Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm. BAB 9/10

<<< SEBELUMNYA
5 cm
...keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun...
ARCOPODO MAHAMERU. Tujuh Belas Agustus. Tanah Air ini.
This world is for those who want to fight
Sehabis tertunduk, mereka mendongak ke atas. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana mana.
Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan cahaya senter para pendaki yang mulai mendaki Mahameru. Bintang-bintang bertebaran menambah suasana malam yang tidak biasa. Hujan abu kembali menghunjam mata mereka.
"Ada yang ingat janji kita waktu di jip? Apa yang kita perlu untuk sampai ke puncak?"
"Masih."
"Masih...."
"Apa?"
"Yang kita perlu sekarang, cuma kaki yang akan beijalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja."
"Dan hati yang akan bekeija lebih keras dari biasanya...."
"Serta mulut yang akan selalu berdoa...."
Mereka pun tertunduk melihat satu sama lain, "Mahameru kita datang!"
Peijalanan diteruskan. Entah sudah berapa batu nisan yang mereka temui selama di Arcopodo—batu nisan itu tampak memenuhi hutan cemara. Beberapa pendaki terlihat berhenti dan berdoa di depan batu nisan. Akhirnya mereka berada di ujung hutan cemara di sebuah tanah agak lapang. Rasanya tinggi sekali. Di kiri kanan tampak lampu-lampu kota yang berkilau sangat kecil seperti ribuan titik cahaya. Di antara gelapnya malam, awan putih terlihat berada di bawah.
"Kita di atas awan."
"Itu lampu kota?"
"Kecil banget...."
"Keren...."
"Dari sana dimulai pendakian." Genta menunjuk ke sebuah jalan kecil seperti jembatan yang menyembul di antara jurang dalam di kanan dan kirinya Rangkaian rantai tampak membentang di atas tonggak-tonggak, mengikuti arah jalan kecil.
"Kita harus menyeberang jalan itu... hati-hati ya."
Semuanya berpegangan erat di rantai. Wajah mereka tampak pilu. Sedikit saja tergelincir mereka akan jatuh ke jurang dalam.
Genta menggigit senternya, mencoba menerangi jalan kecil gelap itu. Pasir gunung terlihat di mana mana. Gelapnya malam membuat mereka tak bisa membedakan mana pasir, mana tanah keras. Beberapa pendaki yang sudah menyeberang terlihat memegangi rantai, saling membantu menjaga keseimbangan rantai.
Genta melangkah hati-hati sambil mengawasi teman-temannya. Disusul Riani, Dinda, Zafran, dan Arial. Ian merasa ngeri melihat jurang dalam di depannya... dia terus berdoa dalam hati.
Hup.
Arial yang terakhir sampai di ujung penyeberangan. Semua bernapas lega. "Fiuh."
"Selanjutnya vertikal...," Arial melihat ke atas, gundukan pasir dan batu gunung sekarang berada di depannya. Jalan setapak tinggi berpasir itulah yang harus mereka taklukan.
Rombongan itu sekarang ada di awal paling bawah pendakian puncak Mahemeru yang seperti gundukan pasir raksasa.
Beberapa bongkahan pasir kecil tampak terus-menerus jatuh.
"Hati-hati ya:, semuanya."
Genta mulai melangkah naik, tangannya bertumpu pada tanah keras yang menonjol... sesekali sentemyaia selipkan di mulut.
Mereka terus mendaki dan mendaki mencari tanah keras untuk tolakan atau pijakan, beratnya medan dan banyaknya pendaki pemula di rombongan itu membuat pendakian terasa panjang dan melelahkan. Setengah jam sudah berlalu, mereka masih saja berada tak jauh dari awal pendakian. Udara yang sangat dingin terus menerpa tubuh mereka seperti tusukan ratusan jarum. Baru kali ini mereka merasakan hawa dingin seperti ini.
"Fiuh... fiuh... susah napas...."
"Lapisan udaranya semakin tipis."
"Banyak pasir masuk ke mulut dan hidung."
"Fiuh... sumpah... berat juga."
Mereka melihat ke bawah... kecewa, sudah begini beratnya tapi jaraknya tidak terlalu jauh.
"Naik lima langkah, turun merosot lagi dua langkah. Fiuh."
Tiba-tiba sebuah teriakan dari atas mengejutkan mereka,
"Batu, batu... awas!!!"
"RocksW
Grud.uk, gruduk... berr....
Beberapa batu kecil dan besar seukuran genggaman tangan jatuh dari jalur pendakian. Semua pendaki menjatuhkan badannya ke samping.
Buk... buk... gruduk....
Batu-batu itu lewat di depan mereka Napas mereka memburu satu-satu. Mereka hanya bisa saling bertatapan, membayangkan kalau batu tadi menimpa mereka
Genta tercekat Dia lupa bilang tentang hal ini. "Sori, emang natinya banyak batu yang jatuh dari atas selama pendakian.
Hati-hati ya...."
"Nggak bilang /o," Zafran tampak terengah-engah.
"Sori banget lupa.... Kalo denger kata 'batu' atau 'rocks'
langsung aja nengok ke atas, liat batunya jatuh ke mana terus coba menghindar, tapi jangan panik. Begitu juga kalo kita yang bikin batu itu terlepas atau jatuh. Kita harus teriak supaya yang di bawah denger dan nggak kena batu. Oke?"
"Emang batunya dari mana?"
"Yah dari pijakan kita, kalo pijakannya rapuh dia langsung jatuh makanya pastiin dulu pijakannya kuat, baru dipakai."
"Kalo batunya masih segede tadi sih nggak masalah," Ian melihat sekitarnya.
"Bisa segede ini." Genta menunjuk sebuah batu hampir sebesar setengah badan manusia di depannya.
"Makanya hati-hati, kita nggak akan pernah tau."
"Ya udah...pasang mata, pasang telinga ya...."
"Ayo!"
"Jalan lagi."
"Mmh... mmh... dingin banget."
"Ayo jalan lagi... jangan berhenti lama-lama, bahaya dingin banget, badan kita harus terus mengeluarkan panas, jangan berhenti bergerak."
Cahaya-cahaya senter terus menari-nari, mencari bongkahan tanah keras atau batu gunung untuk berpijak. Rombongan kecil itu terus mendaki dan mendaki... melawan hawa dingin, rasa takut, dan hujan abu yang hampir tiap lima belas menit mendatangi mereka. Tubuh mereka pun sudah tak berbentuk lagi, terbungkus segala macam pakaian, kadang-kadang hanya mata yang terlihat. Pendaki lain yang naik bersama mereka pun tidak tampak jelas wajahnya, semuanya menutup badan dengan apa saja yang bisa digunakan supaya pasir dan udara dingin tidak terlalu menghantam.
Arial yang mendaki paling belakang hanya bisa mengenali jaket paling luar yang dipakai teman-temannya Arial melihat ke atas, kelima temannya masih terus mendaki. Puncak pasir mahabesar itu dari bawah jalur pendakian terlihat seperti pipa panjang sekali, seperti saluran pasir tinggi, dengan batu gunung besar mengapitnya. Untuk pertama kalinya dalam pendakian, Arial merasa kelelahan yang amat sangat.
"Breaks Arial berteriak lemas. Rombongan berhenti, melihat ke belakang. Arial tampak terduduk di antara bongkahan batu gunung.
"Kewwnhwaapa, Ni?" tanya Genta
Riani menggeleng.
"Kewwnhwaapa?" Genta beijalan mendekati Arial, melewati teman yang lain. Napasnya memburu... sesak.
"Kewwnhwaapa?" Genta melepas penutup mulutnya.
"Kenapa?"
"Ah... ah... ah... ah...," napas Arial tampak memburu satu-satu. " Nggak tau, Ta, tiba-tiba badan gue lemes banget... kecapekan gue."
Dada Arial tampak naik turun.
"Lo kedinginan, kurang tebal jaket lo...."
"Ini bukan kelelahan, ini kedinginan...."
"Minum dulu aja," Riani menyodorkan sebotol air mineral.
Arial tampak bersandar lemas di bebatuan. Kelima temannya tercekat. Arial yang dari segi fisik diandalkan, tiba-tiba tergeletak begitu saja Semua mengerubungi Arial.
"Luf ewenghgak fhafha?"
"Buka dulu, Ple, dia nggak denger."
"Lo nggak apa-apa?"
Arial tidak menjawab. Matanya menatap teman-temannya satu-satu.
Kelimanya makin tercekat.
"Udah berapa jauh, Ta?"
"Hampir setengah."
"Masih setengah lagi?"
"Liat aja itu puncaknya. Kita udah hampir setengah, liat udah hampir subuh...," Ian menatap ke atas.
Genta mengangguk. Di bawah masih banyak cahaya lampu senter dari pendaki lain.
"Gimana Rambo?"
Arial masih menggeleng, sendinya terasa pegal sekali. Udara dingin terus menusuk-nusuk.
"Pakai jaket gue nih." Ian membuka jaket luarnya dan memberikan ke Arial.
"Lo gimana, Yan?"
"Gue lapis lima."
"Pake Rambo...."
"Inget, lo kedinginan bukan kecapekan ya. Lo pasti bisa ke puncak."
Arial memakai jaket Ian.
"Tambah lagi nih," Zafran melepas sweater rajutannya.
"Jangan Ple, badan lo kan kurus... bisa cepet kedinginan."
"Masih ada enam lapis lagi."
Arial memakai sweater Zafran yang kekecilan, tapi bisa membuat badannya lebih hangat "Fiuh mendingan...." Arial memandangi teman-temannya.
"Gue turun aja, gue lemes banget, badan gue kayak ditusuk-tusuk."
"Enggak!!! Apa-apaan /o!!!" Genta menatap tajam mata Arial, tangannya mencengkeram bahu Arial.
"Eh liat gue. Elo kedinginan, bukan kecapekan."
"Kedinginan bukan kecapekan."
"Ta, gue nggak kuat, Ta...." Dada Arial tampak naik turun dengan irama yang tidak biasa. Semuanya bingung melihat sekeliling, cahaya terang subuh sudah hampir datang. Langit tampak sedikit membiru.
"Udah subuh...," Zafran melihat Arial tajam.
"Mas lal, sebentar lagi juga ada matahari, pasti lebih hangat"
"Lo bilang lo udah taruh kita dan puncak Mahameru di sini," kata Zafran sambil meletakkan telunjuknya di kening Arial.
"Ayo Rambo jangan nyerah."
"Arial, please jangan nyerah... please..."
"Arial, jangan nyerah...."
Genta mengedarkan pandangannya. Beberapa pendaki tampak melewati mereka dan dengan ramah menanyakan keadaan Arial yang tergeletak. Senyum beberapa pendaki tadi dan badannya yang mulai hangat kembali, membuat semangat Arial hidup lagi.
"Yuk...." Tanpa berkata apa-apa lagi, Arial berdiri, matanya memicing melihat puncak Mahameru.
"Ada orang yang mau nyerah... tapi gue bukan orang kayak gitu." Arial meneruskan, "Lagian, kayaknya di sana lebih hangat deh. Kan lebih dekat ke matahari." Arial tersenyum.
"Gitu dong\\r
Semuanya berdiri, menonjok-nonjok badan Arial yang tampak aneh memakai sweater ungu Zafran yang kekecilan.
Arial menatap tajam ke langit dan berujar tegas, this world is for those who want to fight.
"Yuk cepet selesaikan puncak ini," ajak Arial.
"Ciee... yang udah sehat," Riani menonjok pelan bahu Arial.
"Bukan gitu, gue malu sama sweater ungu gini, mana ketat banget lagi.
"Lagian otaknya di mana? Cowok beli warna ungu."
"Hahaha...."
uGue kan flamboyan...lain dwong artis," Zafran menaik-naikan alisnya
"Hahaha..."
"Yuk., setengah lagi...dan Mahameru...."
Hujan abu turun lagi. Sekarang bertambah deras, menimbulkan gemeletak-gemeletak menyeramkan.
"Gue di depan ya, Ta...." Arial tampak semangat.
"OK Bos!"
Malam mulai beranjak pergi, udara pagi mulai menyapa mereka. Mereka terus mendaki. Beberapa kali teriakan 'batu'
dan rocks mewarnai pendengaran mereka. Sesekali mereka meng-hindari terjangan batu-batu yang lewat di jalur pendakian.
Udara mulai terlihat terang, rona jingga di mana-mana.
"Break*" Arial berteriak keras.
Mereka berenam melepas lelah, udara hangat mulai menyapa Puncak Mahemeru mulai terlihat terang.
"Chewaefpef..., Yfal?" Zafran buka percakapan.
"Buka dulu tutup mulut lo."
"Capek, Yal?"
Kelima pendaki yang lain melihat ke Arial yang duduk membelakangi puncak Mahameru. Matanya menatap jauh ke depan.
"Nggak...."
"Ta...."
"Iya, Yal."
"Ini yang lo bilang, samudra di atas langit."
Semua memandang jauh membelakangi puncak jalur pendakian di bawah mereka yang tampak kecil sekali. Semburat jingga mengumpul di atas langit dan gumpalan awan seperti ombak bergulung dengan rona jingga tipis mengarsir pinggir-annya. Awan putih bersih sekali seperti berada di bawah mereka, bergulung tanpa ujung, bagai lautan luas mendekati langit Hamparan putih seperti kapas itu hias sekali seperti tak berujung.
"Kita di atas awan... kita di atas awan...."
"Keren banget."
"Iya, ini yang pernah gue bilang. Samudra menyentuh langit."
"Subhanallah...."
"Keren banget"
Di antara berbagai macam kain dan kacamata hitam yang menutupi wajahnya, Zafran menatap pemandangan di depannya tajam. Di antara lelah tak terhingga, mereka mengucap syukur dan terima kasih. Kembali keajaiban Mahameru menyapa mereka.
Lama mereka mengaggumi keindahan pagi yang menyapa.
Matahari pagi tujuh belas Agustus pun terbit sinar matahari yang hangat menyapa badan dingin mereka. Semuanya sedikit memicingkan mata melawan sinar matahari yang bersinar terang, l arikan napas kekaguman dan rasa syukur kembali terdengar.
"Yuk naik lagi, tinggal sedikit lagi...."
"Tinggal seperempat jalan lagi kayaknya."
"Betul!"
Mereka kembali mendaki. Kali ini udara lebih hangat membuat mereka semakin semangat mendaki.
Brugl
Teriakan panik terdengar dari atas. "Awas!!! Yang di bawah awas...!"
Brug brrbklutuk Iklutuk....
"Batu!!!"
. "Awas...!!!"
Puluhan batu sebesar ukuran kepala manusia tampak berjatuhan dari atas mereka. Semua berusaha menghindar ke samping, mencoba mencari perlindungan di bawah batu yang lebih besar.
Brug... brug... brug....
- "Awas! Awas! Batu!"
Para pendaki yang berada di jalur pendakian berteriak sekuat tenaga.
Brug brug....
Genta panik melihat banyaknya batu yang datang, bayang-bayang teman-temannya tampak menghindar ke sana kemari.
Batu-batu sebesar kepala manusia terus berjatuhan.
Genta menunduk melindungi kepalanya, wajahnya mencium pasir jalur pendakian, beberapa batu kecil terasa menerpa punggungnya. Tiba-tiba gulungan pasir seperti air bah memenuhi jalur pendakian, mengalir deras ke bawah, menghunjam keras bersama rombongan batu-batu.
Brrr... brrr....
Brug... brug... brug....
"Ahh...."
"Aaaaa...:"
"Aduh... aduh...!"
Genta nggak percaya pada pendengarannya. Suara suar»
yang sangat ia kenal seperti berteriak kesakitan. Hujan batu d;ui banjir pasir itu seperti tidak mau berhenti. Genta masih terus tiarap melindungi kepalanya.
Hujan batu dan pasir masih belum selesai. Gemuruh. Riuh.
Lalu... keheningan memenuhi jalur pendakian.
Genta segera berdiri, matanya nanar mencari kelima temannya. Ian dan Dinda tampak tergeletak, menelungkup. Riani tiba-tiba muncul di depannya dengan muka penuh abu dan pasir.
Genta mengguncang tubuh Riani yang kotor penuh abu.
"Ni... Ni... nggak pa-pa kan?"
Riani menggeleng dalam diam. Genta menarik napas lega.
Zafran terlihat menggeliat dari bawah tumpukan batu besar.
Telapaknya lecet dan sikunya tampak robek. Seperti sudah tahu pertanyaan Genta, dia hanya menganggukkan kepalanya.
Kening Arial tampak lecet. Ia duduk dan menggoyangkan tubuh adiknya yang masih tengkurap tanpa gerakan. Di sebelahnya Ian dengan posisi yang sama.
Deg.
Semua tercekat, hati mereka seperti ditusuk pedang tajam.
Darah.
GENTA menyapu pasir yang menutupi wajah Ian. Keningnya tampak benjut dan tergores panjang, tetesan darah menetes satu-satu dari situ.
"Ian... Ian...."
Ian masih terpejam. Zafran ikut menggoyang tubuh Ian, menepuk-nepuk pipinya. Riani terlihat menangis, mengeluarkan Betadine dan perban. Beberapa pendaki mendatangi mereka.
Riani melihat Dinda yang masih belum sadar di pelukan Arial.
Arial masih mengoyang-goyangkan tubuh adiknya.
"Dinda... Dinda...."
Wajah Arial terlihat sangat ketakutan. Riani ikut menggoyang bahu Dinda dan baru bernapas lega ketika melihat dada Dinda masih turun naik. Wajah cantiknya masih tertutup pasir.
"Din... Din...."
Dada Dinda bergerak naik turun semakin cepat. Lalu, Dinda memuntahkan banyak pasir dari mulutnya beberapa kali. Arial memijat-mijat tengkuk kembarannya itu. Dinda terus muntah pasir bercampur air. Matanya perlahan membuka, tampak berair menahan tangis dan takut. Dinda langsung memeluk abangnya erat sekali dan menangis sesenggukan.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
Dinda nggak menjawab. Dia masih memeluk abangnya dan menangis.
"Minum dulu, minum dulu, Din," Riani menyodorkan botol air mineralnya. Dinda yang masih menangis, menerima uluran botol air mineral Riani dan langsung meminumnya. Air sejuk mengalir memenuhi tenggorokannya.
Dinda tiba-tiba berkata pelan, terputus-putus, "I... i... i...an... Ian a... ada... ba... ba... tu yang ke... ke... na ke... kepalanya...."
Dinda langsung berdiri dan mencari Ian. "Fiuhh...," Arial dan Riani saling bertatapan lega melihat Dinda bisa berdiri.
Ketiganya langsung berlari ke tempat Ian tergeletak. Ian masih tergeletak tak sadarkan diri, Genta langsung mencuci luka di kening Ian, memberi Betadine dan membungkusnya dengan perban.
"Ian... Ian... Ian bangun, Yan!"
"Please bangun, Yan!"
"Ian, Ian!!!"
Zafran Riani dan Dinda menangis melihat Ian yang masih tak sadar... seluruh badan dan wajah Ian penuh dengan pasir.
"Ian... Ian... bangun... Ian, please...."
Mereka terus mengoyang-goyang tubuh Ian. Arial menekan dada Ian. Genta melakukan prosedur CPR...meniupkan udara ke mulut Ian. Tiba-tiba dada Ian naik turun cepat sekali. Ian
\
memuntahkan pasir bercampur air dari mulutnya. Riani dan Arial agak lega karena mungkin lan akan sadar seperti Dinda.
Tapi tubuh Ian masih belum bergerak.
Genta terus mengoncang-goncangkan tubuh itu. air matanya tampak menetes. Kembali dada Ian turun naik cepat sekali dan...
badan Ian terlonjak seperti tersengat listrik. Tiba-tiba Dada Ian berhenti naik turun dan diam....
"Oh...."
"Oh...."
"Jangan!"
Riani menutup penglihatannya, matanya tidak kuat melihat pemandangan di depannya. Keheningan kembali melanda jalur pendakian itu, beberapa pendaki tampak meneteskan air mata melihat kejadian di depan mereka. Genta berhenti mengguncang-guncang tubuh Ian, berdiri mematung menatap tubuh yang tergeletak dalam diam.
Riani, Arial, Dinda, dan Zafran berlari memeluk Genta.
"Ta, Ian, Ta...."
"Ian...."
Mata mereka tak lepas memandang tubuh Ian yang masih terdiam tanpa gerakan sedikit pun. Seluruh pandangan tertuju ke dada Ian, mencoba berharap melihat sedikit gerakan.
" Ian...."
Dalam sekejap jalur itu penuh dengan para pendaki.
Hanya keheningan, suara sesenggukan, dan tarikan napas panjang memenuhi pendengaran mereka. Genta memejamkan matanya dan melihat ke langit Mukanya merah menahan segala macam perasaan bercampur aduk... dalam dirinya.
Zafran teringat cerita Ian di Ranu Pane saat melihat kuburan.
Mungkinkah itu pertanda? Terus nisan dengan nama Adrian?
Zafran menggeleng tidak rela pada pemikiran yang memenuhi pikirannya itu. Zafran tiba-tiba menubruk badan Ian dan memeluknya. Tangisnya meledak saat itu juga.
"Ian jangan pergi, Yan! Ian jangan pergi, Yan... Ian jangan pergi dulu...!!! Elo kan mau wisuda, Yan... jangan Yan, jangan...
maafin gue, Yan... gue banyak salah...."
"Ian... nggak... boleh... pergi." Genta kembali menangis, mengingat perjuangan Ian untuk wisuda, bayangan keluarga Ian melintas di benaknya. Cerita Ian tentang kulit tangan orang tuanya yang mulai keriput bayangan SMA-nya kala malam, Ian yang lucu, daerah rumah Ian, Ian dengan seragam putih abu-abu, Ian sedang melahap Indomie, rumus Indomienya Ian, tawa Ian yang lepas, Ian yang bercanda dengan Mas Suhartono Gembul di angkot, Ian yang selalu..., Ian yang belum wisuda.
Genta seperti nggak rela... nggak rela. Arial untuk pertama kalinya meneteskan air mata.
"...L^AAAAAAANNNNNNN!!!" Zafran berteriak keras ke langit suaranya memecah keheningan.
Kosong.
"Puih... puih... kenapa lo, Ple? Bikin kaget aja... teriak-teriak.
Puih... puih... pasir nggak enak ya, Ple.... Puih nggak lagi-lagi deh gue makan pasir. Nggak enak."
"YEAAAAAAH!!!" suara sorakan gembira memenuhi jalur pendakian Mahameru... semuanya terlihat lega.
"YES!!!... YES!!!... YES!!!"
Ian masih bingung, banyak banget orang di sekelilingnya.
Mulutnya masih meludah-ludahkan pasir.
"Pasir nggak enak...."
"IAN....!"
Kelima sahabatnya langsung memeluk makhluk gendut yang seperti baru bangun dari tidur. Kerumunan para pendaki yang mengerubungi mereka berenam perlahan membubarkan diri dan meneruskan perjalanan ke puncak.
*
"Ini berapa, Yan?" Zafran mengacungkan dua jarinya.
Ian yang sekarang tampak memakai balutan panjang perban mengitari kepalanya langsung menjawab, "Dua"
"Ini..." Sekarang Zafran membentangkan enam jarinya.
"Enam!"
"Kalo ini berapa?" Rianr membentangkan seluruh jarinya.
"Sepuluh...."
"Ruh nggak gegar otak nih gajah dumbo."
"Ini berapa?" Genta melebarkan jarinya membentuk bentangan lima.
Ian tampak berpikir lama,
"Nah lho? Dia mikir?"
"Tujuh!" jawab Ian spontan.
"Yah...," kelimanya tampak panik.
"Hehehe bo'ong. Lima, wee....'"
"Yeee... gajah dumbo becanda lagi."
"Lagian emang gue gila apa?"
"Kita takut lo gegar otak, Yan."
"Gegar otak apa? Orang tadi cuma gores kok, nggak dalam cuma goresannya panjang, jadinya darahnya rada banyak."
"Tanya lagi, tanya lagi... gue masih belum yakin, yang agak susah."
"Nama lengkap lo?"
"Adrian Adriano."
"Rumah di...?"
"Jalan Bumi, Mayestik Jakarta Selatan. Tuh kan bener gue masih waras. Udah dehV -
"Yang lebih susah... yang lebih susah."
"Manchester United juara champion berapa kali?"
"Dua!"
"Tahun berapa aja?"
"69 sama 99... wee....n
"Nama dosen pembimbing lo?"
"Sukonto Legowo..., tapi bacanya jangan disambung...."
"Hahaha...."
"Yang susah... musik, musik, musiknya Ian...."
"Basisnya Jamiroquai?"
"Nggak ada, Hah? Nggak ada basisnyajamiroquai sekarang."
"Ada!" Zafran keukeuh.
"Dulu ada namanya Stuart Zender, sekarang dia udah keluar... wee... Jamiroquai belum punya basis lagi."
"Oh Stuart Zender udah keluar? Nggak tau gue."
"Yee... pinteran gue daripada lo. IJO kali yang gegar otak, Ple."
"Dia mah emang dari lahir."
"Sialan lo."
"Udah ah... berangkat lagi."
"Sekali lagi, sekali lagi."
"Apa?"
"Model favorit lo?"
"Paris Hilton."
"Tinggi Mahameru berapa meter dari permukaan laut?" Ini pertanyaan yang nggak Genta harapkan jawabannya bener karena emang susah ngingetnya.
"3676 meter... tuh masih pinter kan gue."
"Bener, Ta?" semuanya bertanya ke Genta.
Genta mengangguk.
"Yes..." Ian sehat-sehat aja, Genta memeluk Ian.
Angin pagi dan matahari hangat menyapa mereka di jalur pendakian Mahameru. Semuanya menarik napas lega. Dinda terlihat tersenyum manis memeluk abangnya. Rasa sakitnya sudah hilang.
"Yuk... masih ada satu tugas lagi buat kita."
Genta menatap Mahameru yang tinggal dalam hitungan puluhan meter lagi. Semua tersenyum lega menatap ke atas, sesuatu telah datang lagi di hati mereka dan satu potongan hati pun harus mereka tinggalkan di situ, sesuatu yang nggak akan mereka lupakan seumur hidup.
"Duluan ya Mas-mas dan Mbak-mbak. Ayo sebentar lagi sampai puncak langsung upacara bendera di atas." Seorang mahasiswa yang memakai jaket almamater lewat sendirian, membawa bendera merah putih. Ia tersenyum manis sekali saat menyapa.
"Oh iya, Mas. Silakan duluan," Zafran tersenyum ramah membalas sapa ramah si mahasiswa
"Aneh ya, Ple. Naik gunung kok pake jaket almamater."
"Itu namanya cinta kampus, Yan."
"Tapi kayaknya gue pernah ngeliat."
'Jaketnya sih warnanya hampir sama dengan jaket almamater kampus gue."
"Anak kampus lo kali, Yan... tanyain gih\"
"Iya juga ya, wajahnya familiar, sepertinya pernah gue liat.
Ntar aja di puncak juga ketemu. Jarang-jarang ketemu teman satu kampus di sini."
Ian dan Zafran terus mendaki. Kali ini mereka tambah bersemangat setelah melihat bendera merah putih yang dibawa oleh mahasiswa tadi.
"This is it... the end... of our journey..."
Genta berhenti sebentar di antara dua buah batu besar. Jalur pendakian tampak berhenti di situ. Mereka masih belum sampai puncak, pemandangan puncak Mahameru masih tertutup gundukan tanah kecil di depan mereka.
"Hanya beberapa langkah lagi... kita sampai di puncak...."
"Hold my hand please..." Genta menjulurkan tangannya ke Riani di belakangnya.
Riani tersenyum menggandeng tangan Dinda di belakangnya, Dinda memegang tangan Ian, Zafran dan Arial terus menyambung genggaman itu.
"Siaaap?"
Genta tersenyum lepas... semuanya memandang satu sama lain. Setengah berlari mereka bergandengan memasuki jalur akhir pendakian yang tinggal sepuluh meter lagi.
Tujuh meter....
Lima meter....
Tiga meter....
...!!!!
"Dan... kita di Mahameru...."
Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Waktu seperti terhenti, dataran luas berpasir itu seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit, di sekeliling mereka tampak langit biru—sebiru-birunya—dengan sinar matahari yang begitu dekat Awan putih berkumpul melingkar di bawah mereka di mana-mana, asap putih tebal yang membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya.
Masih dengan bergandengan mereka berputar- putar di puncak Mahameru. Mereka seakan terbang melayang-layang, genggaman mereka semakin erat rasa yang ada tak terbayangkan, tidak ada lagi tanah lebih tinggi yang mereka lihat, tinggal langit saja—itu pun seperti bisa tersentuh. Bentangan awan di bawah mereka seakan menunduk ikut menyembah Mahameru... genggaman mereka pun semakin keras. Semuanya mencopot segala macam atribut yang membebani wajah semenjak tadi malam, membiarkan rambut-rambut beriapan dan wajah merasakan udara di tanah tertinggi di Pulau Jawa.
Mata mereka seakan tidak mau terpejam menikmati pemandangan yang begitu luar biasa... sepilas bayang-bayang perjalanan mereka lewat satu-satu di depan mata mereka.
Matarmaja, Lempuyangan, hutan jati antara Madiun dan Nganjuk, Angkot Mas Gembul, peijalanan di atas jip menyapa Bromo dan padang pasirnya, Ranu Pane, keajaiban hati yang mereka tinggalkan di Ranu Kumbolo, padang ilalang, edelweis, Kalimati, Arcopodo, surat dari Deniek untuk Adrian, Arial yang nggak kenal menyerah, hujan batu, Dinda dan Ian yang tergeletak, teriakan Zafran yang membelah langit memanggil nama Ian.... Tak terasa mata mereka berkaca-kaca, keyakinan dan tekad mereka telah mengalahkan segalanya. Mimpi mereka untuk menginjak tanah ini telah menjadi kenyataan, semuanya berawal dari mimpi dan usaha yang tak kenal lelah... keajaiban tekad dan doa telah mengalahkan apa pun hari ini. Hari ini inimpi yang mereka bangun menjadi kenyataan.
Mata mereka masih melihat sekeliling, sedikit pun tidak mau terpejam. Pemandangan yang sangat indah...sangat indah
"Biasanya kalo manusia ngerasain keindahan yang amat sangat, dia secara refleks akan memejamkan mata dan membawa keindahan itu ke hati karena keindahannya nggak bisa diucapkan dengan kata-kata atau diterjemahkan dengan cara apa pun sama indera fisik. Tapi sekarang kayaknya di sini teori Itu bisa dibantah...," Arial berkata lembut.
Semuanya tersenyum dan menoleh ke Arial. Rombongan kecil anak manusia itu bersujud syukur di puncak Mahameru, mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan dan kepada tanah yang telah menghidupi mereka, Ibu yang selalu memberikan tanah dan airnya setiap hari. Ibu yang akan selalu mencintai anak-anak bangsa. Air mata yang beijatuhan membasahi pasir di puncak Mahameru, membuat rasa terima kasih mereka menjadi begitu indah. Mereka berenam berpelukan sangat erat, air mata kembali jatuh, menjadi saksi bening dan eratnya persahabatan mereka.
Hujan abu turun lagi. Kali ini mereka bisa melihat asap tebal yang mengepul keluar dari" Jonggring Saloka" kawah Mahameru.
K e r u m u n a n puluhan pendaki yang baru sampai tampak bersujud syukur, saling berpelukan dan menangis. Yang lain tampak bergembira berfoto ria dengan latar belakang kepulan asap dan hujan abu Mahameru. Di ketinggian ini, kebahagiaan seperti terbang ke langit dan memantul kembali. Tidak pemah terbang terlalu tinggi dari tanah ini, di pagi yang begitu indah ini, di antara kebahagiaan ini, di tanggal tujuh belas Agustus.
*
Di ujung liang tertinggi di Indonesiaku ini...
Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru.
Di depan barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.
"Pengibaran Sang Saka Merah Putih di puncak Mahameru."
Teriakan seorang pendaki, memecah segala suara yang ada saat itu, menimbulkan keheningan yang mendadak. Hanya suara angin dan desir pasir yang ada.
Tiga orang pendaki tampak berbaris, mendekati tiang bendem.
"Deniek!" Ian mendesis setengah berteriak.
Sebentuk wajah yang pernah mereka kenal tampak menjadi salah satu pengibar bendera itu. Puncak Mahameru masih dalam keheningan. Suara tali yang mengerekNbendera di tiang bambu Itu pun terdengar jelas. Hingga akhirnya Sang Dwi Warna melebar gagah terbentang.
Srrt...bhet!
"Benderaa... siap!!!" ' -;1
"Kepada..., Sang Saka Merah Putih! Hormaaaat..." suara teriakan lantang memecah keheningan puncak Mahameru.
. < « v
Seluruh pendaki serentak memberi hormat dalam keheningan, suara gesekan pakaian mereka saat memberi gerakan meng-hormat terdengar serempak.
Indonesia Raya berkumandang di puncak Mahameru.
. A?.' .<*• JH >"• 1 jiiSjis
Indonesia.... -i.c
Tanah Airku.Tanah tumpah darahku.... ••<•'•
Di sanalah aku berdiri..jadipandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku....
Marilah kita berseru Indonesia... bersatu....
>tf -i bhi- iu v»?.»»• n- .. »«t)bai
Suara sesenggukan jelas terdengar di antara barisan pendaki kala Indonesia Raya berkumandang memenuhi pendengaran seluruh makhluk Tuhan yang paling sempurna di hari itu. Deniek tampak menengadah memandang bendera, bibirnya terkatup rapat mencoba menahan haru. Tangannya bergetar menarik Sang Saka Merah Putih yang perlahan naik. Bayangan Adrian lewat sepilas di matanya, di antara kain Merah Putih... dan Deniek pun tak tahan lagi. Dadanya berguncang keras, air matanya menetes perlahan seirama dengan tarikan tangannya di tali tiang bendera.
Ian yang melihat pemandangan itu langsung tertunduk, air matanya jatuh membasahi pasir Mahameru.
Hiduplah tanah ku hiduplah negriku
Bangsaku rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya.... Bangunlah badannya untuk Indonesia raya Tangan kanan Zafran yang menempel di keningnya tergetar dalam posisi hormat Tangan kiri Zafran tak henti-hentinya menghapus air mata yang jatuh, tidak ada perasaan yang bisa menandingi saat itu. Hari ini dia menyanyikan lagu kebangsa-annya di tempat yang indah, setelah melewati perjuangan berat yang tidak biasa.
Indonesia raya... merdeka merdeka....
Tanahku negriku yang tercinta....
Indonesia raya merdeka merdeka....
Hiduplah Indonesia raya....
Genta melihat sekelilingnya, hampir semua pendaki menyanyikan Indonesia Raya dengan lantang dan khidmat. Beberapa pendaki tampak menyanyi terpenggal-penggal karena menahan tangis. Genta menunduk melihat tanah pasir yang dipijaknya, kembali dia menemukan ibunya yang lama hilang, yang telah menjumpainya di malam Ranu Pane, Ibu itu kembali menjumpainya di sini.
Mata Arial tak lepas dari bendera. Walaupun wajahnya terlihat tegar, beberapa tetes air mata jatuh di pipinya. Arial membiarkannya, merasakan lembutnya air mata lewat di kulit pipinya.
Indonesia raya merdeka merdeka...
Tanahku negriku yang kucinta...
Indonesia raya merdeka merdeka...
Dinda memincingkan matanya yang sudah basah. Matanya terus mengikuti kain bendera, di belakang bendera tampak asap Mahameru bergumpal-gumpal seiring laju bendera. Mulutnya bernyanyi terpenggal-penggal.
Wajah Riani basah oleh air mata, barisan tangan rapat di depan keningnya menekan keras sekali, tangan kirinya terus merekam Sang Saka Merah Piitih yang bergerak menuju ujung tiang. - *
Hiduplah Indonesia raya....
Dan Sang Saka Merah Putih berkibar kencang tertiup angin di ketinggian lebih dari tiga ribu lima ratus meter, berkibar megah di tanah tertinggi Pulau Jawa.
YEAH...\\\ teriak semua pendaki serentak membahana memecahkan keheningan, disusul dengan saling berpelukan.
Sekali lagi Sang Dwiwarna berkibar di puncak Mahameru tahun ini. Suara-suara tangis bahagia dan teriakan-teriakan penuh semangat terdengar memenuhi puncak. Hampir seluruh pendaki di situ tak bisa menahan haru. Di pagi ini semua merasa dekat sekali satu sama lain, bergembira dengan hati sesak penuh kebanggaan. Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus...
Tanah Air ini indah sekali. Ibu Pertiwi pun tersenyum melihat anak-anaknya yang bergembira di atas pangkuannya.
Arial mengeluarkan MP3-nya. Open File... Songs... Indonesiaku indah....
Open File.... Cokelat... Bendera Selected... Speaker Selected....
Play.... Bendera. Cokelat.
Biar saja ku tak sehebat matahari
tapi slalu kucoba tuk menghangatkanmu
biar saja ku tak setegar batu karang
tapi selalu kucoba tuk melindungimu
Mereka berenam berpelukan dalam rangkulan membentuk lingkaran kecil. "Sebuah kehormatan bagi saya. Saya... Genta telah mendaki Mahameru bersama kalian tercinta... di Tanah Air tercinta ini. Kehormatan ini tidak akan saya lupakan seumur hidup saya."
Genta mengucapkan kalimat tadi sambil berkaca-kaca menatap teman-temannya. Pelukan mereka bertambah erat.
"Suatu kehormatan juga bagi saya dan kehormatan itu buat kita semua... saya Arial, seorang yang sangat mencintai tanah ini."
Biar saja ku tak seharum bunga mawar
Tapi selalu kucoba tuk mengharumkanmu
Biar saja ku tak seelok langit sore
Tapi selalu kucoba tuk meng-indahkanmu
'Juga bagi saya... Arinda, Indonesiaku... saya mencintaimu sepenuhnya."
"Semuanya berawal dari sini...," Zafran menunjuk keningnya, "Saya Zafran, saya mencintai negeri indah dengan gugusan ribuan pulaunya sampai saya mati dan menyatu dengan tanah tercinta ini."
Kupertahankan kau... demi kehormatan bangsa...
kupertahankan kau... demi tumpah darah...
semua pahlawan pahlawanku...
Riani menarik napas panjang menahan tangis, "Dan selama ribuan langkah kaki ini, selama hati ini bertekad, hingga semuanya bisa terwujud sampai di sini, jangan pernah sekali pun kita mau menyerah mengejar mimpi mimpi kita.... Saya Riani, saya mencintai tanah ini dengan seluruh hati saya."
Merah putih teruslah kau berkibar...
di ujung tiang tertinggi.,
di Indonesiaku ini
"Saya Ian... saya bangga bisa berada di sini bersama kalian semua. Saya akan mencintai tanah ini seumur hidup saya, saya akan menjaganya, dengan apa pun yang saya punya, saya akan menjaga kehormatannya seperti saya menjaga diri saya sendiri.
Seperti saya akan selalu menjaga mimpi-mimpi saya terus hidup bersama tanah air tercinta ini."
Merah putih... teruslah kau berkibar...
di ujung tiang tertinggi.,
di Indonesiaku ini
Merah putih ku akan selalu menjagamu
"Yang berani vyela Indonesia... ribut samagi/tf," Ian tersenyum ke teman-temannya.
Keenam sahabat itu melihat ke langit, berbarengan mereka mengucapkan, "Terima kasih...."
Udara beruntai ucapan rasa syukur di antara pelukan hangat itu naik ke atas, melewati kibaran kain Sang Saka Merah Putih terbang pelan menuju ke langit biru, melintas cepat di antara sinar matahari dan awan putih, lalu perlahan menghilang. Mata mereka masih melihat langit biru, entah mengapa mereka percaya bahwa kali ini rasa terima kasih itu pasti ter-dengar, tidak ada fakta ataupun ilmu pengetahuan di seluruh dunia ini yang bisa yang bisa membuktikannya. Tapi mereka hanya perlu mempercayainya.
Ranu Kumboio
Tujuh belas Agustus. Setengah delapan malam.
Wajah-wajah penuh ceria di antara nyala api unggun terlihat jelas di tanah surga Mahameru. Keenam sahabat itu asik bercengkerama di tengah udara dingin Ranu Kumbolo. Malam itu, Ranu Kumbolo terlihat sangat tenang, bulan dan bintang tampak jelas memantul di permukaannya, pohon-pohon cemara gelap menghitam tampak bergerak lembut.
Zafran menatap teman-temannya, "Keren ya...."
"Apa, Ple?"
"Tadi pagi."
"Iya, keajaibannya masih gue rasain sampai sekarang."
"Apalagi upacara benderanya, Indonesia Raya-nya."
"Pertamanya gue nggak bisa percaya bisa sampai puncak."
"Sama."
"Gue terlalu pede, malah tepar." Arial tersenyum kecil
"Hehehehe...."
"Belajar banyak lo tuh Rambo."
"Betul sekali."
"Bukan Rambo aja lagi, kita semua juga...."
Ian melihat jauh ke depan... "Masih nggak percaya lho, gue bisa sampe di sana."
"Iya, masa ada Teletubbies di Mahameru...."
"Hahaha...."
"Sekarang gue tau alasan Mas Gembul langsung tobat abis dari Mahameru," kata Ian lagi.
"Iya." Zafran mengangguk.
"Zafran yang sekarang juga bukan Zafran yang dulu lagi."
"Betul sekali."
"Mudah-mudahan nggak ada Achilles nyasar lagi."
"Achilles sih tetep," Zafran tertawa kecil melihat teman-temannya.
"Yahh...Juple mah..."
"Sekali Achilles tetep Achilles," Zafran tersenyum-senyum.
Ian memegang-megang perutnya, "Kayaknya perut gue makin kecil deh?
"Ngarang."
"Bener...," Ian menepuk-nepuk perutnya yang lebar.
"Lo harusnya periksa ke dokter, Yan," Genta ketawa ngeliat teman yang satu ini.
"Kenapa?"
"Yah, efek samping krim pembesar anu kan bisa bahaya."
Zafran yang udah gatel mau nyela langsung nyela, "Enggak lagi, mendingan dia ikutan iklannya di TV, pasti langsung laku.
Kan jelas terbukti, bisa membesarkan biarpun nggak sengaja gara-gara ke tumpahan."
"Hahaha... rese... hahaha," Ian tertawa keras.
Angin dingin Ranu Kumbolo bertiup lagi.
"Deniek mana? Katanya mau ikutan gabung?" ujar Riani.
"Nggak tau... kecapekan kali."
"Tendanya sih udah ketutup, apinya udah mati, tidur kali dia."
Tiba-tiba Ian jadi serius," Gue ng^Ajadi ah ke Manchester...."
"Haah? Kenapa?" semuanya bingung.
"Enakan di Indonesia."
"Katanya males sama semuanya, sama rakyatnya, sama pemerintahnya."
"Nggak jadi ah malesnya."
"Hahaha...."
"Lagian lo kalo ditimbang juga nggak boleh masuk pesawat penumpang, disuruh langsung ke kargo," Genta nyahut lalu tertawa keras.
"Lebih baik di sini, rumah kita sendiri."
"Lagu kan tuh?" tanya Zafran.
"Iya, lagunya God Bless."
Ian menatap sekitarnya dan meneruskan, "Iya lebih enak di Indonesia, baru sadar gue banyak siaran langsung sepakbola, trus juga yang paling penting temen-temen gue di sini, dari lahir gue di sini memakai tanahnya, minum airnya. Masa gue nggak ada terima kasihnya.... Di luar negeri mana ada abis nonton The Groove nonton layar tancep."
"Iya, mana ada wafer superman... mana ada lempeng gapit...
mana ada nasi uduk...."
Mana ada Indomie," Zafran ikutan.
"'tul... sekali!"
Ian melanjutkan, "Inget nggak, kalo kita begadang nonton bareng siaran langsung Liga Champion atau Piala Dunia, sebelumnya teriak-teriak main PS. Habis itu bikin Indomie kari ayam, terus nonton bola teriak-teriak lagi sampe pagi... abis itu nggak tidur. Makan nasi uduk Betawi pagi-pagi, minum teh pahit anget, dengerin cablakan orang Betawi yang lucu-lucu."
"Hahaha... iya gue inget," sambut Arial.
"Apa katanya waktu itu, Yan?"
"Iya, gue kan lagi masuk angin, abis dikerokin... eh mpok-mpok Betawi nyablak. 'Eh tong, daripada masuk angin mendingan lo masuk TNI' katanya."
"Hahaha...," Genta menyenggol bahu Ian.
"Ada lagi Yan. Inget nggak kalo malam Minggu kita lagi mati gaya nggak tau lagi mau ke mana. Kita jalan-jalan aja mute: muter Jakarta... ke Menteng," Genta menyenggol bahu lan.
"Godain bencong. Hihihi!" Zafran berteriak kecil.
Riani tersenyum, "lnget nggak waktu itu malam Minggu jam tiga pagi kita berhenti di atas Jembatan Semanggi, terus teriak-teriak dari atas jembatan, tiduran-tiduran di tengah jalan. Abis itu kita bengong-bengong ngeliat Jalan Sudirman dan Gatot Subroto yang lengang kosong, tapi keren banget. Lampu-lampu jalan dan lampu gedung bertebaran, kayaknya Jakarta punya kita doang."
"Hahaha... gue inget. Sama kalo kita lari Jumat sore di Senayan...," Arial berbinar-binar.
"Yo'i... sepi, tapi udaranya enak."
"Abis itu kita makan roti bakar Wiwied di Fatmawati, atau
~ r
roti bakar Eddi... keren ya?"
Ian menatap kosong ke depan, "Gue nggak bakal nemuin itu di luar negeri."
Genta menambah panjang celetukan-celetukan itu, "Apalagi kalo kita nongkrong di parkir timur Senayan, abis main bola pasir di ABC..."
"Wah yo'i... sambil nyari CD."
"Parkir timur... gue dulu belajar nyetir mobil di sana tuh."
"Sama, semuanya... juga."
Genta tampak berbinar-binar, "Apalagi kalo bulan puasa...."
"Oh... yo'i..., Ta! Pasti banyak banget buka puasa barengnya sama temen SMA-lah, temen kampuslah, temen kantorlah, temen di mana lah, di sana, di sini...."
"Apalagi kalo malam takbiran... besoknya Lebaran...."
"Sungkem."
"Halal Bilhalal... ketemu temen-temen lagi."
"Sebenarnya orang Indonesia itu kebanyakan, banyak temennya ya?"
"Seneng temenan...."
"Tapi ada lagi. Sebenernya orang Indonesia itu kan paling kreatif sedunia," ujar Dinda.
"Maksudnya?"
"Coba mana ada ojek payung di luar negeri... three in one aja jadi duit di Indonesia"
"Hahaha... bener juga Dinda"
"Terong sama jengkol aja dimakan... hahaha...."
"Banyak banget makanannya... berarti kreatif."
"Mau dipanjangin nih? Apa aja ada, pempek, masakan Padang, nasi pecel Madiun, nasi timbel pake sayur asem sama ikan asin, tahu-tempe sambel terasi ayam goreng...."
"Tahu tek, tahu campur...."
"Cotto Makasar...."
"Bubur Manado, wuih...."
"Sate!"
"Sumpah... enggak ada yang nggak enak."
"Lebih baik di sini, rumah kita sendiri."
"Gitu dong, Yan. Akhirnya pendapatan seluruh pegawai Indofood terselamatkan, omset Indomie nggak jadi turun."
"Bebek air Taman Mini jadi nggak kurang satu."
"Hahaha..." Tawa mereka memenuhi malam di Ranu Kumbolo.
"Eh, gue mau cerita sebentar, tapi jangan pada takut ya, mungkin juga gue salah."
Zafran melihat sebentar ke tenda Deniek yang sudah gelap, lalu melihat ke Ian.
"Yah, Ple jangan diceritain malam-malam, merinding gue, lagian belum tentu bener." Ian garuk-garuk kepala sambil melihat Zafran.
"Apaan sih?" Genta dan yang lain jadi penasaran.
"Inget nggak tadi kira-kira sedikit lagi kita sampai puncak Mahameru ada mahasiswa seumuran kita pake jaket almamater, bawa bendera Merah Putih, lewat sendirian. Yang negur kita semua itu. Gue aja masih inget, katanya 'Duluan ya... Mas-mas, Mbak-mbak... ayo sebentar lagi sampai puncak, langsung upacara bendera di atas...."
"Nggak inget," semuanya memasang tampang bingung, kecuali Ian dan Zafran yang masih penasaran.
"Inget nggak? Cuma dia satu-satunya yang pake jaket almamater di situ. Masa nggak inget, kan dia negur kalian. Waktu gue liat bendera sama senyumnya yang seperti ngasih semangat, gue langsung semangat lagi?"
"Kayaknya nggak ada deh yang jalan sendirian, negur kita pake bawa bendera. Kebanyakan rombongan gitu," Riani meyakinkan.
Ian menarik napas dan berujar. "Sumpah lo? Gue sama Juple ngeliat banget, ya kan Ple?"
"Iya jelas, kan lo bilang sendiri Yan, jarang-jarang ketemu temen kampus di sini."
"Ada nggak? Dia doang tuh yang pake jaket almamater,"
Zafran menatap tajam ke temen-temennya.
"Iya nggak ada."
"Lo liat, Ta?"
"Nggak."
"Ni?"
"Nggak."
"Rambo?"
"Nggak, sumpah deh gue nggak bohong?"
"Dinda? Kalo Dinda nggak mungkin bo'ong."
"Nggak liat juga."
"Ian...." Zafran langsung nengok ke Ian.
'Juple...." Ian melakukan hal yang sama, wajahnya tampak memelas.
"Yah bener!" pori-pori keduanya mengembang, tengkuk mereka berdua dingin dan merinding. Angin dingin Ranu Kumbolo tiba-tiba berembus.
"Kenapa? Emangnya lo berdua ngeliat apa?"
Ian dan Zafran masih saling pandang, wajah mereka tampak tegang. Zafran menarik napas dan mulai bicara lagi....
"Berarti bener, tadi pagi di jalur Mahameru ada Adrian dan dia ikut naik bareng kita sambil bawa bendera Merah Putih."
"Gue sama Juple ngeliat dia," ujar Ian.
"Kok bisa begitu?"
"Iya, tadi pas turun dari puncak, gue sama Ian kan berhenti sebentar di nisannya Adrian. Gue sama Ian ngeliat fotonya dia lagi, yang ada di suratnya Deniek. Kita waktu itu langsung kaget, kok mirip banget sama mahasiswa yang negur kita di atas. Warna jaket almamaternya sama, sama persis dan lagi pegang bendera juga. Kita sih agak takut juga tapi, gue kira kalian liat juga makanya kita mau tanya."
"Pantesan, Ple, mirip banget," Ian menunduk.
"Iya tadi pagi kita ngobrol sama Adrian."
"Ta lo liat nggak sih?"
"Enggak."
"Enggak."
"Lo berdua nggak bo'ong?" Genta menatap tajam Ian dan Zafran.
"Sumpah!"
"Tanya Ian."
"Tanya Juple."
Serentak semuanya menarik napas panjang, menengok kr tenda Deniek yang sudah gelap. Mereka malas mikir panjang lagi.
"Nggak pa-pa lah di gunung emangsuka banyak yang aneh aneh," ujar Genta.
"Lagian dia kan juga nggak ganggu, malah ikut nyemangatin"
ujar Riani.
"Mungkin Adrian mau berterima kasih, tadi malam kita udah doain dia...," ujar Dinda.
"Betul juga sih."
"Lagian Adrian kan baik banget, dari suratnya Deniek lo bisa tau."
"Iya"
"Udah gak pa-pa."
"Dia juga teman kita"
Zafran berbicara lagi, "Kalo gue meninggal juga, gue mau tuh dikenang kayak gitu sama semua orang."
"What's the maksud?"
"Dikenang sebagai orang yang baik. Titik. Dikenal sebagai orang yang selalu bisa memberikan manfaat bagi orang lain."
"Karena sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bisa memberikan manfaat sama orang lain."
"Nggak pemah bosen tuh gue dengar... kata-kata itu keren banget."
"Betul juga lo, Ple."
'Jadi orang yang bisa membuat napas orang lain menjadi sedikit lebih lega karena kehadiran kita di situ... karena ada kita di situ."
"Indah banget kayaknya bisa jadi orang kayak gitu."
"Eh gue jadi inget...," Arial membuka pembicaraan.
'Tau Alfred Nobel?"
"Tau, namanya kan didedikasikan untuk penghargaan manusia buat ilmu pegetahuan dan kemanusiaan."
"Iya hadiah Nobel...."
"Kalo nggak salah dia kan juga penemu serbuk bahan peledak dinamit ya?"
"'tul... gara-gara dinamit dia jadi kaya banget."
"Trus... trus...."
Arial meneruskan, "Nah suatu hari Alfred Nobel baca koran dan membaca berita dukacita. Isinya kira-kira begini...."
"Telah meninggal dunia, Alfred Nobel, seorang ilmuwan besar sekaligus pencipta bahan peledak yang telah kaya raya dengan membuat sengsara jutaan orang dengan kematian."
"Ih... kasihan bener."
"Lho... kan Alfred Nobelnya masih hidup?"
"Makanya berita itu salah, korannya salah, dikira yang meninggal Alfred Nobel, nggak taunya bukan Alfred Nobel yang dia"
"Oh...."
"Trus?"
"Alfred Nobel kaget dan tersentak, 'Oh jadi gini kalo nanti saya meninggal orang akan mengenang saya sebagai sosok yang telah membuat banyak orang sengsara....'"
"Padahal hati kecilnya nggak mau dibilang begitu."
"Iyalah, lagian juga siapa yang mau."
"Sejak saat itu seluruh kekayaannya dia sumbangkan untuk penghargaan bagi umat manusia sampai sekarang... ya hadiah Nobel itu."
"Oh... gitu ceritanya."
'Jadi, Alfred Nobel kalo meninggal nggak mau dikenang sebagai pencipta kesengsaraan, dia mau bener-bener hidup di dunia ini sebagai seorang manusia yang baik."
'Jadi gara-gara itu ada hadiah Nobel."
"Yup!"
"Siapa sih yang meninggalnya mau dikenang sebagai orang jahat?"
"Lagian siapa yang mau...."
"Iya siapa yang mau?"
"Sumpah gue juga nggak mau."
Malam terus beranjak di Ranu Kumbolo. Udara malam di tepi danau makin bertambah dingin. Ian masih melihat-lihat perutnya.
"Iya, gue kurusan."
Genta menatap Ian heran. "Kok lo malah nggak tepar ya, Yan? Gue kaget juga sama lo. Padahal lo tersangka pertama gue."
"Kejadiannya sama kayak waktu gue bikin skripsi," ujar Ian.
"Maksudnya?" " *.
"Gue udah taruh puncak Mahameru di sini." Ian menunjuk keningnya, "Sama, waktu gue ngejar skripsi, gue taruh skripsi itu di sini." Ian menunjuk keningnya lagi, "...dan apa pun halang-annya, gue nggak akan mau nyerah."
"Sama... gue juga suka begitu," Riani setuju sama Ian.
Riani meneruskan, "Iya betul., sori bukannya sombong, tapi selama gue magang, gue terus percaya sama keinginan gue kalo dalam satu bulangz/ harus bisa pegang liputan... eh bener kejadian."
"Sama, gue juga kalo ada event bagaimana pun susah ngejalanin-nya, gue tetap usaha dan gue taruh semuanya di sini." Genta menunjuk keningnya juga, "Ada yang bilang... Whether you believe you can or whether you believe you can't... you're absolutely right!"
" Keren... quote-nya. siapa tuh, Ta?
"Henry Ford!"
"Oh...."
Zafran tersenyum ke teman-temannya. "Yang penting kita tau dan y alon atas keinginan kita masing-masing dan selalu percaya pada keyakinan kita itu."
"Sama, Dinda juga entah kenapa keinginan Dinda kuat banget sampe ke puncak. Walaupun capeknya nggak ketahan, Dinda terus percaya kalo Dinda bisa sampe puncak. Kalo fisik, mungkin udah habis, tapi kepercayaan Dinda nggak ada habisnya."
"Apalagi waktu lo ilang di hutan ya, Ta?" Arial menatap Genta.
"Hah? Lo pernah ilang di mana, Ta?"
"Sori, gue belum pernah cerita ya-"
"Terakhir gue ke Mahameru, gue kan ilang seharian di hutan sehabis padang ilalang tadi."
"Haaaa?"
"Pantesan kemarin kayaknya panik banget... diem aja, untung ada gajah bledug Dufan datang menghibur."
"Trus gimana bisa keluar?"
"Waktu itu badan gue udah capek banget. Makanan dan minuman udah habis... tapi di sini gue tetap yakin kalo gue bisa selamat dan keluar dari hutan ini."
"Lo nggak takut, Ta?"
"Sumpah, itu takut yang paling takut sepanjang sejarah. Sendirian malam-malam di hutan, tapi akhirnya gue tetapkan hati gue kalo gue nggak boleh takut Akhirnya, gue ambil rasa takut itu dari kepala gue, terus gue taruh di telapak tangan gue. Pokoknya, gue liatin dan gue pelototin rasa takut itu sampe rasa takut itu akhirnya takut sendiri sama gue... dan rasa takut itu akhirnya pergi."
"Itu namanya Kecerdasan Emosional, Intrapersonal skills.
Perseverance,"* ujar Ian.
"Apaan tuh?" tanya Genta.
"Pokoknya berarti EQ lo nggak jongkok."
"Maksudnya?" Genta belum ngerti.
"Ntar baca aja skripsi gue."
* Keteguhan tekad
"Trus, trus...."
"Ya udah,gwf terus aja jalan, jalan, dan jalan. Gue terus pelihara keyakinan gue. Gue terus bilang kalo gue nggak bisa nyerah. Akhirnya gue tiba di Kalimati dan ketemu rombongan... Allhamdulillah.
Itu gara-gara gue terus tetapkan kalo gue nggak bisa nyerah."
"Nggak mau nyerah," ujar Zafran.
"Bukan nggak mau nyerah, tapi nggak bisa nyerah. Kalo kita bilang nggak mau nyerah berarti ada kemungkinan kita mau nyerah. Tapi kalo lo udah bilang lo nggak bisa nyerah...
sepertinya itu kata terakhir."
"Gue nggak mau nyerah... karena gue nggak bisa nyerah...."
"Iya juga ya."
Arial tertunduk memandang api unggun di depannya. "Gue juga waktu tepar di atas sana badan rasanya udah dingin banget, tapi entah kenapa masih percaya kalo gue bisa sampai puncak.
Walaupun nggak ada buktinya, gue tetep percaya."
Zafran menatap ke nyala api dan berkata, "Our greatest glory is not in never falling... but in rising every time we fall."
"Keren!"
"Siapa tuh, Pie?"
"Confucius."
"Gue setuju banget tuh."
'Jadi kalo kita yakin sama sesuatu, kita cuma harus percaya, terus berusaha bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah dan taruh keyakinan itu di sini...." Zafran meletakkan telunjuk di depan keningnya,
"Betul... banget Taruh mimpi itu di sini...," Genta melakukan hal yang sama.
"Juga keinginan dan cita-cita kamu," ujar Arial.
"Semua keyakinan, keinginan, dan harapan kamu...," Riani berkata pelan.
"Taruh di sini...," Dinda ikut meletakkan telunjuk di depan keningnya.
Muka Ian tampak menyala, matanya mengkilat diterangi cahaya api unggun. "Betul! begitu juga dengan mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar taruh di sini." Ian membawa jari telunjuknya menggantung mengambang di depan keningnya...
"Kamu taruh di sini... jangan menempel di kening.
Biarkan...
dia...
menggantung...
mengambang...
5 centimeter...
di depan kening kamu...."
'Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri...."
"...Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu. Dan... sehabis itu yang kamu perlu... cuma...."
"Cuma kaki yang akan beijalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas."
"Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja...."
"Dan hati yang akan bekeija lebih keras dari biasanya...."
"Serta mulut "yang akan selalu berdoa...."
"Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi keajaiban cita-cita, dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun.... Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya." ;
"Percaya pada... 5 centimeter di depan kening kamu."

Bersambung Ke BAB 10/10 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates