Social Icons

Pages

(S4suk3) Jendela Kenangan - Bab 3/9 GAK GUNA, GAK NGARUH, GAK NGEFEK

Suatu malam di rumahku
Aku masih duduk terpaku menatap layar kaca, menonton film bersama Shina. Entah apa yang membuatku menonton film selarut ini bersama Shina, sejak pulang dari rumah Ica. Mungkin saja aku sedang…..

“ Cieeee yang lagi bambang “ ledek Shina

“ Bimbang bodoh “ ucapku kesal. Ah benar aku sedang bimbang, dan Shina dapat memahamiku bahkan saat dia sedang berteriak menyaksikan adegan demi adegan dalam film.


“ Lagi pula apa sih yang dibimbangin, kalau dia cerai dengan suaminya, apa kamu ingin mendapatkan bekas. Air mineral yang dijual 3000an aja ada bacaannya jangan diterima bila segelnya rusak. Apalagi seorang wanita yang akan mendampingi sisa hidupmu, masa kamu mau sama yang segelnya rusak “ ucapnya.

“ Bukannya kamu yang awalnya menyuruhku mencoba mendekatinya waktu direstoran “ ucapku mencoba menyalahkannya.

“ Kamu tuh ya selalu menyalahkan aku untuk hal ini, saat itu kan aku belum tahu statusnya, sebenarnya kamu tuh bodoh banget “ ucapnya.

“ Aku lulus S1 “ sahutku datar.

“ Mungkin kalau ada pelajaran yang bernama kehidupan, dan kamu diberikan 10 soal, aku gak yakin kamu bisa menyelesaikan semuanya, bahkan 100 % aku yakin kamu akan salah 11 “ ucapnya seraya memandangku.

“ Kamu tahu apa kesalahan kesebelasmu ? “ tanyanya dengan sorot mata yang sangat menusuk pandanganku. Dan aku hanya menggelengkan kepala saja.

“ Kamu salah menulis kolom nama “ ucapnya, aku hanya diam mematung coba meresapi perkataannya yang sulit kupahami. “ kolom nama dalam pelajaran kehidupan adalah jati diri, dan kamu telah salah menulis jati dirimu di kehidupan ini, kamu salah bersikap dalam memaknai apa yang sekarang kamu alami “ ucapnya kembali seraya menunjuk-nunjukkan telunjuk lentiknya kearah keningku, walaupun jarinya itu menembus keningku tapi aku reflek berusaha menghindari jarinya.

Jati diri, ya sepertinya aku kehilangan jati diri sejak Via memutuskan berpisah denganku. Dan tadi sore aku salah bersikap saat bertemu kembali dengan Ica. Aku terdiam untuk beberapa saat, sedangkan Shina kembali melanjutkan film yang sudah terlewatkan beberapa menit. Aku tatap wajah Shina yang serius dengan tontonannya, seorang yang terkenal, ah tidak maksudku roh dari seorang yang terkenal sekarang sedang berada di sampingku. Andai dia bukanlah sosok yang terkenal, dan juga bukan sosok bayangan, mungkin saja saat ini dialah yang akan kudekati. Tapi jika itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengannya.

Hidup ini dipenuhi dengan kebetulan, ah tidak maksudku takdir yang dibuat sedemikian rupa oleh Tuhan hingga menyerupai suatu kebetulan. Ya kebetulan saja ponsel jadul Via bisa diperbaiki setelah jatuh dari lantai 5 kantornya, padahal orang yang menservis ponselnya sangat pesimis jika itu bisa diperbaiki. Dan hampir-hampir saja aku belikan dia ponsel yang baru pengganti jika ponsel jadulnya tak dapat diperbaiki. Tapi karna kebetulan itu ponselnya membunyikan pengingat akan janjinya kepada kekasihnya dahulu, janji 8 tahun yang mungkin tidak semua orang dapat menepatinya.

Dan takdir yang diserupai kebetulan lainnya ialah bertemu dengan gadis bayangan di rumah sakit. Andai saat itu aku tidak latah untuk menengok dua sosok yang sama, tidak mungkin Shina mengejarku karna rasa herannya. Dan kini sosok astral itu telah berteriak, pecicilan bergerak kesana kemari menonton film di rumahku, membuat tv LED 42 inch-ku harus bekerja 24 jam nonstop dalam sehari.

Oh iya, untuk Ica, entah takdir yang bagaimana yang akan aku alami bersamanya. Tapi satu yang jelas, kecupan serta kuluman lidahnya masih terasa lembut membekas di kedua bibir serta rongga mulutku.

********************************************

Satu bulan lebih aku bertemu dengan sosok bayangan, seorang wanita cantik yang Cuma aku yang bisa melihat dan mendengarnya. Sosok yang membuatku terlihat gila di depan orang yang pernah memergokiku berbicara dengannya. Dan aku jadi semakin akrab dengan gadis gentayangan itu, dia mulai menceritakan tentang kehidupannya menjadi pianis ternama. Ternyata kehidupan seorang seniman terkemuka itu, tidaklah seenak yang aku bayangkan. Dia bercerita bagaimana rasanya dikejar date line oleh label yang menaunginya, agar segera merilis album. Lalu jadwal padat yang membuat dia harus menahan rasa sakit di badan.

“ Seni itu bebas, dan aku ini seorang seniman bukan mesin “ teriaknya mengungkapkan semua kekesalan kepada manajemennya.

“ Tapi sekarang, setelah rohku keluar dari jasadku. Aku merasa senang, tak perlu takut lagi hujan, lapar, haus, sakit, dan dikejar yang namanya jadwal. Jika aku ingin nonton tinggal aku minta kamu untuk menyetelkan film, atau bisa saja aku ke Cibubur junction untuk nonton bioskop jika nonton di tv sudah terlalu mainstream “ ucapnya dengan nada ceria.

“ Jadi apa kamu mau seperti ini terus, seishin ? “ tanyaku. Dia langsung tertunduk lemas, menyadari bahwa gak selamanya dia bisa seperti ini terus. Matanya yang tadi indah berbinar terang, kini jadi sayu dan redup.

“ Aku selalu berdoa kok pada Tuhan, setiap malam saat bintang jatuh. Seandainya aku masih diberi kesempatan untuk menggerakkan jasadku, semoga cepat ragaku disadarkan. Dan jika sudah tidak ada kesempatan itu, semoga cepat roh ini ditarik kelangit, hingga jantung di jasadku berhenti “ jawabnya lirih.

“ Paling tidak, sebelum rohku ditarik kelangit. Aku pengen orang-orang yang berarti dihidupku dapat berkomunikasi denganku “ lanjutnya kembali, suara lirihnya semakin menyayat telingaku yang mendengarkan.

“ Aku udah cari beberapa artikel tentang cara roh berkomunikasi dengan manusia. Aku coba pelajari dulu baru setelah aku lumayan paham, kita praktekan “ ucapku menodongkan wajahku ke wajahnya, coba menyunggingkan senyumku agar menular ke Shina. Dan sesuai rencanaku, binar matanya kini kembali terang, wajahnya kembali berseri menatapku dengan penuh harapan. Yah walaupun aku gak yakin dengan teori-teori yang aku dapatkan dari internet mengenai roh, tapi paling gak itu dapat memberinya kekuatan senyum.

“ Gitu donk senyum, kan jadi keliatan cantiknya. Kata ibuku jika kita lagi bersedih, tersenyumlah dan jika senyum itu tak dapat menghilangkan sedih maka tertawalah walau tidak ada yang lucu“ ucapku seraya menyeruput jus jeruk dingin lalu tersenyum manis menatap binar indah matanya yang mulai terang

“ Lalu kenapa kamu selalu murung sejak cintamu kandas di rerumputan, eh gak deh tapi kandas di dedaunan kering “ ejeknya mengerlingkan alis kirinya dan menatapku dengan penuh kemenangan.

“ Hahahahahahha “ kutertawa sejadi-jadinya coba membenarkan perkataanku baru saja, sampai jus yang masih ada dimulutku keluar sebagian. Sialan kenapa aku jadi yang kena ejek olehnya. Shina pun tertawa kecil, bahunya terlihat gemetar menahan tawa yang sebenarnya tak kalah besar dengan tawaku.

************************************************

Sudah satu bulan pula sejak aku bertemu kembali dengan Ica, dan sampai saat ini dia belum, atau tidak menghubungiku. Mungkin saja dia sudah berdamai dengan suaminya, atau bahkan cerai dan pergi jauh dari kota ini untuk menenangkan diri, tapi gak mungkin jika cerai, karna mengurus perceraian gak semudah mengurus pernikahan. Ah kenapa aku jadi sok tahu begini, menikah saja belum sudah berpendapat tentang percerain.

Syukurlah, walaupun ada sedikit rasa kecewa karna hanya sebatas saat itu nostalgia kami. Oke sekarang arus itu telah berhenti tanpa aku berusaha menarik tubuhku, kini aku harus fokus pada jati diriku dan juga membantu Shina agar dapat berkomunikasi dengan kerabatnya. Disela jam kerjaku, aku sempatkan membaca beberapa artikel yang berhubungan dengan roh. Setelah aku lumayan memahami beberapa artikel yang aku dapatkan, segera aku print artikel tersebut dan nanti akan aku praktekan di rumah bersama Shina.

Tak terasa jam menunjukan pukul 4 sore kurang 5 menit, saatnya aku bersiap untuk pulang. Aku rapikan barang-barangku, memasukkannya ke tas kerjaku, tak lupa beberapa artikel yang telah aku print tadi. Saat aku ingin mengambil ponselku yang ada di meja, tiba-tiba ponsel itu berdering menandakan sebuah pesan masuk. Sebuah SMS dari nomor yang tak kukenal.

“ Kak, aku bete nih, besok libur kan, ada waktu gak. By Ica “ isi SMS tersebut. Kenapa saat aku sudah mulai tenang, arus itu kembali mengalir, tapi untunglah aku telah berpegang pada dahan yang kokoh dipinggir sungai saat arus itu tenang. Dan saat kini arus itu mulai mengalir deras, aku bisa menahannya. Tak aku hiraukan SMS dari Ica, aku bergegas pulang secepat mungkin dan mempraktekan hasilku bertapa kepada seorang mpu gugel.

Sesampainya dirumah aku tak mendapatkan Shina ada di ruang depan menonton film. Kemana perginya mahkluk gentayangan itu, apa dia coba membunuh diri. Hei dia kan roh mana bisa bunuh diri, yang ada dia membunuhku saat pertama kali bertemu di rumah sakit.

“ Seishin, hoe seishin, dimana sih kamu, aku membawakan artikel yang pernah aku bilang itu lho, kita praktekin sekarang “ kuberteriak memanggilnya, mencari kesegenap ruangan tapi tak kutemui, dan sampai pada suatu ruang tengah rumahku yang terdapat sebuah piano kuno, aku menemukan dirinya memandang sebuah rak yang berisi koleksi DVDku.

“ Kau ternyata pengagum beratku ya Sam “ ucap Shina masih memandang DVD yang kebanyakan adalah video clip dan konser tunggal Shina.

“ DVDmu Via yang membelinya, tau gak sih dia tuh ngefans berat sama kamu. Dan dia sangat pandai memainkan semua lagumu pada piano itu “ ucapku menunjuk piano kuno yang ada di ruangan.

“ Dan kamu, bisa memainkan piano ? “ tanyanya.

“ Aku Cuma bisa memainkan satu lagi, dan itu bukan lagumu, dan satu lagi itu bukanlah lagu sedih “ ucapku seraya berjalan menuju piano itu, lalu menyibak kain putih yang menutupi piano serta kursi yang ada di depannya.

“ tiiiiiinnngggg “ aku mulai memainkan tuts piano itu berintro terlebih dahulu. Dan mulai memainkan sebuah lagu yang sangat gembira, lagu kebebasan di atas samudra luas.

Shina memperhatikanku dari samping sambil menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama nada yang kumainkan. Aku tatap wajah manisnya yang tampak lebih manis dengan senyuman khas dari seorang Shina. Dasar makhluk bayangan, untung saja aku tinggal sendiri disini, jika ada orang lain pasti aku sudah ada di grogol dan dikrangkeng.

“ Aku gak sengaja nemu lagi ini di internet waktu itu, dan aku langsung suka. Lalu aku cari tahu not-notnya, kemudian aku minta Via untuk mengajariku satu lagu ini saja “ ucapku disela permainan jariku pada piano tersebut.

“ Ohh jadi ternyata dia yang pengagum beratku ya, dan kamu Cuma pengagum biasa AJA “ ucap Shina dengan kalimat akhir yang ditekan. Aku hanya memanggut mengiyakan ocehannya.

“ Eh ngomong-ngomong, tadi siang ada yang naruh sesuatu deh di kotak suratmu deh “ ucapnya yang membuatnya aku berhenti memainkan lagu pada tengah lagu.

Aku langsung bergegas keluar rumah untuk mengambil sesuatu di kotak suratku dan masuk kembali ke dalam rumah dengan tampang murung, semurung-murungnya. Memegang lemas secarik kertas yang baru kuterima, lalu melemparkan tubuhku di sofa ruang depan. Shina yang melihatku dalam mode suramku, berjalan secepat kilat menghampiriku. Dan dalam sekejam dia sudah berada duduk disampingku.

Kusandarkan tubuhku pada sofa, wajahku menatap langit-langit rumah yang seperti berisi rekaman-rekaman aku dan Via menghabiskan waktu di ruangan ini. Sejenak pikiranku melayang, seandainya bisa aku buang satu hari saja dalam hidupku selama ini, aku akan buang hari dimana aku mengambil ponsel jadul miliknya di counter selesai diperbaiki. Aku ingin hari itu hilang dan ponselnya gak pernah benar sampai detik ini.

“ Undangan pernikahan Via dan Heri “ ucap Shina menundukkan kepalanya untuk membaca kertas tebal yang ada dalam genggamanku.

Dilihat kembali secara seksama undangan yang telah kubuka sampulnya itu “ wow minggu depan acaranya “ ucapnya seolah terkejut melihat tanggal pernikahaan mereka.

“ Hebat ya “ ucapku “ Baru saja mereka bernostalgia bulan kemarin, dan sekarang sudah mau nikah aja. Pasti cinta mereka sangatlah besar hingga mengabaikan segala aspek yang harus dipikirkan sebelum menikah “ ucapku kembali.

“ Yup, bener banget. Mereka memang hebat, seandainya jariku jempol semua, akan kuberikan ke 20 jempolku untuknya “ ucapnya dengan nada tinggi seolah mengejekku.

“ Eh revisi deh, aku akan memberikan 10 jempol untuk mereka, dan yang 10 lagi untukmu. Khusus untukmu akan kuberikan versi jempol terbalik “ ucapnya kembali masih dengan nada tinggi yang terasa menusuk dadaku. Aku masih terdiam lemas menatap langit rumah, masih jelas rekaman kebersamaan aku dan Via berputar disana.

“ Hei Sam, ingatlah dunia ini ingin diambil alih oleh decepticon. Dan kamu salah satu pahlawan yang akan menentukan nasib dunia ini. Ketahuilah Sam, jalan seorang pahlawan memang sepi dan tandus “ ucap Shina mulai kumat dengan ocehan yang menyerempet ke sebuah film.

“ Aku sedang tidak ingin bercanda “ ucapku ketus.

“ Bukannya semalam kamu bilang begini ya , ehem ehem “ ucapnya coba menaikkan nada suaranya untuk menirukan suaraku.

“ Kata ibuku jika kita lagi bersedih, maka tersenyumlah. Dan jika senyum itu……”

“ Iya iya aku ingat “ ucapku menyela omongannya, lalu tersenyum penuh paksaan kepadanya.

“ Ih kecut amat senyummu, sama ketek orang utan juga masih kecutan senyummu “ ejeknya kembali

“ Berarti kamu pernah donk nyium ketek orang utan “ ledekku membalas ejekannya. Akhirnya tawapun pecah diantara kami, dan kali ini tawanya tak tertahan lagi oleh getaran bahunya. Tapi ketawanya benar-benar menakutkan, cocok dengan wujudnya saat ini. Dasar gadis gentayangan.

Saat aku sedang tertawa mendengar candaan-candaan konyolnya seputar film-film yang sering ia tonton. Tiba-tiba ponselku berdering, ada SMS masuk, aku ambil ponsel yang ada disakuku dan membaca isi SMS yang baru saja terkirim.

“ Kak, kok gak bales “ lagi-lagi SMS dari Ica, dan kali ini membuat aku berubah sikap. Aku lepas dahan yang menahanku dari arus deras, aku hanyut dalam arus ini, aku biarkan tubuh ini menikmati derasnya aliran sungai, walaupun aku tahu pasti nanti akan ada batu kali yang besar yang siap menghantam tubuhku. Aku balas SMSnya, lalu membuat janji untuk bertemu besok. Kebetulan suaminya sedang ada tugas di luar kota selama beberapa hari kedepan.

Restoran cepat saji depan pintu masuk buperta cibubur.
Aku duduk dihadapan Ica yang sedang asik menyantap makanannya. Sedangkan aku asik dengan minuman dingin untuk menghilangkan rasa panas yang menyengat siang ini. Aku menatap Ica dengan balutan pakaian yang boleh dibilang sangat ketat, walaupun tertutupi seluruh bagian tubuhnya tapi terlihat jelas lekuk tubuh indahnya oleh kedua mataku. Sangat pas dan modis sekali untuknya, ya memang sejak SMA dia termasuk gadis yang sangat memperhatikan penampilannya, walaupun eskul yang dia ikuti sangat bertolak belakang dengan penampilannya.

“ Jadi mau kemana kita kak, diudara sepanas ini ? “ tanyanya setelah menghabiskan makanan.

“ Hmmm terserah kamulah, yang penting adem “ jawabku

“ Di Jakarta mana ada yang adem kecuali pas hujan kak. Mending kita ke puncak yuk “ ajaknya. Tanpa bisa menolak ajakannya, aku dan Ica bergegas menuju parkiran mobil. Kali ini Ica tidak membawa mobil, kami sepakat untuk bertemu di tempat ini baru kemudian merencanakan perjalanan kami.

Tapi aku gak nyangka kalau tujuan kami adalah puncak, tadinya aku kira Cuma sekitar cibubur saja kami menghabiskan waktu. Untunglah arwah pecicilan itu tidak ikut, jika ikut pasti rohnya telah terbang ke langit karna jantung di jasadnya berhenti.

Selama perjalanan kami membicarakan banyak hal, juga tentang hubungannya dengan suaminya. Ternyata mereka sedang mengurus perceraian mereka, dan sudah menjalani satu kali sidang. Ada beberapa tahap sidang perceraian sebelum keputusan diambil oleh hakim, banyak yang musti dibahas dalam persidangan. Dan masalah kekasaran suaminya pada Ica, itu bisa dituntun secara pidana bila Ica mau. Tapi dia memutuskan agar tidak memperkarakannya. Biar bagaimana pun dia pernah dan masih ada rasa sayang dihatinya untuk suaminya. Asal bisa bercerai dan terbebas dari belenggu suaminya saja sudah bersyukur banget.

Sore hari aku sampai kawasan puncak bogor, akhir pekan memang hari yang sangat padat untuk kawasan ini, maklumlah weekend. Dan memang udara disini sangatlah sejuk, lebih tepatnya dingin hingga aku harus mematikan AC mobilku untuk mengurangi rasa dingin ini.

Aku dan Ica masih kenyang karna selama bermacet ria di jalan, kami memakan beberapa makanan ringan yang sengaja aku beli untuk bekal di perjalanan. Kami putuskan untuk memarkir mobil di masjid atta awun yang menjadi tempat parkir umum selain tempat ibadah.

Selagi kami menatap indahnya hamparan kebun teh yang terbentang luas di sekitar kawasan puncak. Kami membicarakan banyak hal, tapi lebih sering membicarakan pengalaman-pengalaman seru sewaktu kami berkemah. Disuasana sedingin inilah dulu, aku dan dia dan juga teman-teman kami tentunya. Menghabiskan liburan sekolah disebuah pegunungan. Wajah imut dengan balutan jaket tebal menjadi semakin menarik, ketika pipinya menjadi kemerahan akibat udara yang dingin ini. Cantik sekali, ternyata hal itu belum hilang dari pipi Ica yang dulu sangat-sangat membuatku tak berhenti berkedip ketika memandangnya.

Gelap malam sudah menghiasi langit wilayah bogor ini, saat aku lirik jam tanganku menunjukan pukul 7 malam. Bukan semakin sepi kawasan ini tapi malah semakin ramai saja. Aku sudah mulai lapar, dan pastinya Ica juga sudah mulai lapar. Akhirnya kami putuskan untuk mencari tempat makan di sekitar sini.

“ Kayaknya gurame bakar enak nih “ ucap Ica menjawab pertanyaanku ingin makan apa. Aku parkir mobilku pada sebuah restoran sunda. Restoran dengan lesehan khasnya, memang ada tempat direstoran ini yang menyediakan meja dan kursi bagi tamu yang gak terbiasa dengan duduk menyila. Tapi aku sangat terbiasa walau itu dulu aku lakukan, terakhir aku masih ingat ketika mendaki gunung gede bersama teman-temanku, itulah terakhir aku makan disebuah rumah makan dengan duduk menyila.

Selama menyantap menu yang dihidangkan, kami biarkan memori kami kembali lagi disuasana yang tidak jauh berbeda ketika kami menghabiskan liburan sekolah. Aku lihat caranya ia makan, jauh berbeda ketika tadi siang makan bersamaku. Cara yang sama ketika dulu kami masih dalam balutan seragam putih abu-abu. Makan seperti orang kelaparan, itulah Ica dahulu dan saat ini. Jika dibanding tadi siang, kesannya dia terlalu mendramatisir setiap rasa yang mengecap dilidahnya.

Setelah makan malam sebenarnya kami berencana langsung kembali pulang, tapi iblis pegunungan mana yang membisikkan Ica untuk menunjuk sebuah hotel dipinggir jalan, dan begitu pula diriku dengan mudahnya aku belokkan kemudiku menuju parkiran hotel tersebut. Ah bakal jadi malam yang panjang sepertinya nih.

Setelah menyelesaikan administrasi hotel, aku dan Ica memasuki sebuah kamar dilantai dua. Kamar yang menurutku sederhana tapi bersih dan standar, terdiri dari 1 ranjang yang bisa menampung 3 orang, sebuah kamar mandi yang terawat dengan kran air panasnya. Tidak terlihat AC hinggap di dinding kamar, gak akan laku AC di tempat sedingin ciawi.

Aku duduk dipinggir ranjang, diikuti oleh Ica duduk disampingku setelah melepaskan jaket tebal yang melindunginya dari hawa dingin. Terlihat kembali tubuh seksi yang tadi siang kulihat, suasana sedingin dan sesepi ini sangat tepat untuk mempercepat aliran darahku mengalir menuju titik-titik saraf birahiku.

Aku masih terdiam menatap jam dinding yang suara gerakan jarum detiknya terdengar olehku. Dan Ica sangat memahami kegrogianku menghadapi ini semua. Dibelai lembut bagian telapak tanganku yang kuletakkan diranjang. Aku hanya menatap sayu kearahnya, tanpa ada perkataan yang terluncur dari mulutku.

“ Kakak kok diem aja sejak masuk sini “ ucapnya tersenyum coba mencairkan suasana yang terasa beku terkena hembusan angin pegunungan.

“ Gak kenapa-kenapa kok, Cuma bingung aja karna baru kali ini aku berdua bersama perempuan diatas ranjang “ ucapku sedikit gemetaran.

Ica hanya tersenyum penuh makna menatapku, dan perlahan wajahnya mulai mendekat ke arah wajahku. Seperti ada magnet di wajahnya, reflek aku ikut memajukan wajahku. Semakin dekat hingga tak ada jarang yang memisahkan antara wajah kami, dan bibir kamipun saling bersentuhan.

Ya kami mengulangi percumbuan kami beberapa waktu yang lalu, dan kali ini rasanya benar-benar luar biasa. Menikmati halus bibirnya, serta lembut lidahnya yang beradu dengan lidahku, disuasana seintim ini. Lebih intim dari suasana saat itu di ruang tamu rumahnya.

Naluriku membimbing untuk membelai bagian tubuh Ica, dan kali ini dituntun ke lengannya. Masih dalam balutan kaos ketatnya, aku belai mesra lengan Ica, terlihat Ica memejamkan mata coba meresapi pergulatan lidah kami. Kemudian naluriku kembali menuntunku untuk membelai punggungnya, hingga mendorong tubuhnya mendekat ke tubuhku dan kupeluk erat dirinya.

Kehangatan seorang gadis dari masa lampauku, kini terasa jelas mendekapku dalam sayap patahnya. Sayap yang sebenarnya menyelipkan berbilah-bilah pisau yang siap menikamku kapan saja bila aku lengah. Gadis yang menyeretku dalam aliran arus deras, dan diantara aliran itu terdapat batu yang keras nan tajam siap mencambuki kapanpun tubuhku tak sadar terbuai.

Kali ini naluriku lebih gila lagi, menuntunku membuka seluruh pakaianku dan pakaiannya. Hingga nampak jelas tubuh polos tanpa sehelai benangpun, kulit putih mulus yang ternoda oleh beberapa luka lebab akibat cambukan ikat pinggang suami biadabnya. Pandanganku kini tertuju pada dua bongkahan payudaranya yang membusung seolah minta cepat-cepat dijamah.

Aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan indah tubuh yang harus terkotori oleh kekejaman suami letoynya itu. Sudahlah jangan pikirkan suaminya, jika aku melihat tubuhnya dengan rasa iba, mungkin saja Ica akan kembali sedih mengingat masalah dalam rumah tangganya. Saat ini adalah saatnya aku membuat dia senang untuk sementara, dan begitu pula denganku. Aku lupakan statusnya dan status diriku saat ini, aku lupakan kehidupan nyata kami berdua. Aku akan bawa dia ke alam mimpi yang selama ini ia impikan. Kusetubuhi dia dengan segenap perasaanku, kulumat mili demi mili tubuh indahnya, kucumbui luka-luka ditubuhnya coba memberi penawar.

Dan pada akhirnya, penis yang selama ini terdiam menganggur, sudah tenggelam dalam liang kenikmatan yang ditumbuhi bulu tipis. Betapa malunya diriku saat aku berada diatasnya dan beberapa kali gagal melakukan penetrasi, sampai akhirnya tubuhku dibaringkannya ke ranjang dan dialah yang berada diatasku melakukan pentrasi. Tak perlu melakukan beberapa kali percobaan, karna Ica langsung sukses pada percobaan pertamanya, beda denganku. Dasar perjaka, mungkin itulah batin Ica saat mimik gemasnya melihatku kesusahan memasuki penisku ke vaginanya.

Sial betapa nikmatnya bercinta dengan seorang wanita, dan diumurku yang sudah menginjak 28 tahun ini baru kali ini merasakan nikmatnya tubuh seorang wanita. Benar-benar lelaki yang kurang beruntung dalam hal kewanitaan aku ini.

Setiap gesekan penisku yang menerobos ke dalam vagina Ica, benar-benar kunikmati. Sulit rasanya menggambarkan rasa nikmat itu, hingga aku merancau tak karuan, lebih besar suara desahanku dibanding suara Ica. Norak banget sih, pasti itu suara hati Ica ketika membuat seluruh tubuhku tegang dalam gerakan konstan pinggulnya.

Kami tetap berada dalam posisi Ica berada diatasku, mengayun-ngayunkan pinggulnya, sedangkan tanganku diarahkannya untuk meremas kedua payudaranya. Hingga terasa jelas olehku kedutan hebat di rongga vaginanya, tak berapa lama disusul oleh erangan berat Ica dan juga semburan cairan kental membasahi penisku hingga keluar mengalir dipahaku. Tak lama kemudian aku merasa tubuhku makin tegang sejadi-jadinya, merasakan ada sesuatu yang hebat akan meledak dari dalam penisku.

“ Oooouuuggghhh “ semburan kencang spermaku menyemprot tajam membasahi rahim Ica, entah berapa kali semportan itu tersembur keluar, tapi satu hal yang jelas. Itu sangat-sangat nikmat sekali, tak ada kata yang mampu menjelaskan secara gamblang rasa nikmat itu.

Selesai bergumul denganku, Ica merebahkan tubuhnya disampingku. Kami saling pandang tanpa kata yang terucap dari bibir kami. Tapi aku bisa tahu dari caranya menatapku, dia ingin bilang ‘ terima kasih ‘. Aku juga berterima kasih padanya, telah membuatku sejenak melupakan perih hati yang tergores oleh belati Via.

Lama kami saling pandang, hingga Ica tertidur lelap dengan wajah yang masih mengarah padaku. Aku alihkan pandangan kearah langit-langit kamar “ Hmmm sedang apa ya si gadis gentayangan itu “. Ah kenapa tiba-tiba saja aku jadi kepikiran arwah pecicilan itu, dan aku tahu pasti saat ini dia sedang pecicilan dengan film yang dia pantengin semalam suntuk, dan jam 4 pagi pasti dia pergi ke atap rumah menunggu bintang jatuh.

Jam sudah menunjukkan jam 1 malam, dan aku belum bisa tertidur. Ica yang sudah tidur, tiba-tiba saja terbangun karna suara knalpot motor-motor gede baru saja lewat depan hotel tempat kami menginap. Dengan mata masih sayu, aku pandangi wajah polosnya sepolos tubuhnya kini. Cantik sama ketika dulu dia keluar tenda di pagi hari sambil mengucek matanya yang baru terbuka.

“ Pulang yuk kak, besok siang aku janji mau kerumah orang tuaku “ ucap Ica seraya meregangkan ototnya.

Aku setujui ajakannya, setelah memakai kembali pakaian kami, kami segera bergegas chek out dan pergi menuju cibubur. Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang dapat kami obrolkan, karna Ica kembali tertidur lelap di jok mobilku. Aku beranikan diri mengantarnya kerumah karna suasana juga masih gelap. Setelah mengantarnya, aku kembali menuju rumahku. Aku pacu mobilku agak cepat karna jalan yang lengang dan juga aku sudah sangat lelah sekali malam ini, perjalanan jauh serta pergulatan dahsyat membuat tubuhku ingin langsung aku hempaskan ke kasur kamarku.

Pukul 3 lewat 30 menit aku tiba dirumahku, dan kulihat rumahku sangat gelap keadaanya. Bahkan tak ada sinar yang terpancar dari rumahku ini, padahal sebelum pergi aku menyalakan TV sesuai keinginan Shina dan juga lampu-lampu rumahku. Pasti pemadaman dari PLN nih, aku masuki pintu rumahku dan mendapati Shina sedang duduk melamun menatap layar TV yang hitam karna tak ada suplai listrik. Nampak murung sekali makhluk astral ini.

“ Heloowww seishin, jangan nyeremin gitu donk tampangnya. Inget lho kamu itu arwah “ ucapku coba menggodanya, tapi tak segarispun senyum menghias wajahnya. Waduh apa dia telah berubah menjadi roh jahat. Dari arah luar rumahku, aku melihat seberkas sinar yang masuk dan sedikit menerangi rumahku hingga aku dapat melihat bayangan Shina, aku tengok kembali keluar rumah dan aku pandangi beberapa rumah tetangga. Ternyata hanya rumahku yang gelap gulita, oh aku lupa mengisi pulsa token listrik rumahku, ini semua karna Ica yang membuatku lupa. Dan satu lagi hal yang terlupakan “ artikelku tentang roh “, padahal aku sudah berjanji pada Shina untuk mempraktekkannya.

“ Hei seishin, maaf aku benar-benar lupa mengisi pulsa token, jam segini belum ada counter yang buka. Dan untuk artikel itu, nanti siangan ya kita praktekin “ ucapku

“ Gak guna, gak ngaruh, gak ngefek “ teriaknya lalu berdiri dan pergi setelah mengibaskan rambut panjangnya kearahku. Walaupun rambutnya itu menembus wajahku tetap saja aku reflek berusaha menghindar, pergi kemana ya Shina, ah paling juga ke atap rumah untuk menunggu bintang jatuh. Dan kata-kata yang baru keluar dari mulutnya, tegas menyatakan bahwa semua yang ia katakan padaku selama ini gk ada gunanya, gak ada pengaruhnya dan gak ada efeknya buatku.
Bersambung ke Bab 4/9 JANJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates