Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm. BAB 1/10

<<< SEBELUMNYA

Me and You Vs the World
...Dan semuanya akan tambah indah kalo lo tetap jadi diri lo sendiri...bukan orang lain...
I've been looking so long at these pictures of you
That I almost believe that they're real.
I've been living so long with my pictures of you
That I almost believe that the pictures are all I could feel...
PICTURES OF YOU-nya The Cure terdengar lembut dari tape mobil Ian di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Ditemani lampu jalan kekuningan yang redup, dan tanpa sengaja berbagi dengan warna-warni lampu mobil serta hiasan jalan. Aspal yang basah sehabis hujan menimbulkan pantulan cahaya kuning pendar yang enak dilihat.
Lima orang di dalam mobil itu baru aja makan bubur ayam di Cikini. Tiba-tiba, seperti biasa Zafran merasa jadi orang yang paling tahu tentang lagu.
"Robert Smith nggak ada matinya deh kalo bikin lagu...."
"Mulai deh..." ujar Riani sambil tetap serius ber-SMS.
"Kenapa sih lo, Ni? Cuma bilang gitu doang."
"Elo ngomong gitu kayak yang paling tau The Cure. Emang lo doang yang tau? gue juga tau...."
"Wajar dong kan anak ben...," jawab Zafran sambil ngambil remote dan terus gedein volumenya.
"Kalo lo emang tau, ini lirik dari lagu The Cure yang mana?"
Riani nimpalin.

However far away I will always love you.
However words I say I will always love you.
Whenever games I play I will always love you.
I will always love you.
Fly me to the moon...
"Basi... itu kan Love Songs..."
"Kok ada Fly Me to the Moon?"
"Fly Me to the Moon kan lagunya Sinatra," Genta ikutan nimbrung.
"Apaan sih, Genta? Garing.... Tau deh yang ngefans sama Frank Sinatra."
Riani yang duduk di depan menoleh ke belakang sebentar.
"Hehehe..." Genta ketawa.
Tanpa sadar, tolehan dan gerak tubuh Riani tadi terekam kuat dalam otak Genta. Riani, Riani. Entah untuk yang keberapa kalinya, Gentayang kebetulan duduk diagonal di belakang Riani kembali mengagumi rambut Riani yang digulung membentuk konde cemplon, dipadu tusuk konde warna kuning gading. Beberapa helai rambutnya dibiarkan jatuh tergerai di dekat telinganya..., membuat lehernya tampak jenjang. Beberapa anak rambutnya terlihat liar di sekitar konde kecilnya, pas banget buat leher Riani yang putih. Riani memakai ham putih dengan garis-garis kecil hitam putus-putus dan jins warna gelap, pas banget deh).
Rekaman di otaknya berlanjut dari leher turun ke dada, dan selanjutnya adalah khayalan laki-laki wajar, yang kata Sigmund Freud dengan gambarnya "whats on man's mind", seks adalah salah satu yang paling dipikirin laki-laki setiap saat setiap waktu.
"Wooi mau ke mana lagi nih?" Makhluk gendut segede badut Dufan yang sibuk nyetir tibartiba ngagetin Gentayang lagi bengong jorok.
"Capek nih gue nyetir...muter-muter nggak karuan," Ian mengeluh.
"Nonton aja yuk!" sambut Riani
"Nonton apa? Lagi nggak ada yang bagus...," Genta males nonton.
"Shrek 2 aja...," Arial tiba-tiba ngomong.
"Udah!!!" keempatnya menjawab bareng.
"Ehm... kepentingan kelompok...," sungut Arial.
"Lo sih kena tipes...makanya nggak bisa nonton bareng waktu itu."
"Udah olahraga tiap pagi, tiap Minggu biar sehat, malah kena tipes... parah banget lo...," kata Ian sambil nyalain wiper.
Sepilas gerimis mulai turun lagi.
"Mendingan kayak gue, biar kerjaannya cuma main doang, tapi sehat walafiat...."
"Ini kan juga gara gara lo...," kata Arial sambil neplak bahu Ian.
Arial memang baru kena tipes beberapa minggu yang lalu.
Gara-garanya, Arial ikut fitness... di dua tempat (pantes...!). Itu juga gara-gara si Ian yang ngajak ke tempat fitness baru yang banyak ABG-nya, katanya bisa sekalian ngambil pesona (di usia mereka yang udah lebih dari nama bioskop, mereka percaya udah saatnya ngambil pesona, bukan tebar pesona lagi). Tetapi, seperti biasa Arial yang badannya luar biasa tegaplah yang berhasil mengambil pesona salah satu ABG di sana—bukannya Ian. Banyak sih yang ngejar-ngejar Ian, tapi mereka adalah instruktur fitness yang menganggap Ian sebagai pahlawan kebanggaan karena punya banyak VCD bokep.
Ajaibnya, ternyata cewek yang ngambil pesona Arial adalah salah satu target operasi satuan buser pelepas dahaga dan nafsu yang dibentuk oleh otak Ian. Untunglah, cewek itu nggak katarak dan bisa milih mana yang lebih baik antara Hercules-herculesan dan orangutan bulimia Tanjung Puting yang lagi kekenyangan.
Jadilah cewek itu jalan sama Arial, dan itulah yang bikin Arial harus fitness di dua tempat, sekaligus yang bikin Arial tipes.
"Trus mau ngapain dong....?"
"Ke rumah gue lagi?" tanya Arial.
"Setuju!!!" Zafran langsung teriak. Zafran dari dulu memang sudah naksir adiknya Arial.
Riani abstain.
"Bosen...," jerit Genta.
"Paling sirup ABC lyche lagi., sama singkong keju...," kata Ian datar.
"Lo baru makan bubur...!" satu lagi keplakan Hercules hinggap di bahu Ian.
"Ada nyokap lo nggak?" Zafran sok basarbasi.
"Ada adik gue. Lo mau?" jawab Arial.
"Mau...," desis Zafran datar, lembut, statis seraya menyanggah-kan dagu ke tangannya yang dikepelin persis seperti seorang pemikir dari Athena. Ia menarik napas setengah panjang-dalam sambil ngeliat keluar jendela mobil yang penuh dengan galir-galir air. Kata "mau" tadi dibuat Zafran seperti punya kesan yang dalem banget, dunia Zafran pun berhenti sejenak dalam dirinya... "an inner sanction".
Arial langsung nyari kantong plastik dan muntah di tempat.
Genta cepat- cepat nyari Antimo dan minyak angin cap Kapak biar nggak muntah. Riani yang baru denger suaranya aja langsung melilitkan seatbelt supaya otaknya tidak punya refleks yang menyuruhnya 'kabur dari tempat itu sekarang juga!'
Ian...baik-baik aja, tapi mesin mobilnya langsung mati.
Setelah semua menenangkan diri (kecuali Zafran), akhirnya Riani berhasil ngebujuk untuk patungan beli pizza dan beli monopoli (yang nyarinya susah bener). Mereka sepakat, untuk entah keberapa kalinya, pergi ke rumah Arial... dengan satu tujuan: bermain monopoli. Ian yang males mikir dan trauma karena setiap main monopoli selalu masuk penjara, menawarkan diri jadi bank. Semua langsung setuju.
Rumah Arial
Halaman rumah Arial luas dan asri. Kalau diukur-ukur, enam mobil bisa masuk ke situ. Tapi, yang mereka heran kenapa Ian malah parkir paralel dengan rem tangan nggak aktif, lalu ngambil batu buat ganjel mobil, persis kalau lagi parkir di mal yang penuh.
"Rem tangan lo rusak?"
"Kari kosong, Yan? Enggak ada mobil lain, lagian itu ada garis parkirnya... ada garasi lagi."
"Kenapa lo, Yan?"
Semua diem aja dan mengambil kesimpulan: inilah yang terjadi pada orang yang kebanyakan nonton bokep....
"Adik lo ada nggak?" Zafran nanya lagi. Untung dengan ekspresi yang biasa aja, jadi nggak perlu ada yang muntah-muntah lagi.
"Tail...," jawab Arial datar.
Semua masuk ke ruang tamu. Mereka ber-haha-hihi dengan mama dari seorang temen yang selalu mereka panggil "tante".
"Malam, Tante...."
"Oh malam anak-anak... mau main di sini lagi ya? Untung Tante baru beli singkong keju...."
"Iya, Tante...."
Seperti biasa Riani langsung salaman dan diteruskan dengan cipika cipiki. Mama Arial masih cantik dan terlihat muda. Mereka sepakat kalo waktu mudanya dulu si tante ini pasti cantik. Bukan sekali ini mereka bertemu, udah hampir tiga tahun sang mama terbiasa dengan gerombolan "Power Rangers" yang penuh dengan keajaiban ini.
"Seneng deh ketemu kalian lagi."
"Semuanya udah kaya anak Tante sendiri...."
Hening. Semua diam..., semuanya putih... blitz, blitz, semuanya slow motion. Ya, sebab semuanya ngeliat Ian dengan heran karena kalimat barusan bukan keluar dari mulut mamanya Arial, tapi keluar dari mulut Ian, kan aneh? Pede banget1 Mamanya Arial juga heran karena dia biasa-biasa aja sama pasukan ini, bahkan kadang-kadang kesel.
Salah ! kalo kata Melly Goeslaw mah, Babi got geblek, gerutu Genta dalam hati.
Riani tersenyum bikin-bikinan... malu sendiri. Mamanya Arial tersenyum maniiis sekali.
"O ya... pasti...," Sang Mama membalas pernyataan Ian sambil tersenyum. Fiuh! Semua lega.
Untung aja mamanya Arial baik banget makanya mereka pada suka, biarpun stok makanannya sering dihabisin, biarpun kucingnya waktu itu disiram sama Genta, biarpun remote TV-nya pernah diilangin sama Zafran, biarpun buku masaknya
"distempel hak milik" sama Riani alias udah dua tahun nggak dibalikin.
"Arinda!!!" Mama Arial tiba tiba teriak.
"ini ada temen-temen Mas Ial nih, turun sebentar..."
"Iya, Maa...," suara teriakan renyah keluar dari lantai atas.
Dan, sesosok tubuh dengan paras Andrea Corrs berbodi canggih keluar dari kamar atas. Otak Zafran langsung mengirim sinyal ke tuannya, sinyal indah musikal punya Kenny Loggins.
Are those your eyes, is that your smile
I've been lookin' at you forever
But I never saw you before
Are these your hands holding mine
Now I wonder how It could have been so blind For the first time I am looking in your eyes For the first time I am Seein' it who you are I can't believe how much I see. When you're lookin' back at me Now I understand why love is...
Lave is... for the first time...
Zafran bengong....
"Halo semua...."
Arinda tersenyum manis... kembaran Arial ini memang manis banget
"Halo Dinda...," gerombolan "Goggle" langsung membalas, kecuali Goggle blue... Zafran.
Zafran masih dengan bengongnya sendiri, masih heran kenapa setiap kali ketemu Dinda pasti ada soundtrack Evergreen Love Songs di otaknya, padahal kan dia anak band alternatif yang agak-agak anti lagu cengeng. Masih heran sama senyum Dinda yang menurut dia bisa ngalahin semua bintang sinetron telenovela. Masih heran kok tiap kali ketemu, baju Dinda ketat-ketat melulu, bodinya kayaknya dipesen dengan pesenan terbaik yang pernah dibuat Masih heran dengan... dengan... ya ampun udah ketat, tipis banget lagi bajunya sehingga bra hitamnya terlihat jelas... (/@#$%#@%%). Kalo kata Ian sih golongan PKI (Pemakai Kutang Item).
"Halo Bang Zafran...."
Dipanggil Bang lagi... (Zafran bengong. Dia nggak tau aja kalo dari tadi semua yang laki-laki dipanggil Bang. Riani dipanggil Kak!)
"Halo Dinda...," Zafran membalas seneng.
"Abis dari mana?" tanya Dinda.
"Makan bubur di Cikini...," jawab Zafran.
uKok Dinda nggak diajak?" tanya Dinda manja.
Zafran langsung bersumpah kalo nanti mereka pergi, harus ngajak Dinda. Kalo perlu, dia akan maksasama anggota "Goggle"
yang lain.
"Alaaa... udah yuk ke atas...," Arial lagi males sama kembarannya.
"Yuk!" Riani yang paling semangat, dia males ngeliat Zafran jadi bengong begitu ketemu Dinda. Arial mengajak teman-temannya ke ruangan atas depan kamarnya yang selama ini mereka sebut sebagai "The Chambers of Secret Sorcerer Stone".
Kenapa? Enggak lebih karena semuanya penggemar Hariy Potter.
"Udah dulu ya, Dinda juga lagi disuruh bikin paper."
"Paper apa, Din?" Zafran sok nanya.
"Kurva ISLM... ada yang tau nggak?" tanya Dinda.
"Oh... Investment Saving Loan Money yah... di mikro atau makro ekonomi?" Genta ikutan nyambung.
"Makro...," jawab Dinda senang.
"Bang Genta tau? Bantuin ya...! Mentok nih...!"
"Kalo di makro gue gak tau, kalo di mikro gue tau...," jawab Genta datar.
"Yaa...," Dinda menyesal manja.
"Tapi kan pasti ngerti dikit-dikit," Dinda masih berharap (padahal sebenarnya Genta tau, dia lagi males aja, lagi pengen main monopoli).
Zafran mentok! Dia bukan anak ekonomi, Zafr an adalah anak desain yang sering bikin puisi daripada ngedesain. Tapi, Zafran tau kalo dia pinter dan cepet nangkep pelajaran... jadi...
tetep....
Usaha...!
"Ada bukunya nggak Din? Kalo ada bukunya, gue bisa bantu...."
"Ada, tapi bahasa Inggris. Ya udah deh nggak usah, nanti Dinda coba kerjain sendiri aja," ujar Dinda sambil naik lagi ke tangga tanpa ngeliat ke arah Zafran yang sudah ditinggal oleh keempat temannya ke The Chambers of Secret Sorcerer Stone.
"Ya udah dek"
Zafran hampa. Bola matanya mengikuti langkah dan bodi Dinda dari belakang.
"Perfect...?
Sementara mata Zafran mengikuti lenggokan Dinda yang sensual kala naik tangga, malaikat jahat datang ke Zafran dan berbisik, "G string f ran... G string. Lo liat dari belakang... liat lekukannya... abis deh lo... tuh, liat celana dalemnya nyeplak gitu.
Lo bayangain lo bisa megang dia..., megang dia di daerah yang dia inginkan..," garpu malaikat jahat seolah menusuk-nusuk kuping Zafran, "... belom lagi dadanya... f ran kutangnya item lagi... lo bayangin lo buka kutangnya pake gigi.." (@##$%A%@DDR@@#) Malaikat baik datang.
"Oh Zafranku, wanita adalah ciptaan terindah yang akan selalu hadir dalam setiap embusan napasmu, dalam setiap butir embun di pagi hari. Dan wanita... ia seperti matahari, kamu akan melihat pantulan sinarnya di embun pagi yang akan menandai baik dan buruknya kamu diawal hari. Baik-buruknya kamu di dunia ini Seperti sebuah embun, dia akan memudar seiring datangnya siang, seiring angin dan daun hijau yang membawanya jatuh ke tanah.
Tapi, biarpun dia hilang, kamu akan melihat lagi embun itu esok pagi., dan seterusnya... dia kan mencintaimu seterusnya bila kamu mencintainya untuk seterusnya., untuk seterusnya..."
"Wooijuple... jadi main nggak lo?"
Teriakan Ian memanggil nama preman atau nama pilokan Zafran berhasil membuyarkan lamunannya.
'Jadi!!!" Zafran langsung reply teriakan Ian.
Malaikat jahat dan malaikat baik masih berantem cela-celaan, ledek- ledekan.
Mata Zafran masih mau ngeliat Dinda.
*
Kenapa bisa monopoli? Padahal di mobil tadi mereka sepakat di umur yang sekarang ini mereka harus bisa memainkan sesuatu yang intelek, yang perlu otak. Sebelumnya mereka dihadapkan pada pilihan ludo, halma, atau ular tangga. Kalau main ludo sama halma, pasti ada satu orang yang bengong. Kalau main ular tangga, Ian, Zafran, dan Riani dari dulu fobia sama ular, sedangkan Genta rada-rada takut sama ketinggian. Arial? Dia sih asik-asik aja, nggak ada yang ditakutin Arial... Jadilah mereka main monopoli sekaligus nostalagia.
Udah bisa ditebak, yang paling banyak duitnya di monopoli adalah Riani karena dengan strategi membeli electric company\
water company\ dan semua stasiun yang ada, Riani menang dalam segala hal—bahkan bank aja sampai defisit Ian masih penasaran, kenapa udah jadi bank tapi dia masih aja kalah dan masih masuk penjara (emangnya bisa?). Setelah takjub dan lari-larian heran bercampur eneg (soalnya Arial makan pizza pakai kecap), mereka pun bosen. Mau nonton TV, bosen lagi. Nonton VCD, bosen juga. Cemilan dan pizza udah abis sama Ian, jadi tinggal ngobrol, ngobrol, dan ngobrol... nggak jelas.
Zafran masih aja coba lirak-lirik ke kamar Dinda, berharap Dinda keluar dan menaburinya dengan sejuta keindahan. Tapi Dinda nggak pernah muncul. Ian dan Riani yang udah sebel ngeliat Zafran akhirnya nyela.
"Dhee...."
"Ial, pintu kamar adik lo udah punya pacar belum? Ada yang naksir tuh, dari tadi diliatin mulu...," Riani buka kata.
"Yo'i ada yang seneng sama kayu jati," timpal Ian.
Walaupun dalam diri Ian paling banyak terdapat jin-jin
"nafsu.com" dibanding temen-temennya, Ian nggak pernah bisa suka sama Dinda karena katanya Dinda mirip banget sama Arial. Kalau ada Arial cewek yah Dinda orangnya. Dia males aja berfantasi tentang Dinda, bisa-bisa yang kebayang adalah Arial yang sangat laki-laki. Tetapi, tentu aja kalo dengan klausula Dindanya yang naksir Ian, pastinya Ian nggak akan nolak. Siapa sih yang mau naksir badut Dufan berkostum buluk ini?
"Resee...," Zafran cemberut.
"Eh juple, lo mau serius sama adik gue?"
Zafran diem. Dia tau kalo Arial nggak pernah serius mengizinkan dia mengajukan surat izin memacari saudara.
"Kalo lo serius, gue sih setuju aja," kata Arial lagi.
Zafran diem lagi.
"Tuh kakaknya udah setuju, lo kok malah diem?" Genta nyambung.
Zafran males. Salah dia juga sih, dari dulu udah gila bareng Arial. Jadi, udah saling tahu deh busuk-busuknya dan gila-gilanya Arial sama Zafran.
"Ah Hercules generik mana yang mau gue jadi cowok adiknya...."
"Kalo lo sayang sama adik gue, gue mau gimana lagi? Tapi ada syaratnya."
"Apa?" Zafran penasaran.
"Lo pindah planet dulu...," jawab Arial sambil ngelempar bantal sofa ke Zafran.
Semuanya ngakak.
"Yo'i. Planet para penyair buangan," Genta nimbrung.
Riani ngakak paling keras. Zafran cuma bisa senyum-senyum sendiri. Temen-temenya emang gila, bodoh, geblek, tapi baik.
Sekali.lagi Zafran ngelirik sebentar (takut ketauan) ke pintu kamar Arinda.
Bodo amat ah..., batin Zafran. Tadi ada bisikan dari malaikat baiknya, " udah juple, nanti malem lo bikin puisi aja." Zafran jadi tenang.
Lho malaikat jahatnya mana? Sebeneinya udah dari tadi chating sama Zafran, ngajak ngebayangin apa yang dilakukan Dinda di balik pintu kamarnya. Tapi... maaf nggak bisa diceritain di sini karena nggak lulus sensor.
*
And I'd give up forever to touch you
'cause I know that you feel me somehow...
Tiba-tiba di MTV ada videoklipnya Goo Goo Dolls, Irish, salah satu soundtrack film City of Angels.
And I don't want the world to see me
'cause I don't think that they'd understand.
When everything's made to be broken....
I just want you to know who I am.
Riani bersenandung sendiri...tanpa sadar Genta bengong ngeliaiin Riani.
And I don't want the world to see me....
KENAPA Riani? Kenapa gue nggak ada nyali? Genta membatin, membingkai dirinya sendiri.
"Siapa ayo yang main di City of Angels?1" tiba-tiba Ian nyeletuk.
Pertanyaan yang gampang banget buat sekumpulan "Power Rangers" yang hobi banget nonton film.
"Nicholas Cage sama Meg Ryan...," Arial ngejawab males-malesan.
"Yang lain... nggak tau?" Ian sok tahu.
"Tau lah... paling lo yang lupa...," reply Genta.
Zafran tiba-tiba mencoba jadi penyair. "Adegan yang paling gue suka, waktu mereka berdua ada di dermaga kecil di pinggir danau, berdua dalam suatu pagi yang indah, sementara di depannya terhampar pegunungan dan pohon cemara yang berbaris, berpadu dengan pantulan awan dan gunung yang ada di air danau. Mereka berdua dalam satu selimut...dengan kaki yang terjuntai ke danau, sesekali menikmati dinginnya air danau...."
'Terus Nicholas Cage nanya sama Meg Ryan...," Arial nyambung.
"Enggak! Meg Ryan-nya yang nanya...," sanggah Ian.
"Engak ada yang nanya. Meg Ryan yang ngomong...
guotation-nyzL gini kalo nggak salah...," Genta ikutan ngomong,
"If someone asked me what was the greatest moment of my life...
Vm gonna said this is the greatest moment of my life...."
Riani dan Genta hampir berbarengan ngucapin.
"O iya!" teriak Zafran dan Ian.
"Keren banget tuh film," kata Arial sambil terus nonton videoklip.
Riani dan Genta saling bertatapan, entah sudah berapa kali mereka berdua mengalami deja vu seperti ini. Oh Riani,. suara-suaraindahkembalimengisihati Genta. Akankah., kamu... jadi., tempat... untuk... segenggam harapan yang hampir usang tapi masih terlalu indah buat Genta, batin Genta
Batin Riani pun angkat bicara, Genta... Genta... Genta emang yang paling Riani buat Riani.
Keduanya pun tersenyum... dan seperti biasa mereka langsung ber-"high five" ria atas dejd vu yang terjadi barusan.
Riani seneng banget... seneng banget. Genta juga seneng, tapi hati Genta ternyata nggak. Enggak bagi Genta. Genta selalu benci cara mereka merayakan dejd vu yang bagi Genta sangat berarti, yang bagi Genta adalah sekumpulan chemistry antara dua orang yang tidak pantas dirayakan hanya dengan dua tangan bertemu di udara. Cara seperti itu Genta masih anggap sebagai cara teman merayakan sesuatu. Genta nggak pernah mau Riani cuma jadi teman bagi dirinya. Genta mau lebih....
"Senin kerja, Ta...?" pertanyaan Riani mengagetkan Genta yang lagi bengong.
"Iya, tapi gue males," jawab Genta.
"Kenapa?"
"Temen-temen kantor paling ngajak panik bareng lagi,"
Genta menatap Riani sambil menarik setengah napas... enggan.
Di antara kelima "Power Rangers" ini emang Genta yang sudah sedikit- sedikit masuk dunia formal dan semi profesional.
Genta dan teman-teman kampusnya punya Event Organizer (EO) yang namanya udah mulai dikenal dan mulai sering dipakai oleh perusahaan-perusahaan bonafide.
Sejenak Genta membayangkan hari Seninnya yang pasti akan crowded lagi karena bakal ada pameran yang gede-gedean—
yang menurut Genta persiapannya baru 50%, sementara temen-temennya merasa sudah siap 120%. Genta emang orang yang sangat perfeksionis kalo udah nyebur-nyebur ke wilayah customer intimacy dan service excellent. Genta adalah orang yang selalu ingin orang lain puas sepuas-puasnya, bukan cuma untuk rekan-rekan bisnisnya, tapi juga dalam hidupnya sehari-hari, apalagi sama teman-temannya.
Prinsip ingin selalu bikin orang lain puas inilah yang sering mengganggu pikirannya... hingga suatu saat dia pernah curhat kepada Ian soal ini, tapi itu hanya berlangsung selama dua menit karena jawaban Ian cuma, "Wah Ta lo kalo mau nembak cewek, lo tinggal bilang gitu aja tuh."
"Apaan...?" tanya Genta.
"Ya, bilang kalo lo selalu pengen buat orang lain puas...."
"Terus?"
Otak Genta nggak usah berpikir jauh-jauh karena dari pertama seharusnya dia udah tahu bahwa bukan pada tempatnya curhat sama bosnya komplotan penjahat kelamin, yang otaknya penuh dengan hustler.com, nudeteen.com, dan ayamkampung.com ini. Yang pasti, kata puas bagi Ian adalah... LUST....
Genta jadi ketawa sendiri.
Tiba-tiba Genta ingat soal desain yang harus dikeijakan Zafran, desain itu harus selesai Minggu malam.
"Eh,Juple... desainnya udah jadi belom? Gue bakar rumah lo kalo belum jadi."
"Tenang aja bos. Udah jadi delapan styrofoam. Yang dua lagi dikerjain sama temen gue. Besok juga kelar... tinggal bayar-annya doang."
"Nyuwun..." kata Zafran dengan wajah dipilu-piluin sambil melebarkan telapak tangannya menengadah minta duit
"Minta duit sana sama kapal...," Ian langsung nyahut.
Zafran pun dilempar bantal.
"Besok Senin lah... lagian masalah duit bukan sama gue"
tanggap Genta.
"Lo minta duit kok sama bos. Sama bendahara dong..."
sambung Ian sambil mengais-ngais remah remah singkong keju mencoba sok tahu. Kata "bendahara" membuat keempat temannya ngakak.
Kata itu membuktikan betapa Ian sangat tidak pernah mengajak otaknya jalan-jalan keliling dunia zaman sekarang, melihat lihat dunia luar dan menonton berita serta membaca buku yang bermanfaat.
"Masa di perusahaan masih ada kata bendahara. Emangnya kita pengurus kelas waktu SD?" Riani ngakak, lalu coba ngelempar tisu ke arah Ian.
Arial ketawa paling keras. Genta hanya bisa geleng geleng ngeliat keajaiban dari gajah India yang nggak doyan joget ini.
Zafran mau ngelempar TV ke Ian, tapi nggak boleh sama Arial.
Dengan tenang Ian memasang wajah seperti Pak Haji dalam film horor Indonesia zaman dulu, yang pasti datang setelah setannya nyekek jagoan cewek.
"Sudahlah kita ambil hikmahnya saja...," kalimatnya meluncur begitu saja.
Semua ketawa lagi.
"Yan... lo besok kan motret lagi, trus kalo dapet honor dari temen gue, lo tanya dia jabatannya a p a Oke? Pe-er lo tuh!" kata Genta sambil neplak pundak beruang kutub nyasar ini.
uOkeh beruang kutub jadi serius, dan mengacungkan jempolnya.
Genta emang suka minta bantuan teman-temannya kalo ada acara. Selain jago masalah ginekologis-XXX, Ian juga jago motret. Jadi Ian paling sering dimintai tolong motret event-event-nya Genta. Arial langsung menggangguk kalo dia diminta jadi SPH (Sales Promotion Hercules) karena tampang dan badannya emang pas buat dipajang di pameran. Zafran, walaupun sebagai desainer yang beraliran narcism, yang cuma tahu warna merah sama hitam doang pasti diajak karena disainnya bagus-bagus. Riani?
Riani paling sering dimintai bantuan dan dikasih tanggung jawab paling gede. Genta pun paling seneng kalo tugasnya berduet dengan Riani yang kayaknya udah tahu apa yang Genta mau. Riani bisa bikin Genta tenang karena pasti semua keijaan jadi excellent.
Genta paling suka kalo udah lihat Riani berlari-larian dengan sibuknya, rambut diikat asal ke belakang, pakai nametag dengan ransel item plus gantungan kunci boneka Doraemonnya, yang kalo Riani lari akan mengeluarkan bunyi... bel-bel kecil. Apalagi ngeliat Riani yang betapa pun berat beban dan tanggung jawabnya, masih bisa tersenyum dengan manisnya pada semua partnernya atau pun semua orang yang ada di situ.
Riani yang ini... Riani yang itu.
Bel-bel kecil di gantungan kunci Doraemon itu seolah tiba-tiba berbunyi sendirian di otak Genta. Tiba-tiba Genta sadar kalau besok Senin males, bisa jadi karena kali ini Riani nggak bisa ikut di event- nya. Iya, kali ini Riani nggak bisa ikut karena dia lagi magang di salah satu stasiun TV swasta.
"Genta bengong mulu nih...," tiba-tiba Riani nyeletuk sambil memukul lembut dengkul Genta.
Nggak tau aja lo, kata Genta dalam hati.
"Makanya jangan ngomongin keijaan kalo malam Minggu.
Kan waktu itu kita udah janji...," Arial nyambung.
"Lo jadi make gue kan Senin, Ta?" tanya Arial sekaligus memberi tip ex sama yang baru dia omongin.
Semua ketawa.
'Jadi!" kata Genta mantap.
Ian masih bingung sendiri dan bertanya dalam hati, Genta mau pake Arial, emangnya mereka homo-an? Setelah bengong tanpa ngasih tahu teman-temannya, akhirnya otak semutnya bekerja. Oh maksudnya kerjaan...!
"Ke Secret Garden yuk... udah mulai bau asep nih," Arial yang sangat peduli pada kesehatan dan antirokok—sama seperti Riani—mengajak mereka pindah tongkrongan, ke bungalow taman rumahnya,
"Susah deh Mr. Healthy," Zafran nyela Arial yang selalu jaga kesehatan, yang nggak ikut-ikutan ketiga temannya untuk merokok. Arial dulu ngerokok, tapi dia udah bisa berhenti.
Genta selalu dengan Marlboro merahnya. Zafran, tokoh vokalis segala band ini dengan Sampoerna Mild-nya. Ian adalah asbak yang selalu minta.
"Di sini aja deh" Zafran memberikan pernyataan yang langsung nggak disetujui.
"Pindah suasana dong."
"Ajak aja pintunya...kalo masih kangen," kata Ian kalem.
Iya... Zafran masih berharap Dinda keluar dari kamarnya, walaupun hanya sebentar.
"Kan banyak nyamuk di taman," Zafran masih keukeuh.
"Kan abis ujan, mana ada nyamuk?" Ian ngasal (soalnya belum ada yang membuktikan teori itu).
"Udah yuk ah...," keempat temannya bangkit.
Zafran low bat dan nyerah.
Sambil turun tangga Ian meyakinkan Anal bahwa nggak pernah ada satu pun pembokat di dunia ini yang bisa bikin Indomie seenak pembokatnya. Arial. Spontan, Arial yang sangat baik itu teriak memberi aba-aba ke pembokat-nyz. untuk membuat Indomie. Bagi Ian, momen ini adalah suatu keberhasilan penting dalam pemasaran perutnya.
"Pake telornya dua yaa...," Ian teriak lagi.
"Ada yang mau Indomie nggak?" Arial menawari teman-temannya.
Semua menggeleng.
"Ntar gue minta aja sama Ian," celetuk Riani.
Semua sudah maklum, Riani paling suka sama semua kuahnya Indomie, apalagi yang kari ayam.
"Ya udah Indomienya dua...," Ian teriak lagi.
Ian melihat kesempatan untuk menambah porsi dengan mengambil keuntungan dari hobinya Riani.
"Satu aja...!" Riani menepuk perut Ian.
"Kan lo minta!"
"Kan kuahnya doang..." Riani membela diri.
"Kan lo minta," kata Ian sambil lari ke dapur, meyakinkan bahwa si pembokat udah dengar permintannya.
Mereka pun beranjak ke Secret Garden.
DAUN-DAUN dengan bulir-bulir air yang melekat sehabis hujan menyambut mereka. Lampu taman yang kekuningan membuat suasana Secret Garden semakin merona dan membuat pantulan yang indah di mata mereka. Sepasukan bintang pun menyambut mereka kala mereka melihat langit hitam yang jernih di malam sehabis hujan ini. Bau tanah basah hinggap sesaat di penciuman mereka, entah untuk yang keberapa kali.
Tanpa sadar Zafran mencopot sendalnya dan berjalan nyeker di antara rerumputan yang basah. Dingin-dingin air rerumputan di kakinya membuat dia senang dan loncat-loncat. Mata Riani selalu menjadi yang paling setia mengikuti gerakan-gerakan ajaib tubuh kurus Zafran yang dibalut jaket biru gelap, rambut gondrong poninya yang kadang-kadang ikut meloncat-loncat sendiri, dan bagaimana Zafran menarik tangannya untuk membenahi rambutnya supaya nggak nutupin dan nusuk-nusuk matanya. Riani paling seneng kalo udah ngeliat Zafran begini.
Zafran emang suka begitu, tipe orang yang "go out there and do it." Nggak peduli sama omongan orang. Teman-temannya paling seneng ngeliat Zafran sedang berekspresi sendiri. Sesekali dia mengambil air bekas hujan dari tanaman hias dan membenamkan air tersebut ke matanya. Zafran yang paling cepat sampai di bungalow Secret Garden (karena dia doang yang lari-larian). Di sana mereka akan mencoba mengutarakan apa lagi yang akan mereka klik kanan dan explore dari hardisk di otak mereka yang ukuran byte-nya bukan kilo, mega, ataupun giga lagi, tapi tak terhingga.
Sesuatu tentang dunia dan tentang mereka....
Mereka duduk lesehan di beranda bungalow bambu di Secret Garden. Nama Secret Garden diambil dari usulan Zafran setelah Ian dengan jujur, nggak mutu dan menolak kreatif, ia lebih mau menamakan tempat ini The Chamber of Secret Sorcerer Stone II yang langsung ditolak semuanya.
Nama Secret Garden diambil Zafran dari judul lagu Bruce Springsteen. Bukan karena Bruce Springsteen-nya, tapi karena di dalam filmnya Tom Cruise dan Rene Zhalweger, Jerry McGuire, ada adegan first date-nya, Tom dan Rene yang kala keduanya ngeliat satu sama lain langsung terdengar Secret Garden- nya Bruce Springsteen.
She'll let you in her mouth
If the words you say are right
If you pay the price...
She's got a secret garden
where everything you want
where everything you need
ZAFRAN dan Bruce Springsteen emang ajaib dan romantis... (tapi beda nasib). Mereka duduk membentuk lingkaran, seperti biasa Riani duduk di sebelah Genta. Genta menyalakan rokoknya dan memandang ke langit, chating sama bintang-bintang bahwa dia selalu suka pada Riani yang di mana pun berada selalu ngambil tempat duduk di sebelahnya.
"Gue seneng banget ngeliat kakigw*...," Zafran berkata lembut sambil melihat kakinya yang putih basah dan keriput karena air rumput taman dengan beberapa rumput hjau kecil yang menempel.
"Sepertinya...," Zafran mendesis pelan.
'Jangan bikin puisi lagi dong..." keempat temannya me-neriakkan mosi "lagi nggak mau ada puisi".
Zafran pun nurut.
"Yan, sebelum makan lo harus nyanyi dulu...."
Arial langsung memberikan gitar yang emang udah satu paket sama teh manis anget dan Indomie-nya Ian kalo mereka mau nongkrong di Secret Garden.
Ian yang walaupun dari tadi dicela, mempunyai kelebihan dalam bidang tarik suara, bina vokalia,vokal grup, Selekta Pop, Aneka Ria Safari, dan Album Minggu Kita. Ian emang jago main gitar dan suaranya bagus (yang ini bener). Genta ber-pendapat, bagusan suara Ian daripada suara Zafran sang vokalis.
Kontan saja Zafran "si kapur tulis SD" marah-marah, tapi langsung dibelain Riani yang mengatakan bahwa Zafran masih satu tingkat lebih bagus suaranya dibanding Ian. Toh Zafran masih nggak terima, soalnya dia percaya kalau kualitas suaranya seratus tingkat di atas Ian.
Anyway, Ian memang pernah menjadi anggota bennya Zafran, tetapi akhirnya terjadi konflik karena Ian nggak mau latihan kalau VCD bokepnya nggak dikembalikan sama Zafran.
Jadilah akhirnya Ian pun dipecat oleh Zafran dengan royalti pick gitarnya Zafran yang udah ditandatangani. Ian setuju untuk keluar dari bennya Zafran karena menurutnya musikalitas dia dengan Zafran nggak nyambung. Ian suka lagu-lagu acid dan klasik jazz, sementara Zafran suka lagu apa aja asal vokalisnya terkenal... dan berakhirlah perseteruan antara Achiles dan Obelix ini.
"Kiss of life- nya Sade, Yan...," Genta mau lagunya Sade.
'Jangan, Always-nya Atlantic Star aja...," imbuh Arial yang mau ngelamun.
"Fake plastic Trees-nyz Radiohead aja," Zafran dengan mantap mau berkelam-kelam ria.
"Yo'i...," Riani setuju karena Fake Plastic Trees nggak pernah lewat dibawain sama Alanis Morisette kalo lagi konser.
Ian diem aja. Menyenderkan badannya ke dinding bambu, jemari tangannya pun mulai membentuk barisan kunci A di fred kedua yang mengawali Fake Plastic Trees- nya Radiohead.
Semuanya setuju aja karena pengaruh selera mereka adalah dari... semuanya. Jadi lagu ini buat semuanya. Zafran yang nggak disuruh nyanyi pun mulai nyanyi. Dirinya dalam beberapa detik dan beberapa kilatan cahaya dan beberapa kejang-kejang tubuhnya menegang. Zafran berubah menjadi Torn Yorke, vokalis Radiohead.
The green plastic watering can
for a fake Chinese rubberplant...
In the fake plastic earth...
SEMUA mencoba menikmati lagu di antara keindahan Secret Garden mereka. Lampu kuning remang taman, bulir air dan anggukan daun sehabis hujan. Mereka terdiam dengan lamunan dalam yang bermuara pada kenyataan bahwa banyak orang di dunia atau di sekitar mereka yang masih berpura-pura dan menjadi fake plastic trees (pohon plastik palsu). Udah pohon dari plastik palsu lagi....
If I could be who you wanted
if I could be who you wanted all the time
All the time...
"UDAH pohon plastik, palsu lagi...," Riani menggumam sendiri.
"Yoi... palsunya kuadrat..," kata Genta.
"Mudah-mudahan gue nggak jadi orang kayak gitu," Zafran menyambung.
Ian tiba tiba berujar sendiri. "Lo semua pada tau kan gue pernah kayak gitu, tapi sekarang gue udah nggak mau lagi...
capek jadi orang lain," Ian memandang kosong ke depan.
Semuanya tersenyum, memandang mahkluk gendut lucu dengan gitar yang lagi ngomel sendiri.
Tiga menit
Semuanya teringat, tiga tahuan yang lalu ketika mereka baru berempat dan belum jadi "Power Rangers", Ian adalah ranger terakhir yang masuk ke dalam dunia mereka. Dunia apa adanya mereka, yang kadang-kadang geblek, gila, bodoh sok tahu, sok berfilosofi, dan sok-sok lain yang pada akhirnya cuma membuat mereka sedikit cerdas dibanding sewaktu masih SD dulu. Ian yang dulu kadang-kadang cuma ikutan nimbrung nongkrong, bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah Ian yang nggak pede sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang memandang orang lain selalu lebih hebat dibanding dirinya. Ian yang dulu, dalam tongkrongan cuma jadi penambah yang banyak omong, bisanya cuma nambahin omongan teman-temannya. Ian yang kayaknya tahu apa aja, tapi sebenarnya cuma bisa ikut-ikutan Genta, ikut- ikutan Arial, ikut-ikutan Zafran, dan ikut-ikutan Riani.
Pokoknya apa yang tongkrongan suka, Ian juga langsung mengklaim dirinya juga suka. Malah kadang-kadang ia yang paling tahu dan yang paling hebat dalam omongan itu. Ian yang takut nggak aktual. Ian yang terlalu sibuk menjadi orang lain.
Kalau Riani ngomongin Alanis yang dia suka, semuanya cuma dengerin dan menyimak. Genta sebenarnya tidak terlalu suka, tapi Genta senang dengerin Riani ngobrol tentang idolanya itu.
Riani pun tahu Genta tidak terlalu suka sama Alanis, Genta sukanya sama Sinatra. Genta pernah bilang kalau dia nggak suka sama Alanis, sebaliknya Riani juga pernah bilang kalau ia menganggap Sinatra itu nggak terlalu bagus. Tapi adakah hal yang lebih penting dari Sinatra ataupun Alanis?
Atau, bagaimana Zafran sama Arial sering saling nggak suka sama selera masing-masing. "Apaan tuh nyanyi pakai tensoplast di pipi," Zafran suka nyela Arial yang seneng sama Nelly. Arial pun balik nyela idolanya Zafran, Roberth Smith vokalisnya The Cure. "Laki-laki kok pakai lipstik!" kata Arial, keherculesannya merasa terganggu.
Atau, soal Morissey yang homo.
"Morrrisey kan nggak seneng perempuan."
Dibales sama Zafran, "Black Music kan sebenernya nggak nyanyi, tapi cuma orang-orang sok kaya, pakai baju kegedean yang lagi senam tangan."
Tapi adakah hal yang lebih penting daripada Black Music ataupun Morrissey dan Roberth Smith?
Dulu Ian belum mengerti itu. Akhirnya Ian jadi orang yang -
suka apa yang orang lain suka, bukan dirinya sendiri yang bilang suka. Hingga suatu saat akhirnya mereka berempat mulai melihat kalau ternyata bukan soal selera saja Ian mulai labil dan bingung sendiri, tapi juga bingung gimana menjadi seorang Ian. Ian pun mulai nggak ikutan nongkrong lagi, nggak ikutan jalan lagi.
Mereka berempat semuanya kangen sama Ian yang lucu, yang kadang-kadang bego sendiri.
Tapi Ian entah ke mana.
Sampai pada suatu saat mereka baru saja pulang nonton.
Dalam perjalanan pulang mereka kangen sama Ian.
"Si gendut ke mana ya? Tadi gue SMS, gue ajak nonton bareng tapi nggak dibales," Genta tiba-tiba membuka forum tentang Ian.
"Tau tuh. Gue juga SMS nggak dibales-bales," sambung Zafran sambil ngutak-utik HP-nya.
"Apa kita sergap aja ke rumahnya?" Arial yang lagi nyetir seolah siap-siap mau pencet turbo boost, tapi dilarang sama Riani karena emang mobil itu nggak ada turbo boost- nya.
"Telpon dulu."
"Gue telpon deh," Genta mencari nama "Iangendutsekalinggakpunyapuser," di Hp-nya.
Coneccting to Iangendutsekalinggakpunyapuser.
"Halo... coy, di mane fo?"
"Eh Ta..., gue... di rumah, Ta."
"Yee... malem Minggu di rumah, ngapain lo."
"Lagi bikin Indomie."
"Anak-anak kangen nih ama lo, mau nyobain kasur air yang bisa jalan-jalan."
"Bercanda lo...," Ian datar.
"Lo di rumah aja kan?"
"Iya."
"Ya udah kita mau ke situ."
"Tapi, Ta...."
Tuut...! Genta langsung mutus hubungannya dengan Ian.
"Langsung ke rumah kasur air...," kata Genta sambil menepuk pundak Arial.
"Okeh...."
"Tapi kok tadi kayaknya Ian suaranya males gitu, biasanya kan dia berisik...," Genta bertanya-tanya.
"Lagi ada masalah kali...," Riani coba meraba-raba.
"Emangnya Manchester United kalah lagi?"
"Nggaky kan kemarin menang di Champion Genta menjawab pertanyaan Arial.
"Emmmhhh," tiba-tiba Zafran menggumam sendiri.
"Kenapa /o?"
"Enggak!" kata Zafran sambil ngeberesin rambut Damon Albarn-nya.
"Lo ada kasus ya sama Ian?" Riani menengok sebentar ke belakang.
"Enggak!" jawab Zafran sambil matanya menjelajah setiap sudut malam Jalan Radio Dalam... bubur ayam, roti bakar, kwetiauw sapi lada hitam, bubur ayam lagi, nasi goreng, pecel lele, nasi uduk, bubur ayam lagi. Ada yang Zafran mau ceritain, Arial juga tahu.
"Kita mau cerita tapi males banget, tapi jangan dianggap ngomongin orang ya. Kita kan tau, kita tuh paling benci banget ngomongin orang kalo orangnya nggak ada."
"Mau diomongin nggak?" Arial bertanya ke teman-temannya.
Keempat sahabat ini emang punya kesamaan, nggak mau ngomongin orang, apalagi teman sendiri, apalagi kalo orangnya nggak ada di situ, apalagi kejelekan orang yang diomongin Mereka sangat anti.
"Mau diomongin nggak?" Arial bertanya lagi.
Semuanya diam, semuanya bingung.
"Jangan jelek-jelekin orang ya," kata Genta pelan. Genta saklek sama prinsip keempat sahabatnya ini.
"Intinya aja deh..." Riani ikutan ngomong akhirnya.
"Dan jangan lebih dari tiga menit," Genta mempeijelas,
"Supaya cepet"
"Okeh... Juple... ceritain, Ple...."
"Nggaky lo aja...."
Nggak ada yang mau cerita.
Zafran akhirnya cerita, "Gini deh intinya. Lo perhatiin nggak sih kalo si Ian gabung sama kita kadang-kadang dia bingung sendiri sama dirinya sendiri. Suka berisik sendiri dan kadang omongannya ngelantur. Terus kadang-kadang dia juga ada rasa takut nggak diterima sama kita, nggak mau jadi dirinya sendiri.
Gue sih pertamanya biasa aja, tapi lama-lama Ian ngelakuin sesuatu yang kayaknya ngeganggu banget buat gue."
Riani dan Genta menarik napas panjang. Mereka juga ngerasain hal yang sama tapi mereka simpan aja.
"Trus... inget tiga menit doang..." Genta cepet respon.
"Waktu itu gue jalan sama Ian nyarj film baru, trus... sambil lalu gue cuma ngomong ke dia kalo si Arial reseh nih. Udah dua bulan lebih si Arial belum balikin film Reality Bites gue. Gue ngomong gitu juga gara-gara ngeliat ada film Reality Bites."
"Trus...," Riani angkat bicara.
"Ian langsung dukung gue, muji-muji gue..., trus ngomongin segala macam yang jelek-jelek tentang Arial. Arial ini-lah, Arial itu-lah."
Sepi.
"...mudah-mudahan gue salah," Zafran mengambil se-penggal napas sebelum melanjutkan, "...kayaknya semuanya dicari-cari doang. Dia kayaknya pengen jadi penting doang di mata gue. Gue kan jadi kaget sendiri, nggak penting banget."
"Oh begitu... udah?" Genta bertanya sambil ngeliat Zafran.
Zafran masih terus ngeliat ke jalanan malam di Radio Dalam...
bubur ayam, roti bakar, kwetiauw sapi lada hitam, bubur ayam lagi, nasi goreng, pecel lele, nasi uduk, bubur ayam lagi, nasi roti, kwetiauw lele, bubur goreng, pecel roti... Zafran bingung dan nggak enak.
"Belom, Ta...," Arial nyambung, "Ian juga ngelakuin yang sama ke gue." Arial menoleh ke ketiga temannya.
"Maksudnya?" Riani coba memperjelas.
"Iya... Ian waktu itu muji-muji gue yang nggak penting dan jelek-jelekin Zafran... cerita gue nggak usah detail. Pokoknya nggak penting banget, jelek-jelekin sijuple."
'Jadi...," Riani,Genta, Zafran, Arial saling menatap.
"Ian jadi... u 1 e r... dong. Ngomong di sana lain di sini lain, yang penting dirinya jadi penting," kata Genta sedih.
Uler adalah kata yang jarang mereka keluarin, kecuali lagi terpaksa main ular tangga, atau lagi ngeliat uler beneran. Sangat menyakitkan bagi keempat sahabat ini karena mereka paling nggak suka sama orang yang selalu mau ngambil untung doang dari orang lain, dengan ngejelek-jelekin orang lain. Mereka udah nyari kata yang tepat untuk situasi seperti ini, tapi nggak ketemu gara-gara semuanya takut uler. Akhirnya, untuk mudahnya mereka sepakat memberi nama uler kepada orang yang kayak gini.
"Trus gimana lo bedua bisa tau kalo Ian jelek-jelekin kalian berdua?" Genta bertanya ke Arial dan Zafran.
"Gue telpon si Arial nanya apa Arial punya kasus sama Ian, kok Ian kayaknya jadi sebel banget sama dia. Eh, si Arial juga punya pertanyaan yang sama, akhirnya kita berdua ngobrol deh?
"Pakai tiga menit nggak?" tiba tiba Genta nanya lagi.
"Pakai lah...."
Tiga menit emang rumus mereka untuk menyelesaikan
'v
masalah yang di dalamnya harus ada substansi, harus dengan sangat terpaksa menceritakan kejelekan orang lain. Kenapa tiga menit? Karena mereka anti banget ngomongin kejelekan orang kalo orangnya nggak ada di situ.
"Kita harus ngomong sama si banana boat itu...," Genta ngomong pelan.
"Gue nggak mau kehilangan kasur air gue..." Riani menggumam pelan, "Kapan ngomongnya?"
"Sekarang aja...," Genta langsung jawab pertanyaan ketiga temannya. Semuanya langsung setuju, semuanya gampang nurut sama Genta.
Tiga menit yang mudah-mudahan nggak dibilang munafik pada zaman sekarang ini pun berakhir. Tiga menit yang coba mereka terapkan karena setiap manusia pasti punya salah dan nggak ada manusia yang sempurna, termasuk mereka.
ian
Mobil Arial akhirnya sampai di jalan Bumi, Mayestik, daerah rumahnya Ian.
"Tuh Ian...," Riani melihat sosok Ian di jalan.
Sebelum sampai rumah Ian mereka udah ngeliat Ian lagi jalan di daerah rumahnya yang banyak pohon gede. Lampu mobil Arial membantu mengenali badan Ian yang subur dan pakai celana tiga perempat. Body Ian yang khas sudah bisa dikenali dari jauh.
"Halo cowok...," sambil nurunin kaca mobil depan, Riani menyapa Ian, "Biar gendut juga Tante mau kok. Lagi kesepian nih. Ada tiga cowok di mobil tapi nggak bisa dipakai. Yang satu homo, satu impoten, satu lagi nggak punya kelamin...," Riani menyapa Ian yang lagi jalan sendirian.
Ian tersenyum.
"Eh gila, gue kira siape lo. Gue kira masih lama lo jadi gue beli rokok dulu... sama snack sama Coca-Cola," ujar Ian sambil nunjukin plastik belanjaannya dari warung yang agak penuh.
"Gue kan tau, lo lo pada kalo jalan abis nonton pasti terus ngirit, nggak mau makan di luar, tapi terus nyari rumah temen."
Suatu niat baik dari Ian yang bisa bikin semua di situ agak lega.
"Ayo mau ikut Tante... nggak? Tante udah bawa borgol nih. Nanti Tante girang, Tante tampar," Riani bercanda lagi.
"Masuk, Yan...," Zafran membuka pintu belakang Kijang Arial dan menggeser duduknya.
Ian pun duduk bertiga di belakang, sama Genta dan Zafran.
"Tumben lo beli rokok...biasanya minta," Zafran membuka percakapan yang sepertinya salah.
Ian tersenyum sedikit dan jengah. Ketahuan banget wajah Ian yang nggak enak dari pertama tadi ketemu, seperti udah pernah punya salah.
"Pa kabar, Ndut?" Riani menoleh ke belakang.
"Gimana, banana boat laku?" Genta menyenggol Ian dengan bahunya.
"Perut tambah tipis tuh dinaekin orang mulu...," Zafran mrncolek perut Ian dengan telunjuknya.
"Tambah melar aja luh ditarik speed boat mulu...," Arial ikutan nyela.
Ian ketawa lepas.
Gerombolan ini emang gila, bodoh, kreatif, bego, dan baik sekali, I latin Ian dalam hati.
"Ke mana nih?"
"Katanya ke rumah Ian...," Riani menjawab pertanyaan Arial.
"Males ah, rumah gue lagi banyak saudara, besok ada arisan makanya gue beli makanan, nanti nongkrongnya dijalan depan iiimah gue aja...," jawab Ian.
"Nongkrong di mana kek, " Zafran ikutan bicara.
"Cari tempat yang enak dan sepi, gue mau ngomong penting
.sama lo semua," Ian berkata tercekat pelan hampir nggak terdengar. Semuanya diam.
"Iya, kita juga mau ngomong," Genta ikut bicara, hatinya lega karena tugas beratnya untuk membuka percakapan yang dalam bakal menjadi ringan.
Ian kaget sendiri.
"Kita ke sekolah aja," usul Riani.
"Beli lampu dulu," imbuh Genta.
Mereka pun ke sekolah tanpa ada yang bisa ngomong lagi.
Sementara, di tape mobilnya Arial, Butterfly-r\y?L Weezer mengarung lembut
I guess you're as real as me... Maybe I can live with that Maybe I need fantasies A life of chasing butterfly F m sorry for what I did
I did what my body told me to
I didn't mean to do you harm
Everytime I pin down what I think I want
It slips away... then it go slips away
I'm sorry...I'm sorry...
Sekolah
Setelah membeli lampu lima watt, mobil Arial menuju ke mantan SMA sakral mereka yang terletak di bilangan Jalan Mahakam.
Mereka sebenarnya sudah alumni, tapi karena saking cintanya sama SMA mereka, kadang-kadang gerombolan ini suka nyolong-nyolong kalau udah kehabisan tempat tongkrongan. Sudah biasa buat mereka, malam-malam melompati pagar besi SMA, minta izin sama penjaga sekolah yang kebetulan selama tiga tahun udah
"diguna-guna" supaya baik sama mereka sehingga selalu ngasih izin kapan aja gerombolan geblek ini mau masuk ke sekolah.
Tempat favorit mereka adalah di ujung lapangan basket dekat ring karena di situ ada sangkar lampu yang udah nggak terpakai, yang selalu dikasih lampu lima watt Karena selain lampu itu, semua lampu di sekolah dimatikan (kecuali lampu depan) sehingga sekolah menjadi sangat gelap dan cahaya yang ada cuma lampu lima watt yang biasa mereka pasang sendiri.
Tapi mereka suka sekali sama keadaan kayak gitu. Gelap.
Kalau kata Zafran, sebuah cerminan masa masa bahagia yang sudah begitu gelap karena walau bagaimana pun dengan cara apa pun kita nggak akan bisa kembali lagi ke masa-masa SMA yang sangat indah bagi mereka. Masa SMA yang nggak akan tergantikan dengan apa pun.... Jadi, biarkan aja semuanya gelap, yang penting kita pernah sama-sama di gelap bahagia sana. Pernah sama-sama bego, bahagia, coba-coba, dengan elec-trie youth masing-masing yang ajaib. Waktu itu semuanya setuju, apa pun yang kita lakuin enggak pernah salah karena kita semua lagi belajar. Tentang apa aja dan siapa aja. Semua setuju dengan sonetanya Zafran kali ini.
Sejenak ber-"hahahihi" dan nanya kabar penjaga sekolah yang namanya masih aja sama kayak dulu, Pak Mangki (iyalah).
Pak Mangki selalu ngulang cerita yang sama, gimana bandelnya mereka dulu, juga gimana anaknya Pak Mangki yang udah jadi penerbang. Setelah memastikan nggak ada yang bawa ganja atau mirasantika, mereka pun boleh masuk. Tapi jangan sampai ketahuan karena seperti mission impossible, Pak Mangki akan menyangkal semua kegiatan yang terjadi, apabila terjadi sesuatu di sekolah atau bila mereka tertangkap atau mati.
Mereka berjalan melalui kantin depan dan lorong sekolah, melihat sekeliling yang gelap, melihat bekas kelas masing-masing yang menyapa dalam gelap. Merasakan kembali betapa dingin dan sejuknya jam 06.15 pagi kalo mereka dateng pagi-pagi buat nyontek PR atau LKS, atau jam 07.15 pagi yang udah sepi lagi kalo mereka telat gara-gara nggak ada PR. Bau karbol dari ubin yang baru dipel di pagi hari, betapa putih dan abu-abunya dunia mereka dulu, berisiknya jam istirahat mereka, pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa mereka. Mereka nggak pernah bosan punya dejavu sekolah kayak gini setiap ada acara kudeta tongkrongan mendadak di malam hari. Tapi akhirnya semua sepakat untuk cepat-cepat nyari tali untuk rneminimalisir gerakan-gerakan ajaib Zafran, sebelum dia melakukan hal-hal berbahaya yang hanya Zafran yang tahu. Bisa saja tiba-tiba bersoneta, berima, dan berpuisi lagi, padahal sekarang waktunya nggak tepat untuk nostalgia, nanti ada waktunya.
Sekarang adalah waktunya Ian.
*
"Ayo Rambo... pasang lampunya...," Riani menonjok lembut bahu Arial yang memang paling tinggi di antara mereka berlima.
Arial mengambil bangku sekolah yang lagi sendirian di situ dan masih ada nomor serinya dari Depdikbud.
Arial memasang lampu.
Setelah lampu terpasang....
Teg..., suara saklar yang dipencet pun mengawali semuanya.
Cahaya kuning seadanya menerangi mereka berlima, kontras dengan rona kuningnya, membuat suasana menjadi lain di hati mereka masing-masing.
Semuanya mengambil tempat duduk di bawah ring basket. Genta duduk di rangka ring basket, Riani di sebelahnya.
Ian duduk bersila di depan Genta, Arial duduk di lantai semen lapangan basket yang membuatnya terkenal sebagai power for-ward tim basket sekolah. Zafran sudah mulai dilepas ikatan talinya dan duduk sekenanya dengan kedua kaki menyelonjor dibentangkan lepas.
Semuanya diam.
Untuk sementara mereka mengagumi langit malam yang agak mendung dengan bulan yang mengintip sedikit di balik awan kelabu, mengeluarkan semburat biru kehitaman.
"Gue sangat takut keilangan lo semua...," Ian angkat bicara pelan sambil menyalakan rokoknya. Cahaya dari korek gas menerangi mukanya yang tembem.
"Gue nggak pernah punya temen kayak lo semua. Baik semuanya biarpun kadang-kadangkalian bego, tolol, dan nggak, ber-perikeoranggendutan. Tapi kalian baiiiik semua...."
Genta tersenyum kecil... dan lega.
Riani menatap Ian dalam-dalam.
Arial melakukan hal yang sama.
Zafran menyalakan rokoknya.
"Bukan maksud gue jelek-jelekin lo berdua," Ian bicara pelan lagi sambil menatap Arial dan Zafran.
Zafran masih tertunduk, memainkan rokok di jarinya. Arial melihat dalam ke Ian sambil memainkan jarinya membentuk lingkaran kecil di semen lapangan basket
"Gue minta maaf... Lo pada marah sama gue... ya," Ian berkata pelan. Kali ini Genta yang nyalain rokok.
"Pertamanya gue heran waktu gabung sama kalian karena kalian ternyata ajaib-ajaib, pinter-pinter, dan asik-asik. Gue jadi minder, tapi gue suka banget sama kalian. Ke mana-mana, becanda bego, nonton layar tancep, nonton The Groove... kan kalian ancur banget...."
Semuanya tertunduk sambil menahan tawa. Memang kombinasi yang sangat kontras kalau ada tongkrongan yang abis nonton The Groove di NYC (New York Cafe), pulangnya nonton layar tancep di dekat rumah Genta sambil makan kerupuk merah asal-asalan, lepet, tahu irit (tahu kuning Betawi yang gorengnya tanpa minyak, makanya dibilang tahu irit!), gorengan kebanyakan minyak yang asal anget. Tapi memang mereka pernah sebego itu... berlima.
Arial ketawa ngakak.
Punggung Riani berguncang menahan tawa.
Zafran senyum sambil bingung karena yang diingat sama Ian cuma makanan di layar tancep doang, bukannya sorak-sorakan mereka waktu Jaka Sembung akhirnya mengadu ilmu dengan Si Mata Malaikat
Genta ketawa renyah.
"Tapi gue harap kalian percaya sama yang satu ini. Kalo yang gue omongin itu cuma dari mulut gue, bukan dari hati gue,
dan berhenti di mulut gue, nggak terus ke ha M gue, nggak sampai ke hati gue."
Zafran mengalungkan tangannya ke leher Ian, ternyata ada yang bisa bikin quotation seindah Ian. Achiles pun takluk. Jari Arial tiba-tiba berhenti membuat lingkaran di lapangan semen dan menatap Ian dalam.
"Ian nggak salah juga lagi. Ian cuma belum ngerti," Riani berkata pelan dan lembut... semuanya menatap kelembutan Riani dan setuju dengan Riani. Di sinilah saatnya wanita dibutuhkan dengan kelembutannya itu, Riani sepertinya telah menjadi jagoan di antara mereka berlima.
"Iya gue sibuk sendiri, sibuk jadi Genta, sibuk jadi Zafran, sibuk jadi Arial, sibuk suka semua yang kalian suka padahal kan sebencinya ada yang gue nggak suka dan ada yang gue suka sendiri, yang elo pada nggak suka."
"Tapi kan ada yang lebih penting dari sekadar selera...,"
Genta ngomong pelan dan melanjutkan, "yang penting kan kita bareng-bareng terus berlima...menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, ketawa buat semuanya, sedih buat semuanya. Lagian kita jangan pernah saklek bilang nggak suka sama sesuatu karena nggak ada yang saklek dan pasti di dunia ini; semuanya berubah. Satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian," Genta berfilosofi sendiri mengutip kata-kata Albert Einstein.
"Contoh yang paling kecil dan remeh. Gue sekarang bisa suka semua jenis musiknya Riani, Zafran, R en B-nya Arial kadang-kadang juga bagus, semuanya bagus," Genta menambahkan.
aGue minta maaf sama kalian semua...," Ian minta maaf lagi.
"Minta maaf mulu lo kayak pembantu baru," Zafran mengeluarkan keajaibanya yang bikin Ian tersenyum.
"Gue juga sekarang udah enggak menganggap sepakbola makanan kering lagi, gue udah mulai nonton bola. Padahal kan gue dulu benci banget sama sepakbola."
Achilles penyair mencoba masuk ke dunia dramatisir yang sedang berlangsung, "Makanya...!" Genta, Arial, dan Ian ngelempar kacang ke Zafran.
'Jadi lo semua maafin gue nih?" Ian berkata pelan.
"Ya nggak- lah, Yan...," sambil semuanya memeluk Ian yang emang cukup besar buat dipeluk empat orang.
Di remangnya sekolah, malam seakan tersenyum buat mereka.
"Ini semua bukan tentang selera, tentang musik, tentang bola, atau apa pun. Itu semua kecil banget dibanding kalo kita bisa menjadi orang yang membuat orang lain bisa bernapas lebih lega karena keberadaan kita di situ," Riani berkata bijak.
"Yang penting kita jangan pernah ngomongin kejelekan orang kalo orangnya nggak ada. Kita nggak akan bantu dia, soalnya dia nggak ada di situ, dan emang kalo ada kejelekan orang, langsung aja bilang ke orangnya. Dengan begitu kita bantu dia mengerti akan dirinya...," Genta ikutan ngomong.
"Dan semuanya akan tambah indah kalo lo tetap jadi diri lo sendiri, bukan orang lain," Arial nambahin.
Dan, Zafran buru-buru mengambil posisi membelakangi mereka semua, lari ke tengah lapangan, membentangkan tangannya meniru Torn Cruise di Vanilla Sky. Di antara gelap malam lapangan sekolah, semuanya kebingungan nyari tali dan plakban buat ngiket Zafran, supaya si Achilles itu sadar dan nggak ada puisi yang kepanjangan karena udah malam. Lagian juga, nggak enak sama Pak Mangki, dikira ada yang kena ganja.
Ian jadi ketawa ngeliat tingkah Zafran, yang sering bertindak semaunya, sesukanya, apa adanya, dan ajaib, tapi semuanya terasa indah bagi mereka.
Zafran yang selalu jadi dirinya sendiri.
Ian juga bisa.
*
Malam itu di sekolah, mereka ngobrol lagi, ketawa-tawa lagi, berfilosofi lagi, di bawah kuningnya cahaya seadanya di tempat yang pernah mempertemukan mereka melewati usia tujuh belas. Kala semuanya belum ada yang hitam, bagi mereka semuanya hanya putih—seputih tingkah polos mereka yang baru bisa melihat apa saja yang baru. Dunia seabu-abu seragam mereka yang tidak bisa dibilang hitam karena mereka baru saja melihat dan mengenal sesuatu yang menentukan akan ke mana mereka dibawa. Bukan oleh orang lain tapi oleh diri mereka sendiri.

Bersambung Ke BAB 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates