Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm. BAB 4/10

<<< SEBELUMNYA


Wings to Fly
...seorang cowok memakaikan jaketnya ke cewek.
Gue sering banget liat adegannya di film dan coba mengartikannya dengan apa aja, tapi sekarang gue ngerasain sendiri, rasanya lain banget...
SABTU SIANG menjelang sore.
Arial teijebak di antara kemacetan pintu tol Cibubur. Lengan kekarnya yang memegang stir keras merekam kepenatan di dalam dirinya.
"Rumahnya jauh banget sih...," batin Arial dalam hati.
Arial pun bernapas lega ketika akhirnya mobilnya dapat melewati kepenatan pintu tol, kakinya refleks menginjak gas, mencurahkan segala kekesalannya yang membuat mobilnya melaju kencang melawan siang menjelang sore di daerah Cibubur.
Matahari sore masih labil di antara siang menjelang sore.
Ubartiba bunyi SMS memenuhi mobil Arial.
Indy_cantik: udah di mana kamu?
Arial: 10 menit lagi. kamu langsung tunggu di depan aja langsung berangkat udah sore nih, macet banget dari tadi.
SMS Arial menandakan dia udah mulai kenal kalimat dalam membalas SMS. Makanya, Indy juga seneng. Udah satu bulan ini akhirnya Arial memutuskan untuk mengenal Indy lebih dekat—wanita inceran Arial yang dikenalnya di tempat fitness.
Mobil Arial berjalan perlahan di sebuah kompleks perumahan daerah Cibubur. Dari kejauhan terlihat sosok Indy yang semampai. Wajah Indy yang banyak dideskripsikan oleh kaum laki-laki sebagai " nggak cantik sih, tapi enak aja diliatnyaT. Tapi, menurut Arial deskripsi itu perlu sedikit ditambahi kata-kata,
"nggak cantik sih, tapi enak aja diliat dan lo nggak bakalan bosen deh ngeliatnya."

Indy serasi sekali sore itu dengan kaos katun ketat biru dan jins boot cut hitam. Rambut lurusnya dipinggirkan membelah keningnya, membuat Arial lupa sama macet.
"Halo," Arial menyambut Indy yang langsung duduk di sebelahnya.
"Kenapa lama?" sambil menyambut senyum Arial, Indy meletakkan tas di pahanya.
"Macet banget. Rese.... Eh nggak bilang nyokap bokap?"
jawab Arial sambil melirik ke rumah Indy yang sederhana tapi asri.
"Lagi pada pergi. Udah langsung cabut aja."
"Ok... Ibu Indy... saya siap mengantarkan Ibu Indy ke mana aja...," Arial bercanda seneng. Udah sebulan ini Arial dan Indy selalu berdua ke mana-mana. Arial yang ganteng-kekar-perkasa dan selalu minum suplemen sebenarnya nggak terlalu banyak punya pengalaman dengan wanita. Jadi, dia merasa waktu sebulan ini sungguh menakjubkan, selain dililit rasa kangen pada teman-teman gilanya—dan itu harus ditunggunya liingga tanggal 14
Agustus—sudah sebulan ini wajah Indy yang nggak ngebosenin selalu menemaninya setiap hari.
Tangan Arial yang kekar dan berurat halus memasukkan perseneling ke gigi satu dan mereka pun meluncur ke Bogor.
"Acaranya jam berapa? Sekarang udah jam lima lho," Arial bertanya ke Indy sambil melihat kulit muka Indy yang kuning langsat, dengan sedikit bayangan matahari sore di pipi kanannya.
Indy punya tulang pipi yang sempurna... punya Julia Roberts (Arial lagi jatuh cinta... asik).
"Abis magrib," Indy menjawab sambil mengeluarkan tas makeup-nya..
"Kamu udah asar belum?" tanya Indy pelan sambil me-nyapukan blast on ke pipinya.
"Belum... hehehe...," sambil tertawa kecil Arial menjawab pertanyaan Indy.
Sekali lagi ini yang Arial suka dari Indy, selalu mengingatkan dirinya untuk salat—suatu kewajiban yang sering dia tinggalkan.
"Dasar... nggak apa, tapi nanti harus magrib yaa!"
"Iya," Arial menjawab pelan.
"Kamu belum cerita siapa yang ulang tahun?"
"Temen SMA. Dia dulu tetangga di Cibubur, tapi sekarang pindah ke Bogor," jawab Indy sambil nggak lepas dari kewajiban cantik wanita lewat makeup.
"Dia masih inget kamu?"
"Kita kan dulu deket banget, temen curhat gitu-iah."
"Oh... kirain tadi acaranya jam 4...."
"Jam 4? Emangnya ulang tahun anak kecil yang pake undangan kartu kecil gitu sama jam kosong buat kita gambari sendiri jarumnya?"
Arial tertawa mendengar celotehan Indy
"Yo'i yang tulisannya... pasti pakai ch," sambut Arial.
"Apa tuh ce-ha?"
"Datang yach ke ulang tahunku, pasti acaranya rame banget nich," Arial memperpanjang omongan mereka.
Indy pun tertawa.
"Yang ada permen karet bulet warna-warni sama wafer Superman," sambut Indy lagi.
"Yang ada kue biskuitnya kecil-kecil bulet sama ada gula-gula aneka warna di atasnya," kata Arial sambil ngakak.
"Kadang-kadang Indy ambil gula-gulanya aja tuh, abisnya manis, biskuitnya Indy buang," Indy melanjutkan kalimatnya sambil tertawa renyah.
Arial terdiam dan membatin, sama... gue juga dulu kayak gitu, ngambil gula-gulanya doang.
Arial chating sendiri sama suara di hatinya. Apa malem ini aja ya gue bilang ke Indy? Tapi gue nggak tau dianya suka apa nggak.
Tapi dia kan perhatian banget sama gue. Ah tau ah, tunggu aja waktu yang tepat, nanti aja deh... eh nggak deh... nanti aja deh....
Chating Arial dengan hatinya pun selesai karena suara hatinya ngingetin Arial kalau dia lagi di tol dan enggak boleh bengong.
Through the Fire dari Chaka Khan dari audio CD mobil Arial menemani mereka sepanjang Jagorawi, ditemani matahari sore yang udah mulai nggak panas.
Through the fire
Through the limit
Through the wall
For a chance to be with you
I gladly risk it all
Through the fire
Through whatever come what may
For a chance of loving you
I take it all away
Right down to the wild
Even through the fire
Iya harus bilang nih... Even through the Fire, suara di otaknya menyemangati Arial. Arial ngayal sendiri.
"Pelan amat sih nyetimya...?" Indy yang udah selesai makeup membuka pembicaraan. Soalnya, ia melihat banyak mobil di sekitar mereka yang melaju kencang, bahkan ada yang menyusul dari bahu jalan.
"Kalo di tol minimum 40 km per jam, maksimal 80 km per jam. Tuh ada tulisannya," kata Arial polos tanpa maksud bercanda.
Indy tertawa sendiri sekaligus agak bete. Selama sebulan ini memang dia udah mulai mengenal Arial yang apa adanya dan " live by the rules". Indy memang suka sama Arial pada pandangan pertama, tapi kepolosan dan kedataran Arial di-anggapnya nggak "rebel" banget. Laki-laki kan seharusnya bandel sedikit lah. Faktor inilah yang membuat Indy sedikit ragu apakah hubungan ini akan ia bawa ke tahap yang lebih?
Sampai suatu saat Indy membuat keputusan kalau lebih baik Arial jadi temen aja, abis kalau ngomong nyambung dan bisa nggak abis-abis. Tapi kaloArialnya mau lebih gimana? ada suara lagi yang muncul di pikiran Indy.
"Ada uang lima ratus nggak?" Arial tiba-tiba memecah bengongnya Indy.
"Kenapa?"
"Mau bayar tol!"
"Itu ada lima ribuan."
"Kan ada tulisannya tuh kalo bayar tol harus pakai uang pas.
Ini ada tiga ribu, aku nggak ada lima ratusan," kata Arial datar.
"Pakai lima ribuan aja."
"Enggak mau, kan harus uang pas."
"Ya ampun kamu tuh yee...," Indy ngomong agak keras sambil membuka dompetnya dan memberikan uang lima ratusan logam ke Arial.
"Nih."
Tangan halus Indy menyerahkan lima ratusan logam ke Arial, sedikit sentuhan di kedua tangan mereka membuat desir-desir tiga detik di hati mereka berdua. Indy kesel, Arial begitu amat sih. Tapi, kok tadi hatiku sedikit bergerak sewaktu tangannya menyentuh telapak tangan Arial yang besar? Indy bingung.
Matanya sedikit melirik Arial yang sore itu memakai kemeja hitam dengan celana permanent press cokelat tua.
Arial memang menawan di penglihatan Indy. Rambutnya yang dipotong tipis, raut muka Arial yang agak persegi dengan dagu yang kasar dan cambang yang panjang melebihi telinga, bulu-bulu tajam yang kecil sehabis cukur membentuk garis-garis dengan titik-titik tajam yang bertebaran sampai dagu. Indy yang pernah pacar an inget banget bagaimana ia dulu kalau lagi manja suka sekali membelai kasarnya pipi cowok dan merasakan sedikit tajam-tajam di telapak tangannya, dari cambang ke dagu.
Leher Arial yang kekar dengan jakun yang menonjol, dada Arial yang bidang, Indy ingin sekali meyandarkan kepalanya di situ.
Paha Arial yang besar. Dan terus ke dalamnya... terus... dan terus, walaupun kewanitaan Indy menyangkal, sesuatu dalam diri Indy mengkhayal sampai ke hal yang dapat membangkitkan libido kewanitaannya, sangat normal bagi wanita usia dua puluhan seperti Indy.
Hati Indy tegas menyangkal, Indy tidak pernah mementingkan fisik seseorang.
"Heh bengong, udah sampai Bogor nih...," Arial meyenggol bahu Indy.
Indy kaget sendiri, takut ketahuan kalau matanya tadi melirik sedikit ke daerah di antara kedua paha Arial. Untung aja Arial enggak ngeliat.
Bogor sore menunggu malam pun menyambut mereka.
"Rumahnya di mana?" Arial bertanya sambil menghentikan mobilnya di lampu merah.
"Aku sih nyebutnya Cisangkuy... deket kok dari tol...," jawab Indy sambil mencodongkan tubuhnya ke depan.
"Kasih tau ya... kamu tau?"
"Tau... udah pernah ke sana kok."
Di antara keriuhan Bogor menunggu malam dengan angkotnya yang banyak dan berwarna seperti permen, mereka pergi ke daerah yang dibilang Cisangkuy itu. Arial sebentar melirik Indy, suara-suara di kepalanya masih bersahut-sahutan bilang... nggak...
bilang... nggak... bilang... nggak. Arial memang selalu apa adanya dan biasa-biasa aja. Dulu, sewaktu Arial dan gerombolan Rangers SMA sering pulang naik bus bareng-bareng, sebelum naik pasti Arial melihat uangnya dahulu—sesuai tidak dengan ongkos bus. Kalau uangnya nggak pas dia akan tukarkan dulu ke warung karena patuh pada tulisan di bus: "bayarlah dengan uang pas".
Arial juga berhenti merokok gara-gara menderita tekanan batin karena di mana-mana ada tulisan "dilarang merokok".
Semua tulisan yang pernah Arial baca, di mana pun, pasti Arial turuti apa adanya. Larangan "dilarang mengeluarkan anggota badan", Arial pun turuti, nggak kayak teman-temannya yang gembira bergelayut di pintu bus atau mengeluarkan kepalanya dari jendela. Tulisan "Jagalah kebersihan, buanglah sampah pada tempatnya", juga dipatuhi Arial dengan mencari tempat sampah. Malah ia juga pernah mungutin sampah yang sedikit berserakan. Waktu mereka ke Bandung tengah malam dan di tol membaca tulisan "NYOPIR JANGAN NGANTUK , NGANTUK JANGAN NYOPIR" secara tiba-tiba Arial berhenti di jalan tol karena baru aja menguap dan minta digantikan nyupirnya. Kalo Arial menginap di rumah Genta dan ada tulisan TAMU 1 X 24 JAM HARAP LAPOR, Arial pun lapor ke Pak RT, bikin Genta jadi senewen.
"Tuh rumahnya."
Kijang Arial memasuki daerah perumahan di Cisangkuy yang rimbun.
"Parkirnya jauh nih, banyak mobil," ujar Indy sambil melihat ke Arial.
"Yang penting nggak ada tanda P dicoret, berarti kita boleh parkir di mana aja," kata Arial datar.
Indy pun maklum. Arial parkir agak jauh dan mereka berdua pun beijalan bareng—serasi sekali. Indy yang memang agak tinggi untuk ukuran cewek, sebanding dengan Arial yang tegap. Lengangnya Cisangkuy dan datangnya malam di Bogor menyambut mereka kala mereka beijalan berdua. Udara yang berada di antara mereka berdua berbicara sendiri, menimbulkan resah yang menggigit di telapak tangan masing-masing yang ingin bersentuhan dalam gandengan.
Memasuki rumah Asri yang sedang berulang tahun, keramaian menyambut mereka.
"Halo Indy... dateng juga lo. Sama siapa? Kenalin dong?
Asri yang berulang tahun memeluk Indy, langsung cipika cipiki.
"Asri ini Arial. Arial ini Asri...."
Arial tersenyum. Kerumunan teman-teman Asri yang sedang bercanda riuh dan tertawa ramai menyambut mereka.
Tiba-tiba Arial kangen banget sama teman-temannya. Lagi ngapainy aa mereka? batin Arial sambil menarik napas panjang.
Asri menggamit tangan Indy untuk diculik ke belakang sebentar. Kebiasaan wanita, kalau udah ketemu teman yang cocok, bawaannya pasti mau ngobrol berdua sendirian.
"Lucu banget, Dy...siapa tuh?"
Kaum wanita memang senang menyembunyikan rasa
ketertarikan mereka pada lawan jenisnya dengan mengimbuh-kan kata "lucu", yang entah konotasinya apa.
"Udah jadian belum...?" tanya Asri.
"Tau nih bingung...."
Indy lalu bercerita sedikit tentang Arial.
"Kayaknya jadi temen aja deh..." Indy berkata lembut sambil membasahi bibir tipisnya dengan segelas air putih.
"Rugi lo, atletis boo...," celetuk Asri sambil melirik Arial yang sedang duduk di kejauhan.
"Lo kan tau, buat gue fisik nggak pernah penting. Udah ah, kasihan tuh sendirian, mati gaya dia," jawab Indy sambil menghabiskan air putihnya, lalu berjalan ke Arial.
Bogor, malam hari
Setelah sekitar satu setengah j a m di rumah Asri yang bikin Arial kangen sama temen-temennya, mereka pun pamit pulang. Di pesta tadi, selain bayang-bayang teman-temannya, mata Arial tak pernah lepas dari Indy yang malam itu begitu anggun. Sampai akhirnya Arial udah mantap untuk bilang ke Indy semuanya malam ini.
Suara-suara di pikiran Arial pun mendukung dengan pernyataan yang sangat laki-laki: "bilang nggak bilang, laki-laki nggak pernah boleh nyesel".
"Mau ke mana lagi, Bu?" kata Arial sambil menyalakan mobilnya.
"Nggak tau nih. Tapi aku lagi males pulang."
"Sama."
Tiba-tiba Arial punya ide cemerlang, sekaligus yang akan melancarkan misi sucinya. "Ke Puncak aja yuk, kan deket."
"Ngapain T* Indy juga rada tertarik
"Ada tempat, punya keluarga besar gu* di sana, deket-deket puncak pas. Kayak vila gitu deh. Kita ngobrol-ngorol aja. Di jalan kita beli jagung bakar, duren, sama bandrek. Gimana?"
"Tapi jangan macem-macem ya, Pak!" mata Indy menatap mata Arial.
"Maksudnya?" Arial yang nggak ngerti maksud Indy, bertanya sambil mengerutkan keningnya.
Indy akhirnya nyadar, Arial yang emang polos dan baik nggak akan pernah punya pikiran macem-macem.
"Nggak," Indy menjawab sebentar. "Oke, kita ke Puncak,"
kata Indy sambil menoleh dan memberikan senyum manis dari bibirnya yang tipis dan panjang ke Arial.
Arial kesenengan sendiri. Mereka pun meluncur ke Puncak dan seperti rencana, membeli bandrek, jagung bakar, dan duren—yang akhirnya sebagai wanita Indy harus turun tangan untuk tawar-menawar karena Arial yang apa adanya tidak pernah mau menawar harga yang udah di-mark up sama penjualnya.
Satu lagi keajaiban kaum wanita yang emang paling sadis kalo menawar harga. Pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan jurus terakhir dan paling ampuh dalam tawar-menawar, yaitu pura-pura pergi sambil pasang kuping...
yang kalo harganya nggak sadis-sadis amat pastinya nanti akan dipanggil penjualnya.
Lima menit setelah puncak pas. Puncak raya mulai me-madat.
"Katanya daerah Puncak pass,., ini udah lebih."
"Itu jalan masuknya...," kata Arial sambil menunjuk sebuah jalan masuk kecil.
Jalan masuk yang hanya pas untuk dua mobil kecil itu pun'
mereka lalui, melewati pepohonan besar yang bergandengan dengan cemara di kiri dan kanan mereka.
"Matiin AC-nya aja yah... di luar pasti udah dingin," Arial mematikan AC dan memencet power window.
Indy yang juga lagi penat sama Jakarta, melakukan hal yang sama. Dia menyembulkan sedikit wajahnya ke luar, menikmati udara malam di Puncak yang dingin, membiarkan udara meraba-raba wajahnya yang bersih. Sebentar Indy memejamkan matanya, merasakan angin dingin.
Arial yang ngeliat Indy jadi ketawa sendiri.
"Kenapa ketawa?" tanya Indy sambil menoleh cepat, memasang tampang galak dan sedikit senyum yang biasa dipakai wanita kalo mau manja.
"Kamu kayak anak kecil."
"Daripada kamu... sama apa aja nurut."
"Biarin" jawab Arial datar sambil memandang lurus ke depan, lampu dasbor yang seadanya di antara kegelapan menerangi wajah Arial yang bikin gemes Indy. Indy pun nggak tahan dan nyubit lengan Arial.
"Mmmhh... Arial jelek."
Pilinan jari-jari Indy di lengan Arial yang kekar tadi membuat Arial terbang.
"Ih keras banget badannya...."
"Barbelan terus...," kata Arial datar.
"Apa tuh barbelan?"
"Ngangkat barbel."
Indy tertawa mendengar istilah Arial yang menurutnya ajaib.
Arial selalu bisa bikin Indy ketawa melulu, batin Indy dalam hati.
Di depan mereka terbentang bantaran lampu-lampu kota yang indah, dengan bingkai bukit dan jejeran cemara yang menghitam gelap.
Ninety nine... Ive been waiting so long
Oh ninety nine... how can we be alone
Oh ninety nine... I love you
I never knew it could happened
I f eel quite the same
I don't want to hurt you any more
I never knew it would work out
No one to blame
You know I love you ninety nine
"Tau nggak lagu siapa nih?" Indy bertanya ke Arial.
"Taulah... ini kan CD gue, lagunya Toto," jawab Arial sambil menoleh ke Indy.
"Gue suka banget sama Toto," kata Indy pelan.
"Sama dong...," sahut Auial.
"Udah pernah lihat video klipnya Ninety Nine belum?" tanya Arial.
"Belum."
"Keren deh. Jadi ceritanya di masa depan ada suatu keadaan di mana seluruh manusia udah nggak pakai nama lagi."
"Maksudnya?"
"Manusia udah pakai nomor sebagai identitasnya."
"Kok nggak nyambung?" Indy bertanya lagi.
"Nyambung4ah itu kan ceritanya ada cowok yang jatuh cinta sama cewek dan nomor cewek itu 99 'he fell in love with num-ber 99'," Arial menjelaskan.
Kata-kata terakhir dalam penjelasan Arial tadi sedikit menyentuh hati Indy.
Ini G.I Joe, bisa romantis juga yah? kata Indy dalam hati.
"Oh... keren juga ya, berarti lagunya juga nyeritain gitu ya?
Yang ngarang lagunya siapa? Steve Lukhater atau David Paich?"
"Nggak tau. Gue lupa, antara mereka berdua-lah atau bareng kali ya...."
"Eh kita udah sampai," Arial menarik rem tangan mobilnya.
Mobil Arial berhenti di depan gerbang sebuah vila yang berada di atas bukit kecil.
Setelah bertemu dengan penjaga vila yang udah kenal Arial dari kecil, mereka beijalan memasuki vila keluarga Arial. Arial jadi kangen lagi sama temen-temennya. Mereka juga sering ke sini kalo lagi penat sama Jakarta. Udara dingin dan angin yang bertiup agak rendah menerpa mereka kala melewati taman. Lampu taman yang bersinar redup membuat suasana menjadi teduh.
"Di sana aja yuk nongkrongnya," Arial menunjuk suatu tempat paling tinggi di vilanya—sebuah beranda yang menghadap ke sebuah lembah.
Di beranda bergaya arsitektur Spanish California dengan pencahayaan yang redup kuning cokelat, mata bening Indy dikagetkan dengan pemandangan luar biasa membentang di depan mereka.
"Keren ya... gue udah bertahun-tahun ke sini, dari kecil dan nggak pernah bosen," kata Arial.
Indy masih terdiam memandang beribu-ribu lampu kota yang berkilauan seakan melambai dan mengelus hatinya, lampu mobil yang berbaris rapi bermuara ke lautan lampu yang tidak beraturan penuh kilap, kerlap, dan kelip yang sesak di mata indah Indy. Langit hitam dengan bintang-bintangnya, sedikit awan putih yang membentuk garis menipis mengecil dan memutus, bulan yang hinggap indah di atas sana. Bayangan hitam pegunungan yang megah di kanan mereka.
"Itu Gede Pangrango kan ya?" tanya Indy sambil menunjuk ke bayangan gunung megah dan hitam di kejauhan.
"Iya. Udah pernah ke sana?"
Indy menggeleng sambil tangannya dilipatkan di dada.
Udara dingin menerpa tubuhnya sedari tadi. Cahaya lampu kuning kecokelatan memantul berkilat di rambut Indy yang hitam.
"Kamu pakai jaketku nih," Arial langsung menyodorkan jaket cokelat muda corduroy yang dibawanya dari tadi.
"Kamu nggak perlu?"
"Nggak."
Indy memakai jaket Arial, sepilas bau parfum pria bercampur sedikit bau keringat khas laki-laki memenuhi penciumannya.
Indy tersenyum sendiri dan membatin, Adegan kayak gini paling sering ada di film-film, seorang cowok ngasih jaketnya ke sang cewek untuk dipakai Lambang pelindung, superioritas, dan ke-essential-an laki-laki yang lebih tegar dari wanita, sekaligus lambang kelembutan wanita yang akan selalu memancarkan aura-aura dengan keindahan tak terhingga yang harus laki-laki jaga dan lindungi.
Setiap nonton adegan seperti ini, dulu gue sering banget mencoba meraba-raba mengartikannya. Tapi sekarang gue ngerasain sendiri...
rasanya lain banget....
"Di sini kalo menjelang pagi kita bisa ngeliat Venus, letaknya di sana, lagi sendirian pagi-pagi," kata Arial sambil menunjuk ke timur.
"Emang kenapa dia sendirian? Nggak ada yang nemenin?
Venus rada-rada garing ya anaknya?" Indy beikata lembut sambil menjatuhkan pantatnya ke bangku kayu. Matanya masih memandang keindahan di depannya.
Arial tersenyum memandang Indy. Harus malam ini, batin Arial mantap.
"Aku pernah di sana...," kata Arial sambil menunjuk ke puncak gunung Gede yang malam ini terlihat samar tertutup awan.
"Sama siapa?"
"Sama Genta dan temen-temen yang lain."
"Lo geng kamu nggak ikutan?"
"Nggak, gerombolan Tower Rangers' lagi nggak bisa ikut, cuma Genta aja."
"Kenapa namanya Gede Pangrango ya? Kok bukannya Gede aja atau Pangrango aja?" Indy bertanya sambil masih memandang Gede Pangrango dari kejauhan.
"Karena di sana ada dua puncak, puncak Gede sama puncak -
Pangrango," jawab Arial.
Sebentar Arial membayangkan petualangannya dulu sama Genta di Gunung Gede. Menikmati keindahan alam pegunungan di sana. Pertama kalinya Arial naik gunung, semuanya masih sangat membekas. Mulai dari perjalanan naik tengah malam dari Gunung Putri, kelengangan indah, dan dinginnya padang Surya Kencana, Puncak Gede, bau lembapnya hutan hujan tropis di Kandang Badak, dan turun lewat Cibodas. Arial jadi kangen sama hobinya dulu.
Genta lagi ngapain ya batin Arial lagi.
"Katanya kalo orang udah naik gunung pasti bakal kecanduan. Mau balik lagi terus," gumam Indy lembut.
"Bener banget."
Sesaat mereka berdua terdiam menikmati malam yang ikut mengisi hati mereka berdua.
"Indy...," Arial berkata pelan sekali sambil memandang lurus ke depan.
"Arial...," jawab Indy bercanda sambil balik menyebut nama Arial, tersenyum menoleh ke Arial yang masih melihat ke depan, mengumpulkan keberanian laki-laki.
"Apaan sih kamu?" Arial tersenyum geli.
Keduanya terdiam lagi. Batin kewanitaan Indy merasa ada yang ingin Arial sampaikan. Sekarangkah saatnya? Semua perasaan berkecamuk tumpang tindih berlari-lari kecil di hati Indy.
Harus jawab apa? Jawab apa? Jawab apa?
"Arial...," kata Indy pelan.
"Indy...," Arial tersenyum kecil membalas candaan yang sama seperti Indy tadi.
"Yee... bales...!" ledek Indy sambil menyenggolkan bahunya ke Arial.
"Arial jelek...," kata Indy sembari mencubit lengan Arid.
Arial pun terbang lagi, membatin lagi.
Ya ampun susah banget ngomongnya... susah, susah, susah.
Gue udah sayang banget kali ya sama makhluk ini.
Batin Arial ricuh, kalau emang buat bener-bener dan udah sayang susaaaah banget bagi laki-laki untuk mengatakannya (setuju banget!). Yang bikin senewen dari tadi adalah suara-suara kecil yang sangat mengganggu di pikiran Arial. Enggak mau...kamu dah kayak kakak sendiri Aku belum siap pacar an, kamu udah terlalu deket, aku nggak mau terikat dulu. Aku ada yang lain... aku masih mau bebas. Temen aja deh, aku masih suka inget sama dia. Aku jawab nanti kalo aku udah siap sekitar 6 bulan lagi, Arial kacau sendiri.
Tiba-tiba ada suara tegas yang menghapus semua suara kecil pesimis tadi, "Bilang nggak bilang, laki-laki nggak pernah boleh nyesel"; "Boys don't cry"; "Man gotta do what man gotta do".
Arial menarik napas panjang, mulutnya menyebut pelan nama wanita yang sudah membuat dia melayang-layang sebulan ini.
"Indy...."
Dan semuanya pun mengalir dari Arial dengan penuh kejujuran, ketegasan, dan kelaki-lakian, dengan segala argumen indah yang mengalir begitu saja, dengan segala kerinduan laki-laki yang tak terhingga dan bisa mengalahkan apa pun pada saat begini. Mengalir bersama anugerah serta kodrat laki-laki dan wanita yang akan selalu belajar mencintai, belajar dicintai, dan yang ingin selalu dicintai. Partikel-partikel mereka pun bersahutan saling berebut untuk memasuki dunia baru yang akan mereka bangun atau akan mereka hancurkan nantinya.
Meminta keyakinan untuk jangan pernah takut mencinta. Chemistry-chemistry keraguan mereka pun bertarung atas nama cinta atas, nama kerinduan, atas nama mimpi, dan atas nama bintang di atas sana yang melirik tersenyum simpul, atas nama bulan yang terdiam bijak mendengarkan mereka berdua.
Dan....
Arial pun mencium kening Indy.
Bulan pun tersenyum manis sekali malam itu, bintang memegang dadanya lega dan pelan memejamkan matanya saat wajah mereka berdekatan. Semuanya menjadi indah sekali.
Malam itu. Apakah jadi malam yang akan mereka kenang indah atau akan mereka lupakan? Saat ini mereka belum tahu untuk apa semua keindahan ini. Untuk tangiskah? Untuk tawakah?
Semuanya belum tahu. Semuanya belum terlihat, dan seperti biasa semesta di sana pun mengangguk bijak membiarkan semuanya belum terlihat jelas. Semesta hanya bisa berdoa mensyukuri sebuah cinta yang telah datang lagi dan menjumpai mereka malam itu.
Indy masih rebah di bahu Arial, menikmati keindahan malam di beranda. Sesekali ia menatap wajah Arial yang memandang lurus ke depan. Arial masih belum bisa percaya Indy akhirnya menerimanya, mempercayai genggamannya yang akan menemaninya mengarungi hari-hari mereka ke depan. Lamunan Arial itu membuat ketidaksadaran dalam tubuhnya untuk memeluk erat tubuh di sebelahnya. Batin Indy pun ikut menikmati kehangatan yang Arial berikan. Sedetik Arial membenamkan hidungnya ke rambut Indy, merasakan penciumannya bercerita tentang semuanya. Malam itu indah sekali....
Setelah bercanda dan ngetawain diri masing-masing, dua anak manusia penuh cinta itu beranjak pulang. Mereka lupa, makanan dan minuman yang tadi dibeli masih terbungkus rapi dan nggak tersentuh sama sekali.
Dengan hati yang penuh sesak oleh segala keindahan dan genggaman yang nggak pernah lepas, mereka menjauhi daerah Puncak melalui Jagorawi yang mulai sepi. Semenjak dari beranda vilanya, Arial sedetik pun tidak mau melepas genggamannya dari tangan lembut Indy. Memberontak dari segala aturan dan kepatuhannya. Mengendarai mobil pelan dengan satu tangan.
Indy pun membiarkan tangan Arial terus menggenggam tangannya erat sekali, melupakan segala aturan. Dalam genggaman Arial, malam itu Indy senang sekali, ada Arial yang akan selalu memberi-nya sayap yang akan membawa Indy menikmati masa-masanya.
Sayap yang akan membawanya terbang tinggi dengan angin-angin cinta, kerinduan, perhatian, dan mimpi-mimpi yang akan selalu menerpa lembut wajahnya, sayap yang akan selalu menjaganya.
Seandainya mungkin....
ku mampu terbang ke awan
detik ini jua... kuakan melayang ke sana
kan kubawa pula... dirimu... yang selalu kusayang...
bersama... berdua... kita... bahagia
kasih... dengarlah... hatiku berkata
aku cinta kepada... dirimu sayang...
kasih percayalah kepada diriku... hidup matiku hanya untukmu...
Alunan lembut Kasih dari Ermy Kulit menemani mereka berulang-ulang di peijalanan pulang.

Bersambung Ke BAB 5 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates