Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm BAB 5/10

<<< SEBELUMNYA


Don't Stop Me Now
...Ian mencium tangan kedua orang tuanya, ada sedikit sedih di hati Ian karena tangan papa-mamanya sudah tidak sehalus dulu lagi, Ian udah bisa rigerasain kulit keriput di tangan mereka...
"JADI... KAMU... mau... ganti... lagi... semuanya?"
"Enggak juga sih, Pak. Judulnya doang dikit, sama hubungan antarvariabelnya, ada juga variable yang ditambah," Ian menjawab pertanyaan dosen pembimbingnya, sambil membatin, dari dulu dosen pembimbing ini pasti kalo ngomong ada jeda dua detik perkata, tuh kan mulai lagi nih....

"Kamu... selama... ini... ke mana... Ian?" Pertanyaan yang tidak pernah Ian harapkan selama satu semester ini, muncul juga dari mulut dosennya.
"Cuti, Pak," Ian bohong.
"Cuti... apa... Ian?"
"Bantu orang tua di sawah...," Ian bohong lagi. Bohongnya salah lagi, mana ada sawah di Jakarta. Goblok, dongo, Ian menyesali dalam hati.
"Mana... ada... sawah... di... Jakarta?"
"Ada, Pak!" jawab Ian (cari gara-gara lo Yan!).
"Kamu... bohong... Ian?"
"Mm... iya Pak... saya sebenarnya cuti untuk cari duit, Pak.
Jadi model bayi yang No Problem itu Pak, yang lucu, tapi yang sekarang udah gede bayinya. Syuting iklannya di Jepang, Pak.
Di Satchi and Salehi, kan jauh itu Pak, jadi saya cuti."
Ian bohong lagi. Tapi bohong yang ini rada-rada pinter karena dosennya percaya Ian emang sangat mirip sama model bayi No Problem. Ian pun lega.
"Oh... begitu... benar?"
"Iya, Pak!"
"Bangga... juga... Bapak... sama... kamu. Jadi... mau...
tambah... satu... variabel... lagi?"
"Iya, Pak!"
"Oh... begitu... variabel... apa... lagi... yang... mau... kamu...
tambah?"
Ian tambah kesel lagi sama dosen pembimbingya. Buat Ian, ini orang kayaknya waktu pelajaran tanda baca bahasa Indonesia di SD, dia nggak masuk. Pelan bener sih ngomongnya.. lama lagi Kebanyakan titik. Ian mau cepat-cepat pergi dari situ.
"Saya mau tambah variabel kecerdasan emosional, jadi nanti dilihat apa hubungannya sama Lima Displin Pembelajaran Organisasinya Peter Senge (baca Senji). Efektif nggak untuk sebuah organisasi. Begitu Pak," Ian berbicara cepat soalnya dia udah ngantuk.
"Oh... begitu...," gumam dosennya.
Tampang dosen Ian ini mirip penjahat di gamewateh, West-ern Bar, punya Ian dulu. Ian ketawa dalam hati. "Iya... Pak...
begitu," Ian yang ngocol coba ngikutin omong pelannya sang dosen—yang sebenernya udah pengen Ian tonjok.
"Kecerdasan... Emosionalnya..: pakai... buku... siapa... Ian?"
"Daniel Goleman, Pak..,."
"Dia., lagi... dia... lagi... ada... yang... lain... nggak... sih...
mentang... mentang... lagi... terkenal."
Ian pun memberi tatapan ke dosennya yang kalau diterjemahin kurang lebih "siapa lu, mending kenal?"
"Ya... sudah... kalo... kamu... mau."
Asiky dia setuju! kata Ian dalam hati, pipi tembemnya meng-gembung.
"Kamu... SD... berapa... tahun..., Yan?" tiba-tiba dosennya memberikan pertanyaan yang nggak jelas maksudnya.
"Enam, Pak. Emangnya kenapa?" Ian bohong. Dulu dia pernah tidak naik setahun—waktu kelas satu—gara-gara satu caturwulan ngambek nggak mau masuk.
"Kalo... kamu... menyelesaikan... kuliah., kamu... enam...
tahun... juga... berarti... otak... kamu... otak... anak... SD," Sang Dosen berkata pelan sambil menurunkan kacamatanya. Urutan kalimat panjang dan pelan barusan sangat menyakitkan bagi Ian.
Suara-suara di kepala Ian pun memaki-maki sarkasme.
Sang dosen bertanya lagi, "Dua... bulan... lagi... ada... sidang...
bisa... dikejar... empat... bab... dalam... dua... bulan... Ian?"
Ian diem. Hmm, baik juga nih dosen nyuruh sidang cepet-cepet.
"Kalo... kamu... bisa... nanti... saya., bantu... banyak."
"Nggak tau yah Pak. Pusing juga, dua bulan empat bab, belum kuisionernya."
"Cuma... kamu... saja... anak... bimbingan... saya... yang...
lama... lainnya., cuma... satu... semester... kamu... udah... bikin...
rekor... nggak... enak... buat... saya"
"Iya nih, Pak... Saya nggak enak, saya juga dulu milih Bapak biar selesai satu semester, tapi kalo dua bulan empat bab pusing juga, Pak," jawab Ian sambil nunduk.
"Bisa... nggak?7" dosen Ian menghardik galak.
"Bisa deh, Pak," Ian jadi takut.
"Bagus... sekarang... taruh... kata... bisa... itu... di sini," dosen Ian berkata sambil menunjuk ke jidatnya. Ekspresinya mirip Benecio del Toro di Rim 21 grams.
Ian jadi kaget sendiri.
"Iya, Pak. Makasih, Pak."
"Kapan... kamu... nyerahin... bab... duanya?"
"Minggu depan, Pak."
"Enggak... boleh... empat... hari... lagi... kamu... ke sini...
bab... dua... kamu... harus... sudah... selesai... ngerti." _
"Hah???" Ian bengong.
"Masa empat hari, Pak?"
"Kamu... SD... berapa... tahun..., Yan?"
"Iya, iya deh, Pak," Ian nggak mau dengar kata-kata nyakitin lagi dari dosennya, apalagi sebenernya dia SD kan tujuh tahun, bukan enam tahun.
"Ya... udah... sana... selamat... sore... Ian."
"Ssssore pak." Ian pun buru-buru membereskan berkas-berkas skripsinya dan pergi menjauh dari ruangan dosennya.
Pulangnya Ian langsung menuju ke komputernya yang ia namakan "Si kompibaiksekalitemenlan"—komputer yang sekaligus sahabat dan teman akrab Ian dari dulu, nemenin Ian main Counter Strike, CM; muter VCD bokep; main bola; yang udah penuh sama gambar bikini, gambar pemain bola, lirik lagu, kunci gitar, foto bugil, dan banyak lagi.
Ian yang lagi intelek sedikit gara-gara harus bikin skripsi pun mulai memperbarui tampilan teman setianya ini. Ia ganti gambar desktop yang semula bergambar "ayah"-nya Manchester United, Sir Alex Ferguson dengan gambar wisuda kampus megah milik kakaknya yang kebetulan udah lulus dan satu kampus sama Ian.
"Bab dua, tiga, empat, lima dalam waktu dua bulan siapa takut?" Ian menggumam pelan dan masuk ke dalam dunia imajinasinya.
Si kompibaiksekalitemenlan: Hahaha... kenapa teman? Sakit panas ya?
Ian: Gue udah tau lo mau nyela gue dari tadi.
Si kompibaiksekalitemenlan: Emang gue tahan, belum penuh sih loadingnya..
Ian mulai mengetik. BAB II
Si kompibaiksekalitemenlan: Bikin skripsi ni yee. Tumben bikin skripsi, teman, kamu udah mati yaa... ini cuma arwahnya doang?
Ian: Diem lo!
Ian pun nerusin ngetik.
Si kompibaiksekalitemenlan: Eh ntar dulu, ntar dulu, harus ada yang diselesaikan secara adat dulu. Udah jadian lagi belum lo sama folder skripsi? Kasian lho waktu lo cuekin, dia nangis-nangis gitu hampir mau bunuh diri teijun bebas ke virus. Untung ditolongin sama Mc Afee.
Folder Skripsi: Udah kok waktu itu dia minta maaf.
Tiba-tiba folder skripsi ikut ngomong lembut. Folder skripsi yang emang temenan baik sama Si Wordngetikmulu dan SiExcelrajatabel ini udah terima Ian lagi di dalam hatinya setelah Ian janji nggak mau ninggalin dan mau ngasih nama baru.
Ian: Tuh denger makanya jangan sok tau... gue defrag nih.
Si kompibaiksekalitemenlan: Nggak mau ah CS di defrag geli. CS kan tau gue orangnya gelian.
Ian: Makanya jangan berisik!
Hardik Ian galak sambil mengambil bukunya Peter Senge, Disiplin Kelima. Folder skripsi bergaya menari-nari riang di antara kabel-kabel data Si kompibaiksekalitemenlan.
Folder Skripsi: Nama baru... nama baru.
Si kompibaiksekalitemenlan: Lo dikasih nama baru apa sama si Ian? Apaan namanya?
Folder Skripsi: Lihat aja sendiri.
Kabel-kabel data Si kompibaiksekalitemenlan pun men-jelajahi tiap folder mencari nama baru folder skripsi hingga ketemu.
"Skripsiku tercinta."
Si kompibaiksekalitemenlan: Ciee... Romantis juga nih tuan kita yang gendut.
Ian: Lo ngomong lagi, beneran gue defrag nih, abis itu gue boot.
Si kompibaiksekalitemenlan: Nggak mau ah. Teman jangan begitu dong.
Ian: Makanya jangan berisik. Jangan sok tau... gue mau ngetik. ok!
Si kompibaiksekalitemenlan: Sok intelek lo ngetik... biasanya juga lihat gambar bokep.
Jari-jari Ian pun mencari kata-kata computer management dan disk defragmenter.
Si kompibaiksekalitemenlan: Jangan! Jangan, geli! Iya deh nggak berisik.
Ian: Janji?
Si kompibaiksekalitemenlan: Janji! Pasang lagu, pasang lagu biar lancar...OK teman, OK
Ian: Nggak mau lagi konsen!
Si kompibaiksekalitemenlan: Jangan ngambek dong teman, kita kan CS. ok CS?!
Ian pun ngeklik winamp.
Si kompibaiksekalitemenlan: Winamp siap?
Si kompi memanggil Si Winampnyanyimulu.
Winampnyanyimulu: Siap bang kompi!
Si kompibaiksekalitemenlan: Kalo lagi gini, biar semangat lagunya Queen dong "Don't stop me now". Ok cs, ok.
Ian: Siip... nah gitu dong semangatin gue, kata Ian sambil memilih lagu Queen.
Don't stop me now.... I'm having such a good time...
I'm burning to the sky
Two hundred degrees.
that's why they call me Mr. Fahrenheit...
F m driving to the speed of light...
Don't stop me now...
JARI^ARI Ian mengetik lancar tambah semangat dan bahagia.
Ditemenin sama SiWordngetikmulu, si winampnyanyimulu, Si kompibaiksekalitemenlan, Freddie Mercury dan raungan gitarnya Bryan May. File-file folder games pun cemberut, lagi dicuekvn sama Ian, juga folder folder Karang Taruna RW 08
dan Curriculum Vitae yang merupakan nama samar an dari folder folder bokep Ian.
10 menit berlalu Ian baru dapet setengah halaman...
jari jari Ian berhenti...
Si kompibaiksekalitemenlan: ya bos kok berhenti bos....?
Ian: Tau nih... mampet...!! tiba tiba Ian kangen sama keempat temannya....
Lagi ngapainya mereka?...Riani... Arial... Zafran... Genta Ian kangen sama mereka.
Genta! Tiba-tiba mata Ian menangkap sebuah VCD origi-nal milik Genta di antara VCD bersampul Hewan-Hewan Pra-sejarah,Ten Deadliest Shark, Belajar Macromedia, dan Mengerti Excell dalam sehari yang sekali lagi, semuanya hanya sampul samaran yang di dalamnya berisi VCD bokep. Mata Ian menangkap VCD favorit Genta, filmnya Sean Connery, Finding Forrester.
Ian jadi inget sama adegan di film itu, waktu Jam al Wallace si penulis muda baru mulai belajar nulis sama William Forrester, pengarang buku terkenal sepanjang masa. Avalon Landing, yang sekaligus sahabat Jamal.
Ian masih ingat kata-kata William Forester, "Kalau kamu mau menulis ya tulis aja, jangan pernah mikir. Langsung menulis aja jangan pakai mikir."
Ian pun mulai menulis. Satu halaman lebih dilewatkan Ian dengan cepat sampai kibor Ian kegelian dipencet-pencet melulu kayak permen Yupi. Ian nggak percaya, hanya dalam waktu sepuluh menit dia sudah dapat dua lembar... tiga lembar... empat lembar.
Dua jam pun berlalu tanpa terasa.
Bab dua udah hampir selesai, tinggal diedit sedikit dan dikoreksi Ngetik lagi ntar malam tiga jam an. Sambil ngedit juga kelar BAB II gue, batin Ian seneng.
"Ah kalau bisa sekarang... sekarang aja."
Jari Ian pun mulai menari lincah lagi.
Satu jam, dua jam....
Si kompibaiksekalitemenlan: Bos... bos...!
Ian: APA!
Ian berteriak agak keras, masih cuek, dan nggak mau di-ganggu. Si kompibaiksekalitemenlan jadi takut bosnya bakal marah dan dia bisa di -defrag lagi.
Si kompibaiksekalitemenlan: Bos, temenan, cs... dong.
Ian: Apa kompi?
Si kompibaiksekalitemenlan: Ke desktop bentar, klik kanan terus refresh bos....
Gerah nih bos... udah empat jam lebih, hampir lima jam malah.
Ian: Oh iya. Sori bori kompi....
Si kompibaiksekalitemenlan: Nah gitu dong.... Ah, seger Bos.
Enak. T>\-save dulu bos atau di-autosave aja. Nanti kalo ada serangan tiba-tiba gue bisa mati suri bos. Ntar sih gue idup lagi... tapi nanti file bos ilang. Nanti bos marah-marah kayak waktu itu, gue dilempar bantal.
Ian: Oh iya. Kompi kamu emang baik sekali.
Si kompibaiksekalitemenlan: ...bos refresh lagi bos, dikit.. aja.
Ian: OK!
Si kompibaiksekalitemenlan: Ah seger.... Bos emang baik.
"Wah udah selesai Bab H Bab IH udah bagian depannya,"
Ian loncat- loncat seneng, "Hore... besok aja gue serahkan ke si aneh Sukonto Legowo," (eit baca namanya jangan disambung, bisa gawat).
Enggak perlu empat hari biar dia kaget sekalian, batin Ian mantap.
Si kompibaiksekalitemenlan: Bos, capek Bos. Time out dulu ya.
Ian: Alaa elo... kalo bokep sama bola aja, lembur dua hari seneng-seneng aja.
Si kompibaiksekalitemenlan: Ya udah sekarang bokep...!
Ian: Nggak mau...!
Si kompibaiksekalitemenlan: Bola...!
Ian: Nggak mau!
Si kompibaiksekalitemenlan: Counter Strike aja Bos, tembak-tembakan!
Ian: Gue mau mandi trus bikin Indomie.
Ian berdiri dan mengambil handuk.
Si kompibaiksekalitemenlan: Es... es... es... matiin dulu dong Bos. Capek nih kompi mau tidur sore....
Ian: Yang enak sih sebelum dimatiin di-defrag dulu... ada tuh di buku petunjuk
Si kompibaiksekalitemenlan: Bos... Bos... jangan bercanda Bos. Kan udah bulan ini di-defrag, Bos. Geli Bos, nggak mau!
Ian: Enggak enggak....
Ian tersenyum dan memilih menekan turn off di desktopnya.
Si kompibaiksekalitemenlan: Nah gitu dong....
Ian: Nanti malam ketemu lagi ya....
Si kompibaiksekalitemenlan: Tapi bokep...!
Ian: Nggak...\
Si kompibaiksekalitemenlan: Bokep!
Ian: Nggak).
Ian: Nanti "malam kita ngetik lagi....
Folder Skripsiku tercinta tersenyum dan menari-nari.
Si kompibaiksekalitemenlan: Ok Bos... kompi temen Bos, siap nemenin Bos sampai kapan pun!
Ian: Dah... kompi....
Si kompibaiksekalitemenlan: Da dah... Bos....
Ian: Kamu emang baik kompi....
Ian menepuk nepuk monitornya... (kamu emang ancur sekali Ian, ngobrol sama komputer).
MALAMNYA, SAMBIL tiduran Ian membaca buku-buku referensi yang nyambung dengan skripsinya. Bosen baca di tempat tidur, Ian pindah ke balkon rumahnya. Di sana Ian membaca lagi, membaca lagi, dan membaca lagi, takjub dengan berbagai molekul kompleks yang beterbangan memenuhi pikirannya. Apa yang selama ini belum pernah diketahuinya, Ian jadi tahu. Untuk beberapa saat Ian berhenti sebentar dan menuliskan catatan kecil di kertas HVS, dan membaca lagi... membaca lagi... yang ada di otak Ian cuma dua bulan lagi dia sidang, abis itu lulus.
Pukul 08.15 Ian udah nongkrong di depan r u a n g a n dosennya. Tapi, setelah melihat jadwal hari ini, ternyata dosen Ian, Bapak Sukonto Legowo, ada kelas di gedung sebelah. Ian pun langsung lari ke gedung sebelah.
Ini dia kelasnya, desis Ian, Udah jam segini belum dateng tuh orang, batin Ian.
Otak bandelnya ketawa-tawa sendiri dan bilang, "hihihi gue masuk aja kali yee..., ikut kelasnya biar dia kaget."
Ian dengan pede-nya langsung masuk kelas, nggak peduli sama tatapan aneh di kelasnya. Ian langsung duduk di bangku pojok paling belakang. Mahasiswa yang ada di kelas itu menatap Ian dengan perasaan aneh.
Suararsuara heran dan aneh memenuhi pikiran semua orang di situ, bercampur aduk, semua yang di situ nggak kenal sama Ian. Semua ngeliatin Ian dengan berbagai suara takjub di kepala mereka. "Siapa ya? Perasaaan udah mau final-test, tapi kok ada yang baru masuk."; "Gue kenal dia nih, kalo mau pelihara dia di rumah harus punya surat izin dari Departemen Kehutanan.";
"Perasaan gue kuliah ekonomi deh, bukan kedokteran hewan.
Emang ada pelajaran bedah ikan pesut?" "Pasti ada yang ulang tahun hari ini, ada yang pesen badut."; "Dufan keren juga ya marketingnya... sampai ngirim badutnya ke kampus-kampus."
Ian cuek dan bales ngeliatin mereka semua. Galak. SENIOR!!! kata Ian dalam hati.
Semua yang diliatin Ian menunduk males, takut sama senior. Pukul 08.30 sosok Sukonto Legowo masuk ke kelas.
"Selamat pagi... maaf... Bapak... telat."
Semuanya diem. Dosen pembimbing Ian emang terkenal galak tapi sekaligus baik. "Hari ini kuliah MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia), kita masuk ke teori motivasi... nanti ada macam-macam teori motivasi yang akan kita bahas."
"Ah. gue tau ini kan pernah diomongin di tongkrongan," kata Ian dalam hati girang.
Nanti ada teorinya Abraham Maslow. McGregor. McClelland.
Nah tuh dia namanya disebut, kata Ian dalam hati, senang.
Tapi, sambil mainin pulpen, Ian jadi kaget sendiri karena Pak Sukonto Legowo di kelas ngomongnya bisa cepet. Kalo ketemu gue aja ngomongnya pelan banget, batin Ian.
Maslow, McGregor, McClelland diterangkan dengan jelas oleh sang dosen. Semua bengong karena diterangkan dengan bahasa yang jelas dan Ian jadi ngerti banget
Dosennya kok lain banget kalo di kelas, malah kadang-kadang pakai becanda lagi. Bisa ditambah-tambahin buat referensi skripsi gue nih, desis Ian sambil mengambil kertas dan mulai mencatat.
Dua lembar, tiga lembar, empat lembar....
Tiba-tiba batin Ian kaget sendiri dan agak menyesal, kan dulu kelas ini udah pernah gue ambil. Ian masih berbicara dengan hatinya, melihat ke sekeliling kelas dan bengong.
Kenapa dulu gue nggak pernah merhatiin ya? Rugi banget gue, becanda mulu sih, mana kalo lagi di kelas pikiran maunya lari ke main komputer, main bola, sama beli VCD... sekarang baru kerasa.
Ian nyesel.
"Oh ada mahasiswa baru ya?" Tiba-tiba sang dosen mengeluarkan suara agak keras dan menuju ke pojok belakang tempat Ian duduk.
Ian yang lagi bengong kaget sendiri. Ian mengangkat tangannya, menganggukan sedikit kepalanya sambil tersenyum.
"Halo Pak, lagi nebeng ngasah otak...."
Semua di kelas nengok ke Ian. Kaget! Suara-suara heran pun merasuki pikiran semua orang di kelas. "Pantesan harus ada izin buat miara, ternyata hewan langka ini bisa ngomong.";
"Oh badut Dufannya bisa ngomong...hebat juga ya marketing Dufan"; "Gile... lumba-lumba kalah sama pesut, pesut aja bisa ngomong."; "Tuh bener kan ada yang ulang tahun."
Ian langsung melotot, males banget diliatin seperti itu.
Pelototan galak Ian membuat semua juniornya langsung takut dan menghadap ke depan lagi. Pak Sukonto Legowo membuka kacamatanya, matanya tajam melihat Ian.
"Kamu... mau... ketemu... saya... hari... ini... Ian?"
Yah... ngomongnya gitu lagi, kalo sama gue, Ian teriak-teriak sendiri dalam hati.
Tiba-tiba Pak Sukonto Legowo ngomong lagi, "Saudara-saudara... hari ini kita kedatangan tamu penting, suatu kehormatan tersendiri. Saudara- saudara pasti ingat, dulu bayi lucu dan gemuk yang ada tulisan 'No Problem' di bawahnya...
sekarang bayi itu udah gede dan dia adalah salah satu murid bimbingan skripsi yang saya pegang, saya bangga sekali. Saudara Ian silakan berdiri."
Ian pun kaget dan terpaksa berdiri... semuanya tepuk tangan.
Mata Ian kacau, semuanya berputar dalam slow motion putih biru kuning.
"Iya gila mirip lho... gilee gedenya begini sama aja... gemes!
gemes!" pipi Ian dicubit. Ian difoto pake handphone, blitz! Blitz!
Putih. Ian stres. Ian serasa diseruduk truk, abis itu kecebur got, gotnya ada radioaktif, radioaktifnya bikin Ian impoten, Ian pergi ke Mak Erot, Mak Erot lagi bete karena praktiknya di Arab nggak laku, Ian diusir Mak Erot, Ian berobat ke luar negeri, pesawat Ian jatuh, Ian di bawa ke rumah sakit, Ian sadar, Ian nanya keadaan-nya ke dokter, dokternya jawab: "No Problem", Ian pingsan lagi.
Ian nyesel udah bohong.
Setelah kelas dibereskan dari kekacauan yang baru saja teijadi, Pak Sukonto Legowo dan Ian duduk berhadapan di depan kelas. Ian memberikan Bab II-nya. Lima menit berlalu...
sang dosen masih membolak-balik Bab II Ian, sementara Ian menatap keluar sebentar. Matahari pagi menjelang siang menembus jendela kelas, membentuk garis-garis sinar dengan partikel-partikel kecil yang beterbangan.
Setelah sepuluh menit.
"Cepat... juga... ya... kamu... bagus., bab II... kamu...
selesai... saya... setuju... sekarang."
Asik..., hati Ian bersorak girang. Kata-kata dosen Ian tadi membuat Ian lupa pada kejadian mengerikan barusan.
"Nggak ada revisi, Pak?"
"Nggak... ada... revisi... bagus... sekali."
"Langsung Bab m dong. , Pak!"
"Iya.. .langsung... aja."
"Oke, Pak!" jawab Ian mantap.
"Tapi... Ian... lebih... baik... kamu... sebar... kuisioner...
dulu... keijakan... dulu... yang... agak... susah."
"Begitu ya, Pak...," Ian menjawab sambil mempertemukan kedua jari tangan kanan dan kirinya di depan hidungnya.
"Iya, mendingan kamu sekarang bertempur dulu, bagi-bagi kuisioner, baru nanti kamu olah. Yang penting kamu udah punya data dulu, sementara kamu tunggu kuisioner diisi, kamu bikin Bab IH," dosen Ian berujar pelan tapi lancar sambil masih membuka-buka Bab II.
Hati Ian berbunga-bunga, dosennya udah ngomong biasa sama Ian, nggak pake jeda dua detik lagi Berarti dia udah nggak marah sama gue... asik..., batin Ian ketawa-tawa.
Bapak Sukonto Legowo tiba-tiba berdiri, "Sekarang kamu ikut saya, Ian."
"Ke mana, Pak?"
"Ke ruangan saya!"
"Ngapain, Pak?" .
"Saya bantu kamu bikin kuisionernya."
Ian tambah seneng, udah lupa sama kejadian "No Problem" tadi.
Something in my shoes
Dua hari kemudian Ian sudah berada di kantor yang mau diteliti.
"Selamat pagi Mbak...," Ian menyapa resepsionis kantor dengan sopan.
Mbak resepsionis tampak berbinar-binar menatap Ian.
"Pagi... oh maaf, Mas, baru minggu kemarin tuh kantor kita outing ke Taman Teletubbies yang baru itu. Waduh, Taman Teletubbies baru buka aja promosinya gede-gedean sampai ngirim Tinkywinky ke kantor gini. Inget nggak sama saya?... kan saya ke sana minggu kemarin!"
Kali ini Ian disangka Tinkywinky dari g e r o m b o l a n Teletubbies yang kerjaannya main mulu. Tapi Ian udah kebal.
"Maaf Mbak, saya bukan Tinkywinkynya Teletubbies. Tuh di perut saya nggak ada TV-nya," bela Ian sambil melihat ke baju ungunya. Hmm, salah gue juga, pakai baju ungu. Dikira Tinkywinky deh....
"Oh maaf...," kata resepsionis masih belum percaya,
"Saya mau ketemu sama Pak Dono... udah janji, tadi udah telepon."
"Oh Pak Dono... sebentar ya."
Sembari menunggu resepsionis menelepon, Ian bengong sendiri. Perutnya lapar, matanya ngantuk. Semalam dia baca buku sampai pukul dua pagi, dengan harapan skripsinya lancar dan cepat selesai.
"Eh Mas..., bengong ya?"
"Eh iya, Mbak." Khayalan Ian pun terhenti.
"Tunggu sebentar, Pak Dono masih meeting.."
"Oh iya Mbak... saya nunggu di mana, Mbak?"
"Tuh, di belakang Mas banyak kursi."
Ian menengok ke belakang, "Oh iya, makasih, Mbak."
"Mas...."
Treq, tiba-tiba Ian difoto pakai handphone.
"Hah? Buat apa, Mbak?"
"Buat anak saya, dia kan seneng Teletubbies."
Ian pasrah, hingga satu jam kemudian, "Sori banget, Ian.
Gue lagi ada rapat sama direksi, mana kuisionernya?"
"Eh, Mas. Nggak apa-apa Mas. Ini kuesionernya, semua ada dua ratus lembar, satu orang dua lembar. Ini surat izin penelitian dari kampus." Ian memang sudah kenal sama Mas Dono yang setiap malam Minggu datang ke rumah Ian, ngapelin kakaknya.
"Oh iya... kapan mau diambil, Yan?"
"Seminggu lagi...."
"Siip lah. Sukses ya, Ian? Nanti kalo udah diisi semua aku SMS atau telepon. Oke?"
"Ini data perusahaannya kamu tinggal edit Ini visi-misinya.
Sip kan?"
"Oke sip. Makasih banyak ya Mas Dono, makasih banyak."
"Ok Ian."
Sukses. Suara-suara dalam pikiran Ian berbunga-bunga, berarti di rumah tinggal bikin Bab III, selesai deh dua bulan. Ternyata nggak susah ya kalo udah dijalanin. Ian memencet lift: dan turun sendirian. Sendiri di dalam lift, Ian nggak sadar kalau bayangan teman-temannya muncul di kepalanya. Genta, Zafran, Arial, Riani... lagi pada ngapain ya? Ian menarik napas panjang, membetulkan ranselnya. Kangen juga gue, kata Ian dalam hati.
Ting....
Ting....
SUDAH hampir lima hari ini Ian berkutat dengan buku, ke perpustakaan kampus, ngetik, baca lagi, ngetik lagi, menyelesaikan misi skripsi.
"Mas Ian... ada telpon," pembantu rumah teriak begitu saja, membuyarkan konsentrasi Ian.
"Dari?" Ian ganti teriak dari atas.
"Mas Dono...."
Asih., baru lima hari udah ditelepon, berarti udah selesai nih!
Batin Ian bersorak. Ian langsung turun ke bawah.
"Mas Dono ya?"
"Iya...." .
"Udah selesai ya, Mas? Nanti Ian langsung ambil, biar cepet."
"Kayaknya ada masalah, Yan.... Direksi nggak ngizinin kuisioner kamu, padahal udah hampir terisi semua. Kuisionernya nggak boleh keluar dari kantor. Data perusahaan yang ada di Ian juga disuruh tarik lagi."
Embusan napas kecewa Mas Dono terdengar di telepon.
"Sori banget, Yan."
"Mas Dono udah coba argumen, tapi masih ditolak."
"Mas Dono bingung nih... nggak enak dapat peringatan.
Nanti malam data yang ada di Ian, Mas Dono ambil ya?
Ternyata data itu nggak boleh keluar kantor."
Ian menarik napas panjang, "Udah bener-bener nggak bisa ya, Mas?" Ian bertanya dengan sisa-sisa harapan yang ada.
"Mas Dono udah coba berbagai cara."
Ian percaya karena tahu bahwa Mas Dono orangnya baik dan memang bisa dipercaya.
"Ya udah Mas, nggak apa-apa."
"Sori banget ya, Ian."
"Nggak pa-pa Mas, bener. Malah Ian yang makasih udah dibantu."
"Nanti Mas Dono coba cari teman lain yang perusahaannya bisa diteliti."
"Iya Mas, makasih...."
"Nanti malem Mas Dono ke situ ngambil datanya.... Masih ada'kan?"
"Masih Mas, belum ke mana-mana kok?
I
"Trims. Udah dulu ya, Ian, lagi banyak kerjaan nih."
Teg... tut... tut... tut....
Sambungan telepon sudah terputus, tetapi Ian masih bengong sejenak. Dengan langkah gontai, ia kembali ke kamarnya. Tapi cuma sebentar karena ia lalu turun lagi, nyalakan TV, naik lagi ke kamar, turun lagi, naik lagi, nonton TV, naik ke kamar lagi,.., bengong di beranda, bengong di balkon siang yang panas. Gerah-nyajakarta membuat kecewa Ian makin bertambah. Gerah. Panas.
Bete. Ian hanya bisa menerawang jauh, menikmati pemandangan kota Jakarta di siang yang panas dengan gedung-gedung tinggi memeluk udara hitam samar membentuk dinding asap, seakan hendak bercerita betapa kotor suram dan nggak enaknya.... Ya, betul-betul nggak enak. Ian menelan ludah sendiri, terasa ada yang menyangkut di tenggorokannya, mengganjal di dadanya.
Waktu seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap. Dengan perasaan malas, Ian berangkat ke kampus, telanjur janji sama Pak Dosen untuk mengembalikan data kuisioner yang sekarang , entah ke mana. Ian bingung harus bilang apa nanti.
Metromini yang ditumpanginya sudah sarat penumpang.
Sesarat hatinya yang kacau. Matanya menatap keluar jendela: pemandangan Jakarta pada pukul 13.00 yang panas. Pemandangan yang menyapa hati Ian yang masih terasa nggak enak. Metromini memasuki daerah Mampang yang macet. , Matahari yang panas semakin garang, bau knalpot, bau karat besi Metromini, bau keringat. Dipandangnya satu-satu penumpang di sekitarnya. Bapak tua dengan peci lusuh, maha-siswi yang menatap kosong, anak sekolah yang berdiri di depannya dengan tas penuh corat-coret, ibu tua dengan makeup berlebihan, kernet yang teriak-teriak nggak jelas, sopir metromini yang suka ngerem mendadak. Semuanya terekam dan menambah ganjalan di hati Ian.
Trek... trek., trek.... Kernet mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca metromini. Sopir mengerem mendadak.
Dengan menggerutu, Ian keluar dari bus yang penuh sesak itu. Gue emang nggak pernah suka sama Jakarta..., hati Ian kesel, Gara-gara ada kejadian nggak enak, pikiran gue jadi negatif dan inget sama hal-hal yang negatif.
Sambil beijalan menunduk, Ian beijalan malas memasuki kampusnya. Panas matahari semakin beringas, menambah panas otaknya. Semua brengsek! rutuk Ian dalam hati. Segelas air mineral dengan cepat membilas tenggorokan Ian. Cukuplah untuk membuat sejuk hati Ian sebelum memasuki ruangan dosennya yang suhu pendinginnya bak di Kutub Utara. Ian mulai tenang.
"Halo, Bos..." Pak Sukonto Legowo menyapa Ian dengan panggilan yang lain dari biasanya, tampangnya yang serem terlihat berseri-seri.
"Selamat siang, Pak," Ian menarik napas agak lega. Panggilan akrab dan senyum tulus dari dosennya membuat Ian sedikit bisa melepas beban yang terus menumpuk sejak mendapat telepon dari Mas Dono.
"Pasti udah selesai dong. Keren juga bayi kaget kita ini. Bisa sidang nih dua bulan lagi."
"Mmhhh...," Ian mendesis pelan sambil sedikit mengeluarkan udara malas di hidungnya.
"Pak... maaf, Pak." Melihat perubahan muka mahasiswanya ini, sang dosen langsung terdiam.
Dengan lancar dan sedikit kesal, Ian menumpahkan segala masalahnya kepada dosennya—yang ternyata sangat ahli dalam mendengarkan. Ada rasa nyaman yang mengalir di kepalanya.
Begitu Ian selesai curhat, tanpa sedikit pun komentar, sang dosen mengambil sebuah company profile.
"Kamu teliti ke sini aja deh..." katanya sambil menyerahkan company profile itu. "Saya memang nggak ada koneksi di sana, tapi kamu harus usaha lagi ya. Kantornya deket kok, kamu bikin surat penelitian lagi, besok kamu ke sana. Yah tinggal nyebrang kok dari sini. Kamu tahu kan gedungnya?"
Ian mengambil berkas yang disodorkan dosennya, melihat-lihatnya sebentar. Keraguan Ian tertangkap di mata sang dosen.
"Kamu coba dulu, Yan...," senyum sang dosen mengembang bijak.
Dia memang baik, batin Ian.
"Kamu kurang tidur ya? Di bawah mata kamu ada bekas hitam."
"Iya, Pak. Saya baca buku dan ngerjain kerangka bab-bab selanjutnya supaya nanti bisa cepet Tiap malem saya tidur larut sekali," jawab Ian pelan dan jujur.
"Begitu dongl Dulu katanya kamu nggak doyan baca."
"Sekarang udah suka, Pak. Seneng nulis juga, Pak."
Bapak Dosen ini menangkap kerut muka Ian yang kelu, mata yang sayu, dan wajah yang sepertinya terbebani dengan kesedihan. Naluri kemanusiaannya mengatakan Ian masih terbenam dalam kesedihan gara-gara kuisioner pertamanya. Pak Legowo tersenyum kecil.
uEmotional Intelligent udah kamu lahap semua?"
"Udah, Pak. Saya ringkas juga yang penting-penting."
"Kalo gitu boleh saya tes?"
Ian bengong, tapi bukan bengong takut ditanya, entah kenapa untuk pertama kalinya otak Ian memberikan sinyal yang terjemahannya: "Siapa takut? Tanyain aja."
Ian jadi kaget sendiri, Kok gue jadi semangat gini?
"IQ,tahu?"
"Intelectual Quotient...."
"Itu mah kepanjangannya. Artinya apa?"
Ian mencoba menjawab. "Tingkat kecerdasan seseorang yang diukur memakai derajat kecerdasan intelektual, bisa dites pake tes IQ, pokoknya kecerdasan yang menyangkut aspek-aspek nyata manusia. Misalnya, dalam 'menerima dan menangkap pelajaran. Intinya, kebanyakan orang yang IQriya tinggi pasti, bisa dibilang pinterlah, Pak. Kecerdasan rasional, dua tambah dua sama dengan empat."
Ian tahu jawaban itu dan udah pernah baca, tapi ribet ngomongnya.
"Hebat juga kamu, meski agak ribet...," komentar sang dosen puas. "Kalo EQ?"
"Emotional Quotient... adalah tingkat ukur buat Emotional Intellligent atau kecerdasan emosional, ya,ng udah diakui lebih penting daripada karena Kecerdasan Emotional mengambil aspek-aspek tidak nyata dari kecerdasan manusia...," jawab Ian lancar.
"Kenapa EQ lebih penting daripada IQ?"
"Karena EQmemberikan gambaran tentang sikap manusia akan dirinya yang sudah pasti punya emosi. Emosi inilah yang memegang peranan penting bagi manusia karena emosi kalau bisa dikendalikan akan sangat membantu manusia, kalau tidak bisa dikendalikan bisa berbahaya."
"Contohnya apa Ian?"
"Kalo di buku itu sih ada kisah nyata. Seorang mahasiswa yang pinter banget—pinter fisika, matematika, dan semuanya, yang selalu dapat nilai A, suatu hari dia dapat nilai B dari profesornya. Emosinya pun meluap dan langsung ngambil pisau untuk menusuk dosennya...."
"Tapi dia kan cerdas, Yan?"
"Dia emang cerdas, Pak. Kalo nggak cerdas banget gimana bisa dapat nilai A terus?"
"Tapi... dia... nggak... cerdas... secara emosi... IQnya tinggi, tapi EQjnya jongkok," Ian berkata perlahan dengan jeda.
"Kamu bener-bener udah baca semua."
"Iya, Pak. Berarti kita harus pintar-pintar jaga emosi," Ian berkata pelan lagi.
"Emosi bisa ditolak nggak, Yan?"
"Nggak. Emosi nggak kulonuwun Pak. Kalo dateng ya tau-tau dateng aja dan nggak nyadar kita udah emosi. Emosi nggak bisa ditolak, cuma bisa dikendalikan makanya kita perlu punya EQjuga, bukan hanya IQ."
Sang dosen bertanya lagi, "Otak menurut penelitian terakhir terbagi menjadi berapa?"
"Dua!"
"Apa aja?"
"Otak rasional namanya Neocortex, delapan puluh persen
«dari otak adalah Neocortex,."
"Satu lagi...?"
"Nah ini dia Pak. Namanya Limbic System, Otak Emosional kita, dari sini semua emosi berasal.... Limbic System hanya punya tempat dua puluh persen di otak, tapi megang peranan yang penting. Di Lymbic System emosi dateng tanpa undangan atau SMS atau telpon dulu. Makanya, kalo mau ngendaliin sesuatu kita harus tau tempatnya di mana. Jadi, kalo kita emosi berarti Limbic System kita lagi keija. Limbic System kecil-kecil cabe rawit.
Kalo nggak hati-hati sama dia bisa bahaya."
Jawaban Ian yang disampaikan sambil bercanda itu menambah asik diskusi mereka.
"Ada dua skills atau keahlian yang diperlukan di kecerdasan emosional. Apa aja?"
uIntrapersonal Skills sama Interpersonal skills, Pak! Yang suka ada di kolom lowongan keija itu lho... good intrapersonal and interpersonal skills."
"Interpersonal Skills itu apa?"
"Keahlian manusia untuk bergaul, mengerti emosi orang lain, membaca emosi yang teijadi di sekitarnya, kemampuan manusia untuk memahami orang lain dan mengerti orang lain, kalo bahasa anak mudanya kemampuan untuk nggak jadi orang yang 'garing™.
Gue juga tua-tua gini tahu arti 'garing\ emang lo doang! Batin sang dosen yang diam-diam bangga sama mahasiswa di depannya ini.
"Kalo Intrapersonal skills?"
"Kemampuan manusia untuk mengerti dan mengendalikan emosi yang lagi ada dalam dirinya. Kalo tadi interpersonal keluar diri, yang sekarang intra, ke dalam diri sendiri. Contohnya, nggak langsung down kalo lagi ada masalah, selalu bersemangat, tekun, kalo lagi ada masalah langsung bangkit bukannya malah tenggelam dalam pikiran negatif, selalu bangkit lagi, nggak pernah nyerah kalo ada masalah, nggak pernah nyerah kalo nemuin hambatan, Pak! Nggak pernah nye...."
"Nggak pernah apa Ian?"
"Nggak pernah nyerah, Pak."
"Apa...?" sang dosen berkata agak keras dan menatap Ian tajam.
"Nggak...
Pernah...
Nyerah...
Pak...."
Hati Ian terasa lain, semangatnya kembali hadir di dadanya.
"Selamat siang, Ian. Bisa kok semuanya selesai dalam dua bulan." Sang dosen pun berdiri dan dengan senyum puas mem-persilakan Ian keluar dari ruangannya "Nanti kamu datang lagi dengan kuisioner yang pastinya udah selesai. Saya yakin kok sama kamu."
Sekeluarnya dari ruangan, tiba-tiba Ian merasa lega. "Pasti gue bisa, gue nggak pernah mau nyerah...."
Kaki Ian berputar cepat sekali dan dalam sekejap ia sudah menjadi road runner. Ian melesat cepat ke ATM, mengantri panjang, miris melihat uangnya yang lagi low batt gara-gara skripsi.
Lari lagi, nabrak bajaj. Don't Stop Me Now memenuhi otaknya.
Ian terus berlari, nabrak tukang rujak, ngelabrak tukang fotokopi.
"200 lembar gue nggak mau tau, selesai dalam setengah jam. Kalo nggak, gue makan lo" Ian lari lagi, siap-siap bikin surat penelitian, lari ke wartel, nabrak tukang kue pancong, nabrak anak SD, diteriakin anak kecil: "Ada monster!!!" ...balik lagi ke fotokopi, nunggu lima menit, lari lagi, sekarang giliran diteriakin anak kecil dengan: "Mama... mau yang itu, pake gula!" Ian terus lari hingga ke gedung seberang—ke kantor tujuan kuisionemya.
Lagi-lagi di sana ia dikira teletubbies oleh sang resepsionis.
Ian pasrah aja sampai akhirnya bertemu dengan salah satu staf HRD yang belum dikenalnya sama sekali.
Setelah Ian mengambil napas, mereka pun ngobrol.
"Boleh-boleh aja silakan. Tapi saya nggak bisa ngasih data perusahaan ya."
"Nggak papa, Pak!" jawab Ian. Kan ada di Internet, tinggal gue download, batinnya kemudian.
"Ya d ah, taruh aja kuisionemya. Kapan mau diambil?"
"Seminggu lagi, Pak...."
"Ok. Nanti kamu telpon saya ya."
"Maaf, Bapak namanya siapa?"
"Nono Chaniago. Saya manajer di sini."
"Makasih ya Pak Nono."
Ian masih heran sama namanya.... Sambil berjalan keluar kantor diliriknya tulisan besar yang merupakan visi perusahaan itu: "Menjadi perusahaan dunia yang melayani masyarakat dan ikut berperan serta dalam melestarikan ilmu pengetahuan."
Visinya keren, kata Ian dalam hati.
Seminggu kemudian Ian menghubungi Pak Nono, yang ternyata sedang tugas keluar kota. Ian menerangkan maksudnya ke rekan Pak Nono, yang menganjurkannya untuk langsung aja datang ke kantor.
"Mbak...!"
"Dari Dufan ya?"
"Bukan Mbak. Saya mau ambil kuisioner saya, tadi udah telpon sama Pak Slamet"
"Oh Pak Slamet. Sebentar y a " Resepsionis lalu memencet intercom, "Pak Slamet ada yang cari, mahasiswa mau ambil kuisioner."
Suara tanpa wajah berteriak dari dalam, "Itu ada di bawah kamu, di lantai kolong meja, masa nggak ngeliat?"
Ian spontan ikutan melongok ke kolong meja dan menemukan dua ratus lembar tumpukan kuisionernya yang sudah rapi
"Oh ini dia. Banyak banget ya?" Mbak resepsionis mengambil setumpuk kuisioner Ian yang sudah dikemas rapi dalam plastik. Ian menerimanya dengan gembira
Tapi....
Tiba-tiba airmuka Ian berubah pilu dan lemes. Ian memejamkan matanya sebentar, menunduk, mengempaskan napas panjang sekali. Giginya bergemeletuk, Ian menggigit bibirnya sendiri.
"Mbak... kok... belum... diisi., semua?"
"Wah nggak tahu ya... saya juga baru sadar ini bungkusan udah ada di sini seminggu kok...."
"Nggak pernah dibawa masuk?"
"Pernah sekali sama Pak Nono, tapi baru lima menit langsung ditaruh sini lagi," jawab resepsionis agak gugup.
"Pak Nono lagi keluar kota?"
...mmm.
"Eh... Slamet, mahasiswa gendut yang tadi telpon nyariin gue udah dateng belum? Kasih aja kuisionemya langsung, males gue ngurusin begituan nggak ada duitnya." Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kantor.
Ian menatap resepsionis sebentar, yang mendadak menunduk pura-pura sibuk. "Terima kasih ya, Mbak."
Ian segera membereskan kuisionemya dan langsung pergi tanpa bicara lagi, tanpa menengok lagi. Sebentar pandangan Ian menangkap tulisan visi perusahaan yang terbaca dengan jelas.
:"Menjadi perusahaan dunia yang melayani masyarakat dan ikut berperan serta dalam melestarikan ilmu pengetahuan."
Ingin sekali Ian meludah saat itu juga.
IAN TAMPAK terduduk di bangku tukang teh botol yang sering mangkal di kolong jembatan penyeberangan. Jalan utama Jakarta menunggu malam, macet, suara klakson terdengar di mana-mana. Pegawai kantor dengan tampang lelah mondar-mandir di depan Ian. Langit Jakarta yang mulai meredup dan agak hitam menemani pikirannya yang sedang nggak di situ.
Pikirannya melayang-layang, segala macam bentuk kemarahan, tipu daya memenuhi mata Ian.
Sambil menyedot minumannya yang hampir habis, Ian berkata sendiri dalam hati, Gila... masa dua kali begini... abis deh gue. Bilang kek kalo nggak mau diteliti... abis waktu gue seminggu sia-sia bener.
Bayangan kampusnya di seberang jalan dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan menambah dramatis, kelu, dan pilu di hati Ian. Gilaa... tinggal sebulan lebih seminggu lagi... kalo gue nggak, sidang tahun ini, gue nunggu semester depan... enam bulan lagi, abis lagi waktu gue..kapan gue lulus?"
Sejenak bayangan teman-temannya melintas di benaknya: Genta... Zafran... Riani... Arial. Gila... kangen banget gue sama mereka. Coba mereka ada di sini sekarang,....
"Mas... jam berapa?" tiba-tiba Ian dikagetkan oleh pertanyaan seorang laki-laki berpakaian keija, tampang lelah tampak membebani wajahnya,
'Jam enam kurang lima."
"Makasih ya, Mas."
Ian hanya mengangguk.
"Mas ada api?" tanya laki-laki itu lagi.
"Ada...!" jawab Ian sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan korek gas.
"Rokok, Mas?" sebungkus Sampoema Mild tersodor ke hadapan Ian.
Sejenak Ian ragu, tapi kemudian menarik sebatang. "Mm...
iya, Mas. Makasih."
Karena udah ikut menikmati rokok orang yang belum dikenalnya itu, Ian pun berbasa-basi, "Pulang keija, Mas?"
"Yo'i...."
"Keija di mana?"
"Di sana tuh gedungnya...," jawab laki-laki itu sambil menunjuk sebuah gedung bank swasta terkenal di depan kampus Ian."
"Bagian apa, Mas?"
"HRD."
Mata Ian membeliak. Sepancar wajah cerah terpancar.
"Wah Mas kebetulan nih. Saya lagi bikin skripsi tentang HRD, tapi mau bagi kuisionernya nggak ada yang mau terima. Mas mau nggak?"
"Boleh gue liat?"
Sebelum menyerahkan kuisioner, Ian mengulurkan tangannya dan tersenyum, "Ian...."
"Fajar...."
"Ini, Mas, kuisionemya."
"Nggak usah panggil Mas. Fajar aja. Lo juga nggak mau dipanggil Mas kan?"
"Oke deh."
Baru membaca sebentar, Fajar berteriak agak keras, "Lho?
Ini kan yang lagi diteliti tim gue di kantor. Wah, bagus-bagus nih pertanyaanya... pas banget nih... gue sebarin di kantor gue aja ya... oke?" Fajar menatap Ian seneng dan agak maksa.
Tentu aja Ian mau, malah kesenengan sendiri. "Tapi yang cepet ya, Mas. Saya cuma punya waktu sebulan lebih dikit lagi...
seminggu aja ya, Mas?"
"Seminggu? Tiga hari juga kelar."
BENAR. T I G A hari kemudian Ian mendapatkan kuisionemya sudah terisi dua ratus lembar pas dan lengkap. Setelah kekenyangan ditraktir Fajar di restoran terkenal sebagai tanda terima kasih karena udah bantuin keijaannya, Ian pun menghadap dosennyar-yang ternyata bukan sekadar bimbingan, tapi ajang curhat.
Hari-hari selanjutnya Ian mengisi waktunya bersama Sikompibaiksekalitemenlan dengan mengetik, membaca, bikin tabel, belajar statistik, belajar SPSS, bolak-balik ke kampus hingga mata jadi sayu kurang tidur. Kangen Genta, kangen Zafran, kangen Arial, kangen Riani
Carpediem!*
Ian membetulkan dasinya di kamar mandi kampus, mencuci mukanya, entah udah untuk yang keberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi cuma buat cuci muka.
"Kira-kira 10 menit lagi giliran gue."
* Rebut hari ini...!
Ian teringat saat tadi pagi minta restu sama Papa-Mama.
Setelah beberapa tahun nggak cium tangan orang tua sebelum pergi kuliah, pagi itu Ian mencium tangan orang tuanya. Ada sedikit sedih di hati Ian karena tangan Papa-Mama sudah tidak sehalus dulu lagi. Ian bisa ngerasain kulit keriput di tangan mereka.
Berbekal doa dari orang tuanya, Ian merasa siap menghadapi apa aja hari itu.
Ian masih tertunduk berdoa sambil memegang erat skripsinya. Dia langsung berdiri saat namanya dipanggil untuk masuk ke ruang sidang.
"Assalamualaikum Wr.Wb.... Selamat pagi, Salam Sejahtera.
Nama Saya Adrian Adriano. Hari ini saya akan memper-tanggungjawabkan tugas akhir saya...."
Ian berada di ruangan sidang itu sekitar satu jam lima belas menit. Semua pertanyaan bisa dijawabnya dengan lancar, semua isi skripsi udah ada di otaknya, nggak ada yang bisa bikin ia berhenti di hari itu. Ian on fire, Don't Stop Me Noun iya Queen terus mengalun penuh semangat di otak Ian. Semua yang keluar dari mulut Ian adalah kejelasan dari berbagai partikel yang selama ini dia pelajari dan telah memperkaya dirinya dengan berbagai macam keajaiban alam semesta yang luar biasa Sekali lagi, semesta pada hari itu telah menurunkan ilmu pengetahuan ke seorang anak manusia yang tidak punya kewajiban lain selain mengingatnya melestarikannya, mengamalkannya, demi ilmu pengetahuan.
*
Jakarta menunggu sore.
"Adrian Adriano...."
"A!!!"
" Yes\n Ian bersorak gembira ketika nama dan hasil sidangnya diumumkan. Saat itu juga Ian melesat cepat sekali ke ruangan dosennya. Bayangan teman-temannya yang sedang tersenyum kepadanya ikut berkejaran, berlarian. Ian langsung memeluk dosennya sambil menahan cekat di tenggorokannya dan mata yang hampir berair. Ian berkata lembut, "Saya... nggak... akan...
pernah... lupa... jasa... Bapak... nggak akan pernah."
Sang dosen kaget setengah mati dipeluk Gajah Bledug Dufan dengan seragam putih hitam berdasi itu.
"Terima kasih, Pak."
"Selamat ya, Bos." Sang dosen pun tersenyum dan mengulurkan tangannya. Ian menerima jabat tangan itu keras dengan mata masih berair. Ditatapnya sang dosen penuh arti.
Lulus juga gue, kata Ian dalam hati.
"Saya bangga sekali sama kamu tadi di ruang sidang. Kamu menguasai semuanya."
"Terima kasih, Pak...."
"Semua ini keija keras kamu selama dua bulan, nggak ada kata nyerah di kamus kamu ya," kata sang dosen sambil tersenyum.
"Itu kan bapak juga yang ngajarin."
"Saya cuma perantara. Kamu sendiri dengan izin dari yang Mahakuasa berhasil membawa diri kamu sendiri ke situ dan mengambil keputusan yang tepat."
Ian tertunduk. "Untung juga ada Mas Fajar yang bantu
.saya di kuisioner. Hoki banget saya, Pak! Coba kalo nggak ada Mas Fajar sore itu, gawat juga. Mungkin nggak selesai," Ian berkata senang.
"Ian... Bapak... minta... kamu... jangan... percaya... sama...hoki." Sebelum meneruskan bicaranya, sang dosen menarik napas dan menatap Ian tajam, "Mas Fajar ada di situ, sore itu, bukan karena kamu hoki, tapi keija keras kamu selama ini yang telah kamu tanam dengan terus tekun dan pantang menyerah dalam menjalankannya. Apa yang kamu keijakan itu akhirnya menumpuk dan menunggu untuk dibalas. Ketegaran kamu, ketikan kamu yang beijam-jam, waktu yang kamu habiskan buat baca, waktu yang kamu habiskan buat bolak- balik ke mana-mana. Mata kamu yang selalu terlihat lelah karena kurang tidur, keteguhan kamu, semua biaya yang orang tua kamu keluar-kan, restu orang tua kamu, semuanya nggak pernah sia-sia."
"Semua akhirnya menumpuk dalam keranjang dharma kamu, menumpuk tinggi, menunggu untuk diberikan ke kamu, dan akhirnya Yang Mahakuasa memberikannya padamu dengan berbagai cara yang DIA mau. Salah satunya dengan ketemu Mas Fajar di sore itu. Saya, semenjak kamu cerita, sudah nggak percaya kalo Mas Fajar adalah satu kebetulan. Mas Fajar adalah perantara yang dikirim untuk membalas dharma kamu. Semua usaha kamu selama ini, semua yang telah kamu tanam akhirnya kamu petik."
Ian terdiam... matanya menatap ke dosennya penuh arti.
Sekilas bayang- bayang peluangannya yang bisa bikin stres dan jumpalitan selama dua bulan ini lewat di matanya. Omongan Pak Sukonto Legowo seperti kelembutan yang mengalir mengisi hatinya. Dosennya benar, nggak ada yang namanya hoki, tapi kerja keras dengan hati yang nggak kenal nyerah, teguh, dan, tulus.
"Selamat ya, Ian... sekali lagi, Bapak bangga sama kamu...."
"Iya, Pak, terima kasih...," Ian menatap tajam dosennya.
Selamat sore Ian... Bapak masih ada kelas. Nanti kita bisa ketemu lagi"
"Terima kasih, Pak."
Ian menghambur memeluk Pak Sukonto Legowo sekali lagi... dan langsung ke kamar mandi, menelepon mamanya.
"Ma..., Ian... udah... lulus... terima kasih... doanya... Ian...
sayang... Mama... sayang... Papa..., terima kasih... ya... Ma."
"Ian...sayang...Mama..."
Kalimat itu lalu disusul tangis bahagia dan haru yang sudah tak dapat ditahannya lagi.
Seperti biasa, Bapak Sukonto Legowo siap mengajar lagi.
Ia bawa buku- bukunya, melewati lorong kelas yang sudah sering dilewatinya hampir selama dua puluh tahun. Dinding-dinding yang sama tua dengannya, koyakan dinding tua yang terkelupas seakan menyapa ramah. Matahari sore yang bersinar lemah di antara daun-daun tinggi taman kampus ikut tersenyum ramah.
Matahari seakan juga ikut bercerita kepada daun-daun taman kampus, kepada gedung kampus, juga kepada buku yang dibawa sang dosen, betapa selama ini sang dosen telah menjadikan seseorang bisa beijalan dalam dunia ilmu ke tingkat selanjutnya, membuatkan anak tangga pengetahuan ke setiap anak manusia yang dibimbingnya. Bagaimanapun sang dosen telah berbuat banyak dalam melestarikan ilmu pengetahuan, betapa sang dosen telah banyak menyentuh kehidupan di sekitarnya, dan betapa sedikit manusia yang mengetahuinya dan meng-hargainya.
Tinta bagi seorang pelajar lebih suci nilainya daripada darah seorang martir
(Muhammad SAW)

Bersambung Ke BAB 6 >>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates