Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 3 BAB 6/11 RAJA BALAIRUNG EMAS

<<< SEBELUMNYA


Mereka berjalan terus sementara matahari terbenam, disusul oleh senja yang merambat perlahan, dan malam yang kemudian menjelang.
Ketika akhirnya mereka berhenti dan turun, bahkan Aragorn pun merasa kaku dan letih. Gandalf hanya mengizinkan mereka istirahat beberapa jam. Legolas dan Gimli tidur, dan Aragorn berbaring datar, telentang; tapi Gandalf berdiri bersandar pada tongkatnya, menerawang ke dalam kegelapan, timur dan barat. Semuanya hening, tak ada tanda atau bunyi makhluk hidup. Malam dihiasi awan yang berarak arak di atas angin dingin, ketika mereka terbangun kembali. Di bawah bulan dingin mereka melanjutkan perjalanan, sama cepatnya seperti di siang hari.

Berjam-jam berlalu, dan mereka masih terus melaju, Gimli terangguk-angguk dan pasti akan jatuh kalau Gandalf tidak memegangnya dan mengguncangnya. Hasufel dan Arod, lelah tapi gagah, mengikuti pemimpin mereka yang tak kenal lelah, bayangan kelabu yang hampir tak terlihat di depan mereka. Bermil-mil berlalu. Bulan yang membesar terbenam di langit Barat yang penuh awan.
Udara menjadi dingin dan tajam. Perlahan-lahan di Timur kegelapan memudar menjadi kelabu dingin. Galur-galur cahaya merah melompat ke atas dinding-dinding hitam Emyn Muil, jauh di sebelah kiri mereka. Fajar datang dengan cerah dan jernih; angin berembus di jalan mereka, berlari di antara rerumputan yang membungkuk. Mendadak Shadowfax berdiri diam dan meringkik. Gandalf menunjuk ke depan.
"Lihat!" serunya, dan mereka mengangkat mata dengan lelah. Di depan sana berdiri pegunungan Selatan: berpuncak putih dan bergaris-garis hitam. Daratan berumput menghampar sampai ke bukit-bukit yang bergerombol di kaki pegunungan, mengalir naik ke lembah-lembah yang masih kabur dan gelap, belum disentuh cahaya fajar, meliuk-liuk masuk ke jantung pegunungan besar. Tepat di depan para pengembara itu, celah terbesar membuka seperti teluk panjang di antara perbukitan. Jauh ke dalam, sekilas tampak sosok pegunungan dengan satu puncak tinggi; di mulut lembah ada ketinggian tunggal yang berdiri seperti pengawal. Di kakinya mengalir sungai yang bersumber dari lembah, meliuk-liuk bak benang perak; di punggung gunung, masih jauh dari sana, mereka menangkap kilauan di bawah matahari yang sedang terbit, seberkas cahaya keemasan.
"Katakan, Legolas!" kata Gandalf. "Katakan apa yang kaulihat di sana, di depan kita!" Legolas memandang jauh ke depan, menaungi matanya dari berkas-berkas datar sinar matahari yang baru saja terbit. "Aku melihat aliran sungai putih yang datang dari salju," katanya. "Di tempat dia keluar dari balik bayangan lembah, muncul bukit hijau di sebelah timur. Sebuah bendungan dan dinding tinggi serta pagar berduri mengelilinginya. Di dalamnya menjulang atap-atap rumah; dan di tengah, di atas teras hijau, berdiri sebuah balairung besar para Manusia. Atapnya seakan bersalut emas. Cahayanya bersinar sampai jauh ke atas daratan. Kusenkusen pintunya juga terbuat dari emas. DI sana berdiri laki-laki berpakaian keping-keping logam yang terang; tapi para penghuni lain di istana masih tidur."
"Edoras nama istana itu," kata Gandalf, "dan balairung emas itu disebut Meduseld. Di sana tinggal Theoden putra Thengel, Raja Mark Rohan. Kita datang saat subuh. Sekarang jalanan di depan kita tampak jelas. Tapi kita harus lebih hati-hati, karena peperangan sedang berlangsung, dan para Rohirrim, Penguasa Kuda, tidak tidur, meski dari jauh mereka seolah terlelap. Kusarankan pada kalian, jangan mengokang senjata, jangan bicara angkuh, sampai kita tiba di hadapan takhta Theoden."
Pagi itu cerah dan jernih, dan burung-burung bernyanyi, ketika para pengembara sampai di sungai. Sungai itu mengalir cepat ke dataran, membelok di luar kaki bukit, melintasi jalan mereka dalam satu lengkungan lebar, mengalir ke timur untuk mengisi Entwash jauh di sana, di antara tebing-tebingnya yang dipenuhi alang-alang. Daratan itu hijau: di padang-padang basah dan tepi sungai yang berumput tumbuh banyak pohon willow. Di negeri selatan ini, ujung-ujung willow sudah mulai bersemu merah, merasakan musim semi menghampiri. Di sungai ada sebuah arungan di antara tebing-tebing rendah yang sudah banyak terinjak lalu-lalang kuda. Para pengembara menyeberanginya, dan sampai ke sebuah jalan tanah lebar yang menuju dataran tinggi.
Di kaki bukit yang berdinding, jalan itu menjulur ke bawah bayangan perbukitan, tinggi dan hijau. Di sisi barat, rumputnya putih seperti tumpukan salju: bunga-bunga kecil menyembul seperti bintang-bintang mungil di antara tanah berumput kering.
"Lihat!" kata Gandalf. "Betapa eloknya warna-warna cerah di rumput itu! Namanya Evermind, simbelmyne di negeri Manusia ini, karena mereka berbunga sepanjang semua musim, dan tumbuh di tempat orang mati beristirahat. Lihat! Kita sudah tiba di kuburan besar tempat nenek moyang Theoden terbaring."
"Tujuh gundukan di kiri, dan sembilan di kanan," kata Aragorn. "Sudah banyak kehidupan panjang manusia berlalu sejak balairung emas itu dibangun."
"Sudah lima ratus kali daun-daun merah berguguran di rumahku di Mirkwood, sejak saat itu," kata Legolas, "dan itu waktu yang sangat singkat bagi kami."
"Tapi bagi para Penunggang dari Mark, itu sudah sangat lama berlalu," kata Aragorn, "sehingga pembangunan istana ini hanya kenangan dari
lagu lama, dari tahun-tahun sebelumnya hilang ditelan kabut waktu. Sekarang mereka menamakan daratan ini rumah mereka, milik mereka sendiri, dan bahasa mereka berbeda dari kerabat mereka di utara." Lalu ia mulai menyanyi perlahan dalam bahasa yang asing di telinga sang Peri dan Kurcaci; meski begitu, mereka mendengarkan, karena ada musik kuat di dalamnya.
"Kurasa itu bahasa kaum Rohirrim," kata Legolas, "karena kedengarannya seperti daratan ini sendiri; kaya dan berbukit-bukit sebagian, namun sebagian lain keras dan teguh seperti pegunungan. Tapi aku tak bisa menebak artinya, kecuali bahwa lagu itu menyimpan kesedihan Manusia Fana."
"Begini bunyinya dalam Bahasa Umum," kata Aragorn, "sedekat yang bisa kuterjemahkan."
Di mana kini kuda dan penunggangnya? Di mana gerangan terompet yang ditiup lantang? Di manakah ketopong dan perisai, dan rambut cerah yang berkibar cemerlang? Di manakah tangan yang memetik harpa, dan api merah yang memanggang? Di manakah musim semi dan panen, serta jagung yang tumbuh menjulang? Mereka sudah lewat, bagai hujan di gunung, dan angin di padang; Hari-hari sudah turun ke Barat, di balik bukit, di kegelapan bayang-bayang.
Siapa akan mengumpulkan asap dari kayu mati yang menyala, Atau merajut tahun-tahun yang berarak kembali dari Samudra raya?
Begitulah seorang penyair lama yang sudah terlupakan berbicara di Rohan, mengenang betapa jangkung dan elok Eorl Muda yang menunggang kuda keluar dari Utara; ada sayap di kaki-kaki kudanya, Felarof, ayah semua kuda. Lagu itu masih dinyanyikan manusia di senja hari." Dengan kata-kata ini, para pengembara melewati gundukan-gundukan hening itu. Mengikuti jalan yang meliuk-liuk mendaki punggung bukit, akhirnya mereka sampai ke dinding-dinding lebar dan gerbang Edoras.
Di sana duduk banyak pria berpakaian logam cerah; orang-orang ini langsung melompat berdiri dan merintangi jalan dengan tombak mereka.
"Diam, pendatang-pendatang asing!" mereka berteriak dalam bahasa Riddermark, menanyakan nama dan urusan para tamu itu. Keheranan memancar dari mata mereka, tapi tak ada keramahan; , dan mereka memandang Gandalf dengan garang.
"Aku mengerti bahasa kalian," jawab Gandalf dalam bahasa yang sama, "meski hanya sedikit orang asing bisa memahaminya. Mengapa kalian tidak berbicara dalam Bahasa Umum, seperti kebiasaan di Barat, kalau ingin mendapat jawaban?"
"Adalah perintah Theoden, raja kami, bahwa tak ada yang boleh masuk ke gerbangnya, kecuali mereka yang tahu bahasa kami dan menjadi sahabat kami," jawab salah satu penjaga. "Tak ada yang boleh masuk kemari di masa peperangan, kecuali bangsa kami sendiri, dan mereka yang datang dari Mundburg di negeri Gondor. Siapakah kalian, yang datang tak acuh melewati padang dengan berpakaian aneh seperti ini, dan mengendarai kuda-kuda yang mirip kuda kami? Kami sudah lama berjaga di sini, dan kami memperhatikan kalian dari jauh. Kami belum pernah melihat para penunggang yang begitu aneh, atau kuda yang lebih gagah daripada salah satu yang kalian tunggangi. Dia salah satu Meara, kecuali mata kami ditipu oleh sihir. Katakan, bukankah kau seorang penyihir, mata-mata Saruman, atau hantu ciptaannya? Bicaralah dan cepat!"
"Kami bukan hantu," kata Aragorn, "dan matamu tidak menipumu. Karena memang kuda-kuda ini milikmu sendiri, seperti pasti sudah kauketahui sebelum menanyakannya. Tapi jarang pencuri pulang kembali ke kandang. Ini Hasufel dan Arod, yang dipinjamkan pada kami dua hari yang lalu oleh Eomer, Marsekal Ketiga Riddermark. Kami kembalikan mereka sekarang, seperti sudah kami janjikan padanya.
Apakah Eomer belum kembali dari memberitahukan kedatangan kami?" Pandangan gelisah terpancar di mata si penjaga. "Aku tak bisa bilang apa-apa tentang Eomer," jawabnya. "Kalau apa yang kaukatakan memang benar, pasti Theoden sudah mendengar tentang hal itu. Mungkin kedatanganmu bukannya tidak ditunggu-tunggu. Baru dua malam yang lalu Wormtongue mendatangi kami dan mengatakan bahwa, sesuai kehendak Theoden, tak ada tamu asing yang boleh memasuki gerbang ini."
"Wormtongue?" kata Gandalf, sambil memandang si penjaga dengan tajam. "Jangan bilang apa-apa lagi! Tugasku bukan menemui Wormtongue, tapi Penguasa Mark sendiri. Aku sangat terburu-buru. Maukah kau pergi memberitahukan bahwa kami sudah datang?" Mata Gandalf berbinar-binar di bawah alisnya yang tebal ketika ia memandang orang itu.
"Ya, aku akan pergi," jawab si penjaga perlahan. "Tapi nama apa yang akan kulaporkan? Dan apa yang akan kukatakan tentang dirimu? Sekarang kau tampak tua dan lelah, tapi di balik penampilan luarmu, kuduga kau jahat dan mengerikan."
"Kau melihat dan berbicara dengan benar," kata penyihir itu. "Karena akulah Gandalf Aku sudah kembali. Dan lihat! Aku pun membawa kembali seekor kuda. Ini Shadowfax Agung, yang tak bisa dijinakkan tangan lain. Di sampingku adalah Aragorn putra Arathorn, putra mahkota para Raja, dan dia akan pergi ke Mundburg. Di sini ada juga Legolas sang Peri dan Gimli si Kurcaci, kawan-kawan kami. Pergilah sekarang, katakan pada majikanmu bahwa kami ada di depan gerbangnya, dan ingin berbicara dengannya, kalau dia mengizinkan kami
masuk ke balairungnya."
"Nama-nama aneh yang kauberikan itu! Tapi aku akan melaporkannya seperti yang kauminta, dan menanyakan keinginan majikanku," kata si penjaga. "Tunggu di sini sebentar, dan aku akan membawa jawaban yang dianggap baik oleh majikanku. Jangan terlalu berharap! Saat ini masa-masa gelap." Dengan cepat ia pergi, meninggalkan tamu-tamu asing itu dalam penjagaan kawan-kawannya yang waspada.
Setelah beberapa saat, ia kembali. "Ikuti aku!" katanya. "Theoden mengizinkanmu masuk; tapi senjata apa pun yang kaubawa, meski hanya tongkat, harus kautinggalkan di ambang pintu. Para penjaga pintu akan menjaganya."
Gerbang gelap sekarang dibuka. Para pengembara itu masuk, berjalan berbaris di belakang pemandu mereka. Mereka menemukan jalan lebar berlapis ubin batu pahat, kadang berbelok naik, kadang mendaki dengan beberapa anak tangga yang jelas. Banyak rumah kayu dan pintupintu gelap mereka lalui. Di samping jalan, di dalam saluran batu, sebuah sungai jernih mengalir, berkilauan dan berceloteh. Akhirnya mereka sampai ke puncak bukit. Di sana ada dataran tinggi, di atas sebuah teras hijau, di kakinya sebuah mata air menyembur keluar dari batu yang dipahat berbentuk kepala kuda; di bawahnya ada kolam luas dari mana air itu meluap dan mengisi sungai yang mengalir. Sebuah tangga mendaki ke teras hijau, tinggi dan lebar, dan di kedua sisi tangga teratas ada tempat-tempat duduk dari batu yang dipahat. Di sana duduk penjaga-penjaga lain, dengan pedang terhunus di atas lutut. Rambut mereka yang keemasan dikepang menggantung sampai ke pundak; lambang matahari terlihat pada perisai mereka yang hijau, rompi panjang mereka sudah dipoles mengilap; ketika mereka bangkit berdiri, mereka tampak lebih jangkung daripada manusia fana.
"Pintu-pintu itu sudah di depan kalian," kata pemandu mereka. "Sekarang aku harus kembali ke tugasku di gerbang. Selamat tinggal! Semoga Penguasa Mark menyambut kalian dengan ramah!" Ia membalikkan badan dan kembali dengan cepat melewati jalan. Yang lain mendaki tangga panjang itu di bawah tatapan para penjaga yang jangkung. Mereka berdiri diam di atas, tidak berbicara, sampai Gandalf melangkah ke teras di ujung tangga. Lalu mendadak, dengan suara jernih, mereka mengucapkan salam ramah dalam bahasa mereka sendiri.
"Hormat, para tamu dari jauh!" kata mereka, dan mengarahkan hulu pedang kepada para tamu, sebagai tanda damai. Permata-permata hijau berkilauan kena cahaya. Lalu salah satu penjaga melangkah maju dan berbicara dalam Bahasa Umum.
"Aku Penjaga Pintu Theoden," katanya. "Hama namaku. Di sini aku harus meminta kalian meninggalkan senjata sebelum masuk." Maka Legolas meletakkan ke dalam tangan Hama pisaunya yang bergagang perak, berikut tempat panah dan busurnya. "Simpanlah dengan baik," katanya, "karena ini berasal dari Hutan Emas, pemberian Lady dari Lothlorien padaku." Sinar keheranan memenuhi mata Hama, dan ia meletakkan senjata-senjata itu terburu-buru dekat dinding, seolah takut memegangnya.
"Takkan ada yang menyentuhnya, aku berjanji padamu," katanya.
Aragorn berdiri ragu sejenak. Katanya, "Bukan kehendakku untuk meletakkan pedangku atau menyerahkan Anduril ke tangan orang lain."
"Ini kehendak Theoden," kata Hama.
"Tidak jelas bagiku, apakah kehendak Theoden putra Thengel meski dia adalah Penguasa Mark bisa lebih utama daripada kehendak Aragorn putra Arathorn, putra mahkota Elendil dari Gondor."
"Di sini rumah Theoden, bukan rumah Aragorn, meski dia Raja Gondor di takhta Denethor," kata Hama, melangkah cepat ke depan pintu dan merintangi jalan masuk. Pedangnya sekarang terhunus di tangan, ujungnya mengarah kepada para tamu.
"Ini omong kosong," kata Gandalf "Permintaan Theoden sebenarnya tak perlu, tapi tak ada gunanya menolak. Raja berhak mendapatkan apa yang dikehendakinya di dalam balairungnya sendiri, meski itu kebodohan atau kebijakan."
"Memang benar," kata Aragorn. "Dan aku bersedia memenuhi permintaan tuan rumah, meski ini hanya pondok tukang kayu, kalau pedang yang kubawa bukan Anduril!"
"Apa pun namanya," kata Hama, "di sinilah kau akan meletakkannya, kalau kau tidak mau bertempur sendirian melawan semua pria di Edoras."
"Tidak sendirian!" kata Gimli, meraba-raba mata kapaknya, dan menatap geram pada si penjaga, seolah ia sebatang pohon muda yang ingin ditebasnya. "Tidak sendirian!"
"Ayo, ayo!" kata Gandalf. "Kita semua bersahabat. Atau seharusnyalah begitu; Mordor akan menertawakan kita kalau kita bertengkar.
Tugasku sangat mendesak. Setidaknya inilah pedangku, Hama yang budiman. Simpanlah dengan baik. Namanya Glamdring, karena para Peri yang membuatnya, lama berselang. Sekarang biarkan aku masuk. Ayo, Aragorn!" Perlahan-lahan Aragorn membuka ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya tegak bersandar pada dinding. "Di sini aku meletakkannya," katanya, "tapi kuperintahkan kau agar tidak menyentuhnya, atau membiarkan tangan lain menyentuhnya. Dalam sarung buatan Peri ini ada Pedang yang Dulu Patah dan sudah ditempa lagi. Telchar yang pertama kali menempanya, pada zaman dahulu kala. Celakalah siapapun yang berani menghunus pedang Elendil, kecuali putra mahkota Elendil." Penjaga itu mundur dan memandang Aragorn dengan kagum. "Tampaknya kau datang mengendarai sayap-sayap lagu dari zaman lampau
yang sudah terlupakan," katanya. "Perintahmu akan ditaati, Pangeran."
"Nah," kata Gimli, "kalau ada Anduril untuk menemaninya, kapakku juga boleh ditinggal di sini, tanpa malu-malu," dan ia meletakkan kapaknya di lantai. "Nah, sekarang, kalau semuanya sudah seperti yang kauinginkan, mari kita pergi dan berbicara dengan majikanmu." Penjaga itu masih ragu. "Tongkatmu," katanya pada Gandalf. "Maaf, tapi itu pun harus ditinggalkan di dekat pintu."
"Tolol sekali!" kata Gandalf. "Berhati-hati boleh saja, tapi ini sudah tak sopan namanya. Aku sudah tua. Kalau aku tak boleh bersandar pada tongkatku sambil berjalan, maka aku akan duduk di luar sini, sampai Theoden berkenan keluar sendiri untuk berbicara denganku." Aragorn tertawa. "Setiap orang punya benda kesayangan yang sulit dipercayakan pada orang lain. Tapi sampai hatikah kau memisahkan orang tua dari topangannya? Ayolah, masa kau tidak membolehkan kami masuk?"
"Tongkat di tangan seorang penyihir mungkin bukan sekadar topangan untuk berjalan," kata Hama. ia memandang tajam ke tongkat kayu asli yang disandari Gandalf "Tapi dalam keraguan, seorang pria terhormat akan percaya pada kebijakannya sendiri. Aku percaya kalian adalah sahabat dan orang-orang terhormat, yang tidak mempunyai maksud jahat. Kalian boleh masuk."
Para penjaga sekarang mengangkat palang berat dari pintu-pintu, dan membukanya perlahan ke arah dalam, dengan bunyi geraman pada engsel mereka yang besar. Para pengembara itu masuk. Di dalam terasa gelap dan hangat, setelah tadi mereka merasakan udara jernih di atas bukit. Balairung itu panjang dan lebar, dipenuhi bayang-bayang dan cahaya temaram; tiang-tiang tinggi besar menopang atapnya yang megah. Namun di sana-sini cahaya matahari cerah masuk dalam berkas-berkas gemerlap dari jendela-jendela sebelah timur, tinggi di bawah pinggiran atap yang lebar. Melalui kisi-kisi atap, di atas untaian tipis asap yang keluar, langit terlihat pucat dan biru. Setelah mata mereka menyesuaikan diri, mereka melihat bahwa lantai dilapisi ubin batu berbagai warna; lambang-lambang bercabang, dan hiasan-hiasan aneh yang terjalin di bawah kaki mereka. Sekarang mereka melihat bahwa pilar-pilar di situ berukiran penuh, berkilauan dengan emas dan warnawarna yang hanya separuh terlihat. Banyak kain tenun tergantung di dinding, pada bidang-bidangnya yang luas berjajar sosok-sosok dari legenda-legenda kuno, beberapa sudah pudar dimakan waktu, beberapa gelap oleh bayang-bayang. Tapi sinar matahari jatuh di atas satu sosok: seorang pemuda di atas kuda putih. Ia meniup terompet besar, rambutnya yang kuning berkibar ditiup angin. Kepala kuda itu terangkat, lubang hidungnya lebar dan merah ketika ia meringkik, mencium peperangan di kejauhan. Air berbuih, hijau dan putih, mengalir dan menggelombang di dekat lututnya.
"Lihatlah Eorl Muda!" kata Aragorn. "Begitulah dia keluar dari Utara, menuju Pertempuran di Padang Celebrant." Sekarang keempat sahabat itu melangkah maju, melewati api terang yang menyala di perapian panjang di tengah balairung. Lalu mereka berhenti. Di ujung terjauh ruangan itu, di seberang perapian dan menghadap ke utara, ke pintu, ada sebuah panggung dengan tiga anak tangga; di tengah panggung ada takhta berlapis emas. Di takhta itu duduk seorang pria tua yang bungkuk karena usia, hingga sosoknya hampir-hampir kelihatan seperti orang kerdil; namun rambutnya yang putih sangat panjang dan tebal, jatuh dalam kepang-kepang besar dari bawah circlet emas kecil yang ia kenakan di atas dahinya. Di tengah dahinya bersinar sebuah berlian tunggal. Janggutnya yang bagai salju diletakkan di atas lututnya; tapi matanya masih bersinar dengan cahaya cerah menyilaukan ketika ia menatap para tamunya. Di belakang kursinya berdiri seorang wanita berpakaian putih. Di dekat kakinya, di atas tangga, duduk sesosok pria keriput, dengan wajah pucat yang cerdik dan mata berkelopak berat.
Hening sejenak. Pria tua itu duduk tak bergerak di kursinya. Akhirnya Gandalf berbicara, "Salam hormat, Theoden putra Thengel! Aku sudah kembali. Karena lihatlah! Badai akan datang, dan kini semua kawan harus bergabung, agar jangan sampai masing-masing dihancurkan." Perlahan-lahan pria tua itu bangkit berdiri, bersandar berat pada tongkat hitam pendek bergagang tanduk putih; kini para tamu melihat, bahwa meski bungkuk, ia masih jangkung; di masa mudanya, sosoknya pasti tinggi dan gagah.
"Kusalami kalian," katanya, "dan mungkin kau mengharapkan penyambutan. Tapi sejujurnya, kedatanganmu kemari tak sepenuhnya diharapkan, Master Gandalf Kau selalu menjadi pembawa kabar buruk. Kesulitan mengikutimu bagai burung gagak, dan lebih sering semakin buruk. Aku takkan berpura-pura padamu: ketika mendengar Shadowfax kembali tanpa penunggang, aku gembira atas kembalinya kuda itu, tapi terutama atas ketidakhadiran penunggangnya; dan ketika Eomer membawa kabar bahwa akhirnya kau sudah pergi ke rumah peristirahatanmu yang panjang, aku tidak berduka. Tapi kabar dari jauh jarang menghibur. Kini kau datang lagi! Dan bersamamu datang kejahatan yang lebih buruk daripada sebelumnya, seperti bisa diduga. Mengapa aku harus menyambutmu, Gandalf Pembawa Badai? Katakan padaku." Perlahan-lahan ia duduk kembali di kursinya.
"Kau berbicara benar, Tuanku," kata pria pucat yang duduk di tangga panggung. "Belum lima hari sejak kabar buruk datang bahwa Theodred, putramu, tewas di West Marches: tangan kananmu, Marsekal Kedua Riddermark. Eomer tak bisa dipercaya. Hanya sedikit orang yang akan ditinggal untuk menjaga tembok-tembokmu, kalau dia diizinkan memerintah. Dan sekarang ini kami dengar dari Gondor bahwa Penguasa Kegelapan sedang bergerak di Timur. Dan pengembara ini memilih masa-masa seperti ini untuk kembali. Katakan, mengapa kami harus menyambutmu, Master Pembawa Badai? Aku menamakanmu Lathspell, kabar buruk; dan kabar buruk adalah tamu buruk, kata orangorang." ia tertawa jahat, sambil mengangkat kelopak matanya yang berat sejenak, dan menatap para tamu dengan mata suram.
"Kau dianggap bijak, temanku Wormtongue, dan kau pasti menjadi andalan majikanmu," jawab Gandalf dengan suara lembut. "Meski begitu, orang bisa datang membawa kabar buruk dalam dua cara. Mungkin dia sendiri berbuat jahat; atau dia tidak terlibat kejahatan, dan datang hanya untuk memberi bantuan pada saat dibutuhkan."
"Memang begitu," kata Warmtongue, "tapi ada jenis ketiga: pencuri tulang, pencampur urusan orang lain, unggas pemakan bangkai yang menjadi gemuk karena perang. Bantuan apa yang pernah kauberikan Pembawa Badai? Dan bantuan apa yang kaubawa sekarang? Kaulah yang mencari bantuan dari kami, terakhir kali kau ke sini. Lalu rajaku memintamu memilih kuda mana saja yang kauinginkan dan pergi; dan semua tercengang ketika kau memilih Shadowfax dengan kekurangajaranmu. Rajaku sangat kecewa; namun bagi beberapa orang, harga yang kami bayar tidak terlalu tinggi, bila itu membuatmu pergi secepatnya dari negeri ini. Kuduga sekarang pun akan terjadi hal yang sama: kau ingin mencari bantuan, bukan memberikannya. Apakah kau membawa pasukan? Apakah kau membawa kuda, pedang, tombak? Itu kusebut bantuan; itu yang kami butuhkan sekarang. Tapi siapa ini yang mengikutimu? Tiga pengembara lusuh berpakaian kelabu, dan kau sendiri paling mirip pengemis di antara semuanya!"
""Keramahan istanamu akhir-akhir ini agak berkurang, Theoden putra Thengel," kata Gandalf "Bukankah penjaga gerbang sudah memberitahukan nama-nama pendampingku? Jarang seorang Raja Rohan menerima tiga tamu seperti ini. Senjata-senjata mereka sudah mereka letakkan di pintu, senjata yang sama nilainya dengan banyak manusia hidup, bahkan yang terhebat. Kelabu pakaian mereka, karena demikianlah jubah yang diberikan bangsa Peri, hingga mereka bisa melewati bahaya besar untuk sampai ke balairungmu."
"Kalau begitu, benar seperti dilaporkan Eomer, bahwa kalian bersekongkol dengan Penyihir Wanita dari Hutan Emas?" kata Wormtongue.
"Tidak mengherankan: jaring-jaring pengkhianatan selalu dibuat di Dwimordene." Gimli maju selangkah, tapi tiba-tiba merasa tangan Gandalf mencengkeram pundaknya, dan ia berhenti, berdiri kaku seperti batu.
Di Dwimordene, di Lorien Jarang kaki Manusia menapak kesunyian, Sedikit mata pernah melihat cahaya mencercah Yang senantiasa ada di sana, panjang dan cerah.
Galadriel! Galadriel! Air sumurmu jernih kekal; Putih bintang di tanganmu yang putih; Tidak tercemar, tidak ternoda, daun dan tanah bersih Di Dwimordene, di Lorien, Lebih elok daripada Makhluk Fana dalam impian.
Demikianlah Gandalf bernyanyi lembut, lalu mendadak ia berubah. Sambil melepaskan jubahnya yang lusuh, ia berdiri tegak, tidak lagi bersandar pada tongkatnya; ia berbicara dengan suara dingin dan jelas.
"Orang bijak hanya membicarakan yang diketahuinya, Grima putra Galmod. Kau sudah menjelma menjadi cacing tolol. Oleh karena itu diamlah, simpan lidahmu yang bercabang di belakang gigimu. Aku melewati api dan kematian bukan untuk bertukar kata-kata miring dengan seorang pelayan sampai halilintar datang." Ia mengangkat tongkatnya. Ada bunyi gemuruh petir. Matahari di jendela-jendela timur tertutup; seluruh balairung mendadak gelap seperti malam. Api padam menjadi bara api. Hanya Gandalf yang tampak, berdiri putih dan tinggi di depan perapian yang menghitam.
Dalam keremangan, mereka mendengar desis Wormtongue, "Bukankah aku sudah menasihatimu, Tuanku, untuk melarang dia membawa tongkatnya? Si tolol Hama sudah mengkhianati kita!" Ada kilatan seperti petir membelah atap. Lalu semuanya sepi. Wormtongue jatuh tengkurap. "Sekarang, Theoden putra Thengel, maukah kau mendengarkan aku?" kata Gandalf. "Apakah kau meminta bantuan?" ia mengangkat tongkatnya dan menunjuk ke sebuah jendela tinggi. Di sana kegelapan seolah memudar, dan melalui lubang itu tampak sebercak langit cerah, jauh dan tinggi. "Tidak semuanya gelap. Teguhkan hatimu, Penguasa Mark; bantuan yang lebih baik tak akan kautemukan. Aku tak punya saran untuk mereka yang putus asa. Tapi aku bisa memberikan nasihat dan kata-kata. Maukah kau mendengarkannya? Ini bukan untuk semua telinga. Kumohon kau keluar dari pintumu dan melihat sekelilingmu. Sudah terlalu lama kau duduk dalam kegelapan, percaya pada dongeng-dongeng berbelit dan bisikan-bisikan tak jujur." Perlahan-lahan Theoden meninggalkan kursinya. Cahaya redup kembali bersinar di balairung. Wanita tadi bergegas ke sisi Raja, meraih tangannya, dan dengan terhuyung-huyung pria tua itu turun dari panggung, melangkah lembut melintasi ruangan. Wormtongue tetap berbaring di lantai. Mereka sampai ke pintu, dan Gandalf mengetuknya.
Buka" teriaknya. "Penguasa Mark akan keluar!" Pintu-pintu membuka, dan udara tajam masuk bersiul. Angin sedang bertiup di atas bukit.
"Suruh para penjagamu ke kaki tangga," kata Gandalf. "Dan kau Lady, tinggalkan dia bersamaku sebentar! Aku akan mengurusnya."
"Pergilah, Eowyn, putri saudaraku!„ kata raja tua itu. "Saat untuk takut sudah lewat."
Wanita itu membalikkan badan dan perlahan-lahan masuk ke rumah. Ketika melewati pintu, ia menoleh ke belakang. Muram dan merenung tatapannya ketika ia memandang Raja dengan rasa iba yang dingin di matanya. Wajahnya cantik, rambut panjangnya tergerai seperti sungai emas. Ramping dan jangkung sosoknya dalam pakaian putih berhiaskan perak; tapi ia kelihatan kuat dan keras bagai baja, putri para raja.
Demikianlah, untuk pertama kalinya, di bawah cahaya siang, Aragorn melihat Eowyn, Lady dari Rohan; dalam pandangannya, gadis itu cantik, cantik dan dingin, seperti pagi hari musim semi yang pucat, yang belum matang sebagai wanita. Dan gadis itu pun mendadak menyadari kehadiran Aragorn: putra mahkota para raja, bijak karena usia, berjubah kelabu, menyembunyikan kekuatan yang bagaimanapun bisa dirasakannya. Untuk beberapa saat ia berdiri diam seperti batu, lalu sambil berputar cepat ia pergi.
"Nah, Raja," kata Gandalf, "pandanglah negerimu! Hiruplah udara bebas lagi!" Dari beranda di puncak teras tinggi, mereka bisa memandang ke seberang sungai dan melihat padang-padang hijau Rohan memudar di kejauhan yang kelabu. Tirai-tirai hujan yang ditiup angin jatuh miring. Langit di atas dan di barat masih gelap oleh guruh, halilintar berkeredap jauh di sana, di antara puncak bukit-bukit yang tersembunyi. Namun angin sudah beralih ke utara, dan badai yang datang dari Timur sudah mundur, mengalir ke lautan di sebelah selatan. Mendadak, melalui celah di antara awan-awan di belakang, seberkas sinar matahari menghunjam ke bawah. Hujan turun berkilauan bagai perak, dan jauh di sana, sungai gemerlap seperti kaca yang kemilau.
"Tidak begitu gelap di sini," kata Theoden.
"Tidak," kata Gandalf "Juga usia tidak begitu menekan pundakmu, seperti yang ingin dikesankan beberapa orang padamu. Buanglah tongkatmu!" Tongkat di tangan Raja jatuh gemerincing ke atas batu. Theoden mengangkat dirinya perlahan, seperti orang yang kaku karena lama membungkuk untuk melakukan kerja keras. Kini ia berdiri tinggi dan tegak, matanya biru ketika menatap bentangan langit terbuka.
"Gelap nian mimpi-mimpiku belakangan ini," katanya, "tapi sekarang aku merasa seperti baru terbangun kembali. Andai kau datang lebih awal, Gandalf. Sebab aku khawatir kedatanganmu sudah terlambat; kau datang hanya untuk melihat hari-hari terakhir istanaku. Dinding tinggi yang didirikan Brego putra Eorl takkan tegak lebih lama lagi. Api akan melahap takhta ini. Apa yang harus dilakukan?"
"Banyak," kata Gandalf. "Tapi pertama-tama panggillah Eomer. Tidakkah dugaanku tepat, bahwa kau menawannya atas saran Grima, dia yang dinamai Wormtongue oleh semua orang, kecuali kau sendiri?"
"Memang benar," kata Theoden. "Dia berontak melawan perintahku, mengancam akan membunuh Grima di istanaku."
"Orang bisa saja menyayangimu, tapi tidak menyayangi Wormtongue atau nasihat-nasihatnya," kata Gandalf.
"Mungkin sekali. Aku akan melakukan apa yang kauminta. Panggil Hama ke sini. Karena dia terbukti tak bisa dipercaya sebagai penjaga pintu, biarlah dia menjadi pesuruh. Yang bersalah akan membawa yang bersalah ke pengadilan," kata Theoden; suaranya muram, namun ia menatap Gandalf dan tersenyum; ketika ia tersenyum, banyak kerutan di wajahnya menghilang dan tidak kembali lagi.
Ketika Hama sudah dipanggil dan pergi, Gandalf menuntun Theoden ke kursi batu, lalu ia sendiri duduk di depan Raja, di tangga paling atas.
Aragorn dan kawan-kawannya berdiri di dekatnya.
"Tak ada waktu untuk menceritakan semua yang harus kaudengar," kata Gandalf. "Tapi kalau harapanku tidak dikecewakan, tak lama lagi akan datang saatnya aku bisa berbicara lebih lengkap. Lihat! Kau berada dalam bahaya yang jauh lebih besar daripada yang bisa dijalinkan akal Wormtongue ke dalam mimpi-mimpimu. Tapi lihatlah! Kau tidak bermimpi lagi. Kau hidup. Gondor dan Rohan tidak berdiri sendiri.
Musuh memang kuat, melampaui perhitungan kita, namun kita punya harapan yang tak diduganya." Gandalf sekarang berbicara cepat. Suaranya rendah dan rahasia dan hanya Raja yang bisa mendengar perkataannya. Namun semakin banyak ia berbicara, cahaya di mata Theoden semakin terang; akhirnya ia bangkit berdiri, hingga tegak sekali, dan dengan Gandalf di sisinya, berdua mereka memandang dari ketinggian itu ke arah Timur.
"Sungguh," kata Gandalf, sekarang dengan suara nyaring, tajam, dan jelas, "di sanalah sekarang letak harapan kita, tempat ketakutan terbesar kita berada. Maut masih menggantung pada benang. Tapi masih tetap ada harapan, kalau kita bisa bertahan tak dikalahkan untuk sedikit waktu saja." Yang lain juga memandang ke arah timur. Melalui bermil-mil daratan yang memisahkan, mereka memandang jauh ke sana, sampai ke batas penglihatan; harapan dan ketakutan membawa pikiran mereka melayang melewati pegunungan gelap, sampai ke Negeri Bayang-Bayang. Di manakah sekarang Penyandang Cincin berada? Betapa tipisnya benang penggantung maut! Legolas menyangka melihat sekilas warna putih, ketika ia memandang jauh dengan matanya yang tajam: mungkin jauh di sana matahari menyinari puncak Menara Penjagaan. Dan lebih jauh lagi, jauh tak terhingga namun tetap merupakan ancaman, ada sebuah lidah api yang tampak sangat kecil.
Perlahan Theoden duduk kembali, seolah keletihan masih berjuang untuk menguasainya, melawan kehendak Gandalf. Ia berputar dan memandang istananya yang besar. "Sayang!" katanya, "bahwa saat yang buruk ini datang pada masaku, ketika usiaku sudah tua, dan bukan kedamaian yang sudah pantas kuterima. Sayang sekali Boromir yang berani! Yang muda tewas, sedangkan yang tua masih hidup berlamalama, menjadi layu." ia memegang lututnya dengan tangannya yang keriput.
"Jari-jarimu akan lebih ingat kekuatannya yang dulu, kalau kau memegang pangkal pedang," kata Gandalf.
Theoden bangkit dan menaruh tangannya di sisinya; tapi tak ada pedang menggantung dari ikat pinggangnya. "Di mana Grima menyimpannya?" ia bergumam pelan.
"Ambillah ini, Tuanku!" kata sebuah suara jernih. "Dia selalu siap melayanimu." Dua orang sudah naik perlahan ke tangga, dan sekarang berdiri beberapa langkah dari puncaknya. Eomer berdiri di sana. Tak ada topi baja di kepalanya, tak ada rompi logam di dadanya, namun di tangannya ia memegang pedang terhunus; sambil berlutut ia menyerahkan gagang pedang itu kepada rajanya.
"Bagaimana ini terjadi?" kata Theoden keras. Ia berbicara pada Eomer, dan sekarang semua memandangnya heran, karena ia berdiri gagah dan tegak. Di mana gerangan sosok orang tua yang mereka tinggalkan meringkuk di kursinya, atau bersandar pada tongkatnya?
"Ini ulahku, Paduka," kata Hama, gemetar. "Aku tahu Eomer akan dibebaskan. Aku begitu gembira, hingga mungkin tindakanku keliru.
Berhubung dia sudah bebas lagi, dan dia adalah Marsekal Mark, aku membawakan pedangnya, sesuai permintaannya."
"Untuk diletakkan di kakimu, Tuanku," kata Eomer.
Untuk beberapa saat Theoden berdiri diam, memandang Eomer yang masih berlutut di depannya. Keduanya tak bergerak.
"Kau tidak mau mengambil pedang itu?" kata Gandalf.
Perlahan-lahan Theoden mengulurkan tangan. Ketika jemarinya menyentuh pangkal pedang itu, kekokohan dan kekuatan seakan mengalir kembali ke tangannya yang kurus. Mendadak ia mengangkat pedang itu dan mengayunkannya berkilauan mendesing di udara. Lalu ia berteriak keras. Suaranya nyaring ketika ia menyanyikan lagu panggilan maju perang dalam bahasa Rohan.
Bangkitlah sekarang, bangkit, wahai Pasukan Berkuda Theoden! Tugas besar menunggu, gelap sudah di ufuk timur.
Pasang pelana kudamu, bunyikan sangkakala! Majulah kaum Eorlingas!
Para penjaga, yang mengira mereka dipanggil, melompat naik tangga. Mereka memandang raja mereka dengan keheranan, lalu sebagai satu pasukan mereka menghunus pedang dan meletakkannya di kaki Theoden. "Perintahkan kami!" kata mereka.
"Westu Theoden hal!" teriak Eomer. "Bahagia sekali melihatmu kembali menjadi dirimu sendiri. Gandalf, takkan pernah lagi dikatakan bahwa kau hanya datang membawa duka!"
"Ambillah kembali pedangmu, Eomer, putra saudaraku!" kata Raja. "Pergilah, Hama, dan carilah pedangku! Grima menyimpannya. Bawa dia juga ke hadapanku. Nah, Gandalf, katamu ada nasihat yang bisa kauberikan, kalau aku mau menerimanya. Apa nasihatmu?"
"Kau sudah menerimanya," jawab Gandalf. "Lebih mempercayai Eomer, daripada seorang pria yang pikirannya tidak jujur. Melepaskan penyesalan dan ketakutan. Melakukan tugas yang ada di depanmu. Setiap laki-laki yang bisa naik kuda harus dikirim ke barat segera, seperti disarankan oleh Eomer: pertama-tama kita harus menghancurkan ancaman Saruman, sementara masih ada waktu. Kalau kita gagal, kita akan jatuh. Kalau kita berhasil kita menghadapi tugas berikutnya. Sementara itu, rakyatmu yang ditinggal kaum wanita, anak-anak, dan orang tua harus pergi ke tempat pengungsian yang kaumiliki di pegunungan. Bukankah tempat-tempat itu memang disiapkan untuk saat darurat seperti ini? Biarkan mereka membawa persediaan makanan, tapi jangan menunda-nunda, dan jangan bebani mereka dengan harta, besar maupun kecil. Nyawa mereka yang dipertaruhkan."
"Saran ini kedengaran bagus bagiku," kata Theoden. "Biarlah seluruh rakyatku bersiap-siap! Tapi kalian, tamu-tamuku memang benar katamu, Gandalf, bahwa keramahan istanaku sudah berkurang. Kalian sudah berkuda sepanjang malam, dan pagi sudah semakin siang.
Kalian belum sempat tidur maupun makan. Rumah peristirahatan tamu akan disiapkan: di sana kalian akan tidur, setelah makan."
"Tidak, Tuanku," kata Aragorn. "Tak ada kesempatan beristirahat untuk yang sudah letih. Pasukan Rohan harus berangkat hari ini, dan kami akan menyertai mereka, kapak, pedang, dan busur. Kami membawa senjata bukan untuk disandarkan ke dindingmu, Penguasa Mark.
Dan aku sudah berjanji pada Eomer bahwa pedangku dan pedangnya akan dihunus bersama-sama."
"Sekarang benar-benar ada harapan untuk menang!" kata Eomer.
"Harapan, ya," kata Gandalf. "Tapi Isengard sangat kuat. Dan bahaya-bahaya lain semakin dekat. Jangan menunda, Theoden, kalau kami sudah pergi. Pimpinlah rakyatmu secepatnya ke Benteng Dunharrow di bukit-bukit!"
"Tidak, Gandalf!" kata Raja. "Kau tidak tahu kehebatanmu dalam menyembuhkanku. Aku tidak akan pergi ke Benteng. Aku akan pergi berperang, jauh di garis depan pertempuran, kalau perlu. Dengan demikian, aku akan tidur lebih nyenyak."
"Kalau begitu, bahkan kekalahan Rohan akan dinyanyikan dengan mulia dalam lagu," kata Aragorn. Para pengawal bersenjata yang berdiri di dekatnya saling menyentuhkan senjata, sambil berteriak, "Penguasa Mark akan maju! Majulah kaum Eorlingas!"
"Tapi rakyatmu jangan sampai tidak bersenjata dan tidak berpemimpin," kata Gandalf. "Siapa yang akan memimpin dan memerintah mereka sebagai gantimu?"
"Akan kupikirkan itu sebelum aku berangkat," jawab Theoden. "Ini dia penasihatku."
Saat itu Hama keluar lagi dari balairung. Di belakangnya, diapit dua laki-laki lain, datanglah Grima si Wormtongue. Wajahnya sangat pucat.
Matanya berkedip-kedip kena cahaya matahari. Hama berlutut dan menyerahkan pada Theoden sebilah pedang panjang dalam sarung berhias emas dan bertatahkan permata hijau.
"Tuanku, inilah Herugrim, pedang pusakamu," kata Hama. "Pedang ini ditemukan di dalam peti Grima. Dia enggan memberikan kuncinya.
Banyak benda lain di dalam petinya, benda-benda yang dicari-cari para pemiliknya."
"Kau bohong," kata Wormtongue. "Pedang ini diserahkannya sendiri padaku, untuk disimpan."
"Dan sekarang aku memerlukannya lagi," kata Theoden. "Apakah itu membuatmu tak senang?"
"Tentu saja tidak, Tuanku," kata Wormtongue. "Aku merawatmu dan barang-barang milikmu sebaik mungkin. Tapi jangan membuat dirimu lelah, atau kekuatanmu terkuras. Biarkan yang lain menangani tamu-tamu menyebalkan itu. Makananmu sedang dihidangkan. Apakah kau tidak hendak makan dulu?"
"Aku akan makan dulu," kata Theoden. "Dan biarlah makanan untuk para tamu dihidangkan di meja di sampingku. Pasukan akan berangkat hari ini. Kirimkan bentara-bentara! Suruh mereka memanggil semua yang tinggal dekat! Setiap pria dan pemuda yang kuat memanggul senjata, dan semua yang memiliki kuda, agar siap di pelana mereka sebelum jam dua siang!"
"Astaga!" seru Wormtongue. "Sudah seperti yang kucemaskan. Penyihir ini sudah menyihirmu. Apakah tidak ada yang ditinggal untuk membela Balairung Emas nenek moyangmu, dan semua hartamu? Tidak ada yang menjaga Penguasa Mark?"
"Kalau ini sihir," kata Theoden, "bagiku rasanya lebih sehat daripada bisikan-bisikanmu. Sihirmu tak lama lagi akan membuatku berjalan memakai kaki dan tangan, seperti hewan. Tidak, takkan ada yang ditinggal, bahkan Grima pun tidak. Grima juga akan maju. Pergilah! Kau masih punya waktu untuk membersihkan karat dari pedangmu."
"Kasihanilah aku, Tuanku!" ratap Wormtongue, menggeliat di tanah. "Kasihanilah dia yang sudah lama mengabdi kepadamu. Jangan pisahkan aku darimu! Setidaknya aku akan mendampingimu saat yang lain sudah pergi. Jangan suruh pergi Grima-mu yang setia!"
"Kau kuberi belas kasihanku," kata Theoden. "Dan aku tidak memisahkanmu dariku. Aku sendiri akan maju perang bersama anak buahku.
Aku menyuruhmu ikut denganku, untuk membuktikan kesetiaanmu." Wormtongue memandang wajah demi wajah. Matanya memancarkan sorot ketakutan hewan yang berusaha mencari celah dalam lingkaran musuhnya. Ia menjilat bibir dengan lidah pucatnya yang panjang. "Keputusan semacam itu sudah bisa diduga akan diambil oleh seorang penguasa Istana Eorl, meski dia sudah tua," katanya. "Tapi mereka yang benar-benar mencintainya tidak akan membiarkannya pergi, mengingat usianya sudah terlalu tua. Tapi rupanya aku terlambat. Orang lain, yang mungkin tidak terlalu bersedih hati bila dia mati, sudah membujuknya. Kalau aku tak bisa menghapus ulah mereka, setidaknya dengarkan aku untuk yang satu ini, Tuanku! Seseorang yang tahu pikiranmu dan menghormati perintahmu harus ditinggal di Edoras. Tunjuklah seorang pelayan setia. Biarkan penasihatmu, Grima, mengurus semua hal sampai kau kembali dan aku berdoa itu akan terjadi, meski orang-orang bijak menganggap tak ada harapan." Eomer tertawa. "Dan kalau permohonan itu tidak menghindarimu dari ikut perang, Wormtongue yang sangat mulia," katanya, "tugas apa yang mau kauterima? Mengangkut karung tepung ke pegunungan kalau ada yang mempercayaimu melakukan itu?"
"Tidak, Eomer, kau belum sepenuhnya memahami pikiran Master Wormtongue," kata Gandalf, memusatkan tatapannya yang tajam ke arah Eomer. "Dia berani dan cerdik. Sekarang pun dia bermain-main dengan bahaya, dan dia berhasil mencuri angka. Sudah berjam-jam waktuku yang berharga dia buang. Tiarap, ular!" Gandalf berkata mendadak dengan suara mengerikan. "Tiarap pada perutmu! Sudah berapa lama sejak Saruman membelimu? Apa imbalan yang dijanjikannya? Kalau semua laki-laki sudah mati, kau akan mendapatkan bagianmu dari harta ini, dan boleh mengambil wanita yang kauinginkan? Sudah terlalu lama kau memperhatikannya dari bawah kelopak matamu dan menghantui setiap langkahnya." Eomer memegang pedangnya. "Itu aku sudah tahu," gerutunya. "Karena itulah aku berniat membunuhnya sebelum ini, lupa akan hukum yang berlaku di istana ini. Tapi ada alasan-alasan lain." ia melangkah maju, tapi Gandalf menghentikannya dengan tangannya.
"Eowyn sudah aman sekarang," kata Gandalf. "Tapi kau, Wormtongue. Kau sudah melakukan apa yang bisa kaulakukan untuk majikanmu yang sesungguhnya. Sedikit imbalan setidaknya sudah kauperoleh. Tapi Saruman suka lupa akan janjinya. Kusarankan kau pergi segera dan mengingatkannya, agar dia tidak lupa pelayananmu yang setia."
"Kau bohong," kata Wormtongue.
"Kata itu terlalu sering dan terlalu mudah keluar dari bibirmu," kata Gandalf. "Aku tidak berbohong. Lihat, Theoden, dia adalah ular! Kau tak bisa dengan aman membawanya serta, juga tak bisa meninggalkannya di sini. Patut sekali dia dibunuh. Tapi dia tidak selalu seperti sekarang ini. Dulu dia manusia, dan melayanimu dengan caranya sendiri. Berikan dia kuda dan biarkan dia pergi segera, ke mana pun yang dipilihnya. Dari pilihannya, kau bisa menilainya."
"Kaudengar itu, Wormtongue?" kata Theoden. "Inilah pilihanmu: maju perang bersamaku, dan akan kita lihat apakah kau jujur dalam pertempuran; atau pergi sekarang, ke mana pun kauinginkan. Tapi bila begitu, kalau suatu saat kita bertemu lagi, aku tidak akan berbelas kasihan padamu." Perlahan Wormtongue bangkit berdiri. Ia memandang mereka dengan mata setengah terpejam. Terakhir ia memandang wajah Theoden dan
membuka mulutnya, seolah akan berbicara. Tiba-tiba ia menegakkan tubuh. Tangannya meremas-remas. Matanya berkilat-kilat. Begitu besar kedengkian di dalamnya, sampai semua mundur menjauh darinya. Ia menunjukkan giginya, lalu dengan napas mendesis ia meludah di depan kaki Raja, dan sambil melompat ke samping, ia berlari menuruni tangga.
"Kejar dia!" kata Theoden. "Jangan sampai dia melukai siapa pun, tapi jangan lukai atau rintangi dia. Berikan dia kuda, kalau dia menginginkannya."
"Dan kalau ada yang mau ditungganginya," kata Eomer.
Salah seorang penjaga berlari menuruni tangga. Satu lagi pergi ke sumur di kaki teras, mengambil air yang ditampung dalam topi bajanya.
Dengan air itu ia menyiram bersih batu-batu yang dikotori Wormtongue.
"Sekarang, tamu-tamuku, mari!" kata Theoden. "Mari nikmatilah hidangan, sesempatnya waktu." Mereka masuk kembali ke istananya yang besar. Di kota di bawah, mereka sudah mendengar bentara-bentara berteriak dan terompet perang membahana. Sebab Raja akan maju segera, setelah semua laki-laki di kota, dan mereka yang tinggal di dekat situ, sudah dipersenjatai dan berkumpul.
Di meja Raja duduk Eomer dan keempat tamu, juga ada Lady Eowyn yang melayani Raja. Mereka makan dan minum dengan cepat. Yang lain diam ketika Theoden menanyai Gandalf tentang Saruman.
"Seberapa jauh pengkhianatannya sudah berjalan, siapa tahu?" kata Gandalf. "Tidak selamanya dia jahat. Dulu aku tidak ragu, dia adalah sahabat Rohan; bahkan ketika hatinya semakin dingin, dia masih menganggapmu bermanfaat. Tapi sekarang sudah lama dia merencanakan kejatuhanmu, mengenakan topeng persahabatan, sampai dia siap. Di tahun-tahun itu tugas Wormtongue mudah saja, dan semua yang kaulakukan segera diketahui di Isengard; karena negerimu terbuka, dan orang-orang asing datang dan pergi. Wormtongue selalu saja membisiki telingamu, meracuni pikiranmu, membekukan hatimu, melemaskan tubuhmu, sementara yang lain memperhatikan dan tak bisa berbuat apa-apa, karena kehendakmu ada dalam kekuasaannya."
"Tapi ketika aku lolos dan memperingatkanmu, topengnya pun terbuka, bagi mereka yang bisa melihat. Setelah itu Wormtongue bermain menyerempet bahaya, selalu berusaha menghalangimu, menghindari kekuatanmu terkumpul penuh. Dia lihai: memperlemah kewaspadaan orang, atau mempengaruhi ketakutan mereka, sesuai keadaan. Tidakkah kau ingat betapa dia begitu bersemangat mendesak agar tak ada yang disisakan untuk melakukan pengejaran liar ke utara, sementara bahaya yang dekat justru ada di barat? Dia membujukmu untuk melarang Eomer mengejar Orc-Orc yang merampok. Kalau Eomer tidak menentang suara Wormtongue yang berbicara melalui mulutmu, pasukan Orc itu sekarang sudah mencapai Isengard, membawa hadiah berharga. Memang bukan hadiah yang diinginkan Saruman di atas semuanya, tapi setidaknya dua anggota Rombongan-ku, yang terlibat harapan rahasia, yang belum bisa kubicarakan secara terbuka bahkan kepadamu, Raja.
Beranikah kau membayangkan kemungkinan penderitaan mereka sekarang, atau apa yang mungkin sudah diketahui Saruman, yang bisa dia manfaatkan untuk menghancurkan kita?"
"Aku berutang banyak pada Eomer," kata Theoden. "Hati yang setia mungkin bermulut lancang."
"Katakan juga," kata Gandalf, "bahwa bagi mata yang tidak lurus, kebenaran mengenakan wajah masam."
"Memang mataku hampir buta," kata Theoden. "Aku berutang paling banyak padamu, tamuku. Sekali lagi kau datang tepat pada waktunya.
Aku ingin memberimu hadiah, sebelum kita pergi, yang boleh kaupilih sendiri. Sebut saja apa pun yang menjadi milikku. Aku hanya menyimpan pedangku sekarang!"
"Apakah aku datang tepat waktu atau tidak, masih harus dibuktikan" kata Gandalf "Tapi tentang hadiah darimu, Raja, aku akan memilih satu yang sesuai dengan kebutuhanku: cepat dan pasti. Berikan Shadowfax padaku! Dulu dia hanya dipinjamkan, kalau kita bisa menyebutnya pinjaman. Tapi kini aku akan membawanya ke dalam keadaan penuh bahaya, memegang perak melawan hitam: aku tak ingin mengambil risiko dengan sesuatu yang bukan milikku. Dan di antara kami sudah ada ikatan kasih sayang."
"Pilihanmu bagus," kata Theoden, "dan sekarang aku memberikannya dengan senang hati. Meski begitu, ini hadiah yang besar sekali. Tak ada yang menyamai Shadowfax. Dalam dirinya, salah satu di antara kuda jantan terhebat sudah kembali. Takkan ada lagi yang seperti dia.
Dan pada kalian, tamu-tamuku yang lain, aku menawarkan benda-benda lain yang bisa ditemukan dalam gudang senjataku. Pedang tidak kalian butuhkan, tapi ada topi baja dan rompi logam yang dibuat dengan keterampilan tinggi, pemberian pada nenek moyangku dari Gondor.
Pilihlah di antaranya sebelum kita pergi, dan mudah-mudahan bermanfaat bagi kalian!"
Sekarang berdatangan laki-laki membawa pakaian perang dari timbunan senjata Raja, dan mereka mengenakan pakaian logam mengilap kepada Aragorn dan Legolas. Topi baja mereka pilih juga, berikut perisai bundar: hiasannya yang menonjol dilapisi emas dan bertatahkan permata, hijau, merah, dan putih. Gandalf tidak mengambil senjata, dan Gimli tidak memerlukan rompi rantai, meski seandainya ada yang cocok dengan ukurannya, karena tak ada rompi di gudang Edoras yang buatannya lebih baik daripada rompi pendeknya yang ditempa di bawah Pegunungan Utara. Tapi ia memilih topi baja dan kulit yang pas di kepalanya; sebuah perisai kecil ia ambil juga. Pada perisai itu ada lambang kuda berlari, putih di atas hijau, lambang Istana Eorl.
"Semoga perisai itu menjagamu dengan baik!" kata Theoden. "Itu dulu dibuat untukku di masa Thengel, ketika aku masih kanak-kanak." Gimli membungkuk. "Aku bangga memakai perlengkapanmu, Penguasa Mark," katanya. "Memang aku lebih baik membawa kuda daripada dibawa seekor kuda. Aku lebih suka kakiku sendiri. Tapi mungkin nanti ada kesempatan bagiku untuk bisa berdiri dan bertarung"
"Sangat mungkin terjadi," kata Theoden.
Sekarang Raja bangkit berdiri, dan Eowyn langsung maju ke depan, membawa anggur. "Ferthu Theoden hal!" katanya. "Terimalah cangkir ini, dan minumlah dalam saat bahagia ini. Semoga kesehatan menyertai kepergian dan kedatanganmu!" Theoden minum dari cangkir itu, lalu Eowyn menyajikannya kepada para tamu. Ketika berdiri di depan Aragorn, ia berhenti mendadak dan menatap, matanya bersinar-sinar. Aragorn memandang wajahnya yang cantik dan tersenyum; tapi ketika ia mengambil cangkir, tangannya menyentuh tangan Eowyn, dan ia tahu Eowyn gemetar kena sentuhannya. "Hidup, Aragorn putra Arathorn!" katanya. "Hidup, Lady dari Rohan!" jawab Aragorn, tapi wajahnya sekarang gelisah, dan ia tidak tersenyum.
Ketika mereka Semua sudah minum, Raja beranjak ke pintu. Di sana para penjaga menunggunya, bentara-bentara berdiri, semua bangsawan dan pemimpin berkumpul bersama, semua yang tinggal di Edoras atau di dekatnya.
"Lihat! Aku akan pergi, dan tampaknya ini akan menjadi kepergianku yang terakhir," kata Theoden. "Aku tak punya anak. Theodred putraku sudah tewas. Aku mengangkat Eomer, putra saudaraku, menjadi putra mahkota. Kalau tak ada di antara kami yang kembali, pilihlah penguasa baru sesuai kehendak kalian. Tapi rakyatku yang kutinggalkan harus kupercayakan pada seseorang, untuk memerintah mereka sebagai penggantiku. Siapa di antara kalian akan tetap tinggal?" Tak ada yang bicara.
"Tak ada yang mau kalian sebutkan? Siapa yang dipercaya rakyatku?"
"Keturunan Eorl," jawab Hama.
"Tapi aku tak bisa menyisihkan Eomer, dan dia pun takkan mau tinggal di sini," kata Raja, "dan dialah yang terakhir dari keturunan itu."
"Maksudku bukan Eomer," jawab Hama. "Dan dia bukan yang terakhir. Ada Eowyn, putri Eomund, saudara perempuan Eomer. Dia tak kenal takut, dan dia bersemangat tinggi. Semua mencintainya. Biarlah dia menjadi penguasa bagi rakyat Eorlingas, sementara kita pergi."
"Baiklah kalau begitu," kata Theoden. "Biarlah para bentara mengumumkan kepada rakyat bahwa Lady Eowyn akan memimpin mereka!" Lalu Raja duduk di kursi di depan pintunya, Eowyn berlutut di depannya, menerima sebuah pedang dan rompi yang elok. "Selamat tinggal, putri saudaraku!" kata Raja. "Masa ini gelap, tapi mungkin kami akan kembali ke Balairung Emas. Namun di Dunharrow rakyat akan membela diri sendiri untuk waktu lama, dan kalau pertempuran gagal, kami semua yang bisa lolos akan datang ke sana."
"Jangan berbicara begitu!" jawab Eowyn. "Setiap hari yang berlalu akan terasa setahun bagiku, sampai kedatanganmu kembali." Tapi ketika ia berbicara, matanya melirik Aragorn yang berdiri di dekat situ.
"Raja akan datang lagi," kata Aragorn. "Jangan cemas! Bukan di Barat, melainkan di Timur maut menunggu kami."
Raja sekarang menuruni tangga, dengan Gandalf di sisinya. Yang lain mengikuti. Aragorn menoleh kembali ketika mereka berjalan menuju gerbang. Sendirian Eowyn berdiri di depan pintu istana di puncak tangga; pedangnya berdiri tegak di depannya, tangannya diletakkan di pangkalnya. Sekarang ia mengenakan pakaian logam yang bersinar bagai perak di bawah cahaya matahari.
Gimli berjalan bersama Legolas, kapaknya di atas pundak. "Well, akhirnya kita berangkat!" katanya. "Manusia selalu banyak bicara sebelum berbuat. Kapakku sudah tak sabar di tanganku, meski aku tak ragu kaum Rohirrim ini cukup lihai bila diperlukan. Biarpun begitu, ini bukan peperangan yang cocok untukku. Bagaimana aku akan datang ke pertempuran? Kalau saja aku bisa berjalan kaki, dan tidak melonjak-lonjak seperti karung di atas pelana Gandalf."
"Duduk di situ lebih aman daripada di tempat lain," kata Legolas. "Tapi pasti Gandalf akan dengan senang hati menurunkanmu bila baku hantam sudah dimulai: atau Shadowfax sendiri. Kapak bukan senjata untuk penunggang kuda."
"Dan Kurcaci bukan penunggang kuda. Leher-leher Orc-lah yang akan kutebas, bukan kulit kepala Manusia," kata Gimli, menepuk-nepuk gagang kapaknya.
Di gerbang, mereka menemukan pasukan besar laki-laki, tua dan muda, semua siap di atas pelana. Lebih dari seribu orang berkumpul di sana. Tombak mereka seperti hutan yang muncul tiba-tiba. Dengan nyaring dan gembira mereka berteriak ketika Theoden maju. Beberapa menyiagakan kuda Raja, Snowmane, yang lain memegang kuda Aragorn dan Legolas. Gimli berdiri gelisah, mengerutkan dahi, tapi Eomer datang menghampirinya, menuntun kudanya.
"Hidup, Gimli putra Gloin!" serunya. "Aku belum sempat mempelajari bahasa halus di bawah ajaranmu, seperti kaujanjikan. Tapi bisakah kita mengesampingkan pertengkaran kita? Setidaknya aku tidak akan berbicara jelek lagi tentang Lady dari Hutan itu."
"Aku akan melupakan kemarahanku untuk sementara, Eomer putra Eomund," kata Gimli, "tapi kalau kau mendapat kesempatan melihat Lady Galadriel dengan matamu sendiri, maka kau harus mengakui dia yang tercantik di antara semua wanita, atau persahabatan kita akan berakhir."
"Baiklah!" kata Eomer. "Tapi untuk saat ini, maafkan aku, dan sebagai tanda penyesalanku, naiklah kuda bersamaku, kumohon. Gandalf
akan berkuda di depan, bersama Penguasa Mark; tapi Firefoot, kudaku, akan membawa kita berdua, kalau kau bersedia."
"Terima kasih banyak," kata Gimli, senang sekali. "Aku dengan senang hati pergi bersamamu, kalau Legolas, kawanku, boleh menunggang kuda di sisi kita."
"Jadilah demikian," kata Eomer. "Legolas di sebelah kiriku, Aragorn di kananku, dan tidak akan ada yang berani melawan kita!"
"Di mana Shadowfax?" kata Gandalf.
"Berlari-lari mengamuk di rumput," jawab mereka. "Tak mau dipegang siapa pun. Itu dia, jauh di sana dekat arungan sungai, seperti bayangan di antara pohon willow." Gandalf bersiul dan memanggil keras-keras nama kuda itu; jauh di sana, Shadowfax memutar kepalanya dan meringkik, dan sambil membalikkan badannya berlari cepat seperti anak panah, ke arah pasukan.
"Seandainya napas Angin Barat memiliki ujud nyata, maka seperti itulah ujudnya," kata Eomer, ketika kuda besar itu berlari mendekat, sampai ia berdiri di depan Gandalf.
"Dia sudah menjadi milikmu," kata Theoden. "Tapi dengarlah semuanya! Dengan ini kunyatakan tamuku Gandalf Greyhame, yang paling bijak di antara para penasihat, pengembara yang paling disambut gembira, sebagai penguasa Mark, pimpinan kaum Eorlingas selama keturunan kami masih bertahan; dan kuberikan padanya Shadowfax, pangeran di antara kuda-kuda."
"Kuucapkan terima kasih padamu, Raja Theoden," kata Gandalf. Kemudian tiba-tiba ia melepaskan jubah kelabunya dan topinya, dan melompat ke atas kudanya. Ia tidak mengenakan pakaian logam maupun topi baja. Rambutnya yang seputih salju melayang bebas ditiup angin, jubah putihnya bersinar menyilaukan dalam cahaya matahari.
"Lihatlah Penunggang Putih!" teriak Aragorn, dan semua mengulang kata-katanya.
"Raja kami dan Penunggang Putih!" teriak mereka. "Maju kaum Eorlingas!" Terompet-terompet berbunyi. Kuda-kuda mengangkat kaki-kaki depan dan meringkik. Tombak beradu dengan perisai. Lalu Raja mengangkat tangannya, dan dengan gerakan cepat seperti tiupan angin besar, mendadak pasukan terakhir Rohan melaju dengan gemuruh ke arah barat.
Jauh di atas padang, Eowyn melihat kilauan tombak-tombak mereka, ketika ia berdiri diam, sendirian di depan pintu istana yang sepi.

BERSAMBUNG KE BAB 7/11 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates