Social Icons

Pages

(S4suk3) Jendela Kenangan - Bab 5/9 BIASA AJA

Di sebuah kamar hotel, aku sedang asik memandang kamar hotel dengan cahaya remang. Setelah hampir satu jam bergemuruh dalam desah bersama Ica. Sedangkan Ica sudah sibuk dengan mimpi manisnya setelah bermandi peluh. Tubuh kami masih bugil, AC dengan tempratur 16 C tak cukup memberi kesegaran bagi kami yang baru bermain dengan api birahi, ditambah
musim kemarau panjang.

Pikiranku menerawang jauh kedepan membayangkan baik-buruknya hal yang kini aku lakukan dengan Ica. Walaupun sebentar lagi dia akan bercerai, dan tak dapat kupungkiri, perlahan memori-memori masa laluku bersamanya kini terus berdatangan. Rasa yang dulu tertinggal kini seperti kembali lagi, untuk kembali mengukir cerita kami selanjutnya.

Tapi apa ini baik untukku, apa ini juga baik untuknya. Jujur saja walaupun aku yakin mulai mencintainya kembali dan begitu pula dengannya, tapi aku masih berfikir kalau semua ini hanyalah sebuah pelampiasan semata. Masih ada sedikit keraguan di hatiku jika yang kami jalani saat ini adalah sebuah ketulusan, aku merasa ada yang hilang dari kami yang dulu. Kami yang sekarang setiap memiliki waktu untuk bersama selalu diakhiri dengan pergumulan nafsu.

Walaupun sex adalah bagian dari cinta, tapi cinta tak melulu harus diakhiri dengan sex. Apa aku hanya dijadikan sebuah pelarian hasrat olehnya, dan apakah Ica hanya aku jadikan peliarian cinta. Sejak sidang pertama percerain Ica dengan suaminya, Ica memilih pisah rumah dan menyewa sebuah rumah di daerah kalisari, tak begitu jauh dari kediamanku di cibubur. Dengan begitu kami jadi banyak memiliki waktu untuk bersama. Kami bebas bertemu kapanpun kami mau, karna secara agama mereka sudah bercerai, tinggal menunggu pengesahan dari pihak pengadilan saja.

Sudah dua bulan aku dan Ica merangkai kembali memori masa lalu, walaupun dengan sedikit keraguan di hatiku, tak pernah aku ungkapkan keraguanku ini kepadanya. Aku takut menyinggung perasaannya. Dan tinggal satu kali lagi mereka menjalani persidangan, untuk memutuskan perceraian mereka dan apa-apa saja yang musti diselesaikan dalam perceraian mereka.

“ Jumat sidang terakhirku, minggu kita ketemu di sini ya kak “ ucapnya ketika aku hendak menurunkannya di depan sebuah mall di daerah cijantung.

“ Ya, semoga lancar ya sidangnya “ ucapku. Setelah memberi sebuah kecupan mesra di pipi, Ica hendak membuka pintu mobilku... “ tunggu Ca “ ucapku sebelum Ica membuka pintu mobilku.

“ Iya, kenapa ? “ tanyanya menoleh kearahku.

“ Kamu yakin dengan apa yang kamu jalani saat ini ? “ tanyaku. Tatapan matanya menunjukan jika dia terkejut dengan pertanyaanku. Diurungkan niatnya untuk membuka pintu mobilku, disandarkannya kembali tubuhnya di jok mobil.

“ Kenapa kakak nanya begitu ?

“ Kamu kan selalu bilang, sebenarnya suamimu adalah pria yang baik. Hanya dia tidak bisa menerima keadaannya. Bukankah katamu, kalian sebenarnya saling mencintai walaupun akhirnya harus seperti ini “ ucapku, sangat berlawanan dengan perasaanku tapi sangat sejalan dengan keraguanku. Aku hendak memastikan apa yang masih aku ragukan. Ica hanya tertunduk sejenak meresapi perkataanku barusan.

“ Ya memang, tapi aku gak bisa seperti ini terus. Apa kakak tega kalau apa terus menerus disiksa seperti ini “ ucapnya terdengar lirih.

“ Apa gak ada pembicaraan yang menuju perdamaian “ ucapku, lagi-lagi berlawanan dengan perasaanku yang sebenarnya tidak ingin dia berdamai dengan suaminya. Ya hanya untuk menjawab keraguanku akan perasaannya, setelah aku yakin, aku juga akan meyakinkan perasaanku bahwa semua ini bukanlah sebuah pelarian untuk kami berdua.

“ Dia selalu menginginkan opsi perdamaian, tapi aku sudah terlanjur sakit, dan aku sudah terlanjur bertemu kembali dengan kakak “

“ Jadi bila kita gak bertemu, masih ada kesempatan bagi suamimu ? “

“ Entahlah, aku gak bisa jawab apa yang gak tertulis oleh takdir kak “

Sejenak aku berfikir, menatap lalu lalang orang disamping mobilku “ Apa yang kamu rasakan saat bersamaku ? “ tanyaku.

“ Senang, aku merasa seperti 8 tahun lebih muda “ jawabnya.

“ Kakak sih dulu abis lulus langsung ngilang aja, gak ada kabar, gak pernah main ke sekolah, padahal sering lho alumni-alumni seangkatan kakak main kesekolah. Aku selalu berharap kakak datang tapi gak pernah sekalipun kakak datang. Yang namanya kehidupan pasti berjalan terus, perlahan aku lupa dengan kakak dan bertemu dengan suamiku yang sekarang “ sambungnya.

“ Lalu ? “ tanyaku

“ Seandainya kita gak lost contact, mungkin aku gak akan menikah dengannya dan gak akan tersiksa seperti ini “ ucapnya.

“ Katamu, kamu gak bisa jawab apa yang gak tertulis oleh takdir ? “ tanyaku kembali.

“ Hehehe, iya ya “ Ica menyengir bingung

“ Jadi seandainya kita gak lost contact, kita juga gak tau nasib kita sekarang seperti apa kan “ ucapku dan di jawab hanya dengan senyuman.

“ Ya udah ya, jangan lupa hari minggu, daah “ ucap Ica mengakhiri pembicaraan kami dan keluar dari mobilku.

**************************************

“ Hai seishin “ sapaku saat aku masuk ke rumah, seperti biasa Shina sedang asik dengan layar kaca di hadapannya.

“ Eh udah pulang, jalanan lancar “ ucap Shina tanpa menoleh kearahku.

“ Lancar lah, hari minggu “ ucapku, lalu duduk di sampingnya.

“ Gimana perkembangan kalian ? “ tanyanya dengan gaya seorang detektif, ibu jari dan telunjuknya ditempelkan kebahu.

“ Hari jumat mereka sidang terakhir dan minggu kami akan bertemu di tempat biasa “ jawabku.

“ Lalu ? “ masih dengan gayanya.

“ Itu aja “

“ Masa itu aja “

“ Terus mau apa lagi “

“ Kenapa kamu masih terlihat bingung gitu, bukannya sebentar lagi kalian bisa bersatu ? “ tanyanya.

“ Aku bingung jika kami bersatu dan menikah, pasti dia juga tinggal disini, lalu bagaimana dengan kamu “ ucapku tidak serius, sedikit menyindirnya.

“ Oh iya ya, mending kalian menikahnya setelah aku sadar aja “ ucapnya. Aku kernyitkan dahi menatapnya penuh keheranan.

“ Kapan kamu sadarnya ? “

“ Hanya ada dua pilihan, sadar atau mati. Tapi yang pasti keduanya membuat rohku pergi dari hidupmu. Tinggal tunggu saja salah satunya “ ucapnya, kali ini terdengar lirih.

“ Kamu gak senang kalau kamu sadar ? “ tanyaku memandang wajahnya yang tiba-tiba lesu.

“ Kalau sadar sih seneng, tapi kalau mati dan belum sempat aku mengucapkan kata perpisahan kepada orang-orang yang aku sayangi ? “ ucapnya, matanya mulai sendu.

“ Pasti bisa lah, kamu harus yakin “

“ Sudah berapa bulan kita bertemu ? “ tanyanya.

“ Sekitar 3 bulan “ jawabku.

“ Dan sudah berapa percobaan yang kita lakukan Sam ? “

“ Aku tidak menghitungnya “

“ Apa hasilnya ? “

“ Hanya dapat menyentuhku saja “

“ Semua hasilnya nol Sam, percobaan aneh yang kita lakukan, dari yang tengah malam aku berjalan mengelilingi hutan cibubur, masuk kamar mayat, hingga membuat lingkaran setan sekalipun semua itu Cuma hoax. Lagian kamu percaya aja sih sama semua itu, kamu kira aku gak takut apa ngelakuin semua percobaan anehmu itu “ ucapnya sedikit emosi.

“ Apa yang membuatmu takut ? “ tanyaku

“ Kamu kira aku gak takut apa malam-malam pergi kehutan sendirian, masuk kamar mayat, hendak dipertemukan dengan raja iblis. Aku ini perempuan, kalau aku ketemu setan gimana“

“ Kamu kan roh, masa takut sih, kamu kan sejenis “ mendadak heran.

“ Apa maksudmu dengan sejenis “ omelnya.

“ Jujur aja sih, sebenarnya aku gak yakin dengan semua yang kita lakukan. Itu hanya kepercayaan-kepercayaan kuno yang gak terbukti kebenarannya, dan gak masuk akal buatku. Aku Cuma coba memberimu harapan aja “ ucapku. Shina melotot tajam.

“ Jadi selama ini ? “ ucapnya sedikit terbata.

“ Bisa melihat dan menyentuhmu adalah hal yang gak masuk akal buatku. Dan menurutku apa salahnya mencoba hal yang gak masuk akal kepadamu, karna sama-sama gak masuk akal. Bukannya minus kali minus sama dengan plus “ ucapku.

“ Jadi, apa masih ada harapan buatku ? “ tanyanya lirih.

“ Terus terang aku gak yakin “ jawabku pelan.

“ Berarti aku harus menunggu dua kemungkinan itu saja tanpa ada harapan lainnya ? “

“ Sepertinya begitu “

Shina tertunduk lesu, matanya semakin berkaca-kaca sepertinya sebentar lagi akan tumpah air matanya. Aku tidak tega tatapan matanya yang nanar. Entah apa yang mendorongku hingga aku tarik bahu Shina dan merangkulnya, aku sandarkan kepalanya di bahuku. Terdengar isak tangisnya, tubuhnya sedikit bergetar.

“ Jadi sebentar lagi aku akan kembali kesepian seperti sebelum bertemu denganmu “ ucapnya semakin lirih. Entah menagapa mendengar ucapnya hatiku berdenyut lirih, tak sampai hati untuk membiarkannya kembali kerumah sakit dan duduk berdiam diri di sebelah jasadnya.

“ Gak secepat itu kali, akan ada tahapan-tahapan yang musti aku lalui jika Ica resmi bercerai. Lagi pula aku masih ragu dengan hatinya dan juga hatiku. Aku masih gak tau apakah ini hanya merupakan pelarian kami berdua saja “ ucapku.

“ Berapa lama ? “ tanyanya.

“ Sampai kamu sadar atau ..... “ aku tidak sampai hati untuk mengucapkan kata ‘mati’ pasti dia juga sudah tau.

“ Hmmm yakin nih “ Shina bangkit dari bahuku lalu menatapku penuh harapan. Aku hanya mengangguk yakin.

Aku tersenyum lalu memegang kepalanya “ Seandainya kamu mati dan belum sempat memberi salam perpisahan dengan kerabatmu, suatu saat kalian juga pasti bertemu, semua orang pasti mati seishin “ ucapku

“ Iya juga sih, gini aja deh “ Shina menarik tanganku yang ada di ujung kepalanya lalu menggenggamnya. “ Aku anggap kamu orang yang paling aku sayangin dan bila aku mati aku akan mengucapkan salam perpisahan padamu saja “ ucapnya. Sumpah aku sangat terkejut mendengar ucapannya, diiringi dengan senyum yang sangat manis membuat hatiku bergetar hebat.

Aku tak bisa berkata apapun, menatap indah binar matanya. Kata-katanya yang baru saja ia ucapkan bagai angin kutub yang dapat membekukan apapun yang dilewatinya. Tubuhku terasa dingin dan kaku, bahkan aku tak bisa merasakan denyut nadiku.

“ Kok malah bengong ? “ ucapnya, melepas genggaman tangannya. “ Jangan pede dulu lah, saat rohku ditarik ke langit, aku akan mengucapkan salam perpisahan dengan mata terpejam, dan membayangkan seolah-olah aku mengucapkannya pada orang yang aku sayangi, bukan kamu “ sambungnya.

“ Baka “ cibirku pelan.

“ Hei Sam, kamu belum ngantuk kan ? “ tanyanya, aku jawab dengan menggelengkan kepala.

“ Ke atap rumah yuk, filmnya gak ada yang bagus “ ajaknya.

“ Hei, kamu tau ini baru jam berapa, masih banyak tetanggaku yang seliweran di depan rumah. Apa jadinya kalau mereka melihatku di atap rumah “ ucapku menolak ajakannya.

” Kalo gitu main piano aja yuk “ ajaknya kembali

“ Emang kamu udah bisa nyentuh piano ? ”

“ Kamu lah yang main “

“ Aku Cuma bisa satu lagu yang waktu itu aku mainkan saja “

“ Gak papa, aku suka kok lagunya, kan waktu itu kamu belum selesai mainnya “ ucapnya dengan senyum menyeringai.

“ Via aja gak suka tuh lagu, dia Cuma ngajarin aja setelah itu dia gak pernah mau dengerin aku mainin lagu itu “

“Itu kan Via, bukan aku “ ucapnya kembali.

“ Mau ngejek pasti nih “ ucapku penuh kecurigaan.

“ Enggak kok, serius deh “ ucapnya mengacungkan kedua jari telunjuk dan tengah membentuk V. aku Cuma terdiam memperhatikan raut wajahnya, menebak-nebak apa yang sedang ia pikirkan. Kualihkan pandanganku kearah TV menghindari permintaannya, tapi dia tetap saja ngotot.

“ Ayolah Sam, aku gak akan mengejekmu, suer, sumpah. Aku sangat penasaran sama lagu yang kamu mainkan waktu itu..... “ kedua jariku menyentuh keningnya, seketika itu ocehannyapun berhenti.

Dengan berat hati aku dan dia pergi menuju ruang tengah, tempat pianoku berada. Aku buka kain yang menutupinya. Aku duduk di depan piano itu dan mulai memainkan lagu yang menurut Via gak bagus tapi disukai oleh Shina.

Sepertinya sih Shina memang benar menyukainya, terlihat dari ekspresinya. Menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama. Bahkan semakin lama dia mulai menggerakan tubuhnya, menari-nari gak jelas, tapi gerakannya sangat anggun walaupun aku gak tau nama tariannya itu.

“ Baru kali ini ada orang yang memainkan piano untukku, biasanya aku yang memainkannya untuk orang-orang “ ucapnya ditengah tariannya.

“ Aku juga baru kali ini memainkan piano untuk orang, biasanya sebaliknya “ ucapku.

“ Berarti ini yang pertama untuk kita ya “ aku hanya mengangguk.

“ Kamu terlihat senang seishin “ ucapku.

“ Inikan lagu gembira, lagu kebebasan diatas samudra luas “ ternyata dia masih ingat yang waktu itu aku katakan. “ Lagu ini seperti membawaku kesebuah samudra, dimana aku bisa menemukan kebebasan, aku dapat mendengar suara paus biru di atas permukaan dan ikut menari bersamaku “ sambungnya.

“ Oh ya “

“ Yup, jadi mau kan kamu mainin untukku setiap aku minta “ aku hanya mengangguk. Aku pejamkan mataku coba menikmati bait-bait terakhir, aku mainkan dengan sepenuh hati agar Shina semakin menikmatinya.

Kuakhiri permainanku dengan sedikit hentakan keras jemariku, dan disambut tepukan tangan Shina. Entah beneran memberi applaus atau menghina atau hanya sekedar menghibur. Yang jelas saat aku buka mataku dia sudah menatapku dengan senyum manisnya. Aku sudah mulai nyaman dengan keberadaan mahkluk bayangan yang satu ini, paling tidak dia bisa jadi temanku saat aku sendiri seperti ini.

“ Hei Sam “ ucap Shina membuyarkan lamunanku. “ Tadi kamu bilang masih ragu dengan hatimu dan hatinya ? “ aku hanya mengangguk pelan.

“ Lalu kenapa kamu terus jalani ? “

“ Mungkin aku butuh cahaya eldar “

“ Aku serius Sam, aku ini juga wanita, dia rela cerai dengan suaminya hanya untukmu “

“ Sebelum bertemu kembali denganku juga dia emang udah niat buat cerai “

“ Tapi kalo hatimu ragu, terus akhirnya kalian berhenti di tengah jalan ? “

“ Takdir “

“ Oke aku mengerti, kamu pernah dipermainkan oleh wanita, tapi gak semua wanita sama Sam, dan jangan kamu lampiaskan kekecewaanmu pada orang lain “ aku menoleh kearah Shina, aku sadar yang ia ucapkan ada benarnya.

“ Walaupun kalian dulu saling mencintai, tapi kondisi saat ini berbeda “ sambungnya

“ Jika dia menjadikanku pelampiaskan juga ? “ giliran aku bertanya.

“ Itu dia, pernikahan adalah sesuatu yang kompleks Sam, gak bisa kalian menikah hanya mencari nafsu belaka. Jika gak ada ketulusan, lalu nafsu telah hilang yang ada hanya kehambaran saja. Kamu bernafsu untuk segera lepas dari perasaan sakitmu kehilangan Via, sedangkan Ica bernafsu untuk segera lepas dari kekurangan suaminya “ Shina menatapku sejenak, menghela nafas panjang sebelum kembali berbicara.

“ Jika itu semua sudah terpenuhi, hubungan kalian akan terasa hambar. Oke kalian saling membutuhkan dan saling melengkapi, tapi tanpa ketulusan gak ada gunanya “ sambungnya.

“ Jujur saja, perasaanku yang dulu terhadapnya sedikit demi sedikit datang kembali. walaupun masih ada keraguan dihatiku, entah ragu akan perasaannya atau perasaanku “

“ Apa kamu tulus ? “ tanyanya, aku menunduk tanpa bisa berkata apa-apa. Aku sendiri tidak tahu tulus atau tidak.

“ Rasa yang dulu dengan rasa yang sekarang apa sama ? “ tanyanya kembali, aku hanya menggeleng pelan.

“ Apa yang kamu rasakan sekarang ? “

“ Sedikit cinta yang dulu tertinggal, sedikit keraguan dan banyak pelampiasan “ jawabku lirih, sepertinya ini adalah jawaban yang paling pas untuk menggambarkan perasaanku saat ini.

“ Begitu pula dirinya Sam “

“ Lalu aku harus gimana ? “ tanyaku

“ Kamu punya waktu sampai hari minggu, kamu pikirkan apa yang akan kamu putuskan. Ingat Sam pernikahan itu sesuatu yang sakral, sesuatu yang kompleks, gak bisa kamu bermain dengan pernikahan Sam “ ucapnya sedikit lantang.

“ Tunggu-tunggu “ ucapku kemudian berfikir sejenak. “ Perasaan dari tadi kamu ngomongin pernikahan mulu, padahal aku dan Ica belum ngomongin kearah situ “ ucapku tersadar dengan segala macam ocehan Shina.

“ Hah masa sih ? “ ucap Shina bingung

“ Makanya jangan sok tau jadi arwah “

“ Lalu kenapa kamu tanggepin ? “

“ Ketularan bodohnya kamu “ ucapku ketus. padahal mah aku yang memulai

“ Ngajakin ribut nih, ciat...ciat...ciattt “ sialan arwah pecicilan itu mulai beraksi memukul dan menendangku seenak jidatnya saja. Kenapa sih harus aku yang bisa melihat, mendengar dan menyentuhnya. Aku langsung berlari menghindari serangannya, jadi penasaran dahulu ibunya makan apa saat mengandungnya.

Ucapan Shina walaupun gak nyambung tapi ada benarnya juga sih. Arwah sotoy itu belajar filsuf dimana ya ? seniman memang selalu punya pemikiran yang berbeda. Mungkin aku harus berfikir berkali-kali mengenai hubunganku dengan Ica. Bukan gak mungkin hubungan kami akan lebih jauh dan akan menuju jenjang pernikahan jika ini berlanjut terus. Dan aku harus menemukan sebuah keyakinan dalam hatiku.

Aku gak bisa melampiaskan rasa frustasiku terhadap Via, kepada Ica. Biar bagaimanapun aku pernah merajut perasaan yang spesial dengannya, dan saat ini aku dan Ica coba merajut kembali perasaan yang dulu terjalin. Aku harus benar-benar melupakan Via sebelum aku berhubungan lebih jauh dengan Ica.

Aku harus fokuskan hati dan juga pikiranku kepada Ica, memoriku kembali memutar ingatan masa laluku bersama Ica. Aku teringat hal-hal indah bersamanya saat kami masih mengenakan seragam putih abu-abu. Aku coba mantapkan perasaanku yang akan kujalani bersama Ica, dan membuang perasaanku yang telah usai bersama Via.

Perlahan aku mulai bisa sedikit melupakan Via, dan mulai memantapkan hatiku untuk Ica. Untunglah ada gadis gentayangan itu, yang selalu membantuku melupakan Via, serta memantapkan hatiku. Dia yakinkan padaku bahwa jangan ada rasa pelampiaskan atau pelarian dalam hubungan yang akan semakin jauh bersama Ica.

Perlahan pula jawaban soal pertama terjawab berkat bantuan Shina, dan Shinapun sudah mulai enjoy dengan keadaannya saat ini. Dia sudah tidak memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan kerabatnya. Baginya aku juga adalah bagian jawaban dari soal pertama. Sebagai gantinya kini aktifitasku setelah pulang kerja bertambah, nemenin nonton film hingga aku tertidur di sofa, lalu jam 4 pagi harus bangun nemenin dia diatap rumah hanya untuk menunggu bintang jatuh. Kalo sudah begini kamar tidur jadi jarang kutempati, sofa yang kini menjadi tempatku memulai mimpi, walaupun sering aku terbangun dipundak Shina yang masih asik dengan filmnya.

Pernah aku terbangun di pangkuan Shina, yang aku heran dia selalu membiarkan ketidak sadaraanku itu. Mungkin saja aku pernah tidak sadar memeluknya saat aku tertidur, dan saat aku dalam keadaan antara sadar atau tidak sadar, aku pernah merasakan sebuah belaian lembut di rambutku. Dan ketika aku sadar kepalaku sudah berada dalam pangkuannya, lalu disambut dengan senyuman manis serta mengajakku ke atap rumah.

Minggu pagi, Taman depan mall cijantung
Taman yang sangat ramai bila hari minggu, banyak orang yang lari pagi dan penjual makanan di sekitar taman dan ada bazar tak jauh dari taman ini. Aku duduk seraya menikmati semangkung bubur ayam, menunggu kedatangan Ica. Sesuai yang kita sepakati, hari minggu aku menunggunya di tempat ini. Hari jumat kemarin sidang terakhir dan aku belum dikabarinya mengenai jalannya persidangan. Tumben sih dia gk langsung kabarin begitu selesai sidang, biasanya langsung mengabariku hasil dari sidang-sidang sebelumnya begitu selesai.

Tak lama aku menunggu, Ica sudah terlihat datang menghampiriku. Tapi ada yang berbeda kali ini, dia tidak datang sendirian, melainkan bersama lelaki yang mungkin tidak berbeda jauh umurnya denganku, hanya lebih tua sedikit saja dariku mungkin. Tingginya juga tidak beda jauh denganku, hanya lebih gemuk saja. Apa mungkin itu suaminya, ada apa ini jika datang bersama suaminya, apa akan terjadi keributan, ditempat umum seperti ini. Aku pergi gak ya ? kalo aku pergi gak jantan berarti donk, tapi kalo tetep disini bisa heboh. Pikiranku berdebat sendiri antara pergi atau tidak, hatiku jadi gelisah.

Belum sempat aku mengambil keputusan Ica dan juga pria itu sudah ada di hadapanku “ Kak, ini suamiku “ ucap Ica, benerkan dugaanku. Bakal kacau nih pasti suasananya, aku sudah siap ancang-ancang bila suaminya menyerangku. Aku berfikir beberapa jurus yang sering dipraktekan Shina terhadapku. Hug kanan, hug kiri, jet, uper cut, jet kuno do, rasengan, chidori, gomu gomu no, diable jambe dan lain-lain.

“ Hai Sam, aku Didi “ ucap laki-laki itu tersenyum padaku dan mengulurkan tangannya. Dengan sedikit gemetar aku sambut uluran tangannya, masih tetap siaga satu bila dia menyerangku. Laki-laki itu kemudian duduk disampingku diikuti oleh Ica duduk disampingnya.

“ Makasih ya telah menjadi penasehat yang baik buat istriku “ ucap Didi, aku hanya bisa diam mematung mendengar ucapannya.

“ Selama ini aku telah egois terhadap istriku, aku hanya mengikuti emosi sesaatku saja. Aku tau yang aku lakukan terhadap Ica adalah sebuah kesalahan besar. Dan kini aku sadar, aku berjanji akan jadi lebih baik lagi sebagai seorang suami. Aku akan lakukan apapun demi Ica seperti yang kamu lakukan dahulu kepadanya “ ucap pria itu dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

“ Oke, rasanya sulit mengungkapkan rasa terima kasihku padamu Sam, tapi aku benar-benar berterima kasih. Sepertinya ada yang ingin disampaikan oleh Ica padamu Sam “ ucap Didi lalu berdiri dan menoleh ke Ica “ Sayang aku tunggu di mobil ya “ ucapnya lalu pergi meninggalkan kami berdua.

Aku tak bisa berkata apapun, aku hanya dapat memandang Ica penuh pertanyaan, penuh keheranan. Apa yang terjadi di persidangan terakhir mereka. Apa mungkin mereka rujuk kembali.

“ Kami rujuk Kak “ ucapnya menjawab pertanyaan yang tak sempat terlontar.

“ Kata-kata kakak waktu minggu kemarin kita ketemu buat aku sadar, bahwa kami sebenarnya saling mencintai, dan itu yang menuntun kami untuk berdamai. Disidang terakhir hakim untuk terakhir kalinya menyuruh kami berfikir atas keputusan kami untuk bercerai. Dan saat itulah aku berfikir, kami berdua melakukan mediasi, saling tukar pikiran, tukar perasaan dan tukar keegoisan masing-masing “ mata Ica terpejam coba mengingat kembali apa yang terjadi di persidangan.

“ Lalu kami putuskan untuk membuang semua ego-ego kami dan mementingkan perasaan kami. Dan kami juga komitmen untuk saling membantu, untuk menyempurnakan serta saling mendukung satu sama lain. Akhirnya suamiku berjanji akan berobat dan aku berjanji akan membantunya. Dan akhirnya kamipun rujuk dan berdamai kembali “ sambungnya.

Tak sanggup sepatah katapun keluar dari mulutku, disaat aku mulai meyakinkan perasaanku bahwa ini semua bukanlah pelarian semata, saat itu pula perasaanku dihancurkan. Seperti tercabik-cabik angin puyuh romel, mengiris tak bersisa kepingan yang sudah teriris.

Aku gak tau harus berbuat apa, aku gak tau harus berfikir apa. Yang aku tau bahwa aku benar-benar benci dengan kemarau panjang ini, mataharinya sangat panas hingga membakar isi dalam tubuhku. Lagi-lagi seperti ini, aku hanya bisa memandang orang-orang yang berlalu-lalang disekitarku. Nampak tak ada beban dalam wajah mereka, berbeda jauh denganku.

“ Kak “ ucap Ica membuyarkan lamunanku.

“ Aku pergi dulu ya, kalo ada waktu main ya “ ucap Ica yang hanya aku jawab dengan anggukan kepala, setelah itu ia pergi berlalu begitu saja. Tanpa menanyakan apa yang aku rasakan saat ini, tanpa memberiku penjelasan yang lebih detail.

***************************************

Sesampainya aku di rumah, seperti biasa Shina sedang asik dengan layar kaca di depannya. Apa dia tidak bosan ya setiap hari seperti ini terus. Entah mengapa melihat dia sedang seperti ini membuatku sedikit teduh, sedikit melupakan kejadian yang baru aku alami. Aku bersandar di samping pintu, menatap tingkah pecicilannya, nampaknya ia belum mengetahui kehadiranku. Tak sadar aku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya.

Andai saja aku tak bertemu dengannya dirumah sakit ketika itu, mungkin aku sudah seperti apa kacaunya. Perlahan dia mengisi hari-hariku yang suram ini, memberi warna di rumahku yang sepi ini. Tanpanya sudah pasti aku masih terjerembab dalam luka hati ini. Walaupun baru saja aku mengalami yang namanya pupus, tapi melihatnya seperti memberi sebuah angin sepoi-sepoi memasuki tiap rusuk-rusuk tulangku dan merambat ke hatiku.

“ Ehem “ aku coba menyadarkannya akan keberadaanku, diapun langsung menoleh dan memberi senyum khasnya. Manis, akupun membalas senyumannya.

“ Hai Sam, gimana kok tumben udah pulang ? “ tanyanya.

“ Negatif “ jawabku singkat

“ Maksudmu ? “

“ Kalo sesuai bayanganku pasti aku gak akan pulang secepat ini “ ucapku lalu pergi menuju gudang peralatan yang jadi satu dengan bagasiku.

“ Hei Sam, jelasin dulu maksudnya apa ? “ ucap Shina mengikutiku.

“ Dia gak jadi cerai “ ucapku sedikit ketus, aku ambil belati yang tersimpan di kotak alat.

“ Jangan bunuh diri Sam “ ucap Shina coba menahan tubuhku. Aku coba berontak dari genggamannya dan berhasil.

“ Sam aku gak mau jadi saksi atas kematianmu “ ucap Shina lagi-lagi menahanku dan coba memukul-mukul tanganku agar sabit itu terlepas.

“ Apaan sih kamu “ omelku berusaha melepaskan tangannya.

“ Sam aku mohon jangan berbuat hal yang konyol, aku tau Sam itu sangat menyakitkan tapi gak harus dengan jalan seperti ini. Kamu masih memiliki harapan Sam “ kini suaranya makin meninggi.

“ Siapa yang mau bunuh diri sih, tuh lihat tamanku sudah banyak rumput liar. Udah ah jangan sotoy deh jadi arwah “ ucapku ketus. Shina hanya bengong menatapku kosong.

Aku berlalu menuju taman dan mulai membersihkan dari rumput-rumput liar, aku sadar bahwa semua itu sudah ada jalannya masing-masing. Walaupun aku masih belum bisa menerima kenyataan ini, tapi setidaknya ada titik cerah di ujung jalanku. Hidup itu seperti puzle-puzle, kita menemukan kepingan disetiap langkah kita, saat pertama kita melihat kepingan itu kita gak akan tahu maksud yang tersirat. Tapi dengan berjalannya waktu dan kita menemukan kepingan selanjutnya maka kita akan tau setiap kepingan memiliki bagian yang tak bisa dilewatkan. Kita hanya harus menempatkan kepingan itu pada tempat yang semestinya.

“ Minggir “ omelku seraya mengibaskan sabitku kearah Shina yang sedang duduk di hadapanku melihatku membersihkan rumput liar. Walaupun sabitku menembus tetap saja dia terkejut, lucu juga ekspresinya saat ia kaget dan takut.

“ Woii biasa aja kaliiiii nebasnya, oke aku nembus tapi bisa spot jantung juga “ teriaknya.

“ Emang roh punya jantung “ ledekku

“ Hah iya juga ya “ mulai bloonnya.

“ Udah minggir ngalangin aja sih “ omelku kembali

“ Sam, lalu sekarang gimana kamu ? “ dasar arwah kepo

“ Gak gimana-gimana tuh, jalanin aja apa yang sekarang di jalanin “ ucapku, masih dengan aktifitas bertamanku.

“ Perasaan kamu gimana sekarang ? “ kapan berentinya sih nih mahkluk astral, eh jangan deh justru ini yang membuat aku terhibur.

“ Biasa aja sih “ ucapku berlagak ketus.
Bersambung ke Bab 6/9 ROMAN PICISAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates