Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 3/10 GERBANG HITAM TERTUTUP

<<< SEBELUMNYA
Sebelum fajar hari berikutnya, perjalanan mereka ke Mordor sudah berakhir. Rawa-rawa dan gurun sudah tertinggal di belakang. Di depan mereka, pegunungan yang tinggi mengangkat kepala dengan garang, tampak gelap berlatar belakang langit pucat.
Di sisi barat Mordor menjulur jajaran muram Ephel Duath, Pegunungan Bayang-Bayang, dan di utara adalah puncak-puncak hancur dan puncak gersang Ered Lithui, kelabu seperti abu. Tapi ketika jajaran ini saling mendekati, karena mereka memang bagian dari satu tembok besar yang mengelilingi padang-padang murung Lithlad Ban Gorgoroth, dan lautan pedalaman dingin Nurnen di tengahnya, mereka menjulurkan lengan-lengan panjang ke arah utara; dan di antara dengan-lengan ini ada suatu jalan sempit yang dalam. Itulah Cirith Gorgor, Jalan Berhantu, jalan masuk ke negeri Musuh. Batu-batu karang tinggi menurun dari kedua sisi, dan dari mulutnya menjorok keluar dua bukit terjal, dengan rusuk rusuk hitam dan gundul. Di atasnya berdiri Gigi Mordor, dua menara kuat dan tinggi. Di masa lampau, kedua menara itu dibangun oleh Orang-orang Gondor dalam kebanggaan dan kekuatan mereka, setelah penaklukan Sauron dan pelariannya, agar ia tidak mencoba kembali ke lingkungannya yang lama. Tapi kekuatan Gondor gagal, manusia tertidur, dan selama bertahun-tahun kedua menara itu kosong. Lalu Sauron kembali. Kini menara-menara penjagaan, yang sudah runtuh dan rusak, diperbaiki dan diisi senjata, dan pasukan tentara siap siaga tanpa henti. Kedua menara itu tampak kakis seperti batu, dengan lubang-lubang jendela menghadap ke utara, timur, dan barat, setiap jendela penuh dengan mata yang tak pernah mengantuk.

Melintasi mulut jalan, dari bukit batu karang yang seberang menyeberang, sang Penguasa Kegelapan sudah membangun kubu batu, Di dalamnya ada satu gerbang besi, dan di atas temboknya pengawal-pengawal melangkah bolak-balik tanpa henti. Di bawah perbukitan di kedua sisinya, batu karang dilubangi menjadi ratusan gua dan lubang belatung: di sana pasukan Orc bersembunyi, siap menunggu tanda untuk keluar, seperti semut hitam pergi perang. Tak ada yang bisa melewati Gigi Mordor tanpa merasakan gigitan mereka, kecuali dipanggil oleh Sauron, atau tahu sandi rahasia untuk membuka Morannon, gerbang hitam negeri itu.
Kedua hobbit menatap menara-menara dan tembok itu dengan putus asa. Bahkan dari jarak jauh, dalam cahaya kabur mereka bisa melihat gerakan-gerakan para penjaga di atas tembok, dan patroli di depan gerbang. Mereka sekarang berbaring mengintai dari atas sebuah lembah berbatu, di bawah juluran bayangan dinding penopang Ephel Duath paling utara. Seekor burung gagak yang terbang dalam garis lurus menembus udara berat, mungkin hanya bisa terbang sekitar dua ratus meter dari tempat persembunyian mereka, sampai ke puncak hitam menara terdekat. Asap tipis mengepul di atasnya, seakan-akan api berkobar di bukit di bawahnya.
Pagi hari tiba, matahari yang telanjang bersinar di atas pundak-pundak Ered Lithui yang tidak bernyawa. Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring terompet: meraung dari menara-menara jaga, dan dari tempat-tempat pertahanan serta pos-pos terdepan yang tersembunyi di bukit-bukit terdengar panggilan balasan; lebih jauh lagi, jauh sekali namun besar dan mengancam, di daratan kosong di luar, bergema terompet-terompet dan genderang-genderang besar Barad-Bur. Hari baru yang penuh kengerian dan kerja keras sudah datang ke Mordor; para penjaga malam dipanggil ke ruang bawah tanah dan hall-hall, dan para pengawal pagi yang bermata kejam dan tajam sedang berbaris ke pos-pos mereka.
Baja berkilauan samar-samar di atas tembok.
"Nah, di sinilah kita!" kata Sam. "Inilah Gerbang-nya, dan kelihatannya hanya sejauh ini kita bisa berjalan. Gaffer pasti akan mengomel kalau melihatku sekarang! Dia sudah sering bilang aku akan berakhir menyedihkan, kalau aku tidak waspada. Rasanya aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Dia tidak akan bisa lagi mengatakan sudah kubilang, Sam. Semakin menyedihkan. Aku tidak keberatan diomeli terus-menerus olehnya, selama dia masih bernapas, asalkan aku bisa melihat wajahnya lagi. Tapi aku harus membasuh badan dulu. Kalau tidak dia tidak bakal mengenaliku."
"Kurasa sekarang tak ada gunanya menanyakan ke mana kita mesti jalan. Kita tak bisa maju terus kecuali kita minta tumpangan kepada para Orc."
"Tidak, tidak!" kata Gollum. "Tak ada gunanya. Kita tak bisa jalan lebih jauh. Smeagol sudah bilang begitu. Dia bilang: kita akan pergi ke Gerbang, lalu kita lihat. Dan kita memang melihat. Oh ya, sayangku, kita melihat. Smeagol tahu hobbit tak bisa lewat jalan ini. Oh ya, Smeagol sudah tahu."
"Kalau begitu, kenapa kau membawa kami ke sini, keparat?" tanya Sam, tidak merasa perlu bersikap adil atau bijak.
"Majikan bilang begitu. Majikan bilang: Bawa kami ke Gerbang. Jadi, Smeagol yang baik menuruti. Majikan bilang begitu, Majikan yang bijak."
"Memang," kata Frodo. Wajahnya muram dan tegang, tapi tegas. Ia kotor, kurus, dan keletihan, tapi ia sudah tidak gemetaran lagi, dan matanya jernih. "Aku memang bilang begitu, karena aku berniat masuk ke Mordor, dan aku tidak tahu jalan lain. Karena itu, aku akan lewat jalan ini. Aku tidak minta siapa pun ikut denganku."
"Jangan, jangan, Majikan!" erang Gollum, mencakar-cakarnya, dan ia tampak resah sekali. "Tidak ada gunanya lewat jalan itu! Tidak ada
gunanya! Jangan bawa Kesayangan-ku pada Dia! Dia akan melahap kita semua, melahap seluruh dunia. Simpanlah, Majikan yang baik, dan baik-baiklah pada Smeagol. Jangan biarkan Dia memilikinya. Atau pergilah, pergi ke tempat-tempat bagus, dan kembalikanlah Itu pada Smeagol kecil manis. Ya, ya, Majikan: kembalikan, ya? Smeagol akan menyimpannya dengan aman; dia akan melakukan banyak kebajikan, terutama pada hobbit-hobbit manis. Hobbit pulang. Jangan pergi ke Gerbang!"
"Aku sudah diperintahkan pergi ke negeri Mordor, karena itu aku akan pergi," kata Frodo. "Kalau memang hanya ada satu jalan, aku harus menapakinya. Apa yang akan terjadi sesudahnya, memang harus terjadi."
Sam tidak mengatakan apa-apa. Ekspresi wajah Frodo sudah cukup untuknya; ia tahu kata-katanya tidak akan bermanfaat. Lagi pula, ia memang tidak terlalu berharap sejak awal; tapi karena ia hobbit penggembira, ia tidak butuh harapan, selama keputusasaan masih bisa ditunda. Sekarang mereka sudah sampai di akhir yang pahit. Tapi ia sudah setia kepada majikannya sepanjang perjalanan; itu alasan utama ia ikut, dan ia masih akan setia pada Frodo. Majikannya tidak akan pergi sendirian ke Mordor. Sam akan pergi dengannya dan bagaimanapun mereka akan menyingkirkan Gollum.
Tapi Gollum belum mau disingkirkan, belum mau. Ia berlutut di kaki Frodo, meremas-remas tangannya, dan mendecit. "Jangan jalan ini, Majikan!" ia memohon, "Ada jalan lain. Oh ya, memang ada. Jalan lain, lebih gelap, lebih sulit ditemukan, lebih rahasia. Tapi Smeagol tahu jalan itu. Biar Smeagol menunjukkannya padamu!"
"Jalan lain!" kata Frodo ragu, menatap Gollum dengan pandangan menyelidik.
"Yaa! Yaa, memang! Dulu ada jalan lain. Smeagol menemukannya. Mari kita pergi dan melihat, apakah masih ada di sana!"
"Kau tidak menceritakan ini sebelumnya."
"Tidak. Majikan tidak bertanya. Majikan tidak bilang niatnya. Dia tidak bilang pada Smeagol malang. Dia cuma bilang. Smeagol, bawa aku ke Gerbang lalu selamat tinggal! Smeagol bisa lari dan bisa baik. Tapi sekarang dia bilang: Aku mau masuk ke Mordor lewat jalan ini. Jadi Smeagol ketakutan. Dia tak ingin kehilangan majikannya yang baik. Dan dia berjanji, Majikan sudah membuatnya berjanji, untuk menyelamatkan Kesayangan-nya. Tapi Majikan akan membawanya pada Dia, langsung ke Tangan Hitam, kalau Majikan akan lewat jalan ini. Maka Smeagol harus menyelamatkan mereka dua-duanya, dan dia memikirkan jalan lain yang dulu pernah ada. Majikan baik. Smeagol baik sekali, selalu membantu."
Wajah Sam berkerut. Kalau ia bisa melubangi Gollum dengan matanya, itu pasti akan dilakukannya. Pikirannya penuh kecurigaan. Gollum kelihatannya benar-benar cemas dan ingin membantu Frodo. Tapi Sam ingat perdebatan antara Gollum dan Smeagol, dan merasa sulit percaya bahwa Smeagol yang sudah lama ditekan sekarang bisa menang: setidaknya bukan Smeagol yang menang dalam perdebatan itu.
Dugaan Sam adalah: Smeagol dan Gollum (atau yang dalam hatinya ia sebut Slinker dan Stinker) sudah melakukan gencatan senjata dan untuk sementara bersekutu: keduanya tak ingin Musuh mendapatkan Cincin; keduanya berharap Frodo tidak tertangkap, dan tetap berada di bawah pengawasan mereka, selama mungkin setidaknya selama Stinker punya kesempatan untuk mengambil "Kesayangan"-nya. Sam tidak yakin ada jalan lain ke Mordor.
Syukurlah masing-masing bagian bajingan jahat itu tidak tahu apa rencana Majikan," pikirnya. "Kalau dia tahu Mr. Frodo berusaha menghabisi Kesayangan-nya untuk selamanya, pasti akan ada masalah,
"aku yakin bagaimanapun, Stinker takut sekali pada Musuh dan pernah berada di bawah perintahnya-sehingga dia mungkin memilih untuk mengkhianati kami daripada tertangkap basah sedang membantu kami; dan daripada membiarkan Kesayangan-nya dilebur, mungkin. Setidaknya, begitulah kecurigaanku. Dan kuharap Majikan akan memikirkan dengan cermat. Dia bijak sekali, tapi hatinya lembek. Sudah di luar kemampuan seorang Gamgee untuk menebak apa yang bakal dilakukannya selanjutnya." Frodo tidak langsung menjawab Gollum. Sementara keraguan ini melintasi benak Sam yang lamban namun tajam, Frodo justru berdiri menerawang ke arah batu karang gelap Cirith Gorgor. Cekungan tempat mereka berlindung digali di sisi bukit rendah, di suatu ketinggian di atas lembah berbentuk parit panjang yang terletak di antara bukit tersebut dan dinding penopang paling luar pegunungan. Di tengah lembah berdiri fondasi hitam menara jaga sebelah barat. Dalam cahaya pagi, jalan jalan yang menyatu menuju Gerbang Mordor sekarang bisa dilihat jelas, pucat dan berdebu; satu menjulur ke utara; satu menjulur ke timur, masuk ke dalam kabut yang menggantung di kaki Ered Lithui; dan yang ketiga menjulur ke arahnya. Ketika jalan itu membelok tajam di seputar menara, ia memasuki jalan sempit dan lewat tidak jauh di bawah cekungan tempat Frodo berdiri. Di sebelah kanannya, ke arah Barat, jalan itu membelok, menyusuri pundak pegunungan, dan pergi ke selatan, ke dalam bayang-bayang gelap yang menyelimuti semua sisi barat Ephel Duath; di luar batas pandangannya, ia berjalan terus sampai ke daratan sempit di antara pegunungan dan Sungai Besar.
Saat memandang, Frodo menyadari ada gerakan dan gelombang besar di padang. Seperti sepasukan besar bala tentara sedang berbaris, meski sebagian besar tersembunyi oleh asap dan uap busuk yang mengalir dari rawa-rawa dan tanah kosong di luamya. Tap, di sana-sini ia menangkap sekilas kilatan tombak dan topi baja; dan di atas tanjakan-tanjakan di sisi jalan terlihat pasukan berkuda melaju dalam
rombongan-rombongan besar. Ia ingat pemandangan dari jauh di atas Amon Hen, hanya beberapa hari yang lalu, meski sekarang terasa seperti sudah bertahun-tahun silam. Dan tahulah ia bahwa harapan yang sempat melambung di hatinya ternyata sia-sia. Terompet-terompet itu tidak berbunyi sebagai tantangan, melainkan sebagai sambutan. Ini bukan serangan menyerbu Penguasa Kegelapan oleh Orang-orang Gondor yang bangkit bagai hantu-hantu dari kuburan keberanian yang sudah lama mati. Ini Manusia-Manusia dari bangsa lain, dari Eastland yang luas, berkumpul atas panggilan Penguasa mereka; bala tentara yang berkemah di depan Gerbang-nya tadi malam, dan sekarang berbaris masuk untuk memperbesar kekuatannya yang semakin meningkat. Seolah mendadak menyadari bahayanya kedudukan mereka sendirian, dalam cahaya pagi yang semakin terang, begitu dekat dengan ancaman besar itu Frodo cepat-cepat menarik kerudungnya yang tipis kelabu agar erat menutupi kepalanya, dan melangkah turun ke lembah. Lalu ia berbicara pada Gollum.
"Smeagol," katanya, "aku akan mempercayaimu satu kali lagi. Tampaknya tak ada pilihan lain, dan sudah takdirku untuk menerima bantuan darimu hal yang sungguh tak kuduga dan takdirmu untuk membantuku yang sudah lama kaukejar dengan tujuan jahat. Sejauh ini kau sudah diperlakukan dengan pantas, dan sudah menepati janjimu dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh, kataku, dan aku serius dengan ucapanku," tambahnya sambil melirik Sam, "karena sudah dua kali kami berada dalam kekuasaanmu, dan kau tidak mencelakakan kami. Kau juga tidak mencoba mengambil apa yang pernah kaucari. Mudah-mudahan ketiga kalinya akan terbukti yang terbaik! Tapi aku memperingatkanmu, Smeagol, kau dalam bahaya."
"Ya, ya, Majikan!" kata Gollum. "Bahaya mengerikan! Tulang-tulang tulang Smeagol gemetar memikirkan itu, tapi dia tidak lari. Dia harus membantu majikan yang baik."
"Maksudku bukan bahaya bagi kita bersama," kata Frodo. "Maksudku bahaya hanya bagi dirimu sendiri. Kau bersumpah demi apa yang kausebut Kesayangan-mu. Ingat itu! Dia akan memegang sumpahmu; tapi dia akan mencari jalan untuk memutar balikkannya dan mencelakakanmu. Kau sudah diputar-balikkan. Baru saja kau menyingkap kan dirimu sendiri padaku dengan sangat bodoh. Kembalikan pada Smeagol, katamu. Jangan katakan itu lagi! Jangan biarkan pikiran itu tumbuh dalam dirimu! Kau tidak akan pernah memperolehnya kembali.
Tapi hasrat kepadanya mungkin akan mengkhianatimu sampai ke akhir yang pahit. Kalau sangat terpaksa, Smeagol, aku akan memakai Kesayangan-mu itu; dan Kesayangan-mu pernah menguasaimu. Kalau aku, sambil memakainya, memerintahkanmu, kau akan taat, meski untuk melompat dari tebing curam atau melemparkan dirimu sendiri ke dalam api. Dan itulah yang akan kuperintahkan. Jadi, hati hatilah, smeagol!" Sam memandang majikannya dengan sikap setuju, tapi juga tercengang: ekspresi wajah dan nada suara Frodo yang seperti itu belum pernah didengarnya. Ia selalu mengira bahwa kebaikan hati Mr. Frodo sedemikian tinggi, sampai-sampai Mr. Frodo seperti buta, tak bisa menilai orang. Tentu saja ia juga berpegang teguh pada keyakinannya bahwa Mr. Frodo adalah orang paling bijak di dunia (dengan pengecualian Mr.
Bilbo Tua dan Gandalf, mungkin). Gollum sendiri mungkin membuat kesalahan yang sama-tapi ini bisa lebih dimaklumi, mengingat ia belum lama mengenal Frodo mengacaukan kebaikan hati dengan kebutaan. Bagaimanapun, omongan itu membuat Gollum malu dan ketakutan. Ia menyembah-nyembah di tanah dan tak bisa mengucapkan kata-kata yang jelas, kecuali Majikan baik.
Frodo menunggu dengan sabar untuk beberapa saat, kemudian berbicara lagi, dengan nada lebih lunak. "Ayo, Gollum atau Smeagol, kalau kau mau, ceritakan padaku tentang jalan lain itu, dan tunjukkan kalau bisa, harapan apa yang ada bila lewat jalan itu, supaya aku tidak merasa bersalah beralih dari jalan yang langsung ini. Aku perlu cepat." Tapi keadaan Gollum menyedihkan, dan ancaman Frodo membuatnya agak bingung. Tidak mudah mendapat keterangan jelas darinya, di tengah gumaman dan decitannya, yang ditingkahi dengan sikapnya merangkak-rangkak di lantai sambil memohon agar mereka berbaik hati kepada "Smeagol kecil yang malang". Setelah beberapa lama, barulah ia lebih tenang, dan Frodo berhasil mendapatkan informasi sedikit demi sedikit bahwa kalau mengikuti jalan yang membelok ke barat Ephel Duath, setelah beberapa waktu mereka akan tiba di persimpangan di tengah lingkaran pepohonan. Di sebelah kanan ada jalan menuju Osgiliath dan jembatan jembatan Anduin; di tengah, jalan itu menjulur terus ke arah selatan.
"Terus, terus, terus," kata Gollum. "Kami belum pernah lewat jalan itu, tapi katanya dia membentang seratus league, sampai kau bisa melihat Samudra Besar yang tak pernah diam. Banyak ikan di sana, dan burung-burung besar yang makan ikan: burung-burung baik: tapi kami belum pernah ke sana, sayangnya belum! Kami tidak pernah mendapat kesempatan. Dan lebih jauh ke sana ada daratan lagi, katanya, tapi Wajah Kuning di sana panas sekali, dan jarang ada awan, manusianya garang dan berwajah gelap. Kami tidak ingin melihat negeri itu."
"Tidak!" kata Frodo. "Tapi jangan menyimpang dari jalanmu itu. Bagaimana dengan belokan ketiga?"
"Oh ya, oh ya, ada jalan ketiga," kata Gollum. "Itu jalan yang ke kiri. Langsung mendaki, naik, berbelok-belok dan mendaki kembali kebayangan tinggi. Saat dia mengitari batu karang hitam, kau akan melihatnya, mendadak ada di atasmu, dan kau ingin bersembunyi."
"Melihatnya, melihatnya? Apa yang akan kaulihat?"
"Benteng kuno, sangat tua, sangat mengerikan sekarang. Dulu kami mendengar dongeng-dongeng dari Selatan, ketika Smeagol masih muda, dahulu kala. Oh ya, kami biasa menceritakan banyak dongeng di sore hari, sambil duduk di tebing Sungai Besar, di negeri pohon willow, ketika Sungai juga masih lebih muda, gollum, gollum." ia mulai menangis dan menggerutu. Kedua hobbit menunggu dengan sabar.
"Dongeng-dongeng dari Selatan," lanjut Gollum, "tentang Manusia-Manusia tinggi dengan mata bersinar, rumah mereka yang seperti bukit
batu, mahkota perak Raja mereka, dan Pohon Putih: dongeng indah. Mereka membangun menara-menara tinggi sekali, salah satunya berwarna putih perak, di dalamnya ada batu seperti Bulan, dan di sekelilingnya ada dinding-dinding putih besar. Oh ya, banyak sekali dongeng tentang Menara Bulan."
"Itu pasti Minas Ithil, yang dibangun oleh Isildur, putra Elendil," kata Frodo. "Isildur yang memotong jari Musuh."
"Ya, Dia hanya punya empat jari di Tangan Hitam, tapi itu sudah cukup," kata Gollum sambil menggigil. "Dan Dia benci kota Isildur."
"Apa yang tidak dibencinya?" kata Frodo. "Tapi apa hubungannya Menara Bulan dengan kita?"
"Well, Majikan, menara itu sudah ada sejak dulu, sampai sekarang: menara tinggi, rumah-rumah putih, dan tembok; tapi sekarang tidak indah, tidak menyenangkan. Dia sudah menaklukkannya lama berselang. Sekarang sudah menjadi tempat mengerikan. Pengembarapengembara menggigil melihatnya, mereka merangkak mengelak, menghindari bayangannya. Tapi Majikan terpaksa lewat jalan itu. Itu satusatunya jalan lain. Karena pegunungan di sana lebih rendah, dan jalan yang lama naik dan naik terus, sampai tiba di suatu jalan pintas di puncak, lalu turun, turun lagi ke Gorgoroth." Suaranya berubah menjadi bisikan, dan ia gemetar.
"Tapi bagaimana itu bisa membantu kita?" tanya Sam. "Pasti Musuh tahu semua tentang pegunungannya sendiri, dan jalan itu pasti dijaga sama cermatnya dengan jalan yang ini. Menara itu tidak kosong, bukan?"
"Oh tidak, tidak kosong!" bisik Gollum. "Kelihatannya kosong, tapi tidak begitu, oh tidak! Makhluk-makhluk yang sangat mengerikan tinggal di sana. Orc, ya … selalu Orc; tapi makhluk-makhluk yang lebih buruk hidup di sana juga. Jalannya menanjak tepat di bawah bayangan tembok, dan melewati gerbang. Tak ada yang bergerak di jaIan yang tidak mereka ketahui. Makhluk-makhluk di dalamnya tahu: Penjaga-Penjaga Tersembunyi."
"Jadi, itu saranmu?" kata Sam. "Agar kita menempuh perjalanan panjang lain ke selatan, lalu terjebak dalam keadaan yang sama, atau malah lebih buruk, setelah sampai di sana, itu pun kalau kita bisa sampai?"
"Bukan, bukan begitu," kata Gollum. "Hobbit perlu tahu, harus mencoba mengerti. Dia tidak menduga ada serangan dari arah sana. Mata-nya ada di mana-mana, tapi ada tempat-tempat yang mendapat perhatian lebih besar daripada yang lain. Dia tidak bisa sekaligus melihat semuanya, belum. Kau tahu, Dia sudah mengalahkan semua negeri di sebelah barat Pegunungan Bayang-Bayang sampai ke Sungai, dan Dia menguasai jembatan jembatan sekarang. Dia pikir tidak ada yang bisa sampai ke Menara Bulan tanpa pertempuran besar di jembatan, atau tanpa banyak kapal yang kehadirannya tak mungkin disembunyikan darinya."
"Tampaknya kau tahu banyak tentang apa yang Dia lakukan dan pikirkan," kata Sam. "Apakah kau suka bercakap-cakap dengannya belakangan ini? Atau hanya bergaul rapat dengan para Orc?"
"Hobbit yang tidak ramah, tidak bijak," kata Gollum, melirik marah pada Sam dan berbicara pada Frodo. "Smeagol memang sudah berbicara dengan Orc, ya tentu saja, sebelum dia bertemu Majikan, dan dengan banyak orang: dia sudah berjalan jauh sekali. Dan apa yang dikatakannya sekarang sudah banyak dikatakan juga oleh orang-orang. Di sini, di Utara, bahaya besar mengintai Dia, dan kita. Dia akan keluar dari Gerbang Hitam suatu saat, segera. Hanya lewat jalan itu pasukan besar bisa datang. Tapi di sebelah barat Dia tidak takut, dan di sana ada Penjaga-Penjaga Tersembunyi."
"Persis!" kata Sam, tidak mau mengalah. "Jadi, kita bisa berjalan maju dan mengetuk pintu gerbang mereka, bertanya apakah kita sudah berada di jalan yang benar ke Mordor? Atau mereka terlalu bisu untuk menjawab? Tidak masuk akal. Lebih baik kita lakukan saja di sini, supaya tidak perlu pergi jauh jauh."
"Jangan berkelakar tentang itu," desis Gollum. "Ini tidak lucu, oh tidak! Tidak menggelikan. Sama sekali tidak masuk akal, berusaha masuk ke Mordor. Tapi kalau Majikan berkata aku harus pergi atau aku akan pergi, maka dia harus mencoba. Tapi janganlah pergi ke kota yang mengerikan itu, oh tidak, tentu saja tidak. Di situlah Smeagol membantu, Smeagol yang baik, meski dia tidak tahu ada apa ini sebenarnya Smeagol membantu lagi. Dia menemukannya. Dia tahu jalan itu."
"Apa yang kautemukan?" tanya Frodo.
Gollum meringkuk, suaranya merendah menjadi bisikan lagi. "Sebuah jalan kecil masuk ke pegunungan; kemudian sebuah tangga, tangga sempit, oh ya, panjang dan sempit sekali. Kemudian lebih banyak tangga lagi. Lalu" suaranya semakin rendah lagi "sebuah terowongan, terowongan gelap, dan akhirnya sebuah belahan kecil, dan jalan tinggi di atas jalan utama. Lewat jalan itulah dulu Smeagol keluar dari kegelapan. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Mungkin saja jalan itu sudah lenyap sekarang; tapi mungkin juga tidak, mungkin tidak."
"Aku tidak suka mendengar penjelasannya," kata Sam. "Kedengarannya terlalu mudah. Kalau jalan itu masih ada, pasti dijaga juga.
Bukankah jalan itu dijaga, Gollum?" Ketika mengatakan itu, ia menangkap atau merasa menangkap sinar hijau di dalam mata Gollum.
Gollum menggerutu, tapi tidak menjawab.
"Bukankah jalan itu dijaga?" tanya Frodo keras. "Dan apakah kau melarikan diri dari kegelapan, Smeagol? Bukannya diizinkan pergi mengemban tugas? Setidaknya begitulah dugaan Aragorn, yang menemukanmu di Rawa-Rawa Mati beberapa tahun yang lalu."
"Itu bohong!" desis Gollum, cahaya jahat timbul di matanya mendengar nama Aragorn disebutkan. "Dia berbohong tentang aku, ya dia berbohong. Aku memang melarikan diri, sendirian. Memang aku disuruh mencari Kesayangan-ku; aku sudah mencari dan mencari, tentu saja. Tapi bukan untuk si Jahat. Kesayangan-ku dulu milik kami, milikku. Aku melarikan diri."
Anehnya Frodo merasa yakin kali ini ucapan Gollum tidak jauh dari kebenarannya; bahwa ia memang berhasil mencari jalan keluar dari Mordor, dan setidaknya menganggap itu karena kecerdikannya sendiri. Salah satunya, ia memperhatikan bahwa Gollum menggunakan kata aku. Ia jarang menggunakan kata itu, dan biasanya itu pertanda bahwa saat ini sisa-sisa sifat jujur dan tulusnya sedang menang. Tapi, meski Gollum bisa dipercaya dalam hal itu, Frodo tidak melupakan tipu muslihat Musuh. Mungkin saja "pelarian" itu memang sudah diatur, dan sudah diketahui di Menara Kegelapan. Bagaimanapun, jelas Gollum masih menyimpan banyak rahasia.
"Aku bertanya sekali lagi," kata Frodo, "tidakkah jalan rahasia ini dijaga?" Tapi nama Aragorn sudah membuat Gollum merengut. Ia bersikap sakit hati, seperti seorang pembohong yang sekali itu menceritakan kebenaran, atau sebagian kebenaran. Ia tidak menjawab.
"Tidakkah jalan itu dijaga?" ulang Frodo.
"Ya, ya, mungkin. Tak ada tempat aman di daratan ini," kata Gollum, cemberut. "Tak ada tempat aman. Tapi Majikan harus mencobanya, atau pulang. Tak ada jalan lain." Mereka tak bisa memaksanya mengatakan lebih dari itu. Nama tempat dan jalan tinggi yang berbahaya itu tak bisa diceritakannya. Atau tidak mau.
Namanya Cirith Ungol, nama yang penuh selentingan menyeramkan. Aragorn mungkin bisa menceritakan pada mereka nama dan maknanya; Gandalf akan memperingatkan mereka. Tapi mereka sendirian dan Aragorn jauh dari mereka, sementara Gandalf sedang berdiri di tengah reruntuhan Isengard dan berjuang melawan Saruman, tertahan karena pengkhianatan. Tapi, saat mengucapkan kata-katanya yang terakhir pada Saruman, dan saat palantir jatuh ke dalam api di tangga Orthanc, pikirannya senantiasa tertuju pada Frodo dan Samwise, menembus jarak sekian jauh, mencari-cari mereka dengan penuh harapan dan rasa iba.
Mungkin Frodo merasakannya, meski ia tidak tahu, seperti ketika berada di Amon Hen, mesti ia percaya bahwa Gandalf sudah mati, sudah pergi selamanya dalam kegelapan Moria nun jauh di sana. Ia duduk di tanah lama sekali, kepalanya tertunduk, berjuang untuk mengingat kembali semua yang sudah dikatakan Gandalf kepadanya. Tapi untuk pilihan ini tak ada saran Gandalf yang diingatnya. Nasihat-nasihat Gandalf sudah terlalu cepat direnggutkan dari mereka, terlalu cepat, sementara Negeri Kegelapan masih jauh sekali. Bagaimana mereka harus memasukinya, Gandalf belum mengatakannya. Mungkin ia tidak tahu. Gandalf pernah memberanikan diri masuk ke benteng Musuh di Utara, masuk ke Dol Guldur. Tapi masuk ke Mordor, ke Gunung Api dan ke Barad-dur, sejak Penguasa Kegelapan kembali berkuasa, sudah pernahkah ia berkelana ke sana? Menurut Frodo belum. Ia sendiri hanyalah seorang hobbit sederhana dari pedalaman yang tenang; ia diharapkan menemukan jalan yang tak bisa atau tak berani ditempuh oleh mereka yang pemberani dan hebat. Sungguh takdir yang kejam.
Tapi ia sudah menerima beban itu di ruang duduknya sendiri, di musim semi yang sudah lama berlalu, dan kini terasa begitu jauh, hingga rasanya seperti suatu bab dalam cerita masa remaja dunia, ketika Pohon-Pohon Perak dan Emas masih mekar. Ini pilihan yang buruk. Jalan mana yang harus dipilihnya? Dan kalau keduanya menuju teror dan kematian, apa gunanya memilih?
Hari semakin larut. Keheningan mendalam mencekam lembah tempat mereka berada, di dekat perbatasan negeri ketakutan: kesepian yang begitu tajam, bagai selubung tebal yang memisahkan mereka dari dunia sekitar. Di atas mereka ada kubah langit pucat yang ditutupi asap berarak, tapi tampak tinggi dan jauh sekali, seolah kelihatan melalui lapisan-lapisan udara tebal yang dipenuhi pikiran berat.
Bahkan seekor elang yang berhenti di depan matahari bisa melihat kedua hobbit duduk di sana, di bawah beban maut, diam tak bergerak, diselubungi jubah tipis mereka yang kelabu. Mungkin sejenak ia akan memperhatikan Gollum, sosok kecil yang terjulur di tanah: mungkin di sana menggeletak kerangka seorang anak Manusia yang mati kelaparan, pakaiannya yang compang-camping masih menempel padanya, kaki dan tangannya yang panjang hampir putih dan tipis seperti tulang: tak ada daging yang layak untuk dilahap.
Frodo tertunduk di atas lututnya, tapi Sam bersandar dengan tangan di belakang kepala, menatap keluar dari balik kerudungnya ke langit yang kosong. Setidaknya langit kosong untuk waktu sangat lama. Kemudian Sam merasa melihat sebuah sosok gelap seperti burung, berputar-putar memasuki lingkup pandangannya, lalu melayang, dan berputar pergi lagi. Dua lagi mengikutinya, kemudian yang keempat.
Mereka kelihatan sangat kecil, tapi ia tahu bahwa sebenarnya mereka sangat besar, dengan jangkauan sayap lebar, terbang tinggi sekali. Ia menudungi matanya dan membungkuk ke depan, gemetaran. Ketakutan yang sama menimpanya, seperti ketika merasakan kehadiran para Penunggang Hitam, kengerian tak berdaya yang datang dengan teriakan yang dibawa angin dan bayangan di bulan, meski kengerian yang satu ini tidak begitu menekan atau mendesak: ancaman itu lebih jauh jaraknya. Tapi tetap sebuah ancaman. Frodo juga merasakannya.
Pikirannya terputus. Ia bergerak dan menggigil, tapi tidak menengok ke atas. Gollum meringkuk seperti labah-labah yang terkepung. Sosok-sosok bersayap itu berputar, menukik cepat ke bawah, dan terbang cepat kembali ke Mordor.
Sam menarik napas panjang. "Para Penunggang sedang berkeliaran lagi di angkasa," katanya dengan bisikan parau. "Aku melihat mereka.
Kaupikir mereka bisa melihat kita? Mereka terbang tinggi sekali. Dan kalau mereka Penunggang Hitam, sama seperti dulu, maka mereka tak bisa melihat banyak di siang hari, bukan?"
"Tidak, mungkin tidak," kata Frodo. "Tapi kuda jantan mereka bisa melihat. Dan makhluk bersayap yang mereka tunggangi sekarang mungkin bisa melihat lebih banyak daripada makhluk lain. Mereka seperti burung pemakan bangkai yang sangat besar. Mereka mencari sesuatu: Musuh sedang waspada, rupanya."
Perasaan takut sudah lewat, tapi kesepian yang menyelubungi sudah pecah. Untuk beberapa lama mereka sudah terpisah dari dunia, seolah berada di suatu pulau yang tidak tampak; sekarang mereka sudah ditelanjangi lagi, bahaya sudah kembali. Tapi Frodo masih belum berbicara kepada Gollum atau membuat pilihan. Matanya terpejam, seakan sedang bermimpi, atau melihat ke dalam hati dan ingatannya.
Akhirnya ia bergerak dan berdiri, dan tampaknya baru akan berbicara dan memutuskan. Tapi, "Dengar!" katanya. "Apa itu?"
Ketakutan baru menimpa mereka. Mereka mendengar nyanyian dan teriakan parau. Pada mulanya kedengarannya jauh, tapi makin lama makin mendekat: menghampiri mereka. Terlintas dalam benak mereka bahwa Sayap Hitam sudah melihat mereka, dan mengirimkan tentara bersenjata untuk menangkap mereka: tidak ada kecepatan yang terlalu besar bagi pelayan-pelayan Sauron yang mengerikan. Mereka meringkuk mendengarkan. Suara-suara, denting senjata dan perisai yang terdengar sangat dekat. Frodo dan Sam mengendurkan pedang kecil mereka dari dalam sarungnya. Lari sudah tak mungkin.
Gollum bangkit perlahan dan merangkak seperti serangga, sampai ke bibir cekungan. Dengan hati-hati sekali ia mengangkat dirinya sedikit demi sedikit, sampai ia bisa mengintip melalui dua ujung batu yang pecah. Ia diam tak bergerak untuk beberapa saat, tanpa bersuara. Tak lama kemudian suara-suara itu mulai menjauh lagi, kemudian perlahan-lahan menghilang. Jauh di sana, sebuah terompet berbunyi di benteng Morannon. Kemudian diam-diam Gollum turun kembali dan menyelinap ke dalam cekungan.
"Lebih banyak Manusia pergi ke Mordor," katanya dengan suara rendah. "Wajah-wajah gelap. Kami belum pernah melihat Manusia seperti ini, tidak, Smeagol belum pernah. Mereka garang. Mereka punya mata hitam, rambut hitam panjang, dan cincin emas di hidung mereka; ya, banyak emas indah. Beberapa memakai cat merah di telinga, dan di ujung-ujung tombak mereka; mereka mempunyai perisai bundar, kuning, dan hitam, dengan banyak paku. Tidak ramah; tampaknya mereka Manusia jahat yang kejam sekali. Hampir sama jahatnya seperti Orc, dan jauh lebih besar. Menurut Smeagol, mereka datang dari Selatan, di luar ujung Sungai Besar: mereka datang lewat jalan itu. Mereka sudah lewat sampai ke Gerbang Hitam; tapi mungkin masih ada lagi yang akan datang. Selalu lebih banyak manusia datang ke Mordor. Suatu hari semua orang akan berada di dalam."
"Apakah ada oliphaunt?" tanya Sam, lupa akan ketakutannya, saking bergairah mendengar kabar dan tempat-tempat asing.
"Tidak, tidak ada oliphaunt. Apa itu oliphaunt?" kata Gollum.
Sam bangkit berdiri, meletakkan tangannya di belakang punggung (seperti yang selalu dilakukannya kalau "membaca sajak"), dan memulai:
Kelabu bak tikus sawah, Besar seperti rumah, Hidung seperti ular, Aku membuat tanah bergetar, Saat kutapaki rumput yang lebat; Pepohonan berderak ketika aku lewat.
Dengan tanduk di mulutku, Di Selatan kutapaki langkahku, Mengibas cuping sebesar daun.
Tak terhitung banyaknya tahun Aku jalani kian kemari, Tak pernah merebahkan diri, Tidak juga untuk mati.
Aku ini Oliphaunt, Yang terbesar di antara kamu, Besar, tua, dan tinggi badanku, Kalau kau pernah jumpa denganku Kau tak akan melupakanku.
Kalau belum pernah jumpa, Kaupikir aku ini tiada; Tapi aku ini Oliphaunt tua, Tidak pernah bohong sekali juga.
"Itu," kata Sam, setelah selesai mensitirnya, "adalah salah satu sajak kami di Shire. Mungkin omong kosong, mungkin juga tidak. Tapi kami juga punya dongeng-dongeng, dan berita berita dari Selatan. Di masa lampau, para hobbit suka mengembara sekali-sekali. Tidak banyak
yang kembali, dan tidak semua yang mereka katakan dipercayai: kabar dari Bree, dan tidak pasti seperti omongan Shire, begitu istilahnya.
Tapi aku mendengar dongeng dongeng tentang manusia besar jauh di sana, di Sunlands. Kami menyebut mereka Swerting dalam dongengdongeng kami; dan kabarnya mereka menunggang oliphaunt kalau bertempur. Mereka menempatkan rumah dan menara di atas punggung oliphaunt, dan para oliphaunt saling melemparkan batu dan pohon. Jadi, ketika kaubilang, 'Manusia dari Selatan, semuanya pakai merah dan emas, maka kukatakan, 'apakah ada oliphaunt?' Karena kalau ada, aku akan mengintipnya, ada atau tidak ada risiko. Tapi kini kupikir aku tidak akan pernah melihat oliphaunt. Mungkin memang tidak ada hewan seperti itu." ia mengeluh.
"Tidak, tidak ada oliphaunt," kata Gollum lagi. "Smeagol belum pernah dengar tentang mereka. Dia tak ingin melihat mereka. Dia tak ingin mereka ada. Smeagol ingin pergi dari sini dan bersembunyi di tempat yang lebih aman. Smeagol ingin Majikan pergi. Majikan manis, tidakkah dia mau ikut Smeagol?" Frodo bangkit berdiri. Ia tertawa di tengah segala kesulitannya ketika Sam mengucapkan sajak kuno tentang Oliphaunt, dan tawa itu melepaskannya dari keraguan. "Kalau saja kita punya seribu oliphaunt, dengan Gandalf di atas oliphaunt putih di barisan depan," katanya.
"Maka mungkin kita bisa mendobrak masuk ke negeri jahat ini. Tapi kita tak punya; hanya ada kaki kita sendiri yang letih. Nah, Smeagol, mungkin kali ketiga terbukti yang paling baik. Aku akan ikut kau."
"Majikan baik, Majikan bijak, Majikan manis!" teriak Gollum kegirangan, menepuk-nepuk lutut Frodo. "Majikan baik! Kalau begitu, sekarang istirahat dulu, hobbit-hobbit manis, di bawah bayangan batu batu, rapat di bawah bebatuan! Istirahatlah dan berbaring tenang, sampai Wajah Kuning pergi. Lalu kita bisa pergi cepat. Lembut dan cepat, seperti bayangan!"
BERSAMBUNG KE BAB 4/10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates