Social Icons

Pages

(J.R.R. TOLKIEN) THE LORD OF THE RING 2: DUA MENARA BUKU 4 BAB 2/10 MELINTASI RAWA - RAWA

<<< SEBELUMNYA

Gollum bergerak cepat, kepala dan lehernya menjulur ke depan. Ia sering menggunakan tangan dan kakinya. Frodo dan Sam mengikutinya dengan susah payah; tapi rupanya Gollum sudah tidak berniat melarikan diri lagi. Kalau mereka ketinggalan, ia akan menoleh dan menunggu mereka. Setelah beberapa saat, ia membawa mereka ke pinggiran parit sempit yang sudah mereka temui sebelumnya; tapi kini mereka berada lebih jauh dari bukit-bukit.
"Ini dia!" serunya. "Ada jalan turun ke sana, ya. Sekarang kita mengikutinya keluar, keluar di sana." ia menunjuk ke selatan dan timur, ke arah rawa-rawa. Bau busuknya sampai ke hidung mereka, berat dan sangat keras dalam udara malam yang dingin.
Gollum berjalan turun-naik di tebing, dan akhirnya memanggil mereka. "Di sini! Di sini kita bisa turun. Smeagol pernah lewat jalan ini: aku lewat sini, bersembunyi dan para Orc." Ia memimpin jalannya, dan kedua hobbit mengikutinya turun di kegelapan. Tidak sulit, karena jurang di titik ini hanya sekitar lima belas kaki dalamnya, dan lebarnya sekitar dua belas kaki. Ada air mengalir di dasarnya: sebenarnya itu palung dari salah satu sungai yang banyak mengalir turun dan bukit-bukit untuk mengairi genangan-genangan air dan lumpur yang diam. Gollum berbelok ke kanan, kurang-lebih ke selatan, dan menceburkan kakinya ke dalam sungai berbatu yang dangkal. Ia tampak sangat gembira merasakan air, dan tertawa sendiri, kadang-kadang bahkan menyanyikan semacam lagu dengan suaranya yang parau.
Tanah keras dan beku Menggigit tangan yang kaku, Menggerogoti kaki yang garing.
Bebatuan dan batu karang Seperti tulang-belulang yang lekang Semuanya tak lagi berdaging.
Tapi air sungai dan telaga Basah dan sejuk: Nyaman kaki di air bening! Dan sekarang kami ingin …
"Ha! Ha! Apa yang kita inginkan?" katanya, melirik kedua hobbit. "Akan kita ceritakan," ia berkuak. "Dia sudah lama menebaknya, Baggins menebaknya." Matanya bersinar-sinar, dan Sam yang menangkap sinar itu menganggapnya sangat tidak menyenangkan.
Hidup tanpa pernapasan; Sedingin kematian; Tak pernah kehausan, bersanding minuman; Berbaju logam, tanpa dentingan.
Terdampar di tanah gersang, Menyangka pulau rindang Pegunungan yang menjulang; Mengira pancuran Embusan angin kering.
Begitu elok dan ramping! Betapa senang berjumpa dengannya! Kami hanya menginginkan Berhasil menangkap ikan, Yang lembut-manis dagingnya!
Kata-kata itu membuat Sam semakin gelisah memikirkan suatu masalah yang memang sudah mengganggunya sejak majikannya berniat membawa Gollum sebagai pemandu mereka: masalah makanan. Ia menduga majikannya belum memikirkan hal itu, tapi ia merasa Gollum sudah memikirkannya. Bagaimana Gollum selama ini mencari makan dalam perjalanannya yang sendirian? "Tidak begitu baik," pikir Sam.
"Dia tampak kelaparan. Aku yakin dia tidak terlalu pilih-pilih untuk mencoba rasa hobbit kalau tidak ada ikan-seandainya dia bisa menangkap kami kalau sedang tidur. Tapi itu tidak akan terjadi: tidak pada sam gamgee."
Mereka berjalan lama sekali, terseok-seok menyusuri parit panjang berbelok-belok, atau begitulah rasanya bagi kaki Frodo dan Sam yang letih. Parit itu membelok ke timur, dan ketika mereka semakin jauh, ia melebar dan lambat laun menjadi lebih dangkal. Akhirnya langit di atas menjadi pucat oleh sinar kelabu pertama pagi hari. Gollum belum menunjukkan tanda-tanda lelah, tapi sekarang ia menoleh dan berhenti.
"Pagi sudah dekat," bisiknya, seolah Pagi itu sesuatu yang bisa mendengarnya dan menerkamnya. "Smeagol akan tinggal di sini: aku akan tinggal di sini, dan Wajah Kuning tidak akan melihatku."
"Kami akan senang melihat Matahari," kata Frodo, "tapi kami akan tetap di sini: kami terlalu letih untuk berjalan lebih jauh saat ini."
"Kau tidak bijak kalau senang dengan Wajah Kuning," kata Gollum. "Dia membuatmu kentara. Hobbit manis pintar tetap bersama Smeagol.
Orc dan makhluk-makhluk jahat berkeliaran. Mereka bisa melihat jauh sekali. Tinggal di sini dan bersembunyi bersamaku!" Ketiganya berhenti untuk beristirahat di kaki tembok berbatu parit itu. Sekarang ketinggiannya tidak lebih daripada tinggi manusia, dan di kakinya ada bidang-bidang datar lebar dari batu kering; airnya mengalir dalam saluran di sisi yang lain. Frodo dan Sam duduk di atas salah satu bidang datar, menyandarkan punggung. Gollum mendayung dan berjuang dalam aliran sungai.
"Kita perlu makan sedikit," kata Frodo. "Kau lapar, Smeagol? Makanan kami sedikit sekali, tapi akan kami sisakan sebisa mungkin bagimu." Mendengar kata lapar, sinar hijau menyala dalam mata Gollum yang pucat, dan kedua mata itu seolah semakin menonjol di wajahnya yang kurus dan tampak sakit. Untuk sesaat ia kembali ke gaya Gollum-nya. "Kita kelaparan, ya kelaparan kita, ssayangku," katanya. "Apa yang mereka makan? Apakah mereka punya ikan enak?" Lidahnya menjulur keluar dari antara giginya yang kuning, menjilat bibirnya yang pucat.
"Tidak, kami tidak punya ikan," kata Frodo. "Kami hanya punya ini" _ ia mengangkat sebatang wafer lembas _ "dan air, kalau air di sini bisa diminum."
"Yaa, air bagus," kata Gollum. "Minum, minum saja, selagi masih bisa! Tapi apa yang mereka punya, ssayangku? Apakah bisa dikunyah? Apakah rasanya enak?" Frodo mematahkan sebagian wafer dan memberikannya pada Gollum di atas daun pembungkusnya. Gollum mencium daun itu, dan wajahnya berubah: kejang-kejang karena jijik, dan sentuhan kedengkiannya yang lama muncul. "Smeagol menciumnya!" katanya. "Daun dari negeri Peri, bah! Bau sekali. Dia pernah memanjat pohon itu, dan dia tak bisa mencuci bersih bau itu dari tangannya, tanganku yang manis." Sambil menjatuhkan daunnya, ia mengambil sepotong lembas itu dan mengunyahnya. Ia meludah, lalu terbatuk-batuk.
"Aah! Tidak!" ia merepet. "Kau mencoba mencekik Smeagol malang. Debu dan abu, dia tak bisa makan. Dia akan mati kelaparan. Tapi Smeagol tidak peduli. Hobbit manis! Smeagol sudah janji. Dia akan mati kelaparan. Dia tak bisa makan makanan hobbit. Dia akan mati kelaparan. Smeagol malang yang kurus!"
"Aku menyesal," kata Frodo, "tapi aku tak bisa membantumu. Kukira makanan ini akan baik bagimu, kalau kau mau mencoba. Tapi mungkin kau tak bisa mencoba, setidaknya belum sekarang."
Kedua hobbit mengunyah lembas mereka dalam keheningan. Sam berpikir, entah mengapa, rasanya lebih enak daripada sebelumnya: sikap Gollum membuatnya memperhatikan lagi rasanya. Tapi ia tidak merasa nyaman. Gollum memperhatikan setiap remah dari tangan sampai ke mulut, seperti anjing yang menunggu penuh harap, dekat kursi orang yang sedang makan. Baru ketika mereka selesai dan bersiap-siap istirahat, ia tampak yakin bahwa tak ada makanan lezat tersembunyi yang bisa ikut dimakannya. Lalu ia pergi duduk sendirian beberapa langkah dari mereka, dan agak merengek.
"Begini!" bisik Sam pada Frodo, tidak terlalu perlahan: ia tidak begitu peduli apakah Gollum mendengarnya atau tidak. "Kita perlu tidur sebentar, tapi jangan berbarengan dengan adanya bajingan lapar di dekat kita. Janji atau tidak. Smeagol atau Gollum tidak akan serta-merta mengubah kebiasaannya, aku yakin. Kau tidur dulu, Mr. Frodo, dan aku akan memanggilmu kalau kelopak mataku sudah tak bisa terbuka lagi. Waspadalah, sama seperti sebelumnya, sementara dia berkeliaran bebas."
"Mungkin kau benar, Sam," kata Frodo dengan terang-terangan. "Memang ada perubahan pada dirinya, tapi perubahan macam apa dan seberapa dalam, aku belum yakin. Kurasa kita tak perlu khawatir sekarang ini, tapi tetap awasi sajalah kalau kau mau. Berikan aku dua jam, jangan lebih, lalu bangunkan aku." Frodo begitu lelah, sampai kepalanya jatuh ke dadanya, dan ia hampir-hampir langsung tertidur setelah mengucapkan kata-kata itu. Gollum tampaknya sudah tidak takut lagi. Ia meringkuk dan cepat tertidur, tanpa menghiraukan apa pun. Tak lama kemudian, napasnya mendesis lembut melalui giginya yang dikatupkan, tapi ia berbaring diam seperti batu. Setelah beberapa saat, karena takut tertidur juga kalau mendengarkan napas kedua pendampingnya, Sam berdiri dan dengan lembut menyodok Gollum. Kepalan tangannya terbuka dan berkedut, tapi ia tidak membuat gerakan lain. Sam membungkuk dan mengatakan ikan dekat telinganya, tapi tak ada reaksi, bahkan napasnya pun tidak tersentak.
Sam menggaruk kepalanya. "Benar-benar tidur," gerutunya. "Dan kalau aku seperti Gollum, dia tidak akan pernah bangun lagi." ia menahan diri agar tidak memikirkan pedang dan tambangnya, lalu pergi duduk dekat majikannya.
Ketika ia bangun, langit di atas redup; tidak lebih terang, tapi lebih gelap daripada ketika mereka sarapan. Sam melompat berdiri. Dari perasaan segar bercampur lapar yang menyelimuti dirinya, tiba-tiba ia menyadari bahwa ia sudah tidur sepanjang hari, setidaknya sudah sembilan jam. Frodo masih tidur lelap, sekarang berbaring miring. Gollum tidak tampak. Sam memaki-maki dirinya sendiri. Kemudian terlintas dalam benaknya bahwa majikannya juga benar: untuk sementara, tidak ada yang perlu diawasi. Setidaknya mereka berdua masih hidup dan tidak dicekik.
"Makhluk malang!" kata Sam, setengah menyesali. "Aku ingin tahu ke mana dia pergi?"
"Tidak jauh, tidak jauh!" kata sebuah suara di atasnya. Sam menengadah dan melihat bentuk kepala Gollum yang besar, serta telinganya, berlatar belakang langit senja.
"Nah, apa yang kaulakukan?" teriak Sam, kecurigaannya kembali timbul begitu melihat sosok Gollum.
"Smeagol lapar," kata Gollum. "Akan segera kembali."
"Kembali sekarang!" teriak Sam. "Hai! Kembali!" Tapi Gollum sudah menghilang.
Frodo bangun mendengar suara teriakan Sam dan bangkit duduk, menyeka matanya. "Halo!" katanya. "Ada masalah? Jam berapa sekarang?"
"Aku tidak tahu," kata Sam. "Sudah lewat matahari terbenam, kukira. Dan dia pergi. Katanya dia lapar."
"Jangan khawatir!" kata Frodo. "Itu tak bisa dihindari. Tapi dia akan kembali, lihat saja nanti. Janji itu masih akan mengikatnya untuk sementara waktu. Dan dia tidak akan meninggalkan Kesayangannya." Frodo menganggap enteng bahwa mereka tidur lelap selama berjam-jam didampingi Gollum yang sangat lapar, yang bebas lepas di samping mereka. "Jangan mengomel-omel seperti Gaffer-mu," katanya. "Kau sudah letih sekali, dan ternyata semuanya berakhir dengan baik: sekarang kita berdua sudah cukup istirahat. Masih ada perjalanan sulit di depan, jalan terburuk sampai sekarang."
"Tentang makanan," kata Sam. "Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk melakukan tugas ini? Dan kalau sudah selesai, apa yang akan kita lakukan? Roti ini memang membuat kita kuat berdiri, tapi tidak cukup memuaskan perut, bisa dikatakan begitu: setidaknya untukku, tanpa bermaksud menghina mereka yang membuatnya. Tapi kita harus makan sedikit setiap hari, dan roti itu akan makin sedikit. Menurut Perhitunganku, persediaan kita cukup untuk sekitar tiga minggu, itu kalau dihemat-hemat, camkan itu. Kita agak boros sejauh ini."
"Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk.… untuk menyelesaikan tugas," kata Frodo. "Kita tertunda dengan menyedihkan di perbukitan. Tapi Samwise Gamgee, hobbit-ku yang baik, yang paling kusayangi sahabat di antara sahabat kukira kita tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Melakukan tugas itu, seperti istilahmu apa harapan kita bahwa kita akan berhasil? Dan kalau kita berhasil, siapa tahu apa akibatnya? Kalau Cincin Utama masuk ke dalam Api, dan kita di dekatnya? Coba pikir, Sam, apa kita masih akan membutuhkan roti? Kukira tidak. Kalau kita bisa merawat anggota tubuh kita untuk membawa kita ke Gunung Maut, itu saja cukuplah. Itu sudah lebih dari yang bisa kulakukan, rasanya begitu." Sam mengangguk diam. Ia memegang tangan majikannya dan membungkuk di atasnya. Ia tidak menciumnya, meski air matanya jatuh ke atasnya. Lalu ia berpaling, menyeka hidungnya dengan lengan baju, dan bangkit berdiri, mengentak-entakkan kaki, mencoba bersiul, dan di tengah upaya itu berkata, "Di mana makhluk keparat itu?" Sebenarnya Gollum sudah kembali, tapi ia datang begitu diam-diam, sampai-sampai mereka tidak mendengarnya. Jari dan wajahnya berlumuran lumpur hitam. Ia masih mengunyah dan meneteskan air liur. Apa yang dikunyahnya, tidak mereka tanyakan atau pikirkan.
"Cacing atau kumbang, atau sesuatu yang berlumpur dari dalam lubang-lubang," pikir Sam. "Brr! Makhluk menjijikkan; makhluk memelas!" Gollum tidak berkata apa-apa pada mereka, sampai ia minum sepuasnya dan membasuh dirinya di sungai. Lalu ia naik kembali menghampiri mereka, sambil menjilat bibirnya. "Sekarang lebih baik," katanya. "Kita sudah cukup istirahat? siap melanjutkan perjalanan? Hobbit-hobbit manis, mereka tidur indah sekali. Percaya Smeagol sekarang? Sangat, sangat bagus."
Tahap berikutnya perjalanan mereka sangat mirip yang sebelumnya. Ketika mereka berjalan maju, parit itu semakin dangkal dan kemiringan dasarnya semakin landai. Dasarnya tidak begitu berbatu dan lebih banyak tanahnya, dan perlahan-lahan sisi-sisinya menjelma menjadi tebing biasa. Parit itu mulai berliku-liku dan arahnya tidak teratur. Malam itu hampir berakhir, tapi awan-awan sekarang menutupi bulan-bintang, dan mereka mengetahui kedatangan fajar hanya dari penyebaran cahaya kelabu tipis yang lambat.
Pada jam-jam fajar yang dingin, mereka sampai di ujung aliran air. Tebing-tebingnya berubah menjadi gundukan hijau lumut. Melewati dataran terakhir dengan bebatuan membusuk, sungai mengalir menggeluguk dan jatuh ke dalam tanah cokelat berlumpur, lalu menghilang.
Ilalang kering mendesis dan berderak, meski mereka tidak merasakan angin lewat.
Di kedua sisi dan di depan, tanah basah dan lumpur luas membentang ke selatan dan timur, masuk ke cahaya yang kabur. Kabut mengeriting dan naik seperti asap, dari genangan gelap dan tak menyenangkan. Bau busuknya menggantung di udara, serasa mencekik. Jauh di sana, hampir ke arah selatan, tembok pegunungan Mordor menjulang, seperti balok hitam awan-awan bergerigi melayang di atas lautan penuh ka but yang berbahaya.
Kedua hobbit sekarang sepenuhnya berada di tangan Gollum. Mereka tidak tahu, dan tidak menduga bahwa mereka sebenarnya berada persis di dalam batas utara rawa-rawa, yang hamparannya terbentang di sebelah selatan mereka. Kalau mereka kenal daratan itu, mereka bisa berjalan kembali sedikit, lalu membelok ke timur, berjalan memutar melalui jalan keras, sampai ke padang gersang Dagorlad: medan pertempuran zaman kuno di depan gerbang-gerbang Mordor. Bukannya ada harapan besar dengan melalui jalan itu. Di padang berbatu itu tak ada tempat perlindungan, dan jalan raya Orc serta bala tentara Musuh melintasinya. Bahkan jubah Lorien takkan bisa menyembunyikan mereka di sana.
"Bagaimana arah perjalanan kita sekarang, Smeagol!" tanya Frodo. "Apakah kita harus melintasi tanah berbau busuk ini?"
"Tidak perlu, sama sekali tidak perlu," kata Gollum. "Tidak kalau hobbit ingin sampai di pegunungan gelap dan pergi menemui Dia lekaslekas. Kembali sedikit dan berputar sedikit" tangannya yang kurus melambai ke utara dan timur-"dan kau bisa sampai di jalan keras dan dingin, sampai di gerbang negeri-Nya. Banyak anak buah Dia di sana, menunggu kedatangan tamu, sangat senang bisa membawa mereka langsung kepada Dia, oh ya. Matanya memperhatikan jalan itu sepanjang waktu. Dia menangkap Smeagol di sana, dulu." Gollum menggigil.
"Tapi sejak itu Smeagol menggunakan matanya, ya, ya: aku menggunakan mata dan kaki dan hidung sejak itu. Aku tahu Parit lain. Lebih sulit, tidak begitu cepat; tapi lebih baik, kalau kita tak ingin kelihatan olehNya. Ikuti Smeagol! Dia bisa membawamu melewati rawa-rawa, melalui kabut, kabut tebal bagus. Ikuti Smeagol dengan hati-hati, dan kau bisa berjalan jauh sekali, cukup jauh, sebelum Dia menangkapmu, ya barangkali."
Ketika itu sudah pagi, pagi yang tidak berangin dan muram, asap tengik rawa-rawa menggantung berat di udara. Tak ada matahari menembus langit yang berawan rendah, dan Gollum tampaknya sudah tak sabar untuk segera melanjutkan perjalanan. Maka, setelah istirahat singkat, mereka berangkat lagi dan segera masuk ke dunia remang remang sepi, terputus hubungan dengan pemandangan daratan sekitarnya, baik bukit-bukit yang sudah mereka tinggalkan atau pegunungan yang mereka tuju. Mereka berjalan perlahan, berbaris satu-satu: Gollum, Sam, Frodo.
Frodo tampaknya yang paling lelah di antara mereka bertiga, dan meski mereka berjalan lambat, ia sering tertinggal. Kedua hobbit segera menyadari bahwa apa yang terlihat seperti rawa luas sebenarnya suatu jaringan kolam-kolam tak terhingga dan lumpur lembek, serta aliran air setengah tercekik yang berkelok-kelok. Di medan ini, sepasang mata dan kaki cerdik bisa mencari jalan. Gollum memang punya kecerdikan itu, dan membutuhkan semuanya. Kepalanya di atas lehernya yang panjang selalu berputar ke sana kemari, sementara ia mengendus-endus dan menggerutu sendiri sepanjang waktu. Kadang kadang ia mengangkat tangannya dan menghentikan mereka, sementara ia berjalan maju sedikit, merundukkan badan, menguji tanah dengan jari tangan atau kaki, atau hanya mendengarkan dengan satu telinga ditempelkan ke tanah.
Sangat muram dan melelahkan. Musim dingin yang lembap dan dingin masih menguasai daratan kosong ini. Satu-satunya warna hijau yang tampak adalah buih rumput liar pucat di atas permukaan air murung yang gelap berminyak. Rumput mati dan ilalang membusuk menjulang di tengah kabut, seperti bayangan bergerigi dari musim panas yang sudah lama terlupakan.
Ketika hari semakin larut, cahaya bertambah terang, dan kabut tersingkap, semakin tipis dan tembus pandang. Jauh di atas pembusukan dan asap dunia, Matahari melayang tinggi dan keemasan di sebuah negeri hening dengan lantai busa menyilaukan, tapi mereka hanya bisa melihat hantunya lewat di bawah, muram, pucat, tidak memancarkan warna maupun kehangatan. Tapi bahkan kehadirannya yang redup sudah membuat Gollum cemberut dan tersentak. Ia menghentikan perjalanan mereka, dan mereka beristirahat, jongkok seperti hewan-hewan kecil yang sedang diburu, di tengah gerombolan besar ilalang cokelat. Kesepian mencekam, hanya dipecahkan oleh getaran lemah bulu-bulu biji yang kosong, dan helai-helai rumput patah yang bergetar dalam gerakan udara lembut yang tak bisa mereka rasakan.
"Tak ada satu burung pun!" kata Sam sedih.
"Tidak, tak ada burung," kata Gollum. "Burung manis!" ia menjilat giginya. "Tak ada burung di sini. Ada ular-ular, cacing, makhlukmakhluk di dalam kolam. Banyak sekali, banyak makhluk jahat. Tidak ada burung," ia mengakhiri omongannya dengan sedih. Sam memandangnya dengan jijik.
Begitulah akhir hari ketiga perjalanan mereka bersama Gollum. Sebelum bayangan senja memanjang di daratan yang lebih cerah, mereka berangkat lagi, selalu maju dan hanya berhenti sebentar-sebentar. Perhentian itu bukan hanya untuk istirahat, tapi untuk membantu Gollum; karena sekarang ia pun harus melangkah maju dengan sangat hatihati, dan kadang-kadang ia agak bingung. Mereka sudah sampai di tengah Rawa-Rawa Mati, dan cuaca gelap pekat.
Mereka berjalan lambat, membungkuk, berbaris rapat, mengikuti dengan cermat semua gerakan yang dilakukan Gollum. Rawa-Rawa semakin basah, meluas menjadi danau yang menggenang diam, dan sekarang semakin sulit menemukan tempat yang lebih kokoh di antaranya, di mana kaki bisa melangkah tanpa tenggelam ke dalam lumpur yang berdeguk. Para pengembara itu ringan bobotnya; kalau tidak, mungkin tak ada di antara mereka yang bisa melewatinya.
Akhirnya cuaca sama sekali gelap: udara tampak hitam, dan sulit untuk bernapas di dalamnya. Ketika muncul cahaya-cahaya, Sam menyeka matanya: ia menyangka benaknya mulai aneh. Mula-mula ia melihat seuntai sinar pucat yang meredup lagi; tapi yang lain segera muncul setelahnya: beberapa seperti asap bersinar redup, beberapa seperti nyala api kabur yang berkelip perlahan di atas lilin yang tidak tampak; di sana-sini mereka menggeliat seperti lembaran-lembaran pucat yang dibentangkan tangan-tangan tersembunyi. Tapi kawan kawan seperjalanannya tak ada yang berbicara.
Akhirnya Sam tidak tahan lagi. "Apa ini, Gollum?" bisiknya. "Lampu-lampu ini? Mereka di sekitar kita sekarang. Apakah kita terjebak? Siapa mereka?" Gollum menoleh. Air gelap ada di depannya, dan ia sedang merangkak di tanah, ke sana kemari, ragu-ragu mencari jalan. "Ya, mereka di sekeliling kita," bisiknya. "Cahaya-cahaya yang penuh tipuan. Lilin para mayat, ya, ya. Jangan hiraukan mereka! Jangan lihat! Jangan ikuti mereka! Di mana majikan?" Sam menoleh, dan menyadari Frodo tertinggal lagi. Ia mundur beberapa langkah, tidak berani bergerak jauh, dan hanya berani memanggil dengan bisikan parau. Mendadak ia menabrak Frodo yang sedang berdiri melamun, memandangi cahaya-cahaya pucat itu. Lengannya tergantung kaku di sisinya; air dan lumpur mengucur dari tangannya.
"Ayo, Mr. Frodo!" kata Sam. "Jangan pandangi mereka! Kata Gollum, jangan memandang mereka. Mari kita ikuti dia, dan keluar secepat mungkin dari tempat terkutuk ini kalau bisa!" Sambil bergegas maju lagi, Sam terjungkal, kakinya tersandung sebuah akar tua atau segumpal rumput. Ia jatuh dengan berat di atas tangannya, yang terbenam ke dalam lumpur lengket, sehingga wajahnya dekat ke permukaan rawa gelap itu. Ada bunyi desis samar-samar, bau menusuk keluar, cahaya-cahaya berkelip menari-nari dan berputar-putar. Sejenak air di bawahnya tampak seperti sebuah jendela yang dilapisi kaca sangat kotor, dan ia bisa mengintip ke baliknya. Sambil merenggutkan tangannya dari lumpur, Sam melompat mundur dan menjerit. "Ada mayat-mayat, wajah-wajah mayat di dalam air," teriaknya ngeri. "Wajah mayat!" Gollum tertawa. "Rawa-Rawa Mati, ya, ya: itu nama mereka," ia berkotek. "Kau jangan melihat ke dalam kalau lilin menyala."
"Siapa mereka? Apa mereka?" tanya Sam sambil menggigil, menoleh pada Frodo yang sekarang ada di belakangnya.
"Aku tidak tahu," kata Frodo dengan suara seperti sedang bermimpi. "Tapi aku juga melihatnya. Di kolam, kalau lilin-lilin menyala. Aku meiihat mereka: wajah-wajah murung dan jahat, wajah-wajah mulia dan sedih. Banyak wajah angkuh dan elok, rambut perak mereka terbelit rumput. Tapi semua buruk, semua membusuk, semua mati. Ada cahaya jahat di dalam mereka." Frodo menyembunyikan matanya dengan tangan. "Aku tidak tahu siapa mereka, tapi rasanya aku melihat ada Manusia, Peri, dan Orc di samping mereka."
"Ya, ya," kata Gollum. "Semua mati, semua sudah busuk. Peri, Manusia, dan Orc. Rawa-Rawa Mati. Ada pertempuran di zaman dahulu kala, ya, begitu ceritanya ketika Smeagol masih kecil, sebelum Kesayangan-ku datang. Pertempuran besar sekali. Manusia-manusia tinggi dengan pedang panjang, Peri-Peri yang mengerikan, dan Orc-Orc yang menjerit. Mereka bertempur di padang selama berhari-hari dan berbulanbulan di Gerbang Hitam. Tapi sejak itu Rawa-Rawa itu sudah membesar, menelan kuburan-kuburan; selalu merayap, selalu merayap."
"Tapi itu sudah lebih dari seabad yang lalu," kata Sam. "Makhluk-makhluk Mati tak mungkin benar-benar ada di sini! Apakah ini suatu sihir yang dikembangkan di Negeri Gelap?"
"Siapa tahu? Smeagol tidak tahu," jawab Gollum. "Kau tak bisa menghubungi mereka, tak bisa menyentuh mereka. Kami pernah mencobanya, ya, sayangku. Aku pernah mencobanya: tapi ternyata tak bisa disentuh. Hanya sosok-sosok untuk dilihat, barangkali, tapi bukan untuk disentuh. Tidak, sayangku! Semuanya mati." Sam menatap Gollum dengan murung, dan menggigil lagi. Ia bisa menduga, mengapa Smeagol mencoba memegang mereka. "Well, aku tidak mau melihat mereka," katanya. "Tidak mau lagi! Bisakah kita jalan terus dan pergi?"
"Ya, ya," kata Gollum. "Tapi perlahan-lahan, sangat perlahan. Sangat berhati-hati! Atau kalau tidak, hobbit-hobbit akan turun bergabung dengan Makhluk-Makhluk Mati dan menyalakan lilin-lilin kecil. Ikuti Smeagol! Jangan lihat cahaya-cahaya!"
Gollum merangkak ke kanan, mencari jalan mengitari kolam. Kedua hobbit berjalan dekat di belakangnya, membungkuk, sering menggunakan tangan mereka, seperti Gollum. "Kalau ini berlangsung lebih lama lagi, kita akan segera menjadi tiga Gollum kecil dalam satu barisan," pikir Sam.
Akhirnya mereka sampai di ujung kolam hitam, dan menyeberanginya dengan nekat, merangkak atau melompat dari satu pulau rumput berbahaya ke pulau rumput lainnya. Sering kali mereka tertegun, melangkah atau jatuh dengan tangan lebih dulu ke dalam air yang sangat menjijikkan bagai sumur jamban, sampai mereka penuh berlumuran lumpur, kotor sampai hampir ke leher, dan saling memancarkan bau busuk ke dalam lubang hidung masing-masing.
Sudah larut malam ketika akhirnya mereka kembali sampai ke tanah yang lebih kokoh. Gollum mendesis dan berbisik pada dirinya sendiri, tapi rupanya ia puas: dengan cara misterius, dengan indra peraba, penciuman, dan ingatannya yang aneh terhadap bentuk-bentuk dalam gelap, tampaknya ia sudah yakin di mana ia berada, dan sudah yakin akan jalan di depan.
"Sekarang kita maju terus!" katanya. "Hobbit-hobbit manis! Hobbit-hobbit gagah berani. Tentu sangat letih; begitu juga kita, semuanya. Tapi kita harus membawa majikan pergi dari cahaya-cahaya jahat, ya, ya, harus." Setelah berkata begitu, ia berjalan lagi, hampir berlari, menuruni jalur yang tampaknya seperti jalan panjang di tengah alang-alang tinggi; mereka terhuyung-huyung di belakangnya, secepat yang dimungkinkan. Tapi, tak lama kemudian, mendadak ia berhenti dan mengendus-endus udara dengan ragu, mendesis seolah gelisah atau tak senang lagi.
"Ada apa?" geram Sam, menyalah-artikan tanda-tanda itu. "Apa gunanya mengendus-endus? Bau busuk ini hampir membuatku pingsan, biarpun hidungku kututup. Kau bau, majikan bau; seluruh tempat ini bau."
"Ya, ya, Sam juga bau!" jawab Gollum. "Smeagol malang mencium itu, tapi Smeagol yang baik menahan diri. Membantu majikan baik. Tapi itu bukan masalah. Udara bergerak, perubahan sedang datang. Smeagol bertanya-tanya; dia tidak gembira."
la maju lagi, tapi keresahannya semakin menjadi-jadi, dan sebentar-sebentar ia berdiri tegak, menjulurkan leher ke timur dan selatan. Untuk beberapa lama, para hobbit tak bisa mendengar atau merasakan apa yang membuatnya gelisah. Kemudian mendadak ketiganya berhenti, dan mendengarkan dengan tegang. Frodo dan Sam merasa mendengar teriakan panjang melengking di kejauhan-tinggi, tajam, dan kejam. Mereka menggigil. Pada saat yang sama, pergerakan udara jadi semakin kentara, dan hawa menjadi sangat dingin. Ketika mereka memasang telinga, serasa terdengar bunyi angin yang berembus dari jauh. Cahaya-cahaya pucat berkedip, meredup, dan padam.
Gollum tak mau bergerak. Ia berdiri gemetar dan merepet pada dirinya sendiri, sampai angin mendatangi mereka dalam embusan keras, mendesis dan menggeram melewati rawa-rawa. Kepekatan malam jadi berkurang, cukup terang bagi mereka untuk melihat, atau setengah melihat, arus kabut tak berbentuk yang berpusar dan berputar-putar menggulung di atas mereka, kemudian berlalu. Ketika menengadah, mereka melihat awan-awan memecah dan terkoyak-koyak; tinggi di selatan, bulan bersinar keluar, menunggangi awan.
Untuk beberapa saat, pemandangan itu menggembirakan hati kedua hobbit; tapi Gollum gemetaran di bawah, menggerutu dan menyumpahi si Wajah Putih. Lalu Frodo dan Sam yang sedang memandang langit sambil menghirup dalam-dalam udara yang lebih segar, melihatnya datang: sebuah awan kecil terbang dari perbukitan; sebuah bayangan hitam yang dilepas dari Mordor; sosok besar bersayap dan mengancam. Ia bergerak cepat melintasi bulan, dan dengan teriakan tajam pergi ke barat, melebihi kecepatan angin.
Mereka tersungkur ke depan, telungkup di tanah yang dingin, tanpa menghiraukan sekitamya. Tapi bayangan maut itu berputar dan kembali, sekarang melintas lebih rendah, tepat di atas mereka, menyapu bau busuk rawa-rawa dengan sayapnya yang mengerikan. Kemudian ia menghilang, terbang kembali ke Mordor dengan kecepatan kemarahan Sauron; di belakangnya angin menderum buas, meninggalkan RawaRawa Mati gersang dan pucat. Tanah kosong yang telanjang, sejauh mata memandang, bahkan sampai ke pegunungan jauh yang mengancam, bebercak sinar bulan yang resah.
Frodo dan Sam bangkit berdiri, menyeka mata seperti anak kecil yang bangun dari mimpi buruk, dan menemukan malam yang ramah masih menyelubungi dunia. Tapi Gollum berbaring di tanah seolah terpukau. Mereka membangunkannya dengan susah payah, dan untuk beberapa saat ia tidak mau mengangkat wajahnya, tapi bertumpu pada sikunya, menutupi bagian belakang kepalanya dengan tangannya yang besar dan datar.
"Hantu!" teriaknya. "Hantu bersayap! Kesayangan-ku adalah majikan mereka. Mereka melihat segalanya. Tak ada yang bisa bersembunyi dari mereka. Terkutuklah Wajah Putih! Dan mereka menceritakan semuanya pada Dia. Dia melihat, Dia tahu. Aah, gollum, gollum!" Baru setelah bulan terbenam, jauh di balik Tol Brandir, ia mau bangkit atau bergerak.
Sejak saat itu, Sam merasa melihat perubahan lagi dalam diri Gollum. Ia lebih bersikap menjilat dan pura-pura ramah, tapi kadang-kadang Sam memergoki pandangan aneh di matanya, terutama terhadap Frodo; dan semakin lama ia semakin kembali ke gaya bicaranya yang lama.
Ada satu hal lagi yang dicemaskan Sam. Frodo tampaknya letih, letih sampai hampir kehabisan tenaga. Ia tidak berbicara, bahkan hampir tidak berbicara sama sekali; ia juga tidak mengeluh, tapi ia berjalan seperti orang membawa beban yang beratnya makin bertambah; jalannya pun terseret-seret, semakin pelan dan semakin pelan, sampai Sam sering harus meminta Gollum menunggu dan jangan meninggalkan majikan mereka.
Bahkan dengan setiap langkah menuju Gerbang Mordor, Frodo merasa Cincin pada rantai yang menggantung di lehernya semakin berat.
Benda itu seperti suatu bobot yang menariknya ke bumi. Tapi ia jauh lebih gelisah karena sang Mata: begitulah ia memberi julukan dalam hatinya. Lebih karena sang Mata daripada bobot Cincin yang membuatnya gemetar dan membungkuk ketika berjalan. Sang Mata: perasaan mengerikan yang semakin besar terhadap suatu hasrat jahat yang berusaha keras menembus bayangan awan, bumi, dan daging, dan berusaha melihatmu: menjepitmu di bawah pandangannya yang mematikan, hingga kau merasa telanjang, tak bisa bergerak. Sudah begitu tipis, lemah dan tipis, selubung-selubung yang masih menahannya. Frodo tahu persis di mana kedudukan dan hasrat hati itu sekarang berada: sepasti orang bisa mengatakan arah matahari dengan mata terpejam. Ia sedang menghadapi kekuatan itu, dan bisa merasakan potensi kekuatan tersebut di dahinya.
Gollum mungkin merasakan hal yang sama. Tapi apa yang berlangsung di hatinya yang malang, di bawah tekanan sang Mata, dan nafsu
yang begitu besar untuk memiliki Cincin yang begitu dekat, serta janjinya yang dibuat karena ketakutan pada pedang, kedua hobbit itu tak bisa menebaknya. Frodo tidak memikirkannya. Benak Sam sebagian besar dipenuhi pikiran tentang majikannya, dan ia hampir tidak memperhatikan awan gelap yang telah menutupi hatinya sendiri. Ia menempatkan Frodo di depannya sekarang, mengawasi setiap gerakannya dengan saksama, menopangnya kalau Frodo terhuyung, dan mencoba memberinya semangat dengan kata-kata yang canggung.
Ketika akhirnya pagi datang, kedua hobbit kaget melihat betapa dekatnya sekarang pegunungan yang tampak mengancam. Udara lebih jernih dan lebih dingin, dan meski masih jauh, tembok-tembok Mordor tidak lagi berupa sosok mengancam yang hanya tampak samar-samar, melainkan sudah berupa menara-menara hitam murung di daratan kosong yang menyedihkan. Rawa-rawa sudah habis, menghilang dalam tanah gemuk mati dan lempeng-lempeng lebar lumpur kering. Daratan di depan menjulang dengan lereng-lereng panjang, gersang dan kejam, menuju gurun yang menghampar di depan gerbang Sauron.
Sementara cahaya kelabu masih ada, mereka gemetaran di bawah sebuah batu hitam, seperti cacing-cacing, mengerut, khawatir makhluk bersayap mengerikan itu akan lewat dan melihat mereka dengan matanya yang kejam. Sisa perjalanan itu merupakan bayangan ketakutan yang semakin besar, dan di dalamnya ingatan tak bisa mencari sesuatu untuk berpijak. Masih dua malam lagi mereka berjuang melewati daratan menjemukan tanpa jalan setapak. Udara semakin keras, dipenuhi bau pahit yang mencekik napas dan mengeringkan mulut.
Akhirnya, di pagi kelima sejak menempuh perjalanan dengan Gollum, mereka berhenti sekali lagi. Di depan mereka, pegunungan tinggi menjulang sampai ke puncak asap dan awan. Di kaki mereka bertebaran dinding-dinding penopang dan bukit-bukit yang paling dekat jaraknya sekitar beberapa lusin mil. Frodo melihat sekelilingnya dengan ngeri. Rawa-Rawa Mati sudah menyeramkan, begitu pula rawa-rawa kering negeri tak bertuan, tapi daratan yang sekarang mulai tersingkap perlahan di depan matanya oleh pagi yang merangkak, jauh lebih memuakkan. Bahkan ke Kolam Wajah-Wajah Mayat sentuhan kurus musim semi masih mau datang; tapi di sini musim semi maupun musim panas takkan pernah datang lagi: Di sini tak ada yang hidup, tidak juga tanaman sakit yang tumbuh dari kebusukan. Kolam-kolam menganga dipenuhi abu dan lumpur merayap, putih dan kelabu pucat, seolah gunung-gunung sudah memuntahkan isi perut mereka yang kotor ke daratan sekitarnya. Gundukan tinggi batu karang hancur dan berbubuk, kerucut-kerucut besar tanah bekas ledakan api dan bernoda racun, berdiri seperti kuburan jelek dalam barisan tak terhingga, perlahan-lahan tersingkap dalam cahaya yang redup.
Mereka sudah sampai ke kegersangan yang terletak di depan Mordor: monumen abadi untuk kerja keras budak-budak yang harus bertahan ketika semua tujuan mereka ditiadakan; sebuah daratan yang telah dikotori, sakit, dan tak bisa disembuhkan kecuali kalau Samudra Besar membanjirinya dan menyapu bersih keberadaannya. "Aku merasa mual," kata Sam. Frodo tidak berbicara.
Untuk beberapa saat mereka berdiri di sana, seperti orang-orang di ambang tidur, di mana mimpi buruk bersembunyi, menahannya, meski mereka tahu bahwa mereka hanya bisa mencapai pagi hari melalui kegelapan. Cahaya semakin terang dan keras. Lubang-lubang menganga dan gundukan beracun jadi semakin jelas mengerikan. Matahari sudah terbit, berjalan di antara awan-awan dan panji-panji asap panjang, tapi bahkan matahari pun tercemar. Kedua hobbit tidak menyambut gembira cahaya semacam itu; terasa tidak ramah, menyingkap ketidakberdayaan mereka-hantu-hantu kecil berkuak yang mengembara di antara gundukan abu Penguasa, Kegelapan.
Karena sudah terlalu letih untuk berjalan lebih jauh, mereka mencari tempat beristirahat. Untuk beberapa saat mereka duduk tanpa berbicara di bawah bayangan gundukan ampas bijih; tapi uap berbau busuk keluar dari gundukan itu, mencekik tenggorokan mereka. Gollum yang pertama berdiri. Sambil merepet dan menyumpah ia bangkit, dan tanpa berbicara atau memandang kedua hobbit ia merangkak pergi pada kaki dan tangannya. Frodo dan Sam merangkak mengikutinya, sampai mereka tiba di sebuah sumur lebar, hampir bundar, bertebing tinggi di sebelah barat. Sumur itu dingin dan mati, di dasarnya ada genangan lumpur berminyak aneka warna yang membusuk. Dalarn lubang jelek ini mereka duduk gemetaran, berharap bisa menghindari perhatian sang Mata dalam kegelapannya.
Hari itu berlalu lamban. Kehausan besar mengganggu mereka, tapi mereka hanya minum beberapa tetes dari botol-terakhir diisi di parit, yang sekarang terasa sebagai tempat yang indah dan damai dalam bayangan mereka. Kedua hobbit bergantian berjaga. Pada mulanya, karena kelelahan, mereka tak bisa tidur; tapi ketika matahari sedang turun memasuki awan-awan yang bergerak perlahan, Sam tertidur sejenak.
Giliran Frodo berjaga. Ia bersandar pada lereng sumur, tapi itu tidak meringankan bobot beban yang dipikulnya. Ia menengadah memandang langit yang dipenuhi coretan-coretan asap, dan melihat momok-momok aneh, sosok-sosok gelap melaju, dan wajah-wajah dari masa lalu. Ia sudah tidak menyadari waktu, melayang antara tidur dan terjaga, sampai kantuk mengalahkannya.
Mendadak Sam terbangun, mengira majikannya memanggilnya. Hari sudah senja. Frodo tak mungkin memanggilnya, karena Frodo sudah tertidur, tergelincir sampai hampir ke dasar sumur. Gollum berdiri di dekatnya. Semula Sam menyangka ia sedang mencoba membangunkan Frodo, tapi ternyata tidak. Gollum sedang berbicara sendiri. Smeagol berdebat dengan suatu pikiran lain yang menggunakan suara yang sama, tapi membuatnya berdecit dan mendesis. Cahaya pucat dan cahaya hijau bergantian bersinar di matanya ketika ia berbicara.
"Smeagol sudah berjanji," kata pikiran pertama.
"Ya, ya, sayangku," terdengar jawabannya, "kita sudah berjanji: menyelamatkan Kesayangan kita, jangan sampai Dia mendapatkannya jangan pernah. Tapi Kesayangan kita sedang mendekati Dia, ya, semakin dekat dengan setiap langkah. Apa yang akan dilakukan hobbit-hobbit dengannya, kita ingin tahu, ya, kita ingin tahu."
"Aku tidak tahu. Aku tidak berdaya. Majikan yang membawanya. Smeagol sudah berjanji akan membantu Majikan."
"Ya, ya, membantu Majikan, Majikan Kesayangan. Tapi kalau kita yang jadi Majikan, kita bisa membantu diri kita sendiri, ya, dan tetap memegang janji."
"Tapi Smeagol sudah bilang akan bersikap baik. Hobbit manis! Dia melepaskan tambang kejam dari kaki Smeagol. Dia bicara ramah padaku."
"Sangat sangat baik, eh, sayangku? Ayo kita bersikap baik, baik seperti ikan, manisku, tapi untuk diri kita sendiri. Jangan menyakiti hobbit manis, tentu saja, jangan."
"Tapi Kesayangan-ku memegang janji," suara Smeagol terdengar keberatan.
"Kalau begitu, ambil saja," kata pikiran satunya, "dan biar kita menyimpannya sendiri! Dengan begitu, kita akan jadi Majikan, gollum! Biar hobbit satunya, hobbit yang jahat dan pencuriga, biar dia merangkak, ya, gollum!"
"Tapi jangan hobbit yang manis?"
"Oh tidak, jangan kalau itu tidak menyenangkan kita. Tapi, bagaimanapun, dia seorang Baggins, sayangku, ya, seorang Baggins. Seorang Baggins yang mencurinya. Dia menemukannya dan tidak mengatakan apa pun, sama sekali tidak. Kita benci kaum Baggins."
"Tidak, Baggins yang ini tidak."
"Ya, semua Baggins. Semua orang yang menyimpan Kesayangan kita. Kita harus memilikinya!"
"Tapi Dia akan melihat, Dia akan tahu. Dia akan mengambilnya dari kita!"
"Dia melihat. Dia tahu. Dia dengar kita bikin janji bodoh melawan perintahnya, ya. Harus mengambilnya. Hantu-hantu masih mencarinya.
Harus mengambilnya."
"Bukan untuk Dia!"
"Tidak, manisku. Begini, sayangku: kalau kita memilikinya, kita bisa lolos, bahkan dari Dia, heh? Mungkin kita akan menjadi sangat kuat, lebih kuat daripada Hantu-Hantu. Lord Smeagol? Gollum Agung? Sang Gollum! Makan ikan setiap hari, tiga kali sehari, segar dari laut.
Yang Termulia Gollum! Harus memilikinya. Kita menginginkannya, kita menginginkannya, kita menginginkannya!"
"Tapi mereka berdua. Mereka akan segera bangun dan membunuh kita," ratap Smeagol dalam upaya terakhir. "Jangan sekarang. Jangan dulu."
"Kita menginginkannya! Tapi" dan di sini ia berhenti lama, seolah pikiran baru timbul. "Belum, eh? Mungkin tidak. Perempuan itu mungkin akan membantu. Mungkin dia membantu, ya."
"Jangan, jangan! Jangan dengan cara itu!" erang Smeagol.
"Ya! Kita menginginkannya! Kita menginginkannya!" Setiap kali pikiran kedua berbicara, tangan Gollum yang panjang perlahan-lahan merangkak maju, menggapai ke arah Frodo, lalu ditarik kembali dengan sentakan ketika Smeagol berbicara lagi. Akhirnya kedua lengannya, dengan jemari panjang dilenturkan dan berkedut, terulur ke leher Frodo.
Selama itu Sam berbaring diam, terpukau pada debat itu, tapi mengawasi setiap gerakan Gollum dan bawah kelopak matanya yang setengah terpejam. Bagi pikirannya yang sederhana, ancaman utama dari Gollum adalah kelaparan yang biasa, hasrat untuk makan hobbit.Sekarang ia menyadari bukan begitu halnya: Gollum sedang merasakan panggilan mengerikan dari Cincin tersebut. Yang dimaksudnya dengan Dia tentu saja sang Penguasa Kegelapan; tapi Sam bertanya-tanya, siapa perempuan yang disebutnya. Salah satu kawan jahat yang ditemuinya dalam salah satu pengembaraannya, pikir Sam. Lalu ia lupa hal itu, karena jelas kelakuan Gollum sudah keterlaluan, dan mulai berbahaya. Rasa berat menekan seluruh tubuhnya, tapi dengan susah payah ia membangunkan dirinya sendiri dan duduk tegak. Sesuatu memperingatkannya agar berhati-hati dan jangan memperlihatkan bahwa ia sudah menguping debat itu. Ia mengeluarkan desahan panjang dengan keras, dan menguap lebar sekali.
"Jam berapa sekarang?" katanya sambil mengantuk.
Gollum mengeluarkan desis panjang melalui giginya. Ia berdiri tegak sejenak, tegang dan mengancam; kemudian ia roboh, jatuh ke depan pada tangan dan kakinya, dan merangkak mendaki tebing sumur. "Hobbit manis! Sam manis!" katanya. "Si pengantuk, ya, si pengantuk! Biarkan Smeagol yang baik berjaga! Tapi sudah sore. Senja sudah merayap. Sudah waktunya pergi."
"Memang sudah waktunya!" pikir Sam. "Dan sudah saatnya kita berpisah juga." Tapi terlintas dalam pikirannya, apakah Gollum tidak lebih berbahaya kalau berkeliaran bebas, daripada bila berjalan bersama mereka. "Terkutuklah dia! Kuharap dia mati tercekik!" gerutu Sam.
la terhuyung-huyung melintasi tebing, dan membangunkan majikannya. Mengherankan sekali, ternyata Frodo merasa segar. Ia sudah bermimpi. Bayangan gelap sudah lewat, dan pemandangan elok mengunjunginya di negeri bobrok ini. Tak ada yang tertinggal dalam ingatannya, tapi karena mimpi itu ia merasa bahagia, dan hatinya terasa lebih ringan. Bebannya tidak begitu berat lagi. Gollum
menyambutnya dengan gembira, bagai seekor anjing. Ia tertawa dan mengoceh, mengertakkan jari jarinya yang panjang, dan mencakar lutut Frodo. Frodo tersenyum padanya.
"Ayo!" katanya. "Kau sudah menuntun kami dengan baik dan setia. Ini tahap terakhir. Bawalah kami ke Gerbang, dan aku tidak akan memintamu pergi lebih jauh. Bawalah kami ke Gerbang, dan kau bebas pergi ke mana pun kau mau tapi jangan ke musuh-musuh kami."
"Ke Gerbang, eh?" decit Gollum, kelihatan heran dan ketakutan. "Ke Gerbang, kata Master! Ya, dia bilang begitu. Dan Smeagol yang baik melakukan apa yang dimintanya, oh ya. Tapi kalau kita sudah dekat, kita lihat saja bagaimana, kita lihat saja nanti. Tidak akan menyenangkan sama sekali. Oh tidak! Oh tidak!"
"Ayo jalan!" kata Sam. "Mari kita selesaikan secepatnya."
Di saat senja turun, mereka merangkak keluar dari sumur dan perlahan-lahan menapaki jalan mereka melalui daratan mati itu. Belum lagi berjalan jauh, mereka sudah kembali merasa ketakutan, seperti ketika sosok bersayap itu terbang di atas rawa-rawa. Mereka berhenti, gemetaran di tanah yang berbau busuk; tapi mereka tidak melihat apa-apa di langit muram di atas, dan dengan segera ancaman itu lewat, jauh tinggi di atas, mungkin pergi untuk tugas cepat dari Barad-dur. Setelah beberapa saat, Gollum bangkit dan merangkak maju lagi, sambil menggerutu dan gemetaran.
Sekitar satu jam setelah tengah malam, ketakutan menimpa mereka untuk ketiga kalinya, tapi kini rasanya lebih jauh, seolah ia lewat tinggi di atas awan-awan, bergegas dengan kecepatan tinggi ke Barat. Tapi Gollum tak berdaya karena ngeri. Ia yakin mereka diburu, dan bahwa kedatangan mereka ketahuan.
"Tiga kali!" ratapnya. "Tiga kali sudah sangat gawat. Mereka merasakan kita, mereka merasakan Kesayangan-ku. Kesayangan-ku adalah majikan mereka. Kita tak bisa pergi lebih jauh melalui jalan ini, tidak. Tak ada gunanya, tak ada gunanya!" Memohon-mohon dan kata-kata ramah tidak berguna lagi. Baru setelah Frodo memerintahkannya dengan marah dan memegang pangkal pedangnya, Gollum mau bangkit lagi. Ia bangkit sambil menggeram, dan berjalan di depan mereka seperti anjing yang kalah.
Begitulah … mereka terseok-seok sepanjang akhir malam yang melelahkan, dan sampai datangnya hari baru, mereka berjalan membisu dengan kepala tertunduk, tidak melihat apa pun, tidak mendengar apa pun kecuali angin yang mendesis di telinga.
BERSAMBUNG KE BAB 3/10 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates