Social Icons

Pages

(S4suk3) Jendela Kenangan - Prolog


Prolog

Kesetiaan. Hhhmm jika kita berbicara kesetiaan, maka yang ada dibenak kita adalah tetap memberi seluruh cinta kita kepada pasangan kita sampai akhir hayat. Tanpa secuilpun perasaan kita tergadai kepada orang lain. Sedikit saja rasa cinta tercurah untuk orang lain, maka dinamakan penghianatan. Mungkin itu adalah definisi umum tentang kesetiaan. Tapi yang yang saat ini aku alami, entah kesetiaan atau penghianatan.
Danau Cibubur ( bumi perkemahan putra )
Semilir sejuk angin yang berhembus diantar sela-sela pepohonan yang

menghiasi pinggir danau. Guguran dedaunan kering berhamburan, berserak diantar tanah dan juga kursi-kursi tempat setiap insan menikmati gemercik danau. Airnya nampak semakin dangkal karna hujan yang tak kunjung tiba.

Aku duduk disebatang akar pohon besar yang mencuat ke bumi, memandang sesosok wanita cantik yang sedang duduk di kursi, dedaunan kering yang menerpa dirinya tak ia hiraukan. Tubuhnya gelisah, memindah-mindahkan posisi duduknya. Dia adalah Via kekasihku sejak tiga tahun. Aku mengenalnya saat perusahaan tempatku bekerja menjalin kerja sama dengan perusahaan tempat ia bekerja.

Kami saling berhubungan untuk membicarakan kerja sama antar perusahaan kami, saling mengunjungi perusahaan masing-masing hingga makan siang bersama sebagai bentuk formalitas mitra perusahaan. Dari situlah tumbuh benih cinta antara kami berdua, satu tahun mengenalnya, kuberanikan diri untuk menyatakan cinta disebuah atap gedung mall di Jakarta.

Sempat beberapa kali aku ajak dia menikah, tetapi dia selalu merasa belum siap, walaupun usianya kini sudah menginjak 26 tahun sedangkan diriku 2 tahun lebih tua darinya. Dia selalu beralasan jika dia sedang menunggu sesuatu, entah apa itu tapi dia berjanji akan memberitahunya.

Hingga tadi pagi ia memintaku mengantarkannya ke danau ini, lalu dia menyuruhku memperhatikannya dikejauhan. Dan dia berpesan jangan melakukan apapun tentang apa yang nanti akan disaksikannya, tapi jika aku ingin pergi dari tempatku melihatnya, dia mempersilahkan. Entah apa itu aku hanya bisa menunggu.

Setengah jam aku melihatnya duduk di pinggir danau, sampai seorang pria datang menghampirinya lalu duduk di sampingnya. Mereka saling bertatapan tanpa ada gerakan bibir dari kedua orang itu, lalu pria itu mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak yang berhias pita dari saku bajunya. Diserahkan benda itu kepada kekasihku, dengan tangan yang nampak bergetar Via menerima pemberian pria itu.

Dengan perlahan dibukanya kotak itu, entah apa isi pemberian pria itu, dan terlihat gerakan bibir pria yang memberinya kado, mengucapkan sebuah kalimat. Aku tak tahu kalimat apa yang dikatakan, tapi reaksi Via yang sangat menyesakkan hatiku, Via langsung memeluk erat pria itu, terlihat tubuhnya menahan getar tangis yang mengalun di dadanya. Terlihat pula air mata mulai mengalir membelah pipinya.

Sakit, itulah yang kurasakan tapi aku tidak ingin berburuk sangka dahulu. Mungkin saja itu adik atau kakaknya yang lama tak ia jumpai, walaupun terlalu janggal bila dua orang saudara bertemu di tempat seperti ini. Bukankah mereka bisa bertemu di rumah, atau di tempat kedatangan pria itu, seperti bandara atau stasiun atau terminal. Ingin rasanya kupergi dari tempatku menyaksikan mereka bercengkraman, tapi rasa penasaranku membuat tubuhku berat untuk kuangkat dan pergi.

Setelah beberapa saat berada dalam suasana tangis diantara peluk, kini mereka melepaskan pelukannya. Dan dapat kulihat mereka saling berbicara, wajah Via nampak sumringah kali ini, air matanya perlahan menjadi kering. Pria itu menggenggam erat kedua tangan Via, bercerita tentang sesuatu yang menyenangkan, tapi ah entahlah yang jelas mereka berdua nampak gembira.

Tak terasa sudah satu jam mereka asik bencengkraman, saling pandang, saling berbagi ucapan, saling tertawa. Tiba saatnya pria itu berdiri, lalu mengecup kening Via dan pergi setelah mengucapkan beberapa kata penutup. Bagai tersayat angin puyuh romel yang tanpa peringatan mencabik-cabik setiap mili hatiku, bahkan jasadku mendadak sibuk menarik rohku yang hampir melayang jauh. Sumsum tulangku serasa habis terhisap tak mampu menggerakan satu sendiku.

Via yang masih berdiri menatap pria yang perlahan menjauh dari pandangannya hingga bayangannya tak terlihat lagi. Saat pria itu telah hilang dari pandangannya, Via menoleh kearahku. Pandanganku kosong kearahnya, menantikan apa yang nanti akan ia ucapkan padaku, menantikan jawaban atas apa yang baru saja terjadi.

Dengan langkah kecil, perlahan Via datang menghampiriku. Sangat pelan, tidak seperti langkahnya saat ia menghampiriku yang sedang menunggu di depan kantornya untukku menjemputnya. Kali ini langkahnya penuh dengan tanda tanya, tapakan kakinya membelah hamburan daun kering hingga menghasilkan bunyi yang menyayat hatiku.

Kini gadis cantik yang sangat kucintai berada di hadapanku, menunduk menatapku yang masih duduk di gundukan akar pohon. Matanya nampak berkaca-kaca, seperti menahan tangis yang sebentar lagi akan meledak. Tubuhnya kembali bergetar, lalu berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku.

“ Sam, maaf sepertinya kita gk bisa ngelanjutin hubungan kita “ ucapnya diiringi ledakan air mata, deras hingga membasahi dedaunan kering disekitar kami. Tubuhku kaku bagai tersambar lemparan petir dari atas langit. Darahku menjadi kering, lebih kering dari daun yang berguguran di tempat ini.

“ Dulu saat SMA aku memiliki seorang kekasih, cinta pertamaku dan buat dia, aku juga cinta pertamanya. Sudah pasti kami saling mencintai, mungkin saat itu orang beranggapan cinta kami adalah cinta monyet. Tetapi buat kami, cinta kami adalah yang paling sejati dibanding cinta-cinta yang bertebaran di muka bumi. Bahkan melebihi cintanya dewa-dewi khayangan di langit jauh “ Via masih menatapku nanar, matanya masih mengaliri air kesedihan. Aku hanya bisa terdiam memaku diatas akar yang kokoh, berusaha mengokohkan hatiku.

“ Tapi kami sadar, bahwa kami masihlah terlalu hijau untuk mengukuhkan cinta kami berdua. Tidak mungkin bagi kami saat itu untuk menyatukan kehidupan, membuka lembaran baru, membina sebuah keluarga kecil yang bahagia. Dan saat kami berdua lulus SMA, di tempat ini kami sepakat untuk berpisah dan bertemu 8 tahun kemudian di tempat yang sama “

“ Saat aku mengenalmu 4 tahun yang lalu, aku melihat bayangan dia dalam dirimu. Kepribadianmu hampir sama dengannya, dan suaramu benar-benar mirip dengannya. Aku jadi merasakan kehadirannya dalam sosok dirimu, sampai aku mengira kamulah dia. Dan kemarin, ponsel yang menemaniku sejak SMA berdering, membunyikan tanda sebuah pengingat. Pengingat akan janji kami berdua, aku hampir-hampir lupa dengan janjiku karna aku selalu merasakan kehadiran dirinya setiap bersamamu “

Pandangan Via kini tertuju pada kursi yang tadi ia singgahi, dimana dia dan pria itu bertemu “ Ya, dikursi itu 8 tahun yang lalu kami mengikat janji, dan di kursi itulah kami menepati janji kami. Dan minggu depan keluarganya akan berkunjung ke rumahku untuk melamarku “

Pandangannya kembali tertuju kearahku, genggaman tangannya makin erat mencengkram jemariku “ Inilah jawaban mengapa aku selalu menolak jika kamu mengajakku menikah, inilah jawaban atas alasanku menunggu sesuatu. Kamu benar-benar mirip dengannya hingga selama ini aku tak tahu sedang menunggu apa aku. Dan saati ini aku barulah sadar bahwa sesuatu yang aku tunggu adalah dia “

Via melepaskan genggamannya, dan berdiri menatap rimbunan pepohonan yang ada di sekitar kami “ Kamu tak perlu mengantarku pulang, karna aku tahu kamu butuh kesendirian untuk menerima ini semua. Dan aku juga tahu bahwa semakin lama kamu melihatku, kamu akan merasa begitu sakit. Maaf Sam telah melukaimu, dan terima kasih telah menemaniku selama ini. Hanya itu yang dapat kukatakan, selamat tinggal Sam “

Pandanganku kosong menatap riak-riak danau yang bergemerincik, seolah menertawakanku. Atau ikut menangis bersama hatiku. Via perlahan meninggalkanku ditengah hamparan dedaunan kering musim panas. Aliran darahku terasa melemah, denyut jantungku tak sanggup memompa darah yang hampir kering ini.

Sakit, ya sakit sekali, tak ada pedang yang mampu membuat sayatan seperti yang tergores dihatiku kini. Bahkan ledakan nuklirpun tak akan mampu membuat kepingan-kepingan yang saat ini aku rasakan. Cabikan binatang paling buas sekalipun tak dapat menandingi luka dihatiku.

Rumah sakit Melia Cibubur pukul 7 malam
Aku melangkah diantara kamar-kamar inap pasien hendak menuju parkiran. Ketika aku habis menjenguk kerabat yang baru saja melakukan operasi usus buntu siang tadi. saat berada tepat di depan ruang ICU yang pintunya sedikit terbuka, entah apa yang menarik perhatianku hingga kusempatkan diri melirik kedalam ruangan itu. Terlihat seorang gadis muda, sedang duduk di samping ranjang, menatap seorang gadis yang terbaring di ranjang itu. Berbagai macam alat medis menghiasi tubuh gadis yang sedang berbaring lemas, sepertinya dia sedang koma.

Kuberanikan diri untuk mendekati pintu itu untuk memperjelas pandanganku. Wajah kedua gadis itu nampak mirip, ah tidak bukan mirip lagi tapi sama persis. Ya kedua gadis itu memiliki wajah yang sama, tidak ada perbedaan antara mereka berdua. Perlahan tanpa sadar aku melebarkan pintu ruangan ICU, hingga gadis yang sedang duduk itu menatapku.

“ M…mmaaf aku tidak sengaja “ ucapku gugup melihat pandangan dingin gadis itu. Nampak gadis itu terkejut dengan kedatanganku, wajahnya kebingungan seakan dia melihat sesosok makhluk menyeramkan.

“ Semoga cepat sembuh saudara kembarmu “ ucapku kembali, lalu kututup pintu dan buru-buru aku pergi dari tempat ini, sebelum gadis itu mencurigaiku lebih dalam.

Aku kembali berjalan menuju parkiran, tempat mobilku terparkir. Tetapi saat aku berjalan menelusuri lorong rumah sakit, aku merasa ada yang mengikuti walaupun tak terdengar suara langkah kaki seseorang, hanya suara langkahku saja yang dapat kudengar. Aku coba menoleh kebelakang dan kulihat gadis yang kutemui tadi diruang ICU sedang mengikutiku. Apa dia ingin mengintrogasiku, menanyakan keisenganku tadi.

Aku berhenti, lalu berbalik menatapnya, begitu pula dirinya. Beberapa saat kami saling bertatapan, dan kuberanikan diri mendekatinya, wajahnya masih nampak kebingungan melihatku. Saat jarak kami sudah satu meter kucoba memulai pembicaraan “ Maaf jika tadi aku mengganggumu, sungguh tak ada niat buruk dariku “

Gadis itu menyondongkan wajahnya kearahku, ditatapnya mataku begitu dalam, dapat kulihat berbagai macam pertanyaan dari matanya. Sepertinya aku adalah makhluk langka yang sangat ingin ia ketahui.

“ Hei “ ucapku coba membuat dia berbicara, mungkin dia takut denganku

“ Sam “ kuulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya, mungkin dengan ini ia akan mulai berbicara denganku. Lama tanganku dalam keadaan tak bersambut, hingga ia mulai mengulurkan tangannya.

“ Hah “ aku terkejut saat menerima sambutan tangannya. “ Menembus “ ya tangannya menembus tanganku, tidak dapat menggenggam tanganku. Kucoba raih tangannya untuk memastikannya. Bagai sinar yang hanya dapat dilihat tapi tak dapat disentuh.

“ Kau bisa melihatku “ ucapnya, kata pertama yang terlontar dari bibir tipisnya. Kata yang membuatku menjadi merinding ketakutan. Suasana rumah sakit yang sepi makin membuat bulu kudukku berdiri tegang.

“ Aku adalah wanita yang koma di ruangan tadi “ ucapnya kembali, kakiku memaku diantar keramik-keramik lantai rumah sakit, ingin lari tapi tak bisa lari. Benar-benar ketakutan yang baru pertama kali kualami, apa ini mimpi baru kali ini aku melihat gadis gaib, mungkin bisa dibilang dia adalah Roh.



Bersambung ke Bab 1 Gadis Bayangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates