Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 3: KEMBALINYA SANG RAJA BUKU 5 BAB 2/10 KEBERANGKATAN ROMBONGAN KELABU

<<< SEBELUMNYA


Gandalf sudah pergi, dan bunyi derap kaki Shadowfax sudah lenyap ditelan malam, ketika Merry kembali ke sisi Aragorn. Barang bawaannya hanya sedikit, karena Ia kehilangan ranselnya di Parth Galen. Yang dimilikinya sekarang hanya beberapa benda berguna yang dipungutnya dari tengah reruntuhan Isengard. Hasufel sudah dipasangi pelana. Legolas dan Gimli berdiri di dekatnya bersama kuda mereka.
"Jadi, empat anggota Rombongan masih bersama-sama," kata Aragorn.
"Kita akan berkuda maju bersama. Tapi kita tidak akan sendirian, seperti yang kusangka. Raja sudah bertekad berangkat segera. Sejak kedatangan bayangan bersayap, dia ingin kembali ke perbukitan di bawah lindungan kegelapan malam."

"Lalu ke mana?" kata Legolas.
"Belum bisa kupastikan," jawab Aragorn.
"Raja akan pergi ke apel siaga yang diperintahkannya di Edoras, empat malam dari sekarang.
Kurasa di sana dia akan mendengar berita-berita tentang perang, dan para Penunggang dari Rohan akan pergi ke Minas Tirith. Tapi aku sendiri, dan mereka yang mau pergi bersamaku …"
"Aku pasti mau!" seru Legolas.
"Dan Gimli akan ikut bersamanya!" kata si Kurcaci.
"Well, aku sendiri," kata Aragorn, "bagiku masih belum jelas tujuan di depanku. Aku juga seharusnya pergi ke Minas Tirith, tapi aku merasa belum siap. Tapi saat yang tepat dan sudah lama direncanakan dengan cermat akan segera tiba."
"Jangan tinggalkan aku!" kata Merry.
"Selama ini aku belum banyak berguna, tapi aku tak mau disingkirkan seperti barang bawaan yang baru dimasukkan lagi bila semuanya sudah beres. Kurasa para Penunggang takkan mau direpotkan oleh kehadiranku sekarang. Meski Raja mengatakan aku harus duduk di dekatnya bila dia sudah pulang untuk bercerita tentang Shire kepadanya."
"Ya," kata Aragorn, "dan menurutku kau ditakdirkan berjalan bersama dia, Merry. Tapi jangan mengharapkan kegembiraan pada akhir perjalanan. Aku khawatir masih lama sekali sebelum Theoden duduk di Meduseld lagi. Banyak harapan akan layu dalam Musim Semi yang kejam ini."
Tak lama kemudian, semua sudah siap berangkat: dua puluh empat kuda, dengan Gimli duduk di belakang Legolas, dan Merry di depan Aragorn. Segera mereka melaju cepat menembus malam. Belum lama mereka melewati gundukan-gundukan tanah di Ford-ford Isen, ketika seorang Penunggang datang berderap dari belakang barisan.
"Tuanku," Ia berkata kepada Raja, "ada pengendara kuda di belakang kita. Ketika kita, melintasi arungan sungai, rasanya hamba sudah mendengar mereka. Sekarang kami yakin. Mereka akan segera menyusul kita, karena mereka berlari kencang sekali." Segera Theoden memerintahkan barisan berhenti. Para Penunggang memutar balik dan meraih tombak-tombak mereka. Aragorn turun dari kudanya dan menurunkan Merry, lalu sambil menghunus pedangnya Ia berdiri di samping sanggurdi Raja. Eomer dan pendampingnya melaju kembali ke belakang. Merry semakin merasa seperti barang bawaan yang tidak dibutuhkan, dan ia bertanya-tanya, seandainya terjadi pertempuran, apa yang harus Ia lakukan. Bagaimana seandainya rombongan kecil Raja dijebak dan dikalahkan, tapi Ia sendiri lolos dalam kegelapan-sendirian di padang liar Rohan, tanpa tahu di mana Ia berada di wilayah luas tanpa batas itu? "Tidak baik!" pikimya. la menghunus pedang dan mengencangkan sabuknya.
Bulan yang sedang terbenam, tertutup awan besar yang mengalir, tapi tiba-tiba muncul cerah lagi. Lalu mereka mendengar gemuruh kaki kuda, dan bersamaan dengan itu melihat sosok-sosok gelap melaju cepat di jalan yang keluar dari arungan. Sinar bulan berkilauan di atas ujung tombak di sana-sini. Jumlah para pengejar tidak jelas, tapi setidaknya tidak kurang daripada rombongan Raja.
Ketika jarak mereka tinggal sekitar lima puluh langkah, Eomer berteriak dengan suara nyaring, "Berhenti! Berhenti! Siapa yang berjalan di Rohan?" Para pengejar menghentikan kuda-kuda jantan mereka dengan mendadak. Beberapa saat hening; kemudian dalam sinar bulan terlihat seorang penunggang kuda turun dan berjalan maju perlahan. Tangannya Yang diacungkan tampak putih, dengan telapak tangan menghadap keluar, sebagai isyarat perdamaian; tapi anak buah Raja mencengkeram senjata mereka. Pada jarak sepuluh langkah, pria itu berhenti. Sosoknya yang jangkung dan gelap hanya berupa bayang-bayang yang berdiri. Lalu suaranya yang jernih terdengar nyaring.
"Rohan? Kaubilang Rohan? Kata yang menggembirakan. Kami datang dari jauh mencari negeri itu."
"Kau sudah menemukannya," kata Eomer.
"Saat kau menyeberangi arungan di sana itu, kau sudah masuk ke negeri Rohan. Tapi ini wilayah Raja Theoden. Tak ada yang boleh masuk ke sini tanpa izinnya. Siapa kau? Dan apa urusanmu yang mendesak?"
"Halbarad Dunadan, Penjaga Hutan dari Utara, itulah aku," serunya.
"Kami mencari Aragorn putra Arathorn, dan kami dengar dia sedang berada di Rohan."
"Kau sudah menemukannya!" teriak Aragorn. Sambil memberikan tali kekangnya kepada Merry, Ia berlari maju dan memeluk pendatang baru itu.
"Halbarad!" katanya.
"Ini sangat menggembirakan dan tak terduga!"
Merry menarik napas lega. Ia sudah sempat berpikir, jangan-jangan itu tipu muslihat terakhir dari Saruman, menyergap Raja yang hanya didampingi sedikit orang; tapi tampaknya Ia belum perlu mati demi membela Theoden. Maka Ia menyarungkan kembali pedangnya.
"Semua beres," kata Aragorn sambil membalikkan badan.
"Ternyata mereka ini saudara-saudaraku dari jauh, negeri tempat tinggalku. Tapi mengapa mereka datang, dan berapa jumlah mereka, Halbarad yang akan menceritakannya pada kita."
"Tiga puluh orang bersamaku," kata Halbarad.
"Hanya sebanyak itu yang bisa kukumpulkan dengan terburu-buru; tapi dua bersaudara Elladan dan Elrohir juga datang bersama kami, karena mereka berhasrat maju perang. Kami datang secepat mungkin sejak panggilanmu datang."
"Tapi aku tidak memanggil kalian," kata Aragorn.
"Aku hanya berharap dalam hati. Aku sering memikirkan kalian, terutama malam ini; tapi sungguh, aku tidak mengirim berita. Tapi sudahlah! Hal itu tak perlu dibahas sekarang. Kami sedang terburu-buru dan dalam bahaya. Ikutlah dengan kami sekarang, kalau Raja mengizinkan." Theoden gembira sekali mendengar berita itu.
"Bagus sekali!" katanya.
"Kalau saudara-saudaramu sama tangguhnya dengan dirimu, Lord Aragorn, maka tiga puluh ksatria seperti itu merupakan kekuatan hebat yang tak bisa diukur menurut jumlah."
Mereka pun berangkat lagi, dan selama beberapa saat Aragorn melaju di samping kaum Dunedain; ketika mereka sudah menceritakan kabarkabar dari Utara dan Selatan, Elrohir berkata kepadanya, "Aku membawa pesan dari ayahku: Waktunya sangat singkat. Kalau keadaan sudah mendesak, ingatlah Jalan Orang-Orang Mati.
"
"Bagiku waktu selalu terasa sangat singkat untuk mencapai hasratku," jawab Aragorn.
"Tapi aku baru akan mengambil jalan itu kalau keadaan sudah benar-benar mendesak."
"Kita lihat saja nanti," kata Elrohir.
"Sekarang jangan kita bicarakan lagi hal-hal semacam ini di jalan terbuka!" Lalu Aragorn berkata pada Halbarad, "Benda apa yang kaubawa itu, saudaraku?" Karena Ia melihat Halbarad bukan membawa tombak, melainkan sebuah tongkat panjang, seperti tiang, dibungkus gulungan kain hitam yang diikat jalinan tali kulit.
"Ini hadiah yang kubawa untukmu, pemberian Lady dari Rivendell," jawab Halbarad.
"Dia membuatnya diam-diam, dan membuatnya makan waktu lama sekali. Dia juga mengirim pesan untukmu: Hari-hari begitu singkat. Bisa jadi harapan kita terpenuhi, atau tidak sama sekali. Karena itu kukirimkan apa yang kubuat untukmu. Selamat jalan, Elfstone! " Lalu Aragorn berkata, "Sekarang aku tahu apa yang kaubawa. Simpankanlah untukku sementara ini!" Kemudian Ia membalikkan badan, memandang ke Utara, di bawah bintang-bintang besar, dan tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan itu.
Malam sudah larut, dan Timur tampak kelabu ketika mereka akhirnya keluar dari Deeping-coomb, kembali ke Homburg. Di sana mereka beristirahat sebentar, dan berunding.
Merry tidur sampai Ia dibangunkan oleh Legolas dan Gimli.
"Matahari sudah tinggi," kata Legolas.
"Semua sudah bangun dan bersiap-siap.
Ayo, Tuan Pemalas, lihat-lihat tempat ini selagi masih bisa!"
"Di sini tiga malam yang lalu ada pertempuran," kata Gimli, "dan di sini Legolas dan aku melakukan permainan yang kumenangkan dengan satu Orc. Ayo, lihat tempat ini! Di sini juga ada gua-gua, Merry, gua-gua indah sekali! Apakah kita akan menjenguknya, Legolas? Bagaimana menurutmu?"
"Jangan! Tak ada waktu," kata Legolas.
"Jangan merusak keindahan dengan bertindak terburu-buru! Sudah kujanjikan bahwa aku akan kembali ke sini bersamamu, kalau masa damai dan kemerdekaan sudah datang. Tapi sekarang sudah hampir tengah hari, saatnya makan, lalu berangkat lagi, begitulah kudengar." Merry bangun dan menguap. Tidurnya yang baru beberapa jam terasa belum cukup; Ia letih dan agak sedih. Ia merindukan Pippin, dan merasa dirinya hanya menjadi beban, sementara semua orang sedang merencanakan bergerak cepat dalam suatu urusan yang tidak sepenuhnya Ia pahami.
"Di mana Aragorn?" tanyanya.
"Di ruang atas Burg," kata Legolas.
"Kurasa dia belum istirahat ataupun tidur. Dia ke sana beberapa jam yang lalu, katanya dia perlu memikirkan sesuatu, dan hanya saudaranya, Halbarad, yang ikut dengannya. Tampaknya dia sedang dihinggapi keraguan atau kecemasan besar."
"Mereka pasukan yang aneh, para pendatang baru ini," kata Gimli.
"Tangguh dan gagah. Para Penunggang dari Rohan tampak seperti anakanak di samping mereka; karena wajah mereka muram, kebanyakan tampak kasar seperti batu karang termakan cuaca, seperti Aragorn juga; dan mereka pendiam."
"Dan seperti Aragorn juga, mereka sangat sopan kalau berbicara," kata Legolas.
"Apakah kau memperhatikan kakak-beradik Elladan dan Elrohir? Pakaian mereka tidak begitu kusam seperti yang lainnya. Mereka tampan dan santun seperti bangsawan Peri; dan itu tidak mengherankan, karena mereka putra-putra Elrond dari Rivendell."
"Mengapa mereka datang? Tahukah engkau sebabnya?" tanya Merry. Sekarang Ia sudah berpakaian lengkap, dan mengenakan jubah kelabunya; ketiganya berjalan keluar bersama-sama, menuju reruntuhan gerbang Burg.
"Mereka datang memenuhi panggilan, seperti telah kaudengar," kata Gimli.
"Kabar sampai ke Rivendell, katanya: Aragorn membutuhkan saudara-saudaranya. Kaum Dunedain agar menemuinya di Rohan! Tapi dari mana kabar itu datang, mereka juga bingung sekarang. Menurut dugaanku, Gandalf yang mengirim kabar itu."
"Bukan dia, tapi Galadriel," kata Legolas.
"Bukankah dia berbicara melalui Gandalf tentang perjalanan Rombongan Kelabu dari Utara?"
"Ya, kau benar," kata Gimli.
"Lady dari Hutan itu! Dia selalu membaca pikiran dan hasrat hati. Nah, mengapa kita tidak mengharapkan kedatangan beberapa saudara sebangsa kita, Legolas?" Legolas berdiri di depan gerbang, matanya yang tajam memandang ke utara dan timur, wajahnya yang elok kelihatan muram.
"Kupikir takkan ada yang datang," jawabnya.
"Mereka tak perlu maju perang; perang sudah berkecamuk di negeri mereka sendiri."
Untuk beberapa saat ketiga sekawan itu berjalan bersama, membicarakan ini itu tentang pertempuran. Mereka berjalan terus dari gerbang runtuh, melewati kuburan pejuang yang tewas dalam pertempuran di lapangan hijau samping jalan, sampai mereka berdiri di Helm's Dike dan memandang ke dalam Coomb. Bukit Kematian sudah menjulang di sana, hitam, tinggi, berbatu-batu, dan bekas injakan para Huorn di rumput bisa terlihat jelas. Kaum Dunlending dan banyak orang dari pasukan Burg sedang bekerja di Dike atau di padang, dan di sekitar tembok-tembok yang rusak di belakang; namun suasana terasa lengang dan sunyi: suasana lembah letih yang sedang istirahat setelah badai besar. Segera mereka berbalik menuju jamuan makan siang di serambi Burg.
Raja sudah berada di sana. Begitu mereka masuk, Ia memanggil Merry dan memerintahkannya duduk di sampingnya.
"Ini bukan seperti yang kuinginkan," kata Theoden, "sebab di sini tidak seperti rumahku di Edoras. Dan temanmu yang seharusnya ada di sini sudah pergi. Tapi mungkin masih lama sebelum kita bisa duduk bersama lagi, kau dan aku, di meja tinggi di Meduseld; takkan ada waktu untuk berpesta pora kalau aku kembali ke sana. Tapi ayolah! Makan dan minumlah, dan mari kita berbicara sementara masih ada kesempatan. Lalu kau akan berkuda bersamaku."
"Aku?" kata Merry, kaget dan senang.
"Itu bagus sekali!" Belum pernah ia merasa begitu bersyukur atas perkataan yang ramah.
"Aku khawatir hanya menjadi gangguan bagi semuanya," Ia berkata terbata-bata, "tapi sebenarnya aku ingin melakukan apa pun yang aku bisa."
"Aku tidak meragukan itu," kata Raja.
"Aku sudah menyuruh siapkan kuda poni bukit untukmu. Dia akan membawamu sama cepatnya dengan kuda lain melewati jalan-jalan yang akan kami lalui. Karena aku akan pergi dari Burg melalui jalan-jalan pegunungan, tidak melewati padang, dan dengan begitu datang ke Edoras melalui Dunharrow, di mana Lady Eowyn menunggu kedatanganku. Kau akan menjadi pendampingku, kalau kau mau. Eomer, adakah di sini pakaian tempur yang bisa dipakai ksatria pedangku?"
"Di sini tak ada gudang alat dan senjata yang lengkap, Tuanku," jawab Eomer.
"Mungkin bisa dicarikan helm ringan yang cocok untuknya; tapi tak ada baju besi atau pedang untuk orang seukuran dia."
"Aku punya pedang," kata Merry sambil turun dari tempat duduknya, dan menghunus pedangnya yang berkilau dari sarungnya yang hitam.
Tiba-tiba suatu perasaan sayang yang besar merebak dalam dirinya terhadap pria tua itu, dan ia menekuk satu lututnya, mengambil tangan Raja, lalu mengecupnya.
"Bolehkah aku meletakkan pedang Meriadoc dari Shire di pangkuanmu, Raja Theoden?" serunya.
"Terimalah bakti pelayananku, bila kau berkenan!"
"Kuterima dengan senang hati," kata Raja; sambil meletakkan tangannya yang panjang dan tua di rambut cokelat hobbit itu, ia memberkatinya.
"Bangkitlah berdiri, Meriadoc, esquire Rohan dari istana Meduseld!" katanya.
"Ambillah pedangmu dan pergunakan demi kebaikan!"
"Engkau sudah seperti ayah bagiku," kata Merry.
"Untuk sementara waktu," kata Theoden.
Mereka bercakap-cakap sambil makan, sampai akhirnya Eomer berbicara.
"Sudah saatnya kita berangkat, Tuanku," katanya.
"Bolehkah aku menyuruh orang-orang membunyikan terompet? Tapi di mana Aragorn? Tempatnya kosong dan dia belum makan."
"Kita akan bersiap-siap berangkat," kata Theoden.
"Tolong kirim pesan pada Aragorn bahwa jam berangkat hampir tiba." Raja bersama para pengawalnya serta Merry di sampingnya berjalan turun dari gerbang Burg, menuju tempat para Penunggang berkumpul di lapangan rumput. Banyak yang sudah naik ke atas kuda masing-masing. Rombongan itu akan besar sekali. Raja hanya meninggalkan pasukan kecil di Burg, dan semua yang bisa ikut akan berangkat ke apel siaga di Edoras. Sudah seribu tombak yang pergi di malam hari; tapi masih akan ada lima ratus lebih yang pergi bersama Raja, sebagian besar terdiri atas orang-orang dari padang-padang dan lembah Westfold.
Para Penjaga Hutan duduk agak terpisah, dalam diam, dengan susunan teratur, bersenjatakan tombak, busur, dan pedang. Mereka berpakaian jubah kelabu tua, dengan kerudung menutupi helm di kepala. Kuda mereka kuat-kuat dan gagah, dan berbulu kasar; ada seekor kuda yang berdiri tanpa penunggang --kuda Aragorn yang mereka bawa dari Utara; namanya Roheryn. Pakaian kuda dan perlengkapan mereka sama sekali tidak diberi permata, emas berkilauan, ataupun benda-benda hiasan lainnya; para penunggangnya pun sama sekali tidak memakai lencana atau tanda, hanya saja jubah mereka dikaitkan ke bahu kiri dengan bros perak berbentuk bintang.
Raja naik ke atas kudanya, Snowmane, dan Merry duduk di atas kuda poni bernama Stybba, di sampingnya. Tak lama kemudian Eomer keluar dari gerbang bersama Aragorn dan Halbarad, yang membawa tongkat besar dililit kain hitam, dan dua pria jangkung, tidak tua maupun muda. Mereka begitu mirip, kedua putra Elrond, hingga hanya sedikit orang yang bisa membedakan mereka: Berambut gelap, bermata kelabu, wajah seindah Peri pada umumnya, berpakaian sama, logam cemerlang di bawah jubah kelabu keperakan. Di belakang mereka berjalan Legolas dan Gimli. Tapi mata Merry hanya tertuju pada Aragorn, karena perubahan yang terlihat pada dirinya begitu mengejutkan, seolah-olah dalam satu malam kesulitan bertubi-tubi jatuh di atas kepalanya. Wajahnya muram, kelabu, dan letih.
"Pikiranku sedang kusut, Tuanku," kata Aragorn sambil berdiri di samping kuda Raja.
"Aku sudah mendengar berita-berita aneh, dan melihat banyak bahaya baru di kejauhan. Aku sudah berpikir-pikir lama sekali, dan rasanya aku harus mengubah haluanku. Katakan, Theoden, kalau sekarang kau berangkat ke Dunharrow, berapa lama Tuanku akan sampai di sana?"
"Sekarang sudah satu jam setelah tengah hari," kata Eomer.
"Sebelum malam hari ketiga, seharusnya kami tiba di Hold. Bulan saat itu sudah satu malam lebih sejak purnamanya, dan apel yang diperintahkan Raja akan diadakan hari berikutnya. Kami tak mungkin lebih cepat daripada itu, kalau seluruh kekuatan Rohan harus dikumpulkan." Aragorn diam sejenak.
"Tiga hari," gumamnya, "dan apel Rohan baru akan dimulai. Tapi aku mengerti bahwa hal itu tak bisa dipercepat." Ia menengadah, dan tampaknya ia sudah mengambil beberapa keputusan; kemuraman di wajahnya kelihatan berkurang.
"Kalau begitu, Tuanku, atas izinmu aku harus berembuk lagi dengan saudara-saudaraku. Kami harus pergi sendiri, dan tidak lagi secara rahasia. Karena bagiku saat untuk diam-diam sudah berakhir. Aku akan pergi ke timur melalui jalan tercepat, dan aku akan mengambil Jalan Orang-Orang Mati."
"Jalan Orang-Orang Mati!" kata Theoden, dan Ia gemetar.
"Mengapa kau membicarakan mereka?" Eomer memutar badannya, menatap Aragorn, dan Merry merasa wajah-wajah para Penunggang yang bisa mendengar kata-kata itu menjadi pucat.
"Kalau memang ada jalan seperti yang kaumaksud itu," kata Theoden, "gerbangnya ada di Dunharrow; tapi tak ada manusia hidup yang bisa melewatinya."
"Aduh! Aragorn sahabatku!" kata Eomer.
"Aku sudah berharap kita akan maju perang bersama-sama; tapi kalau kau mencari Jalan Orang-orang Mati, maka kita harus berpisah, dan sangat kecil kemungkinan kita bertemu lagi di bawah Matahari."
"Itulah jalan yang akan kuambil," kata Aragorn.
"Tapi kukatakan padamu Eomer, bahwa kita masih mungkin bertemu dalam pertempuran, meski kita dipisahkan oleh seluruh pasukan Mordor."
"Lakukan apa yang memang harus kaulakukan, Tuanku Aragorn," kata Theoden.
"Mungkin memang sudah takdirmu untuk menapaki jalanjalan aneh yang tak berani dilalui seorang pun. Perpisahan ini membuatku sedih, dan semangatku turun karenanya; tapi kini aku harus mengambil jalan pegunungan dan tak bisa menundanya lebih lama lagi. Selamat jalan!"
"Selamat jalan, Lord!" kata Aragorn.
"Majulah menuju kemasyhuran besar! Selamat jalan, Merry! Kuserahkan kau pada orang-orang yang baik, lebih baik daripada yang kita harapkan ketika memburu Orc sampai ke Fangom. Kuharap Legolas dan Gimli masih akan berburu bersamaku; tapi kami takkan melupakanmu."
"Selamat jalan!" kata Merry. Hanya itu yang bisa Ia katakan. Ia merasa sangat kecil, Ia bingung dan tertekan oleh semua kata-kata muram itu. Dan ia jadi makin merasa kehilangan Pippin yang keceriaannya tak pernah habis. Pasukan Berkuda sudah siap, dan kuda-kuda mereka sudah gelisah; Ia berharap mereka segera berangkat dan mengakhiri saat-saat membingungkan ini.
Theoden berbicara dengan Eomer, kemudian mengangkat tangannya dan berteriak keras-keras; mendengar teriakan itu, para Penunggang mulai bergerak maju. Mereka melaju melintasi Dike dan melewati Coomb, kemudian membelok ke timur dengan cepat, mengambil jalan yang menyusuri kaki perbukitan sejauh sekitar satu mil, sampai jalan itu berkelok ke selatan dan masuk kembali ke tengah perbukitan, lalu lenyap dari pandangan. Aragorn maju ke Dike, memperhatikan sampai rombongan Raja sudah jauh di tengah Coomb. Lalu Ia berbicara pada Halbarad.
"Tiga orang yang kucintai sudah pergi, yang terkecil malah yang paling kusayangi," katanya.
"Dia tidak tahu nasib apa yang menunggunya; namun seandainya pun tahu, dia tetap akan maju terus."
"Orang-orang kecil, tapi sangat tinggi nilainya, begitulah penduduk Shire," kata Halbarad.
"Mereka sama sekali tidak tahu kerja keras kami demi keamanan perbatasan mereka, tapi aku tidak dendam karenanya."
"Kini nasib kita terjalin bersama mereka," kata Aragorn.
"Namun sekarang kita harus berpisah. Sayang sekali! Nah, aku perlu makan sedikit, lalu kita pun harus segera berangkat. Ayo, Legolas dan Gimli! Aku perlu bicara dengan kalian sambil makan." Bersama-sama mereka masuk kembali ke Burg; untuk beberapa saat Aragorn hanya duduk diam di depan meja, dan yang lainnya menunggu Ia berbicara.
"Ayo!" kata Legolas akhirnya.
"Berbicaralah dan hiburlah hatimu, dan buanglah bayangan gelap itu! Apa yang terjadi sejak kita kembali ke tempat muram ini di pagi yang kelabu?"
"Suatu pertempuran yang menurutku tentu menegangkan daripada pertempuran di Homburg," jawab Aragorn.
"Aku sudah melihat ke dalam Batu Orthanc, kawan-kawan." 'Kau memandang ke dalam batu sihir terkutuk itu!" seru Gimli terkejut, wajahnya memancarkan kengerian.
"Apakah kau mengatakan sesuatu pada … dia? Bahkan Gandalf pun takut terhadap pertemuan itu."
"Kau lupa dengan siapa kau berbicara," kata Aragorn keras, matanya berkilat-kilat.
"Apa yang kau khawatirkan akan kukatakan kepadanya? Bukankah dengan terbuka telah kunyatakan gelarku di depan pintu Edoras? Tidak, Gimli," katanya dengan suara lebih lembut, kemuraman itu lenyap dari wajahnya, dan Ia tampak seperti orang yang telah bermalam-malam menanggung kesedihan besar yang merampas tidur nyenyak.
"Tidak, kawan-kawanku, aku penguasa sah Batu itu, dan aku memiliki hak serta kekuatan untuk menggunakannya, atau begitulah menurut pendapatku. Hak itu tak perlu diragukan lagi. Tapi kekuatanku … nyaris tidak cukup." Aragorn menarik napas panjang.
"Suatu perjuangan keras, dan keletihan yang ditimbulkannya belum juga hilang. Aku tidak berbicara dengannya, dan akhirnya aku membuat Batu itu tunduk pada kemauanku. Itu saja sudah sangat berat untuk ditelan olehnya. Dan dia melihatku. Ya, Master Gimli, dia melihatku, tapi dalam wujud lain daripada yang kaulihat sekarang. Kalau itu bisa memberi petunjuk padanya, maka celakalah aku. Tapi kurasa tidak begitu halnya. Mengetahui aku hidup dan menjejakkan kaki di bumi sudah merupakan pukulan berat baginya, kukira; sebab sebelumnya dia tidak tahu hal ini. Mata di Orthanc tak bisa menembus pakaian baja Theoden; tapi Sauron tak mungkin melupakan Isildur dan pedang Elendil. Kini, saat rencana besarnya akan dimulai, pewaris Isildur dan Pedang itu pun tersingkap; sebab aku telah menunjukkan pedang yang sudah ditempa kembali itu kepadanya. Kehebatannya belum sampai membuat dia kebal dari rasa takut; tidak, keragu-raguan masih selalu menggerogotinya."
"Meski begitu, dia memegang kekuasaan besar," kata Gimli, "dan sekarang dia akan menyerang lebih cepat."
"Pukulan yang tergesa-gesa sering meleset," kata Aragorn.
"Kita harus menekan Musuh, dan tidak menunggunya melakukan serangan lebih dulu. Ketahuilah, kawan-kawan, ketika aku sudah menguasai Batu itu, aku belajar banyak hal. Sudah kulihat ancaman besar tak terduga yang akan datang ke Gondor dari Selatan, dan akan menyedot banyak kekuatan demi membela Minas Tirith. Kalau tidak segera dilawan, Kota akan jatuh dalam waktu kurang dari sepuluh hari."
"Kalau begitu, terpaksa dibiarkan jatuh," kata Gimli.
"Sebab bantuan apa yang bisa dikirim ke sana, dan bagaimana bisa tiba di sana tepat pada waktunya?"
"Tak ada bantuan yang bisa dikirimkan, maka aku sendiri harus pergi ke sana," kata Aragorn.
"Tapi hanya ada satu jalan melewati pegunungan yang bisa mengantarku ke wilayah pantai sebelum terlambat. Jalan Orang-Orang Mati."
"Jalan Orang-Orang Mati" kata Gimli.
"Nama yang mengerikan dan tidak disukai manusia Rohan, seperti kusaksikan tadi. Apakah orangorang hidup bisa melewati jalan seperti itu tanpa kehilangan nyawa? Dan kalaupun kau bisa melewati jalan itu, apa gunanya jumlah yang begitu sedikit untuk melawan serangan Mordor?"
"Orang-orang hidup belum pernah menggunakan jalan itu sejak kedatangan kaum Rohirrim," kata Aragorn, "sebab jalan itu tertutup bagi mereka. Tapi di saat genting ini pewaris Isildur boleh menggunakannya, kalau dia berani. Dengar! Inilah pesan yang dibawa putra-putra Elrond dari ayah mereka di Rivendell, yang pengetahuannya paling tinggi: Beritahu Aragorn agar mengingat kata-kata sang peramal, dan Jalan Orang-Orang Mati.
"
"Dan apa kata-kata sang peramal?" tanya Legolas.
"Beginilah kata Malbeth sang Peramal, di masa Arvedui, raja terakhir Fornost," kata Aragorn:
Sebuah bayangan menggantung di atas daratan, sayap-sayap kegelapan yang menggapai sampai ke barat.
Menara bergetar; maut menghampiri makam para raja.
Yang Mati bangun kembali; sebab sudah tiba saatnya bagi para pelanggar sumpah: di Batu Erech mereka akan berdiri lagi dan mendengar terompet berbunyi di bukit-bukit.
Terompet siapakah gerangan? Siapa yang akan memanggil mereka keluar dari senja kelabu, mereka yang terlupakan? Dialah pewaris pada siapa mereka telah bersumpah setia.
Dari Utara dia akan datang, dikejar kegentingan: Melewati Pintu ke Jalan Orang-Orang Mati.
"Jalan yang gelap, pasti," kata Gimli, "tapi bagiku tidak lebih gelap daripada tongkat-tongkat ini."
"Bila ingin lebih memahaminya, kuminta kalian ikut denganku," kata Aragorn, "sebab aku akan melewati jalan itu. Tapi aku bukan pergi dengan senang hati, melainkan karena terdesak kebutuhan. Karena itu kuharap kalian ikut denganku atas kemauan sendiri, sebab di sana kalian akan menghadapi kerja berat dan rasa takut yang luar biasa, bahkan mungkin lebih buruk daripada itu."
"Aku tetap akan menyertaimu di Jalan Orang-Orang Mati, ke mana pun jalan itu menuju," kata Gimli.
"Aku juga ikut," kata Legolas, "karena aku tidak takut pada orang-Orang Mati."
"Kuharap orang-orang yang terlupakan belum lupa cara bertempur," kata Gimli, "kalau tidak, menurutku tak ada gunanya kita mengganggu mereka."
"Itu tidak akan kita ketahui sebelum kita sampai di Erech," kata Aragorn.
"Tapi sumpah yang mereka langgar adalah sumpah untuk berjuang melawan Sauron, karena itu mereka harus bertempur kalau mau memenuhi sumpah itu. Sebab di Erech berdiri sebuah batu hitam yang konon dibawa dari Numenor oleh Isildur, dan diletakkan di atas bukit. Di atasnya para Raja Pegunungan bersumpah setia pada Isildur di masa awal kerajaan Gondor. Tapi ketika Sauron kembali dan kekuasaannya semakin berkembang, Isildur memanggil Manusia Pegunungan agar mereka memenuhi sumpah, dan ternyata mereka menolak: karena mereka sudah menjadi pemuja Sauron di Masa Kegelapan."
"Lalu Isildur berkata pada raja mereka, 'Kau akan menjadi raja terakhir. Dan kalau Barat terbukti lebih berkuasa daripada Raja Kegelapanmu, maka terkutuklah kau dan bangsamu: kalian takkan pernah istirahat dalam damai sampai sumpah kalian terpenuhi. Karena perang ini akan berlangsung tak terhingga lamanya, kalian akan dipanggil lagi sebelum akhirnya tiba." Lalu mereka melarikan diri dari kemarahan Isildur, dan tidak berani maju perang membela Sauron; mereka bersembunyi di tempat-tempat gelap di pegunungan dan tak pernah berhubungan dengan manusia lain; lambat laun jumlah mereka semakin menyusut di bukit-bukit gersang. Gangguan teror Orang-orang Mati Yang Tidak Tidur itu membentang di sekitar Bukit Erech dan semua tempat di mana orang-orang itu pernah tinggal. Tapi aku harus melintasi jalan itu, sebab tak ada manusia hidup yang bisa membantuku." la berdiri.
"Ayo!" teriaknya; Ia menghunus pedangnya, dan pedang itu berkilau dalam serambi temaram di Burg.
"Ke Batu Erech! Aku akan menuju Jalan Orang-Orang Mati. Ikutlah bersamaku siapa pun yang mau!" Legolas dan Gimli tidak menjawab, tapi mereka bangkit berdiri dan menyusul Aragorn keluar dari serambi. Di pelataran hijau sudah menunggu para Penjaga Hutan berkerudung, berdiri diam tanpa berbicara. Legolas dan Gimli menaiki kuda mereka. Aragorn melompat ke atas Roheryn. Lalu Halbarad mengangkat sebuah terompet besar, bunyinya yang nyaring menggema di Helm's Deep: serentak mereka berderap maju, melaju melintasi Coomb, gemuruh bagai halilintar, sementara semua orang yang ditinggal di Dike dan Burg menyaksikan dengan kagum.
Sementara pasukan Theoden bergerak perlahan di jalan-jalan pegunungan, Rombongan Kelabu melintas cepat di padang-padang, dan siang hari berikutnya mereka sampai di Edoras; di sana mereka hanya berhenti sebentar, sebelum mendaki keluar dari lembah. Mereka tiba di Dunharrow ketika kegelapan sudah turun.
Lady Eowyn menyambut kedatangan mereka dengan senang, sebab ia belum pernah melihat laki-laki yang lebih gagah daripada kaum Dunedain dan putra-putra Elrond yang elok; namun matanya selalu tertambat ke arah Aragorn. Saat duduk makan malam bersamanya, mereka bercakap-cakap, dan Eowyn pun mendengar semua peristiwa yang sudah terjadi setelah Theoden pergi. Sebelumnya Ia hanya mendengar kabar sepotong-sepotong; ketika mendengar tentang pertempuran di Helm's Deep dan pembantaian besar terhadap musuh musuh mereka, serta serbuan Theoden dan para ksatrianya, matanya tampak berbinar-binar.
Akhirnya Ia berkata, "Tuan-tuan, kalian pasti sangat letih. Sekarang beristirahatlah di tempat tidur seadanya yang sempat kami siapkan untuk kalian. Tapi besok kami pasti akan menyiapkan tempat tinggal yang lebih baik." Tapi Aragorn berkata, "Tidak usah, jangan repot-repot! Kalau kami boleh berbaring di sini malam ini dan makan sarapan besok, itu sudah cukup. Sebab tugasku sangat mendesak, dan bersama datangnya cahaya pagi pertama kami sudah harus pergi." Eowyn tersenyum kepadanya dan berkata, "Sungguh baik hati Tuanku, mau menyimpang begitu jauh dari arah yang seharusnya ditempuh, hanya untuk membawa kabar pada Eowyn dan berbincang-bincang dengannya dalam pengucilannya ini."
"Tak ada orang yang akan menganggap perjalanan seperti ini sia-sia;" kata Aragorn, "meski begitu, Lady, aku takkan mampir ke sini kalau memang bukan jalan ini yang harus kulalui untuk menuju Dunharrow." Dan Eowyn menjawab seakan-akan Ia tidak menyukai apa yang didengarnya, "Kalau begitu, Lord, kau sudah tersesat; sebab dari Harrowdale tak ada jalan yang menuju timur atau selatan; sebaiknya kau kembali lewat jalan yang kau ambil ketika datang kemari."
"Tidak, Lady," kata Aragorn, "aku tidak tersesat; karena aku sudah mengembara di negeri ini sebelum kau lahir memperindahnya. Ada jalan keluar dari lembah ini, dan jalan itulah yang akan kuambil. Besok aku akan melintasi Jalan Orang-Orang Mati." Eowyn menatapnya lama sekali dengan pandangan kaget, wajahnya memucat, dan lama sekali Ia tidak berbicara, sementara semua duduk diam.
"Tapi, Aragorn," katanya akhirnya, "tugasmukah untuk mencari kematian? Sebab hanya kematian yang akan kau temui di jalan itu.
Mereka tidak akan mengizinkan orang hidup lewat di sana."
"Mungkin mereka akan mempersulit aku lewat," kata Aragorn; "tapi setidaknya aku akan mencoba. Tak ada jalan lain yang bisa membawa hasil."
"Tapi ini gila," kata Eowyn.
"Para pria termasyhur dan gagah perkasa ini tidak seharusnya dibawa ke dalam kegelapan, melainkan harus kau pimpin maju perang, di mana kalian dibutuhkan. Kumohon kau tetap di sini dan berjalan bersama kakakku; dengan demikian kami semua akan gembira, dan harapan kami lebih cerah."
"Ini bukan kegilaan, Lady," jawab Aragorn, "sebab aku melintasi jalan yang memang sudah ditunjuk bagiku. Dan orang-orang ini mendampingiku atas kehendak sendiri. Jika mereka ingin tinggal dan berjalan bersama kaum Rohirrim, mereka boleh melakukannya. Tapi aku akan melewati Jalan Orang-Orang Mati, sendirian, kalau perlu." Lalu mereka tidak berbicara lagi, dan makan dalam diam; namun mata Eowyn terus melekat pada Aragorn, dan yang lain melihat ia sangat resah. Akhirnya mereka bangkit, berpamitan pada sang Lady, dan berterima kasih kepadanya atas semua yang telah diberikannya, kemudian pergi beristirahat.
Tapi ketika Aragorn sampai di pondok tempat Ia akan menginap bersama Legolas dan Gimli, dan saat kawan-kawannya sudah masuk, Lady Eowyn menyusulnya dan memanggilnya. Aragorn membalikkan tubuh dan melihat sosoknya yang bagaikan kilauan di malam hari, karena Ia berpakaian putih; tapi matanya berapi-api.
"Aragorn," katanya, "mengapa kau hendak pergi lewat jalan maut itu?"
"Karena aku harus," kata Aragorn.
"Hanya dengan cara itu aku masih punya harapan untuk melakukan peranku dalam perang melawan Sauron. Aku bukan memilih jalan yang penuh bahaya, Eowyn. Seandainya boleh memilih, sekarang ini aku seharusnya sedang berkelana di Utara, di lembah indah Rivendell." Sejenak Eowyn terdiam, seolah-olah merenungi arti perkataan Aragorn. Lalu tiba-tiba ia meletakkan tangannya ke atas lengan Aragorn.
"Kau ksatria yang teguh dan tegas," katanya, "memang begitulah orang-orang termasyhur." Ia diam sebentar.
"Lord," katanya, "kalau kau memang harus pergi, izinkan aku ikut dalam rombonganmu. Sebab aku sudah letih bersembunyi di bukit-bukit; aku ingin menghadapi bahaya dan pertempuran."
"Tugasmu adalah mendampingi rakyatmu," jawab Aragorn.
"Sudah terlalu sering aku mendengar tentang tugas," seru Eowyn.
"Bukankah aku anggota keluarga Istana Eorl, wanita pejuang dan bukan perawat? Sudah cukup lama aku mendampingi kaki-kaki yang terhuyung-huyung. Karena kaki-kaki itu sudah tidak terhuyung-huyung, tidakkah sekarang aku boleh menjalani hidupku sesuai kehendakku?"
"Hanya sedikit yang bisa melakukan itu dengan penuh martabat," jawab Aragorn.
"Tapi mengenai dirimu, Lady, bukankah kau sudah menerima tugas untuk memerintah rakyatmu sampai Raja kembali? Bila bukan kau yang dipilih, salah seorang marsekal atau kapten akan mengemban tugas itu, dan dia pun tak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawabnya, entah dia jemu ataupun tidak."
"Apakah aku harus selalu dipilih?" kata Eowyn getir.
"Apakah aku akan selalu ditinggal ketika para Penunggang pergi, untuk menjaga istana sementara mereka memperoleh kemasyhuran, dan menyediakan makanan dan tempat tidur nyaman saat mereka kembali?"
"Tak lama lagi akan tiba saatnya tak seorang pun kembali," kata Aragorn.
"Pada saat itulah dibutuhkan orang-orang yang mau menunjukkan keberanian tanpa berpamrih kemasyhuran, sebab takkan ada yang ingat tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai pertahanan terakhir rumah-rumah kalian. Namun keberanian itu tidak jadi berkurang nilainya, meski tidak menerima pujian." Dan Eowyn menjawab, "Semua perkataanmu hanya menunjuk satu hal padaku: aku seorang wanita, dan tempatku di dalam rumah. Tapi bila kaum pria sudah mati dalam pertempuran dan kehormatan, aku boleh saja dipanggang di dalam rumah karena kaum pria tidak membutuhkanku lagi. Tapi aku keturunan Eorl. Aku bukan pelayan wanita. Aku bisa berkuda dan menggunakan pedang, dan aku tidak takut sakit atau mati."
"Apa yang kautakuti, Lady?" tanya Aragorn.
"Sangkar," kata Eowyn.
"Terperangkap di belakang jeruji, sampai aku usang dan tua, dan semua kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar sudah lenyap dan tak mungkin bisa diharapkan lagi."
"Tapi kau sendiri menasihati aku untuk tidak berpetualang ke jalan yang sudah kupilih, karena penuh bahaya?"
"Memberi nasihat boleh saja," kata Eowyn.
"Tapi bukan maksudku agar kau lari dari bahaya. Aku ingin kau maju perang di mana pedangmu bisa memenangkan kemasyhuran dan kegemilangan. Aku tak suka melihat sesuatu yang istimewa dibuang percuma."
"Begitu juga aku," kata Aragorn.
"Karena itu kukatakan padamu, Lady. Tetaplah di sini! Karena kau tidak diperintahkan pergi ke Selatan."
"Begitu juga mereka yang pergi bersamamu. Mereka ikut hanya karena tak ingin berpisah darimu … karena mereka mencintaimu." Lalu Ia membalikkan badan dan menghilang dalam kegelapan malam.
Ketika cahaya pagi sudah menerangi langit, tapi matahari masih belum naik ke atas punggung gunung tinggi di Timur, Aragorn bersiap-siap berangkat. Rombongannya sudah di atas kuda masing-masing, dan Aragorn pun sudah siap melompat naik ke atas kudanya, ketika Lady Eowyn datang untuk menyampaikan salam perpisahan pada mereka. Ia berpakaian seperti seorang Penunggang dan menyandang pedang. la memegang sebuah cangkir, dan membawanya ke bibirnya, lalu minum seteguk sambil mendoakan perjalanan lancar bagi mereka; kemudian Ia memberikan cangkir itu kepada Aragorn, yang meminumnya juga dan berkata, "Selamat tinggal, Lady dari Rohan! Aku bersulang untuk keberuntungan Istana-mu, juga keberuntunganmu, dan seluruh rakyatmu. Sampaikan pada kakakmu: Di seberang bayang-bayang kita akan bertemu lagi!" Lalu Gimli dan Legolas yang berdiri di dekatnya merasa melihat Eowyn menangis, dan karena air mata itu ditumpahkan oleh orang yang begitu keras dan angkuh, rasanya jadi semakin menyedihkan. Tapi Eowyn berkata, "Aragorn, akan pergikah engkau?"
"Aku akan pergi," kata Aragorn.
"Kalau begitu, tak bolehkah aku bergabung dengan rombongan ini, sesuai permintaanku?"
"Tidak, Lady," kata Aragorn.
"Aku tak bisa memberi izin itu tanpa Persetujuan Raja dan kakakmu; dan mereka baru akan datang besok.
Sedangkan sekarang setiap jam, bahkan setiap menit, sangat berharga untukku! Selamat tinggal!" Lalu Eowyn berlutut sambil berkata, "Kumohon dengan sangat!"
"Tidak, Lady," kata Aragorn. Diraihnya tangan Eowyn dan ditegakkannya lagi gadis itu. Lalu ia mengecup tangan Eowyn, dan langsung melompat naik ke pelana, melaju pergi tanpa menoleh; hanya mereka yang akrab dengannya dan berada di dekatnya bisa melihat kepedihan yang dirasakannya.
Eowyn berdiri diam seperti patung batu, tangannya mengepal di sisinya, dan Ia memperhatikan mereka sampai mereka masuk ke dalam bayang-bayang di bawah Dwimorberg yang hitam, Gunung Hantu, di mana terdapat Pintu Orang-Orang Mati. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan, Ia berputar sambil terhuyung-huyung seperti orang buta, dan kembali ke pondoknya. Tak satu pun rakyatnya menyaksikan peristiwa tadi. Mereka bersembunyi ketakutan dan tak mau keluar sampai hari sudah terang, dan orang-orang asing yang nekat itu sudah pergi.
Dan ada yang mengatakan, "Mereka hantu-hantu Peri. Biarkan mereka pergi ke tempat asal mereka, ke tempat-tempat gelap, dan jangan kembali lagi. Sekarang ini sudah cukup banyak kejahatan."
Cahaya pagi masih kelabu ketika mereka melaju, karena matahari masih belum naik ke atas punggung pegunungan yang hitam di depan sana, Gunung Hantu. Rasa ngeri mulai menerpa ketika mereka lewat di antara barisan batu-batu purba dan sampai ke Dimholt. Bahkan Legolas pun tidak tahan berlama-lama di bawah kemurungan pohon-pohon hitam di sana. Mereka menemukan sebuah tempat cekung di kaki gunung yang terbuka, dan tepat di atas jalan mereka, berdiri sebuah batu tunggal tinggi seperti jari ajal.
"Aku merinding," kata Gimli, tapi yang lain diam saja, dan suaranya teredam oleh jarum-jarum cemara yang basah di dekat kakinya. Kudakuda tidak mau melewati batu yang mengancam itu, sampai para penunggang turun dan menuntun mereka. Akhirnya mereka masuk sampai jauh ke dalam lembah; di sana berdiri sebuah tembok batu karang terjal, dan pada tembok itu ada Pintu Gelap menganga di depan mereka, seperti mulut malam yang kelam. Tanda tanda dan lambang-lambang dipahat pada palang lengkungnya, terlalu kabur untuk dibaca, dan kengerian mengalir keluar dari pintu itu, bagai uap kelabu.
Rombongan berhenti, tak ada di antara mereka yang tidak gemetar, kecuali mungkin Legolas sang Peri, yang tidak takut pada hantu Manusia.
"Ini pintu maut," kata Halbarad, "dan kematianku ada di seberangnya, bagaimanapun, aku akan nekat melewatinya, tapi tak ada kuda yang mau masuk."
"Tapi kita harus masuk, jadi kuda-kuda juga harus ikut," kata Aragorn.
"Sebab kalau kita bisa keluar dari kegelapan ini, masih jauh jarak yang harus kita tempuh, dan setiap jam yang hilang membuat kemenangan Sauron semakin dekat. Ikuti aku!" Lalu Aragorn memimpin jalan, dan tekadnya begitu besar, sehingga seluruh kaum Dunedain dan kuda-kuda mereka pun mengikutinya. Dan memang kasih sayang kuda-kuda para Penjaga Hutan kepada penunggang mereka begitu besar, sampai-sampai mereka bersedia menghadapi kengerian Pintu itu, kalau hati majikan mereka tetap teguh. Tapi Arod, kuda dari Rohan, menolak maju; ia berdiri sambil berkeringat dan gemetar ketakutan, menyedihkan sekali untuk dilihat. Maka Legolas menutupi matanya dengan tangan dan menyanyikan beberapa kata yang mengalir lembut dalam kemuraman itu, sampai kuda itu mau dituntun, dan Legolas masuk. Tinggal Gimli si Kurcaci berdiri sendirian.
Lututnya gemetar, dan Ia marah pada dirinya sendiri.
"Sungguh keterlaluan!" katanya.
"Seorang Peri saja mau masuk ke bawah tanah, kenapa seorang Kurcaci justru tidak berani." Sambil berkata begitu Ia terjun masuk. Tapi Ia merasa kakinya berat seperti timah ketika melangkahi ambang pintu; dan seketika itu juga matanya tak lagi bisa melihat, padahal Ia Gimli putra Gloin, yang sudah biasa berjalan tanpa gentar ke lorong-lorong gelap bawah tanah di dunia.
Aragorn sudah membawa obor dari Dunharrow, ia berjalan di depan sambil mengangkat tinggi satu obor; Elladan dengan obor lain berjalan di belakang, dan Gimli, yang masih terhuyung-huyung di belakang, berupaya menyusul. Ia tak bisa melihat apa pun kecuali nyala redup obor-obor; tapi bila rombongan berhenti, seperti ada bisikan tanpa henti di sekelilingnya, gumaman kata-kata dalam bahasa yang belum pernah didengarnya.
Tak ada yang menyerang atau menghambat rombongan itu, namun ketakutan semakin mencekam hati si Kurcaci ketika Ia terus berjalan: terutama karena Ia tahu tak mungkin bisa berbalik arah lagi; seluruh jalan di belakangnya sudah dipenuhi pasukan halus tidak kasat mata, yang mengikuti mereka dalam gelap.
Demikianlah waktu yang tak terkira lamanya berlalu, sampai Gimli melihat suatu pemandangan yang di kemudian hari enggan ia ingat-ingat, jalan itu lebar sekali, sejauh perkiraannya, tapi rombongan mereka tiba-tiba masuk ke sebuah ruang besar yang kosong, tak ada lagi dinding di kedua sisi. Kengerian yang amat sangat mencengkeram dirinya, sampai ia hampir tak bisa berjalan. Agak di sebelah kiri ada sesuatu berkilauan ketika obor Aragorn mendekat. Lalu Aragorn berhenti dan mendekatinya untuk memeriksa.
"Apakah dia tak punya rasa takut?" gerutu si Kurcaci.
"Di gua lain, Gimli putra Gloin pasti akan menjadi yang pertama berlari mendekati kilauan emas. Tapi jangan di sini! Biarkan tetap tergeletak di situ!" Tapi ia toh mendekat juga, dan ia melihat Aragorn berlutut, sementara Elladan memegang kedua obor tinggi-tinggi. Di depannya ada kerangka seorang pria besar. Ia memakai pakaian logam, dan pakaian kudanya masih utuh, karena udara di dalam gua itu sangat kering seperti debu. Mantelnya berlapis emas, sabuknya dari emas dan batu akik merah tua, dan helmnya berlapis emas tebal, masih ada di kepalanya yang terjerembap di lantai. Ia dulu tentu terjatuh dekat dinding gua, dan di depannya ada sebuah pintu batu yang tertutup rapat: tulang-tulang jarinya mencengkeram kaku dan masih menancap di celah-celah pintu batu. Sebilah pedang yang gerompang dan patah berada di dekatnya. Rupanya ia telah mencoba memukul batu itu dalam keputusasaannya.
Aragorn tidak menyentuhnya, tapi setelah menatap diam untuk beberapa saat, ia bangkit berdiri dan mengeluh.
"Bunga-bunga sebelumnya takkan pernah berlalu ke sana, hingga akhir zaman," gumamnya.
"Sembilan kuburan dan tujuh ada di sana, tertutup rumput hijau, dan selama bertahun-tahun dia berbaring di depan pintu yang tak bisa dibukanya. Menuju ke manakah pintu itu? Mengapa dia ingin masuk? Takkan pernah ada yang tahu!"
"Karena itu bukan tugasku!" teriak Aragorn sambil berputar kembali dan berbicara pada kegelapan yang berbisik di belakang.
"Simpanlah harta dan rahasiamu agar tetap tersembunyi di Tahun-Tahun Terkutuk! Kami hanya minta kecepatan. Biarkan kami lewat, lalu ikutlah! Aku memanggilmu ke Batu Erech!"
Tak ada jawaban, kecuali keheningan mencekam yang lebih mengerikan daripada bisikan-bisikan sebelumnya; lalu embusan angin dingin bertiup, obor-obor berkedip, lalu mati, tak bisa dinyalakan lagi. Saat-saat setelah itu, entah satu jam atau lebih, Gimli tak ingat banyak. Yang lain terus berjalan maju, tapi ia selalu ketinggalan di belakang dikejar kengerian menggapai-gapai yang serasa nyaris menangkapnya di belakangnya terdengar suara berisik seperti bunyi banyak kaki melangkah diam-diam. Ia terus terseok-seok, bahkan sampai merangkak seperti hewan, dan akhirnya ia tak tahan lagi: ia harus menemukan akhir jalan dan melarikan diri, atau seperti orang gila lari kembali untuk menjumpai ketakutan yang mengikutinya.
Mendadak ia mendengar denting tetes air, nyaring dan jernih, seperti batu jatuh ke dalam mimpi penuh bayangan gelap. Cahaya mulai tampak, dan lihat! Rombongan mereka masuk ke sebuah gerbang lain, berambang lebar dengan palang lengkung sangat tinggi, sebuah sungai kecil mengalir keluar di samping mereka; dan di seberang ada jalan menurun curam di antara batu karang terjal. Sisi sisinya yang tajam tampak di depan langit tinggi di atas. Begitu dalam dan sempit jurang itu, hingga langit tampak gelap dan bintang bintang kecil berkelip di dalamnya. Tak lama kemudian Gimli baru tahu bahwa sebenarnya masih dua jam sebelum matahari terbenam, di hari yang sama, hari mereka berangkat dari Dunharrow; meski menurut perasaannya hari sudah senja di tahun yang lain, atau di dunia yang lain.
Rombongan itu kemudian naik kuda lagi, dan Gimli kembali pada Legolas. Mereka berkuda dalam satu barisan, rembang petang sudah menyongsong dengan senja biru gelap; ketakutan masih menghantui mereka. Legolas memutar badannya, melihat ke belakang untuk berbicara dengan Gimli, dan Kurcaci itu melihat pancaran sinar mata Peri yang cerah. Di belakang mereka Elladan melaju, dialah yang terakhir dari Rombongan, tapi bukan yang terakhir menuruni jalan itu.
"Orang-Orang Mati mengikuti kita," kata Legolas.
"Aku melihat bentuk-bentuk Manusia dan kuda, panji-panji pucat seperti serpihan awan, dan tombak-tombak bagai belukar di malam musim dingin yang berkabut. Orang-Orang Mati mengikuti kita."
"Ya, orang-orang Mati berkuda di belakang kita. Mereka sudah dipanggil," kata Elladan.
Rombongan mereka akhirnya keluar dari jurang itu, begitu mendadak, hingga mereka seakan keluar dari sebuah celah di dinding; di depan mereka terbentang dataran tinggi sebuah lembah luas, dan sungai di samping mereka mengalir turun dengan bunyi dingin melewati jeramjeram.
"Di Mana gerangan di Dunia Tengah kita berada?" kata Gimli; dan Elladan menjawab, "Kita sudah turun dari hulu Morthond, sungai panjang dan dingin yang mengalir ke laut dan membasuh tembok-tembok Dot Amroth. Kau tak perlu bertanya dari mana asal namanya orang-orang menyebutnya Akar Hitam." Lembah Morthond membentuk sebuah teluk besar yang mendaki sampai ke lereng pegunungan. Lereng-lerengnya yang terjal ditumbuhi rumput; tapi saat itu semua kelihatan kelabu, karena matahari sudah menghilang, dan jauh di bawah, tampak lampu-lampu berkelip di rumahrumah Manusia. Lembah itu subur dan banyak penghuninya.
Lalu, tanpa memutar badan, Aragorn berteriak keras agar semua bisa mendengar, "Kawan-kawan, lupakan keletihan kalian! Maju terus, maju! Kita harus tiba di Batu Erech sebelum hari ini berakhir, jalan masih jauh." Maka tanpa menengok ke belakang mereka melaju terus melintasi padang-padang pegunungan, sampai tiba di sebuah jembatan yang menyeberangi aliran sungai yang semakin besar, dan bertemu jalan yang melintasi daratan itu.
Lampu-lampu di rumah-rumah dan dusun-dusun dipadamkan ketika rombongan mereka mendekat. Orang-orang yang sedang berada di luar berteriak-teriak ketakutan dan berlarian seperti rusa liar yang diburu. Teriakan yang sama terdengar di malam yang semakin kelam itu, "Raja Orang-Orang Mati! Raja Orang-Orang Mati datang ke sini!" Lonceng-lonceng berdentangan jauh di bawah, dan semua orang lari menjauh dari Aragorn; tapi Rombongan Kelabu melaju kencang seperti pemburu, hingga kuda-kuda mereka agak terhuyung-huyung keletihan. Dan demikianlah, tepat sebelum tengah malam, dalam kegelapan yang sama hitamnya dengan gua-gua di pegunungan tadi, akhirnya mereka tiba di Bukit Erech.
Sudah sekian lama ketakutan akan Kematian menyelubungi bukit dan ladang-ladang kosong sekitarnya. Pada puncaknya berdiri sebuah batu hitam, bulat seperti bola besar, setinggi manusia, meski separuhnya terbenam di dalam tanah. Tampaknya seperti bukan berasal dari bumi, seolah-olah jatuh dari langit, seperti dipercayai sebagian orang; tapi mereka yang masih ingat kisah Westernesse mengatakan bahwa batu itu dibawa dari reruntuhan Numenor dan diletakkan di sana oleh Isildur ketika Ia mendarat. Penduduk lembah itu tak ada yang berani mendekatinya, juga tak mau tinggal di dekatnya; karena menurut mereka tempat itu merupakan tempat pertemuan Manusia-Manusia Bayangan yang sesekali berkumpul di sana dalam masa-masa ketakutan. berkerumun sambil berbisik dan bergumam di sekitar Batu itu.
Rombongan kemudian menuju Batu itu dan berhenti pada tengah malam buta. Lalu Elrohir memberikan pada Aragorn sebuah terompet perak, dan Ia meniupnya; mereka yang berdiri di dekatnya merasa mendengar bunyi balasan, seperti gema di dalam gua-gua di kejauhan.
Tidak terdengar suara lain, namun mereka menyadari ada pasukan besar berkumpul di sekitar bukit tempat mereka berdiri; angin dingin berembus turun dari pegunungan, terasa seperti napas hantu-hantu. Lalu Aragorn turun dari kudanya, dan sambil berdiri dekat batu Ia berteriak dengan suara lantang, "Wahai pelanggar-pelanggar Sumpah, mengapa kalian datang?" Lalu sebuah suara membalasnya dari dalam malam kelam, seakan-akan dari tempat yang sangat jauh, "Untuk memenuhi sumpah kami dan memperoleh kedamaian." Lalu Aragorn berkata, "Saatnya sudah tiba sekarang. Aku akan pergi ke Pelargir di Anduin, dan kalian akan mengikuti aku. Bila seluruh negeri ini sudah bersih dari anak buah Sauron, kuanggap sumpah kalian telah terpenuhi. Kalian akan memperoleh kedamaian dan pergi untuk selamanya. Sebab akulah Elessar, pewaris Isildur dari Gondor." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Aragorn meminta Halbarad membuka gulungan kain yang melilit tongkat besar yang dibawanya; dan lihatlah! Ternyata hanya hitam, kalaupun ada lambang atau tanda di atasnya, kegelapan menutupinya. Suasana menjadi sangat hening, tak ada bisikan atau desahan sepanjang malam itu. Rombongan itu lalu berkemah di samping Batu, tapi mereka hanya bisa tidur sebentar, karena hati mereka dicekam kengerian kepada Bayang-Bayang yang mengepung.
Di saat fajar dingin dan pucat menyongsong, Aragorn sudah bangun dan segera memimpin Rombongan melanjutkan perjalanan dengan sangat terburu-buru dan penuh keletihan. Belum pernah mereka berjalan seperti ini, kecuali Aragorn sendiri. Hanya kemauan keras Aragorn yang membuat mereka bertahan untuk terus berjalan. Tak ada Manusia lain yang bisa bertahan, kecuali kaum Dunedain dari Utara, dan bersama mereka Gimli si Kurcaci dan Legolas sang Peri.
Mereka melewati Tarlang's Neck dan masuk ke Lamedon; Pasukan Bayang-Bayang mendesak dari belakang, perasaan takut menghantui di depan, sampai mereka tiba di Calembel di Ciril, dan matahari pun terbenam meninggalkan semburat merah bagaikan darah di belakang pinnath Gelin, jauh di Barat di belakang mereka. Ternyata kotapraja dan arungan Ciril telah kosong, karena kebanyakan penduduknya sudah pergi berperang; yang masih tersisa sudah lari ke perbukitan ketika mendengar kedatangan Raja Orang-Orang Mati. Tapi keesokan harinya cahaya fajar tidak datang, sementara Rombongan Kelabu bergerak terus ke dalam kegelapan Badai Mordor dan menghilang dari pandangan makhluk hidup; namun Orang-Orang Mati masih terus mengikuti mereka.

BERSAMBUNG KE BAB 3/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates