jarak ke Theoden di Rohan.
"Akan datangkah dia? Ingatkah dia persekutuan lama kita?" kata mereka.
"Ya, dia akan datang," kata Gandalf, "meski mungkin terlambat. Coba pikirkan! Paling-paling Panah Merah itu baru dua hari yang lalu sampai ke tangannya, dan jarak ke sini dari Edoras sangat jauh."
Sudah malam ketika datang kabar baru. Seorang pria berkuda datang tergesa-gesa dari arungan, memberitahukan bahwa serombongan pasukan sudah keluar dari Morgul dan sudah mendekati Osgiliath; pasukan itu bergabung dengan resimen-resimen dari Selatan, kaum Haradrim yang kejam dan berbadan jangkung.
"Kami juga mendengar bahwa Kapten Hitam lagi yang memimpin mereka, dan rasa takut kepadanya sudah terbang mendahuluinya ke seberang Sungai." Dengan kabar buruk itu, hari ketiga pun berakhir sejak Pippin datang ke Minas Tirith. Kebanyakan orang tidak tidur sekarang, sebab tipis sekali harapan bahwa Faramir akan bisa mempertahankan arungan itu untuk waktu lama.
Hari berikutnya, kegelapan sudah pekat sempurna dan tidak semakin kelam lagi, tapi justru semakin membebani hati orang-orang, dan ketakutan yang sangat besar menimpa mereka. Kabar buruk segera datang lagi. Jalan masuk ke Anduin sudah dimenangkan oleh Musuh.
Faramir mundur sampai ke dinding Pelennor, mengumpulkan anak buahnya di Benteng-Benteng Causeway; tapi jumlah musuh sepuluh kali lipat lebih besar.
"Seandainya dia bisa menang di Pelennor, musuhnya akan dekat sekali dengan pasukannya," kata utusan itu.
"Musuh sudah membayar mahal atas penyeberangan itu, tapi tidak sebesar yang kita harapkan. Mereka telah menyusun rencana dengan baik. Sekarang baru ketahuan bahwa sudah lama mereka membangun diam-diam sejumlah besar rakit dan perahu di Osgiliath Timur. Mereka berbondong-bondong menyeberang bagai kumbang. Tapi Kapten Hitam-lah yang mampu mengalahkan kami. Tak banyak yang mampu berdiri dan tetap tabah, meski baru mendengar kedatangannya. Anak buahnya pun gemetar di depannya, dan mereka bersedia bunuh diri kalau diperintahkannya."
"Kalau begitu, aku lebih banyak dibutuhkan di sana daripada di sini," kata Gandalf, dan ia langsung pergi, kilau sosoknya segera memudar dari pandangan. Sepanjang malam itu Pippin sendirian dan tak bisa tidur, berdiri di atas dinding dan memandang ke arah timur.
Lonceng-lonceng pagi hari baru saja berbunyi, seperti ejekan dalam kegelapan tanpa cahaya. Pippin melihat di kejauhan api mulai menyala, di keremangan tempat dinding-dinding Pelennor berdiri. Para penjaga berteriak keras, dan semua orang di Kota siap siaga. Sesekali ada kilasan merah, dan melalui udara mendung mereka bisa mendengar bunyi gemuruh sayup-sayup.
"Mereka sudah merebut tembok!" teriak orang-orang.
"Mereka menembakinya sampai retak dan berlubang. Mereka datang!"
"Di mana Faramir?" teriak Beregond cemas.
"Jangan katakan dia sudah jatuh!" Gandalf yang pertama-tama membawa kabar. Dengan beberapa penunggang kuda ia datang di tengah hari, berjalan sebagai barisan pendamping untuk sebarisan kereta. Kereta-kereta itu berisi orang-orang yang terluka, semua yang bisa diselamatkan dari reruntuhan Benteng Causeway. Segera ia pergi ke Denethor., Penguasa Kota sekarang duduk di sebuah ruangan di atas Serambi Menara Putih, dengan Pippin di sampingnya; melalui jendela-jendela yang kusam; ke utara dan selatan serta ke timur, ia memandang dengan matanya yang gelap, seolah-olah ingin menembus bayang-bayang malapetaka yang mengepungnya. Kebanyakan ia memandang ke arah Utara, dan kadangkadang ia diam sejenak untuk mendengarkan, seakan-akan dengan seni kemahiran kuno ia bisa mendengar derap kaki kuda di padang jauh di sana.
"Apakah Faramir sudah datang?" tanyanya.
"Belum," kata Gandalf.
"Tapi dia masih hidup ketika aku meninggalkannya. Dia bertekad tetap tinggal bersama pasukan garis belakang, agar gerakan mundur melintasi Pelennor tidak menjadi kacau. Mungkin dia bisa tetap mempertahankan pasukannya cukup lama tapi aku meragukan hal itu. Musuhnya terlalu besar. Sebab yang kutakutkan sudah datang."
"Bukan … Penguasa Kegelapan?" teriak Pippin, lupa kedudukannya, saking takutnya.
Denethor tertawa getir.
"Bukan, belum, Master Peregrin! Dia tidak akan datang kecuali untuk membanggakan diri saat semuanya sudah dia taklukkan. Dia menggunakan orang lain sebagai senjatanya. Begitulah yang dilakukan semua penguasa besar, kalau mereka bijak, Master Halfling. Kalau tidak, mengapa aku duduk di sini di menaraku berpikir, memperhatikan, dan menunggu, bahkan memanfaatkan putraputraku? Padahal aku masih bisa menggunakan pedang!" la bangkit berdiri, menyingkap jubahnya yang hitam panjang, dan lihatlah … ia mengenakan pakaian logam di bawahnya, dan menyandang pedang panjang berpangkal besar dalam sarung hitam-keperakan.
"Seperti inilah setiap hari aku berjalan, selama bertahun-tahun pula aku tidur dengan pakaian begini," katanya, "agar jangan sampai tubuhku melembek dan gentar dengan bertambahnya usia."
"Tapi sekarang, di bawah perintah Penguasa Barad-dur, kaptennya yang paling jahat sudah menguasai tembok perbatasanmu yang paling luar" kata Gandalf.
"Raja Angmar di zaman lampau, Penyihir, Hantu Cincin, Penguasa Nazgul, tombak teror di tangan Sauron, bayangan malapetaka."
"Kalau begitu, Mithrandir, ada lawan yang sebanding denganmu," kata Denethor.
"Aku sendiri sebenarnya sudah lama tahu, siapa kapten kepala pasukan-pasukan dari Menara Kegelapan. Apakah kau kembali hanya untuk mengatakan itu? Atau mungkin kau mundur karena sudah kewalahan?" Pippin gemetar, khawatir Gandalf akan marah, tapi kekhawatirannya ternyata tidak terbukti.
"Mungkin," jawab Gandalf perlahan.
"Tapi Ujian terhadap kekuatan kita belum datang. Dan kalau ramalan dari zaman lampau memang benar, maka dia akan jatuh bukan oleh tangan laki-laki, dan ajalnya tersembunyi dari Kaum Bijak. Bagaimanapun, Kapten Malapetaka sendiri belum maju. Gaya kepemimpinannya kirakira seperti yang baru saja kauungkapkan, dari belakang, mendorong budak-budaknya yang gila mendahuluinya di depan."
"Bukan, aku datang untuk menjaga orang-orang terluka yang masih bisa disembuhkan; sebab Rammas sudah diterobos di mana-mana, dan tak lama lagi pasukan-pasukan Morgul akan masuk dari beberapa tempat. Aku datang terutama untuk menyampaikan ini. Segera akan ada pertempuran di padang. Kita perlu mempersiapkan serangan mendadak, yang dilakukan pasukan berkuda. Harapan kita hanya pada mereka, sebab hanya ada satu kekurangan pada musuh dia hanya punya sedikit penunggang kuda."
"Kita juga hanya punya sedikit. Kalau pasukan Rohan datang sekarang, waktunya tepat sekali," kata Denethor.
"Mungkin sekali kita akan lebih dulu melihat pendatang baru yang lain," kata Gandalf.
"Pelarian dari Cair Andros sudah sampai ke sini.
Pulau itu sudah jatuh. Pasukan lain datang dari Gerbang Hitam, menyeberang dari timur laut."
"Ada yang menuduhmu, Mithrandir, bahwa kau senang membawa kabar buruk," kata Denethor, "tapi bagiku ini bukan berita lagi: aku sudah mengetahuinya sebelum tadi malam. Mengenai serangan mendadak, aku sudah memikirkannya. Mari kita turun."
Waktu berlalu. Akhirnya para pengamat di atas tembok melihat mundurnya pasukan-pasukan garis depan. Kelompok-kelompok kecil orangorang yang letih dan terluka datang lebih dulu, dengan tidak teratur; beberapa berlari kocar-kacir seperti sedang dikejar. Di sana, di sebelah timur, api berkelip-kelip, dan di sana-sini api menjalar di atas padang. Rumah-rumah dan gudang-gudang terbakar. Lalu dari banyak tempat, nyala api merah menjalar menyerbu seperti sungai sungai kecil, mengalir berkelok-kelok dalam kegelapan, menyatu mendekati garis jalan lebar yang terbentang antara gerbang Kota sampai ke Osgiliath.
"Musuh," bisik orang-orang.
"Bendungan sudah jatuh. Mereka datang berbondong-bondong, masuk lewat lubang-lubang! Dan mereka membawa obor. Di mana pasukan kita sendiri?".
Lambat laun hari semakin sore, cahaya sudah begitu redup, sampai-sampai orang-orang bermata tajam di atas benteng, yang bisa melihat jauh, tak bisa melihat jelas keadaan di padang, kecuali kebakaran-kebakaran yang semakin banyak, serta garis-garis api yang semakin panjang dan merebak cepat. Akhirnya, kurang satu mil dari Kota, segerombolan orang yang lebih teratur mulai terlihat, berjalan berbaris dan bukan berlari, masih bersatu.
Para pengamat menahan napas.
"Pasti Faramir ada di sana," kata mereka.
"Dia bisa mengendalikan manusia dan hewan. Dia akan berhasil." Sekarang pasukan yang mundur tidak lebih jauh dari dua furlong. Dan kegelapan di belakang, serombongan kecil pasukan berkuda datang berderap; hanya itu yang tersisa dari pasukan garis belakang. Sekali lagi mereka berputar untuk bertahan, menantang garis api yang menyongsong datang. Lalu tiba-tiba ada bunyi teriakan liar hiruk-pikuk. Pasukan berkuda musuh maju ke depan. Garis-garis api menjadi aliran deras, baris demi baris Orc membawa api, dan manusia manusia Southron dengan panji-panji merah, berteriak dalam bahasa kasar, bergelombang naik, menyusul pasukan yang mundur. Dan dengan teriakan tajam, dan langit yang redup turun bayangan-bayangan bersayap, para Nazgul menukik untuk membunuh.
Gerakan mundur menjadi kacau. Orang-orang sudah mulai memisahkan diri, berlarian liar seperti gila, ke sana kemari, melemparkan senjata, menjerit ketakutan, dan berjatuhan ke tanah.
Lalu terompet di Benteng berbunyi, dan Denethor akhirnya melepas pasukan untuk serangan mendadak. Dalam keadaan siap siaga dalam gelap dekat Gerbang, dan di bawah tembok-tembok tinggi yang menjulang di luar, mereka sudah menunggu-nunggu isyaratnya: semua orang bersenjata yang masih ada di Kota. Sekarang mereka melompat maju, membentuk barisan, mempercepat langkah sampai lari menderap, dan menyerbu dengan teriakan nyaring. Dari atas tembok terdengar teriakan balasan; sebab di barisan terdepan para ksatria Dol Amroth maju dengan Pangeran mereka dan panji birunya di ujung barisan.
"Amroth demi Gondor!" teriak mereka.
"Amroth ke Faramir!" Seperti halilintar mereka menerjang musuh di kedua sisi pasukan yang mundur; tapi satu penunggang maju lebih cepat daripada yang lain, melesat seperti angin di rumput: Shadowfax yang membawanya; dia yang bersinar-sinar, sekali lagi tersingkap jati dirinya, seberkas cahaya menyala di tangannya yang terangkat.
Para Nazgul berteriak parau dan menghindar, sebab Kapten mereka belum siap menantang api putih musuhnya. Pasukan Morgul yang sedang asyik memperhatikan mangsanya, dikejutkan ketika sedang berlari kencang, lalu mereka terpecah, tercerai-berai bagai percikan api ditiup angin. Pasukan barisan depan dengan sorak sorai nyaring berbalik dan memukul pengejar mereka. Pemburu menjadi yang diburu.
Gerakan mundur menjadi serangan. Padang itu penuh bertebaran dengan Orc dan manusia yang terpukul, bau sangit naik dari obor-obor yang dibuang, mendesis padam dan menimbulkan asap berputar-putar. Pasukan berkuda terus melaju.
Tapi Denethor tidak mengizinkan mereka pergi terlalu jauh. Meski musuh agak tertahan, dan untuk sementara mundur, pasukan-pasukan besar mulai mengalir masuk dari Timur. Sekali lagi terompet berbunyi, sebagai isyarat untuk mundur. Pasukan berkuda dan uonaor nernenh.
Di balik pagar yang mereka bentuk, pasukan baris depan membentuk kembali barisan mereka. Sekarang mereka berjalan pulang dengan teratur. Mereka sampai ke Gerbang Kota dan masuk, melangkah gagah; dengan bangga orang-orang di Kota menatap mereka dan menyerukan puji-pujian untuk mereka, tapi kecemasan mereka tak hilang juga. Sebab anggota pasukan-pasukan berkurang banyak. Faramir telah kehilangan sepertiga anak buahnya. Dan di manakah dia? la datang paling akhir. Anak buahnya masuk. Ksatria-ksatria berkuda kembali, dan di belakang mereka panji Dol Amroth serta sang Pangeran. Di depannya, di atas kudanya ia membawa tubuh saudaranya, Faramir putra Denethor, yang ditemukannya di padang pertempuran.
"Faramir! Faramir!" teriak orang-orang di jalan, sambil menangis. Tapi Ia tidak menjawab, dan mereka membawanya melalui jalan berkelok-kelok, ke Benteng ke ayahnya. Ketika para Nazgul mengelak dari serangan Penunggang Putih, ada panah mematikan yang melesat terbang, dan Faramir yang sedang menahan jagoan berkuda dari Harad, jatuh ke tanah. Serangan Dol Amroth menyelamatkannya dari pedang-pedang merah dari selatan, yang sudah akan menusuknya ketika ia tergeletak di sana.
Pangeran Imrahil membawa Faramir ke Menara Putih, dan ia berkata, "Putramu kembali, Tuanku, setelah melakukan tugas dengan hebat," dan ia menceritakan semua yang sudah dilihatnya. Tapi Denethor bangkit dan memandang wajah putranya dengan diam. Kemudian ia menyuruh mereka menyiapkan tempat tidur di ruangan itu, dan membaringkan Faramir di atasnya, lalu mereka disuruhnya pergi. Ia sendiri naik ke ruangan rahasia di puncak Menara, sendirian; orang-orang yang memandang ke sana saat itu melihat cahaya pucat bersinar dan berkelip melalui jendela jendela sempit selama beberapa saat. Cahaya itu berkelip sekilas, lalu padam. Ketika Denethor turun lagi, Ia menghampiri Faramir dan duduk di sampingnya, tanpa berbicara, tapi wajahnya kelabu, lebih pucat daripada wajah putranya.
Maka Kota pun dikepung, dikelilingi lingkaran musuh. Rammas sudah hancur, seluruh Pelennor diduduki Musuh. Kabar terakhir datang dari luar tembok-tembok, dibawa oleh orang-orang yang berlari masuk lewat jalan utara sebelum Gerbang ditutup. Mereka adalah sisa para penjaga yang dipertahankan di titik tempat jalan dari Anorien dan Rohan masuk ke pedesaan. Ingold yang memimpin mereka; dialah yang mengizinkan Gandalf dan Pippin masuk, kurang dan lima hari sebelumnya, ketika matahari masih terbit dan pagi hari masih membawa harapan.
"Tak ada kabar dari kaum Rohirrin," katanya.
"Rohan tidak akan datang sekarang. Kalaupun mereka datang, tidak akan bermanfaat bagi kita.
Kami mendengar bahwa pasukan baru musuh sudah datang menyeberangi sungai dari Andros. Mereka sangat kuat: batalion-batalion Orc dari Mata, dan pasukan-pasukan Manusia jenis baru yang belum pernah kita jumpai, tak terhitung banyaknya. Tidak tinggi, tapi lebar dan kekar, berjenggot seperti kurcaci, bersenjata kapak-kapak besar. Kami duga mereka berasal dari sebuah negeri liar di Timur. Mereka menduduki jalan ke utara; dan sudah banyak yang masuk ke Anorien. Kaum Rohirrim tak bisa ke sini." Gerbang sudah ditutup. Sepanjang malam para penjaga di atas tembok mendengar hiruk-pikuk musuh yang berkeliaran di luar, membakar ladang dan pohon, menebas setiap orang yang mereka jumpai di luar, baik hidup maupun mati. Jumlah mereka yang sudah menyeberangi Sungai sulit diduga dalam kegelapan, tapi saat pagi tiba dan bayangannya yang pucat menjalar di atas padang, terlihat bahwa ketakutan di malam sebelumnya tidak menyebabkan orang salah memperkirakan jumlah. Padang itu dipenuhi pasukan berbaris, dan sejauh mata bisa memandang menembus keremangan, di seputar kota yang dikepung muncul kemah-kemah hitam atau merah kusam, tumbuh bagai jamur busuk.
Orc-Orc bergegas dan sibuk bagai semut, menggali alur-alur parit dalam lingkaran besar, tepat di luar jarak jangkauan panah dari tembok; parit-parit itu masing-masing diisi api, meski tidak kelihatan bagaimana dinyalakan atau dibesarkannya, apakah dengan seni keterampilan tinggi atau dengan sihir jahat. Sepanjang hari pekerjaan itu dilanjutkan, sementara orang-orang Minas Tirith menyaksikan, tanpa bisa menghalangi. Dan setiap kali sebuah parit panjang selesai dibuat, mereka bisa melihat kereta-kereta besar mendekat; lalu lebih banyak lagi pasukan musuh dengan cepat memasang mesin-mesin besar untuk menembakkan peluru, masing-masing di belakang lindungan parit. Di atas tembok Kota tidak ada mesin yang cukup besar untuk menjangkau sejauh itu, atau menghentikan pekerjaan itu.
Pada awalnya orang-orang tertawa dan tidak begitu mencemaskan alat-alat itu. Sebab dinding utama Kota sangat tinggi dan luar biasa tebal, dibangun sebelum kekuasaan dan kemahiran Numenor memudar dalam pengasingan; permukaan luarnya sama seperti Menara Orthanc, keras, gelap, dan mulus, tak bisa dihancurkan oleh baja atau api, tak terpecahkan kecuali mungkin oleh gempa yang merobek tanah di bawahnya.
"Tidak," kata mereka, "bahkan jika Dia yang Tak Bernama datang sendiri, dia pun takkan bisa masuk ke sini sementara kita masih hidup." Tapi beberapa menjawab, "Sementara kita masih hidup? Berapa lama lagi? Dia punya senjata yang sudah menaklukkan banyak tempat kuat sejak awal dunia. Kelaparan. Jalan jalan sudah tertutup. Rohan takkan datang." Tapi mesin-mesin itu tidak menyia-nyiakan tembakan ke tembok kokoh tersebut. Bukan perampok atau pemimpin Orc yang memerintahkan serangan terhadap musuh terbesar Penguasa Mordor. Ada suatu kekuatan cerdik dan jahat yang memimpinnya. Begitu katapel-katapel besar itu ditempatkan, diiringi teriakan dan derak tambang serta derek, mereka mulai melontarkan peluru-peluru tinggi sekali, melewati atas tembok dan jatuh berdebam di dalam lingkaran pertama Kota; banyak di antaranya, entah memakai ilmu apa, meledak menyala ketika jatuh.
Tak lama kemudian, api besar mengancam di balik dinding, dan semua yang bisa disisihkan, sibuk memadamkan nyala api yang muncul di banyak tempat. Kemudian di antara, lemparan peluru-peluru besar jatuh lontaran lain, tidak begitu merusak, tapi jauh lebih mengerikan. Di seluruh jalan dan lorong di belakang Gerbang menggelinding tembakan kecil bulat yang tidak menyala. Tapi ketika orang-orang berlari mendekat untuk melihatnya, mereka berteriak keras atau mengerang. Karena musuh melemparkan ke dalam Kota semua kepala mereka yang tewas dalam pertempuran di Osgiliath, atau di Rammas, atau di padang. Pemandangan menyedihkan; meski beberapa sudah hancur dan tidak berbentuk, dan beberapa sudah dicederai dengan keji, tapi masih banyak yang punya ciri-ciri yang bisa dikenali, dan kelihatannya mereka mati kesakitan; semuanya diberi cap lambang Mata Tak Berkelopak. Meski dalam keadaan rusak dan tercemar, ternyata masih banyak yang mengenali wajah-wajah orang yang pernah dikenalnya, yang pernah berjalan gagah menyandang senjata, atau bercocok tanam di ladang, atau datang berkuda dari lembah di perbukitan hijau untuk berlibur.
Sia-sia orang-orang mengepalkan tinju pada musuh kejam yang berkerumun di depan Gerbang. Mereka tidak menghiraukan maki makian, juga tidak memahami bahasa orang-orang barat, dan mereka berteriak dengan suara parau seperti hewan liar serta burung pemakan bangkai.
Tapi tak lama kemudian hanya sedikit orang di Minas Tirith yang masih berani berdiri dan menantang pasukan-pasukan dari lviordor. Sebab Penguasa Menara Kegelapan masih punya satu lagi senjata, yang menyerang lebih cepat daripada kelaparan: ketakutan dan keputusasaan.
Para Nazgul datang lagi, dan saat Penguasa Kegelapan semakin mengembangkan dan mengerahkan kekuatannya, begitu pula suara mereka, yang memancarkan keserakahan dan kejahatan Penguasa mereka, penuh kekejian dan kengerian. Mereka terus terbang berputar-putar di atas kota, seperti elang yang sudah mengincar untuk melahap bangkai sekenyangnya. Mereka terbang di luar jangkauan pandangan dan tembakan, tapi mereka selalu ada, suara jeritan mereka merobek-robek udara. Teriakan demi teriakan, suara mereka semakin tak tertahankan dan tak kunjung mengendur. Akhirnya bahkan orang-orang paling berani pun menjatuhkan diri ke lantai saat sambaran dahsyat tersembunyi itu lewat di atas mereka, atau mereka tetap berdiri, membiarkan senjata mereka jatuh dari tangan yang gemetar lemas, sementara benak mereka disusupi kegelapan, dan pikiran mereka tidak lagi pada perang, melainkan pada bagaimana bisa merangkak bersembunyi, dan pada kematian.
Sepanjang hari yang hitam itu Faramir berbaring di tempat tidur di dalam ruangan Menara Putih, tubuhnya menggigil karena demam tinggi; seseorang mengatakan Ia sedang menunggu kematian, dan tak lama kemudian semua orang di tembok dan di jalan-jalan mengatakan ia sedang menuju kematian. Ayahnya duduk di sampingnya, membisu dan mengawasi, sama sekali tidak menghiraukan pertahanan dan perlawanan perangnya lagi.
Belum pernah Pippin mengalami saat-saat segelap itu, tidak juga ketika Ia dalam cengkeraman kaum Uruk-hai. Ia bertugas mendampingi Penguasa Kota, dan begitulah ia menunggu, sambil berdiri di dekat pintu ruangan yang gelap itu, seolah terlupakan, sambil mencoba menguasai rasa takutnya sendiri. Dan ketika ia perhatikan, Denethor seakan-akan bertambah tua di depan matanya, seolah-olah kekuatan kepribadiannya sudah putus, pikirannya yang teguh sudah tumbang. Mungkin karena kesedihan dan penyesalan. Ia melihat air mata pada wajah yang dulu tak pernah menangis itu, dan pemandangan itu lebih menyiksanya daripada kemarahan.
"Jangan menangis, Tuanku," kata Pippin terbata-bata.
"Mungkin dia masih bisa sembuh. Sudahkah Tuanku bertanya pada Gandalf?"
"Jangan hibur aku dengan penyihir!" kata Denethor.
"Harapan si bodoh itu sudah hilang. Musuh sudah menemukannya, dan sekarang kekuatannya semakin besar; dia bisa melihat pikiran kita, dan semua yang kita lakukan akan membawa kebinasaan."
"Aku mengirim putraku, tanpa dibalas terima kasih, tanpa diberi berkat, keluar menyongsong bahaya sia-sia, dan sekarang dia terbaring dengan racun mengalir dalam urat darahnya. Tidak, tidak, apa pun yang akan terjadi dalam perang ini, garis keturunanku juga akan berakhir; bahkan keturunan Pejabat Istana juga telah gagal. Bangsa yang jahat akan menguasai sisa-sisa terakhir para Raja Manusia, bersembunyi di bukit-bukit sampai semuanya habis diburu." Orang-orang datang ke pintu, berteriak memanggil sang Penguasa Kota.
"Tidak, aku tak mau turun," kata Denethor.
"Aku harus mendampingi putraku. Mungkin dia masih bisa berbicara sebelum ajalnya tiba. Tapi maut sudah dekat. Ikuti saja siapa yang kalian mau, bahkan si Bodoh Kelabu itu, meski harapannya sudah pupus. Aku akan tetap di sini."
Dengan demikian, Gandalf-lah yang memimpin perlawanan terakhir Kota Gondor. Ke mana pun Ia datang, semangat orang-orang kembali timbul, dan bayang-bayang bersayap itu terlupakan. Tanpa kenal lelah ia berjalan dari Benteng ke Gerbang; dari utara ke selatan sekitar dinding; Pangeran dari Dol Amroth mendampinginya, berpakaian logam mengilap. Sebab Ia dan para ksatrianya masih bersikap seperti bangsawan penguasa, keturunan asli bangsa Numenor. Orang-orang yang melihat mereka berbisik-bisik, "Seperti kisah-kisah lama; dalam urat nadi mereka mengalir darah bangsa Peri, sebab bangsa Nimrodel dulu tinggal di negeri itu, lama berselang." Lalu ada yang bernyanyi di tengah-tengah kemurungan itu, beberapa bait lagu Nyanyian Nimrodel, atau lagu-lagu lain tentang Lembah Anduin dari masa lampau.
Meski begitu, saat Gandalf dan Pangeran sudah pergi, kegelapan kembali menyelubungi, hati orang-orang menjadi dingin, dan keberanian
Gondor layu menjadi abu. Begitulah perlahan-lahan mereka beralih dari hari gelap penuh ketakutan ke dalam kekelaman malam yang naas.
Api berkobar tak terkendali di lingkar pertama Kota, dan jalan mundur bagi pasukan di atas tembok luar sudah terputus di beberapa tempat.
Hanya sedikit prajurit setia yang masih bertahan di posnya masing-masing; kebanyakan sudah lari ke belakang gerbang kedua.
Jauh di belakang pertempuran, jembatan sudah dipasang di Sungai, dan sepanjang hari semakin banyak kekuatan musuh dan senjatanya yang mengalir menyeberang. Akhirnya di tengah malam serangan dilancarkan. Barisan depan lewat di antara parit-parit api, melalui jalan berlikuliku yang tersisa di antaranya. Mereka maju terus, tidak takut kehilangan, masih bergerombol dan digiring, dalam jarak jangkauan pemanahpemanah di atas tembok. Tapi terlalu sedikit pemanah yang masih ada untuk bisa mencederai musuh, meski cahaya obor menunjukkan banyak sasaran bagi para pemanah hebat yang pernah dibanggakan Gondor. Karena menyadari bahwa keberanian Kota sudah runtuh, Kapten yang tersembunyi mengerahkan kekuatan penuh. Perlahan-lahan menara-menara sergap yang besar, yang dibuat di Osgiliath, menggelinding maju dalam kegelapan.
Utusan-utusan berdatangan lagi ke Menara Putih, dan Pippin membiarkan mereka masuk, karena pesan-pesan yang mereka bawa sangat mendesak. Dengan perlahan Denethor menolehkan kepala dari wajah Faramir, dan memandang mereka sambil membisu.
"Lingkar pertama Kota sudah terbakar, Tuanku," kata mereka.
"Bagaimana perintahmu? Kau masih Penguasa dan Pejabat Istana. Tidak semuanya mau mengikuti perintah Mithrandir. Orang-orang lari dari tembok, membiarkannya tidak dijaga."
"Kenapa? Kenapa orang-orang bodoh itu lari?" kata Denethor.
"Lebih baik terbakar lebih awal, daripada terlambat, sebab bagaimanapun kita akan dibakar. Kembalilah ke api unggunmu! Dan aku? Aku akan pergi ke api unggunku! Api unggunku! Tak ada kuburan bagi Denethor dan Faramir. Tak ada kuburan! Tak ada tidur kematian yang panjang dalam pengawetan. Kami akan dibakar seperti raja-raja kafir, sebelum kapal-kapal dari Barat berlayar ke sini. Barat sudah gagal. Pergilah dan terbakarlah!" Para utusan berlari pergi tanpa membungkuk atau menjawab.
Sekarang Denethor bangkit berdiri dan melepaskan tangan Faramir yang panas karena demam, yang selama itu dipegangnya.
"Dia sudah terbakar, sudah terbakar," kata Denethor dengan sedih.
"Rumah jiwanya mulai runtuh." Lalu sambil melangkah perlahan ke arah Pippin, ia memandangnya.
"Selamat tinggal!" katanya.
"Selamat tinggal, Peregrin putra Paladin! Masa baktimu singkat sekali, dan kini sudah hampir berakhir."
"Kubebaskan kau dari baktimu dalam waktu pendek yang masih tersisa. Pergilah, dan matilah dengan cara terbaik menurutmu. Bersama siapa pun yang kau kehendaki, bahkan temanmu yang dengan kebodohannya telah menyeretmu ke dalam kematian. Panggillah pelayanpelayanku, lalu pergilah. Selamat tinggal!"
"Aku tak mau berpamitan, Tuanku," kata Pippin sambil berlutut. Dan tiba-tiba ia kembali ke watak hobbit-nya. Ia berdiri dan memandang ke dalam mata pria tua itu.
"Aku minta izinmu, Sir," katanya, "sebab memang aku sangat ingin bertemu Gandalf. Tapi dia bukan orang bodoh; dan aku takkan memikirkan kematian kecuali dia sudah putus asa. Tapi selama kau masih hidup, aku tak ingin dibebaskan dari sumpah dan pelayanan kepadamu. Kalau akhirnya musuh masuk ke Benteng, kuharap aku berada di sini dan berdiri di sampingmu, hingga layaklah aku menyandang senjata yang sudah kauberikan padaku."
"Lakukan sekehendakmu, Master Halfling," kata Denethor.
"Tapi hidupku sudah hancur. Panggillah pelayan-pelayanku!" Tatapannya kembali pada Faramir.
Pippin meninggalkannya dan memanggil para pelayan. Mereka pun datang: enam pelayan istana, kuat dan gagah; namun mereka gemetar mendapat panggilan itu. Tapi dengan suara tenang Denethor menyuruh mereka meletakkan selimut-selimut hangat di tempat tidur Faramir dan mengangkatnya. Maka mereka mengangkat tempat tidur itu dan membawanya keluar ruangan. Mereka melangkah perlahan, sedapat mungkin tidak mengganggu pria yang demam itu. Denethor, yang membungkuk bertopang tongkat, mengikuti mereka; dan terakhir Pippin.
Mereka berjalan keluar dari Menara Putih, seperti sedang menuju pemakaman, keluar ke dalam kegelapan, di mana awan yang rendah disinari kilatan merah redup dari bawah. Perlahan-lahan mereka menapaki pelataran besar, dan atas perintah Denethor mereka berhenti di samping Pohon yang Telah Layu.
Sepi sekali, kecuali gemuruh peperangan di Kota di bawah, dan air yang menetes sedih dari ranting-ranting mati ke dalam kolam yang gelap.
Mereka berjalan terus melewati gerbang Benteng. Para penjaga memandang heran dan cemas. Setelah membelok ke barat, mereka sampai ke sebuah pintu di dinding belakang lingkar keenam. Namariya Fen Hollen, dan pintu itu selalu tertutup, kecuali di saat pemakaman. Hanya Penguasa Kota yang boleh menggunakan jalan itu, atau mereka yang membawa lambang makam dan merawat kuburan di sana. Setelah masuk pintu itu, terbentang sebuah jalan berkelok-kelok dengan banyak tikungan, menuju dataran sempit di bawah bayangan ngarai Mindolluin, di mana berdiri bangunan makam para Raja yang sudah berpulang serta para Pejabat mereka.
Seorang penjaga pintu duduk di pondok kecil di samping jalan itu, dan dengan pandangan penuh ketakutan Ia melangkah maju sambil membawa lentera. Atas perintah sang Penguasa ia membuka kunci pintu, dan tanpa suara pintu itu mengayun terbuka; mereka lewat, sambil mengambil lentera dari tangan si penjaga. Gelap sekali jalan yang mendaki di antara tembok-tembok kuno dan pagar bertiang yang tampak samar-samar dalam cahaya lentera yang bergoyang. Langkah perlahan kaki mereka bergema, terus hingga mereka sampai ke Jalan Sunyi, Rath Dinen, di antara kubah-kubah pucat dan serambi serambi kosong serta patung orang-orang yang sudah lama mati; lalu mereka masuk ke Makam Para Pejabat dan meletakkan beban yang mereka bawa.
Pippin memandang sekelilingnya dengan gelisah, dan melihat bahwa ia berada di sebuah ruangan lebar berkubah, seolah berhiaskan bayangan-bayangan besar yang ditimbulkan oleh cahaya lentera kecil di dindingnya yang terselubung. Samar-samar tampak barisan-barisan meja, dari pualam yang dipahat; di atas setiap meja terbaring sebuah sosok tertidur, dengan tangan dilipat, kepala berbantalkan batu. Tapi satu meja yang berdiri paling dekat, lebar dan kosong. Atas isyarat Denethor mereka membaringkan Faramir dan ayahnya berdampingan, menyelimuti mereka dengan satu selubung, lalu mereka berdiri dengan kepala menunduk, seperti pelayat di samping jenazah. Kemudian Denethor berbicara dengan suara rendah.
"Di sini kita akan menunggu," katanya.
"Jangan panggil para Pembalsem jenazah. Bawakan kayu yang cepat terbakar, sebarkan di sekeliling kami, dan di bawah; tuangkan minyak ke atasnya. Saat kuperintahkan, nyalakan dengan obor. Lakukan itu dan jangan berbicara lagi padaku.
Selamat tinggal!"
"Mohon izin, Tuanku!" kata Pippin sambil berbalik, lalu lari ketakutan dari makam itu.
"Kasihan Faramir!" pikirnya.
"Aku harus menemukan Gandalf. Kasihan Faramir! Dia lebih membutuhkan obat daripada air mata. Oh, di mana aku bisa menemukan Gandalf? Dia pasti berada di tengah kesibukan paling hebat dalam pertempuran; mungkin dia tak punya waktu untuk orang yang sekarat atau gila." Di pintu ia berbicara pada salah seorang pelayan yang masih berjaga di sana.
"Majikanmu sedang kurang waras," katanya.
"Perlambatlah tindakanmu! Jangan bawa api ke tempat ini selama Faramir masih hidup! Jangan berbuat apa pun sampai Gandalf datang!"
"Siapa penguasa Minas Tirith?" jawab orang itu.
"Lord Denethor atau Pengembara Kelabu?"
"Pengembara Kelabu, atau tak ada sama sekali, begitulah tampaknya," kata Pippin; ia berlari kembali melalui jalan berkelok-kelok, secepat mungkin, melewati penjaga pintu yang kaget, keluar dari pintu, terus sampai tiba di dekat gerbang Benteng. Penjaga gerbang menyalaminya ketika ia lewat, dan Pippin mengenali suara Beregond.
"Ke mana kau berlari, Master Peregrin?" teriaknya.
"Mencari Mithrandir," jawab Pippin.
"Tugas dari Penguasa sangat penting dan tak seharusnya kurintangi," kata Beregond, "tapi ceritakan dengan cepat, kalau bisa: apa yang sedang terjadi? Ke mana Penguasa-ku? Aku baru saja bertugas, tapi kudengar Penguasa menuju Pintu Tertutup, dan Faramir digotong di depannya."
"Ya," kata Pippin, "ke Jalan Sunyi." Beregond menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya.
"Kata mereka dia sedang sekarat," keluhnya, "dan sekarang dia sudah mati."
"Tidak," kata Pippin, "belum. Kupikir kematiannya bisa dielakkan. Tapi Penguasa Kota sudah jatuh sebelum kotanya direbut. Sikapnya aneh dan berbahaya." Dengan cepat Ia menceritakan kata-kata dan tingkah laku Denethor yang aneh.
"Aku harus segera menemukan Gandalf."
"Kalau begitu, kau harus pergi ke tempat pertempuran berlangsung."
"Aku tahu. Penguasa sudah memberiku izin. Tapi, Beregond, kalau bisa, lakukanlah sesuatu sebisa mungkin, untuk menghindari terjadinya sesuatu yang mengerikan."
"Penguasa tidak mengizinkan siapa pun yang berseragam hitam dan perak meninggalkan posnya untuk alasan apa pun, kecuali bila diperintah olehnya."
"Nah, kau harus memilih antara menuruti perintah atau menyelamatkan hidup Faramir," kata Pippin.
"Dan tentang perintah, kupikir dia sudah gila, bukan lagi penguasa. Aku harus lari. Aku akan kembali kalau sudah memungkinkan." Pippin terus berlari, terus, terus menuju batas luar kota. Orang-orang yang berlarian menjauh dari kebakaran berpapasan melewatinya, dan beberapa yang melihat seragamnya berputar dan berteriak, tapi ia tidak menghiraukan mereka. Akhirnya ia melewati Gerbang Kedua, di seberangnya api besar berkobar di antara dinding-dinding. Namun suasana sepi sekali. Tak ada teriakan perang atau bunyi gemuruh senjata.
Tiba-tiba ada teriakan mengerikan dan kejutan besar, serta bunyi dentuman menggema. Sambil memaksa dirinya terus berlari melawan getaran ketakutan dan kengerian yang mengguncangnya hingga Ia nyaris lemas, Pippin membelok di sebuah tikungan, yang mengantarnya ke sebuah pelataran besar di belakang Gerbang Kota. Ia berhenti mendadak. Ia sudah menemukan Gandalf; tapi Ia mundur ketakutan, gemetar dalam bayang-bayang gelap.
Sejak tengah malam, serangan besar terus berlangsung. Genderang berbunyi. Ke utara dan selatan pasukan demi pasukan musuh menyerbu tembok-tembok. Hewan-hewan besar berdatangan, seperti rumah bergerak dalam cahaya merah dan gelisah, para mumakil dari Harad melangkah sambil menyeret menara-menara dan mesin-mesin besar melalui jalan di antara kobaran api. Namun kapten mereka tidak begitu peduli apa yang mereka lakukan atau berapa banyak yang mereka bunuh: tujuan mereka hanya untuk menguji kekuatan perlawanan dan membuat orang-orang Gondor sibuk di berbagai tempat. Serangan paling berat akan dilancarkan ke Gerbang. Gerbang itu memang sangat kuat, ditempa dari besi dan baja, dijaga oleh menara-menara dan kubu-kubu dari batu keras sekali, tapi justru itulah kuncinya, titik terlemah pada dinding tinggi yang tak bisa ditembus itu.
Genderang mulai berdentam lebih keras. Api berkobar semakin tinggi. Mesin-mesin besar merangkak melalui padang; dan di tengah-tengah ada pelantak besar, sebesar pohon rimba sepanjang 30 meter, berayun pada rantai raksasa. Lama sekali pelantak itu ditempa di bengkel besi gelap di Mordor, ujungnya yang mengerikan dibuat dari baja hitam, dibentuk seperti kepala serigala kelaparan, dan penuh dengan torehan lambang sihir untuk kehancuran. Mereka menamakannya Grond, untuk mengenang palu dari Dunia Bawah di zaman lampau. Hewan-hewan besar menghelanya, Orc-Orc mengelilinginya, dan di belakangnya berjalan troll-troll pegunungan sebagai pengendalinya.
Di sekitar Gerbang perlawanan masih gigih, dan di sana ksatria-ksatria Dol Amroth serta serdadu-serdadu paling berani masih tetap bertahan.
Tembakan dan panah berluncuran rapat; menara-menara penyerang tiba-tiba pecah berderak atau berkobar seperti obor. Di depan tembok di kedua sisi Gerbang, tanah penuh dengan reruntuhan dan mayat-mayat mereka yang tewas; tapi musuh masih terus berdatangan, bagai didorong kegilaan.
Grond terus merangkak. Lapisan kulit luarnya tak bisa terbakar; dan meski sesekali hewan yang menyeretnya tiba-tiba mengamuk dan menginjak-injak para Orc penjaga yang tak terhitung banyaknya, tubuh mereka segera disingkirkan ke tepi jalan dan digantikan oleh yang lain.
Grond masih terus merangsek maju. Genderang-genderang bertalu-talu. Dari atas bukit-bukit bangkai, muncul sebuah sosok mengerikan: seorang penunggang kuda, tinggi, berkerudung, berjubah hitam. Perlahan-lahan, sambil menginjak mereka yang tewas, ia melangkah maju, tidak memedulikan panah-panah. Ia berhenti dan mengangkat sebilah pedang pucat panjang. Melihat itu, ketakutan mencekam semuanya, baik kawan maupun lawan; tangan orang-orang terjatuh lemas dan tak ada lagi panah yang melesat. Sejenak semuanya sunyi.
Genderang-genderang mendebur dan mendentam. Dengan dorongan keras Grond terlontar ke depan oleh tangan-tangan besar. Ia pun mencapai Gerbang. Berayun. Dentum gelegar dahsyat menggemuruh menembus Kota, seperti guruh menggeletar di gumpalan mega. Tapi pintu-pintu dari besi dan tiang baja menahan pukulan itu.
Lalu Kapten Hitam berdiri di sanggurdinya dan berteriak keras dengan suara menyeramkan, dalam bahasa asing yang sudah lama terlupakan. la mengeluarkan kata-kata berisi teror yang sanggup membelah hati dan batu.
Tiga kali Ia berteriak. Tiga kali pelantak besar itu berdentum. Dan mendadak pada benturan terakhir, Gerbang Gondor pecah. Bagai kena sihir jahat, pintu itu meledak pecah berkeping-keping: ada kilatan cahaya yang merobek, dan pintu-pintu jatuh berkeping-keping ke lantai.
Masuklah Penguasa Nazgul. Sosoknya yang hitam besar muncul di depan api, menjelma menjadi ancaman besar yang mematahkan harapan.
Masuklah Penguasa Nazgul, di bawah ambang gerbang melengkung yang belum pernah dilalui musuh, dan semuanya lari menjauh.
Semuanya kecuali satu. Menunggu di sana, diam dan tenang di depan Gerbang, duduklah Gandalf di atas Shadowfax: Shadowfax satusatunya di antara kuda-kuda merdeka di dunia yang bertahan terhadap teror itu, tak bergerak, kokoh seperti patung berhala di Rath Dinen.
"Kau tak bisa masuk ke sini," kata Gandalf, dan bayangan besar itu berhenti.
"Kembalilah ke jurang yang sudah disiapkan untukmu! kembali! Terjunlah ke dalam kekosongan yang menunggu kau dan Majikan-mu. Pergi!" Penunggang Hitam menyingkapkan kerudungnya yang hitam, dan lihatlah! Ia memakai mahkota raja; namun kepalanya tidak tampak. Api merah berkobar di antara mahkota dan pundaknya yang lebar gelap berselubung jubah. Dari mulutnya yang tidak tampak keluar bunyi tertawa mematikan.
"Tua bangka bodoh!" katanya, "Tua bangka bodoh! Saat ini adalah saatku. Tak bisakah kau mengenali maut saat melihatnya? Matilah sekarang dan mengutuklah dengan sia-sia!" Lalu ia mengangkat tinggi pedangnya, dan nyala api menggulung mengaliri bilahnya.
Gandalf tak bergerak. Tepat pada saat itu, jauh di sebuah halaman di Kota, seekor ayam jantan berkokok. Bunyinya nyaring dan jelas, sama sekali tak menghiraukan sihir atau perang, hanya menyambut fajar yang datang menyingsing, jauh di langit tinggi, di atas bayang-bayang kematian.
Dan seolah-olah sebagai jawaban, dari jauh terdengar nada lain. Bunyi terompet, terompet, terompet. Di tebing-tebing Mindolluin yang gelap bunyi itu bergema redup: Terompet-terompet besar dari Utara bertiup nyaring. Rohan sudah datang.

BERSAMBUNG KE BAB 5/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates