Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm. BAB 7/10

<<< SEBELUMNYA



You Are the Universe
...sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan untuk memilih. Memilih di persimpangan persimpangan kecil atau besar dalam sebuah "Big Master Plan" yang telah diberikan Tuhan kepada kita semenjak kita lahir....
MATAHARI SORE masih tersisa sedikit, menembus pepohonan dijalan desa kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan, jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas carrier besar. Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan yang sama: MAHAMERU.

"Harus naik jip ya, Ta?" Ian bertanya ke Genta yang sedang nanya-nanya ke salah satu sopir jip.
Ian dicuekin Genta yang lagi serius. Ian mencoba bertanya ke yang lain. Sama saja Semuanya menggeleng karena mereka kan juga baru pertama kali ke sini.

Genta mendadak menoleh ke Ian, "Eh Ian sori ya, betul harus naik jip karena jalannya bukan jalan biasa lagi, tapi udah mulai naik gunung, harus pakai mobil yang four wheel drive... mobil biasa nggak mungkin kuat sampai ke atas."
"Four Wheel Drive itu apa?" Dinda yang berdiri di samping Zafran ganti bertanya.
Arial menjelaskan ke adiknya. " Four Wheel drive itu penggerak empat roda. Jadinya, roda depan juga ikut bantu dorong mobil. Kalo mobil yang biasa berkeliaran di kota-kota kan cuma ban belakangnya doang yang jadi penggerak."
"Oh... gitu to."
"Buat jalan nanjak banget ya...?" tanya Riani.
"Enggak juga, buat di pasir juga," Ian menjawab pertanyaan Riani.
"Oh...."
Sopir jip yang tadi berbicara dengan Genta memberi tanda dengan melambaikan tangan dari kejauhan.
"Oke sip beres. Itu jip kita, ke sana yuk."
Rombongan beijalan ke arah jip yang ditunjuk Genta.
Beberapa pasang mata pendaki dan penduduk di situ melihat heran ke arah rombongan "Power Ranger" + Dinda ini. Beberapa laki-laki berbisik-bisik dan tersenyum melihat Riani dan Dinda.
Memang nggak terlalu banyak kaum wanita yang pergi mendaki.
Mereka menaikkan barang-barang ke dalam jip Land Rover lama yang disulap seperti bak terbuka. Semua tas carrier yang besar ditumpuk berdesakan dengan para pendaki lain yang juga ikut dalam jip. Hampir sekitar sepuluh sampai lima belas orang bisa muat berdiri berdesakan dalam jip, bahkan kadang-kadang ada yang harus duduk di atas atap depan jip. Keenam sahabat itu juga berdiri berdesakan, di antara para pendaki lain.
"Buk, buk...," badan jip tiba-tiba dipukul keras.
"Wis berangkat...."
Jip mulai beijalan perlahan, penumpang dan barang tampak berguncang-guncang. Angin sore di Tumpang menerpa wajah para penumpangnya. Jip terus beijalan menanjak melewati jalan desa. Rumah-rumah sederhana berbaur dengan wajah penduduk desa yang selalu terbengong-bengong melihat jip.
"Eh, itu kebun apel ya?" Dinda berteriak agak keras sambil menunjuk sebuah kebun berukuran agak luas di samping mereka.
"Oh iya kebun apel. Apel Malang itu mungkin dari sini ya?"
Riani tersenyum, baru sekarang ia melihat pohon apel dengan ukuran pohon yang tidak terlalu tinggi dan buah apel yang bergantung ranum Baru sekarang lihat apel ada di pohon,"
Ian menambahkan.
"Biasanya udah yang pakai stiker ya, Yan?" Zafran menoleh ke Ian.
"Itu juga bukan apel dari sini," sahut Ian lagi.
Semua pendaki yang menumpang di jip itu juga tampak terpana melihat kebun apel. Ian masih sibuk memotret kebun apel.
"Dapet gambarnya, Yan? Mobilnya goyang-goyang gini."
"Speed tinggi, bukaan (diafragma)* lebar...," jawab Ian dengan tetap memutar-mutar Lensa Nikor 75 - 300-nya.
"Oh...," Zafran mengangguk-angguk sok ngerti.
" Mas maaf Mas, saya mau bilang aja, nanti kalo bisa kameranya dibungkus rapat biar tetap hangat supaya light meter- nya nggak rusak. Apalagi Nikon F4 itu rada-rada sensitif." Tiba-tiba salah satu penumpang jip berpenampilan mahasiswa, berwajah persegi beijanggut tipis, dengan slayer oranye dan kacamata hitam menegur Ian.
"Oh gitu ya, Mas? Kenapa?"
"Di atas nanti dingin sekali. Tahun lalu light meter saya rusak, kedinginan," jawab si slayer oranye tadi sambil memperlihatkan kamera yang digantungkan di lehernya.
* Diafragma: Pengukur Intensitas cahaya dan ketajaman gambar di lensa kamera.
Ian melihat Canon EOS hitam tergantung.
"Oh gitu... makasih ya, Mas... nasihatnya"
Si slayer oranye tersenyum ramah, "Sama-sama, Mas."
"Mas dari mana?" tanya Ian.
"Saya dari Surabaya...," jawabnya lalu menyebutkan salah satu kampus teknologi terkenal di Surabaya.
"Saya Ian, Mas. Dari Jakarta."
"Deniek."
"Hah? Ada hubungan sama Deniek G Sukarya?" Ian menyebutkan nama salah satu fotografer alam terkenal di Indonesia.
"Bukan Mas, namaku sebenarnya Denie Rumianto. Biar keren aja Mas, saya sih pengagum Mas Deniek G Sukarya," Deniek menjawab pertanyaan Ian sambil tersenyum.
"Hahaha.. saya kira Deniek beneran...."
"Mas bawa Black & White (hitam putih) nggak? tanya Deniek.
'Jangan panggil Mas, Ian aja. Bawa! Gue bawa BW kok."
Deniek mengacungkan jempolnya ke Ian.
"Keren ya, Niek pakai BW di Semeni. Semuanya jadi dramatis hitam putih."
Deniek mengacungkan jempolnya lagi Ian heran, nih orang dulunya bintang iklan penyedap masakan apa? Ngasih jempol melulu. Belum tauya kalo gue juga bintang iklan No Problem?
"Pakai asa rendah BW-nya?" Deniek bertanya lagi.
"Gue bawa Dford asa 100."
"Gue bawa asa 50, Bford juga."
"Dobel?"
"Yup," kata Deniek sambil mengeluarkan satu lagi Nikon FM 10.
"Sama dong." Ian mengeluarkan satu lagi kameranya, Nikon FG 20, sebuah kamera tua.
"Wah itu kamera hebat Yan. Bandel banget tuh. Udah pake apperture (pengatur cahaya otomatis di kamera) k an?"
"Yo'i ini punya babe gue" kata Ian tersenyum. "Lensa?"
" Wide, lensa cembung (fish eyes), zoom."
"Sama... dong." Ian tersenyum.
"Filter?"
"Polarisasi." Ian dan Deniek bersamaan menyebutkan filter kamera yang bisa bikin langit bertambah biru itu berbarengan.
"Filter koreksi?" (filter yang berfungsi untuk mengoreksi warna) tanya Deniek lagi.
"Lengkap!"
"Hahaha... kita sealiran," Ian dan Deniek tertawa bareng.
"Eh Deniek, ini teman-teman gue dari Jakarta. Kenalin. Itu Genta, Arial, Zafran, Riani, dan Dinda." Ian memperkenalkan teman-temannya satu per satu.
"Hei... semuanya! Ini Deniek, dia juga seneng motret"
Kelima sahabat itu tersenyum pada Deniek.
"Ini juga teman-temanku satu kampus. Ini Darwis, Peter, Oskar."
"Hah? Kok nama fotografer terkenal semua?" Ian takjub dan bingung.
"Kebetulan," kata teman-teman Deniek berbarengan.
Jip mulai meninggalkan daerah pedesaaan, mendaki bibir lembah dengan pohon pinus tinggi di kiri-kanannya.
"Sekarang udah yang kelima. Nggak bisa bosen sama Mahameru. Mahameru itu indah sekali," terang Deniek, menjawab pertanyaan teman-teman barunya.
"Oh... sering juga ya?" Dinda ikut bertanya.
"Iya... kita sekalian mau ziarah."
"Hah?" Keenam sahabat itu mendadak terdiam dan menatap Deniek tajam.
Deniek menarik napas panjang, membuka kacamatanya lalu menatap keempat teman kampusnya. "Lima tahun lalu tepat tanggal 17 Agustus, teman baik kita satu kampus...."
"Saudara... bukan temen," salah satu teman Deniek menyela kalimat Deniek pelan.
"Saudara kita...."
Deniek menarik napas panjang lagi. "Harus meninggal di Mahameru."
Deniek seperti bergumam pelan, matanya menatap ke arah lain. "Waktu itu rombongannya ya kita ini, tambah dia satu...."
"Kenapa?" Genta ingin tahu.
Deniek menarik napas lagi. Menatap Genta, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita. Wajahnya menyimpan kesedihan yang mendalam, membuat Genta menyesal telah bertanya.
"Almarhum sahabat terbaik kita, sering nongkrong sama-sama, kita udah jadi teman sejak SMA."
Keenam sahabat itu merasa ada rasa lain yang nggak enak di hati.
"Nggak ada yang tau dia meninggal kenapa, tiba-tiba seperti hilang begitu saja ditelan bumi. Jasadnya nggak pernah ditemukan. Sudah dicari hampir satu bulan, tapi akhirnya kita dan tim SAR nyerah," Deniek menghela napas panjang. Ada yang mengganjal di hatinya, "Cuma carrien iya yang ditemukan di Arcopodo, tergeletak begitu saja. Dia entah di mana. Akhirnya, di tempat carriemya itulah kita buat batu nisan."
"Oh... maaf," keenam sahabat tercekat. Terdiam dan saling memandang satu sama lain.
Ian masih menatap Deniek. Deniek yang seakan tahu apa pertanyaan Ian, meneruskan. "Di Mahameru memang begitu, Yan. Banyak yang hilang begitu saja seperti ditelan bumi. Yang ditemukan cuma tas atau barang apa aja yang pernah melekat, tapi jasadnya entah ke mana nggak pernah ketemu. Sampai rangka tengkoraknya pim nggak pernah ada. Di mana ada barangnya ditemukan, di situ kita buat nisan buat menandakan keberadaanya terakhir."
Genta yang mendengar penjelasan Deniek jadi terdiam, menatap matahari sore yang menghangat. Perlahan dia melirik wajah temannya satu per satu—yang sepertinya masih menatap kosong ke jurang dalam di samping mereka. Batin Genta pun berdoa, "Ya, Allah... selamatkanlah mereka sahabat-sahabatku.
Semua yang terjadi adalah kehedak-Mu, semua yang hidup akan kembali kepada-Mu, kuserahkan semua ke keagungan-Mu."
Ada rasa sedikit menyesal dalam diri Genta. Akibat terlalu semangat, dia lupa memperhitungkan risiko dari semua ini. Sekali lagi Genta menatap temannya satu per satu. Bayangan orang tua dan saudara mereka—yang juga sudah kenal dekat dengan dirinya—terlintas sekilas di matanya. Genta menarik napas panjang.
Kepala Genta mendongak ke atas, menatap langit, meminta yang di atas sana mendengar doanya.
"Tapi memang peijalanan ke Mahameru itu nggak ada duanya, selalu penuh kejutan," Deniek mencoba mengalihkan pembicaraan begitu melihat teman-teman barunya seperti terlihat sedih.
"Maksudnya?" Riani bertanya ke Deniek.
"Ya seperti sekarang ini. Pakai naik jip. Seperti petualang sejati di alam terbuka pegunungan, bebas dari segala tekanan.
Anginnya lain, hawanya lain, kanan-kiri jurang tanpa pembatas jalan. Pokoknya, lengah sedikit goodbye...," jawab Deniek.
Jip masih mendaki dan berguncang-guncang. Udara dingin yang menusuk perlahan menyatu bersama angin sore, membuat sebagian penumpang mulai memakai jaket
"Ini juga salah satu petualangannya,..," Deniek dan teman-temannya tampak tersenyum dan mengangkat tangannya ke atas.
"Kayu putih!" tiba-tiba Deniek meloncat, mengambil segenggam daun dari pohon yang terjuntai rendah di atas jip yang masih merangkak mendaki.
"Apaan tuh?" Zafran tertarik.
"Tau minyak kayu putih? Cajuput oil?"
Zafran mengangguk.
"Ini daunnya," kata Deniek sambil membuka telapak tangannya. Daun hijau halus agak berserat terlihat di genggaman tangannya. "Cium deh."
Zafran menerima daun yang diulurkan Denik. Bau minyak kayu putih yang khas memenuhi penciumannya, "Gilee, persis banget baunya sama minyak kayu putih." Zafran yang masih terkesima memberikan daun itu ke teman-temannya.
"Udah mulai kedinginan belum?" Oskar angkat bicara.
"Masukkan aja ke sini." Oskar memasukan daun kayu putih tadi ke dalam sweaien iya sehingga sweater itu seperti menonjol penuh daun. "Hangat... jadinya," kata Oskar sambil tersenyum.
Keenam sahabat itu terbengong-bengong?
"Itu di depan ada lagi... siap-siap!" Deniek berteriak melihat juntaian batang rendah di depannya.
Hup\
Semuanya meloncat meraih daun yang teijuntai rendah.
Arial yang paling tinggi mengangkat tangannya, memetik segenggam daun kayu putih dan menciumnya. Kehangatan sesaat membuat Arial terpejam.
"Hangat kan? Alam memang baik sama kita. Di tempat dingin begini kita dikasih daun hangat, bukannya kaktus atau nanas... hehehe...," Deniek berujar, tersenyum ramah.
Tiba-tiba gerakan tubuh Deniek terlihat panik, Deniek menyiapkan kameranya. "Ian!" Deniek menepuk punggung Ian yang sedang memasukan daun kayu putih ke jaketnya.
"Ada apa?"
"Bromo."
Hampir semua penumpang jip menoleh ke kiri. Bromo seperti muncul pelan di antara guncangan jip yang menanjak tertatih-tatih.
"Wow."
"Gile...."
"Kereeennn...," keenam sahabat berdesis kagum, penumpang lain terkesima dan geleng-geleng.
Zafran sampai bengong. Gunung Bromo dengan asap yang membubung tipis dari kawahnya terbentang di hadapan mereka, padang pasir memeluknya tenang, kabut-kabut kecil bawaan angin padang seperti melambai mencoba naik ke langit Matahari sore menerangi setengah punggung gunung dari barat, membuat Bromo seperti terbagi antara terang dan gelap, menimbulkan sedikit getaran di tengkuk mereka. Riani mengeluarkan handy cam dan mulai merekam.
"Itu Arjuna." Salah satu penumpang menunjuk sebuah gunung di kejauhan yang terselimut kabut putih dan matahari yang mengintip di punggungya. Arjuna berdiri dalam diam.
"Dan...
itu...
Mahameru."
Keenam sahabat itu dan seluruh penumpang jip terkesima dengan pemandangan di depan, sesaat jip berbelok menanjak perlahan. Suara tarikan napas takjub terdengar jelas di antara bunyi mesin jip. Mahameru berdiri megah dan agung seperti tertegun bijak menyambut mereka. Asapnya merengkuh langit sore dengan awan putih bergumpal yang melingkar seperti syal raksasa. Serombongan kecil awan jingga yang beriring lebih rendah sekan menunduk memuja sang tanah tertinggi di Jawa.
Udara dingin yang mulai menusuk mulai memberi tahu pada siapa mereka akan menuju, di mana mereka akan berdiri nantinya Hutan hijau yang mengapit jalan desa kecil itu seperti berbaris memberi salam selamat datang. Keenam sahabat itu menarik napas panjang sekali.
"Fiuh," gelengan kepala mereka seakan pertanda kehilangan kata-kata yang harus diucapkan.
Riani memejamkan matanya, membawa keindahan itu ke hatinya. Genta tersenyum ke semua temannya yang masih kagum.
Sebuah suara berat menyadarkan mereka dari lamunan.
"Gilee... masa masih begini juga ya?! Heran gue. Udah puluhan kali lebih g ue ke Mahameru, tapi kalo ngeliat puncaknya begitu, gue masih merinding."
"Fiuhh... wahh... Subhanalllah... Allah Mahabesar."
Semua penumpang jip menengok ke sosok laki-laki berumur yang berkumis putih, dengan topi hutan—yang masih saja geleng-geleng kepala. Dari logatnya, bisa ditebak kalo bapak ini pasti dari Jakarta. Si Bapak sepertinya tahu kalau sedang jadi perhatian, ia menoleh ke semua penumpang lalu menyunggingkan senyum kebapakan.
"Maaf bukannya Bapak mau sok tahu. "Di sini...," ia menunjuk dadanya, "Mahameru itu bukan cuma perjalanan alam, tapi perjalanan sebuah hati," katanya tersenyum. "Dan, yang bikin saya masih merinding sampai sekarang adalah kalo ternyata pemandangan ini baru sebagian kecil dari apa yang akan kita temukan di sanaT Keindahan ini belum seberapa...belum seberapa. Sudah seindah ini, tapi belum seberapa" Si Bapak kembali geleng-geleng kepala, menaikkan alis matanya sedetik, lalu tersenyum lagi ke semua penumpang.
"Tanah ini indah sekali," desisnya kemudian.
Keenam sahabat masih mendongak mengagumi Mahameru.
"Ta...."
"Iya, Yan."
"Nanti kita akan ke sana? Berdiri di puncak itu? Berdiri di sana?"
"Iya...."
"Tinggi banget, Ta...."
"Iya." -
"Bisa apa kita, Ta?"
Genta terdiam, matanya masih lekat di puncak Mahameru yang masih terlihat kecil. Mata Genta terpejam.
"Yakin kita bisa?" tiba-tiba Genta menoleh ke teman-temannya dan menatap tajam satu per satu.
"Gue udah taruh puncak itu dan kita semua di sini." Arial berkata pelan sambil membawa jari telunjuk ke keningnya.
Genta tersenyum. "Kalo begitu... yang kita perlu sekarang cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja."
"Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,"
sambung Zafran.
"Serta mulut yang akan selalu berdoa," Dinda tersenyum manis.
Setuju!!!
*
Jalan aspal berbatu sudah menemui ujungnya. Mereka mulai memasuki desa kecil dengan beberapa rumah yang masih ber-penerangan lampu minyak. Malam pun menunggu mereka di antara lembah, bukit kecil dengan pepohonan besar, dan bening-nya danau berkabut di akhir senja J i p semakin berguncang keras.
"Di sini ada danau? Di ketinggian ini?" Dinda terkesima dengan pemandangan di depannya.
"Itu bukannya awan?" Riani menyenggol bahu Genta.
"Bukan Riani, itu danau!"
Sepilas kabut malam turun seperti kapas di atas permukaan bening menggelap di depan mereka, diterangi cahaya-cahaya lampu minyak kecil di kejauhan. Jip mulai melambat melewati pinggir danau dengan pohon pinus sebagai pagar alaminya.
Malam menyambut mereka di Ranu Pane. Lampu jip seadanya yang menerangi jalan desa di pinggir danau, seakan memberi sesuatu di mata mereka. Bayangan Puncak Mahameru yang mulai menghitam masih terlihat di kejauhan.
Genta berujar mantap, "Kita sampai Di Ranu Pane, Desa terakhir. Dari sini,semuanya dimulai dengan melangkah."
Ranu Pane
Malam sudah datang menyapa. Mereka menjejakkan kaki di tanah Ranu Pane. Udara di bawah lima belas derajat Celcius menyambut mereka di Ranu Pane. Bagi orang kota seperti mereka, mungkin inilah pertama kalinya mereka merasakan udara sedingin ini. Ranu Pane malam itu tampak ramai, jip-jip yang menurunkan pendaki tampak berdatangan. Para pendaki tampak bergerombol mengelilingi api unggun seadanya, sekadar untuk melawan udara dingin di awal malam. Lampu-lampu jip bersahutan dengan nyala api unggun, menerangi tanah datar di atas bukit kecil yang merupakan base camp awal pendakian Mahameru. Pemandangan yang nggak biasa dan udara yang sangat dingin membuat mereka merasa seperti berada di di alam lain, alam para petualang.
"Ggg... iii... lllaa... dii... dii... ngin ba... ngg... eet..," Riani tampak menggigil.
Dinda menunduk, tangannya sedekap... bergetar. "Ini malam masih baru mulai, baru jam tujuh lebih, gimana nanti tengah malam sama dini hari? Kayak apa dinginnya?"
"Bisa di bawah sepuluh," sahut Genta sambil menyalakan rokoknya.
"Fiuh!"
"Iii... ni bb... bee... lllu... m se... bbe... ra... pa?" Zafran bertanya dengan terus menggigil.
"Belum," jawab Genta.
"Jangan dirasain, malah terasa dinginnya, kita harus banyak gerak." Arial melihat ke sekeliling.
Zafran menyalakan rokoknya-.badannya yang ceking mencoba menahan dingin.
"Enak nih kalo ada kuah Indomie hangat," Riani tersenyum.
"Makan yuk...," Genta mulai melangkah.
"Ah ada?" Mata Ian berbinar-binar.
"Itu banyak warung kecil di situ, ada soto ayam hangat, ada Indomie, juga ada nasi sama ada air jahe."
"Teh manis anget top banget nih," Zafran berujar senang.
"Hehehe... yuk "
Mereka pun makan malam di sebuah rumah penduduk yang disulap menjadi warung makan. Ada kehangatan saat mereka masuk ke ruangan. Warung makan kecil itu penuh sekali, beberapa pendaki terlihat sedang menikmati makan malamnya Keenam sahabat duduk di sebuah meja kecil, berdesakan.
Bau aroma masakan dan hangatnya lampu petromaks membuat mereka nyaman. Mereka pun memesan makanan.
Dinda melihat sekeliling Cowok semua, batin Dinda. Tiba-tiba Riani menyenggol bahu Dinda
"Dinda, sebelah kiri lo, arah jam sembilan."
Dinda pun menoleh, serombongan cewek beijilbab tampuk bergerombol bersama dalam satu meja.
"Ada juga cucu hawa di sini," Dinda tersenyum senang.
"Arah jam enam," Riani berkata lagi.
Riani dan Dinda melihat lagi tiga orang wanita dan empat orang laki-laki sedang menikmati makan malamnya
"Lumayan banyak juga ya cewek yang mau naik ke Mahameru."
Keempat cowok yang ada di situ tersenyum, Dinda sama Riani ada 'temen'-nya, kata mereka dalam hati.
Pesanan makan malam mereka pun datang. Soto ayam dan nasi, Indomie, teh manis hangat, air jeruk hangat, air jahe.
"Wuhh... Allhamdullilah ketemu makanan hangat. Gue udah laper banget," Arial berujar senang.
uPuas-puasin sekarang kalo mau makan, mulai besok kita harus masak sendiri," kata Zafran sambil menyeruput teh manis hangatnya.
"Ah... hangatnya...." Teh manis hangat seakan bertemu dengan tenggorokan Zafran yang mulai mendingin.
Mereka menikmati makan malam spesial di Ranu Pane.
"Deniek!!!" Arial berteriak agak keras dan melambaikan tangannya.
Tiba-tiba sosok Deniek dan ketiga temannya beijalan di depan warung makan. Deniek dan ketiga temannya mendekat,
"Halo semuanya."
Keempat pendaki itu terlihat sudah siap mendaki dengan segala peralatan yang menempel di tubuh masing-masing.
"Aku naik malam ini... ya," Deniek tersenyum.
"Lo mau langsung?" Genta bertanya sambil melepaskan asap rokok dari mulutnya.
"Iya...."
Genta tiba-tiba menerima tatapan dari teman-temannya yang kurang lebih mau bilang, "Kita mau naik malam ini juga, Ta?"
"Kalian mau naik malam ini? Kalau mau kita bisa bareng."
Deniek mencoba membetulkan letak gantungan tasnya.
Semuanya menatap Genta. Genta menggeleng.
"Sepertinya nggak, Niek. Dari pertama memang rencananya besok pagi-pagi sekali kami baru berangkat."
Deniek tersenyum, "Kalo aku jadi kalian, aku juga nggak akan jalan malam ini. Baru tadi sore kan kalian sampai Malang?
Pasti capek."
"Iyalah istirahat dulu, kita ng ecamp dulu di sini malam ini,"
kata Genta yang tampak nikmat menyeruput habis teh manisnya.
"Kalau aku kan deket, dari Surabaya, tenaganya masih banyak." Deniek menyalakan rokoknya, "Lagian juga kita nggak akan ketinggalan upacara."
"Iya, Niek. Tapi emang lebih enak jalan malam, nggak panas."
"Tapi harus lebih hati-hati."
uYo wis, aku berangkat... ya."
"Siip.J" Zafran mengacungkan jempol tangannya. Keenam sahabat itu tersenyum pada Deniek.
"Yuk sekalian kita antar."
Mereka berdiri dan keluar dari warung makan mengikuti rombongan Deniek. Hawa dingin pun kembali menyapa mereka di luar. Dua rombongan itu beijalan berbarengan.
"Kalian ng ecamp di sana aja," kata Deniek sambil menunjuk sebuah tanah datar kecil dengan beberapa tenda.
"Iya kayaknya banyak pohon tuh di situ, bisa ngurangin dingin," sambung Arial.
Sejenak kedua rombongan itu terdiam dalam dingin, menatap jalan berbatu desa yang gelap dan sepi, cahaya senter dari kejauhan tampak berlarian ke sana kemari. Genta menoleh ke Deniek.
"Itu, ada juga yang baru naik."
"Iya...." Deniek menatap sebentar ke cahaya cahaya kecil di kejauhan.
"Ruh...," Deniek menarik napas panjang lalu mengeluarkannya. Hidungnya tampak mengeluarkan asap dingin.
Angin malam tiba-tiba berembus agak keras, membuat rambut gondrong Deniek beriap terbang. Deniek dan keempat temannya menunduk dan berdoa.
"Yo tviss, kita duluan." Deniek dan teman-temannya menyalami mereka. Ian memberikan pelukan laki-laki.
"Sampai jumpa di puncak." Ian menepuk punggung Deniek.
"Di sini... kita... nggak... akan., pernah... tau," desis Deniek pelan.
Deniek memberikan senyum sedikit sekali, yang membuat bibirnya tidak dapat terbuka lebar.
Treq.
Deniek menyalakan senternya, sepilas cahaya senter menerangi tanah merah dan sedikit rumput basah di bawah mereka.
Tatapannya tajam, setengah wajahnya tampak menggelap, ingatannya kembali ke almarhum temannya.
"Kita turut berdoa, untuk temanmu...," Arial memegang bahu Deniek.
"Oke... terima kasih."
Rombongan kecil mulai melangkah di jalan berbatu kecil.
"Temanmu itu namanya siapa, Niek?" Ian tiba-tiba berteriak agak keras ke rombongan kecil yang mulai agak menjauh.
"Namanya Adrian!"
Teriakan Deniek membuat Ian tercekat Keenam sahabat itu kaget setengah mati, mata mereka mengikuti rombongan kecil yang lama-lama menghilang di antara kerimbunan bukit kecil.
"Namanya... Adrian... juga? Sama dong sama gue, " Ian mendesah pelan, hampir tak terdengar.
Teman-temannya terdiam melirik sedikit ke Ian, hati mereka malas untuk berpikir lebih jauh lagi.
"Ok... time to work\n
"Kita harus buat tenda Kalo nggak, malam ini kita nggak tidur!"
Genta tibartiba berbalik dan berjalan menuju ke tanah kecil datar yang tadi di tunjuk Deniek. Suara lantangnya mengagetkan teman-temannya yang masih bengong. Genta mencoba memecahkan bola-bola kecil penuh warna gelap yang merasuki otaknya
"Ok Let's go...V Arial mulai melangkah.
Semuanya beijalan mengikuti Genta. Ian menoleh ke kiri jalan, ke sebuah tanah kecil. Dalam gelap Ian melihat pohon kamboja yang gelap menghitam. Ian mencoba memperjelas pandangannya. Batinnya bertanya-tanya, Iya kamboja? Kok banyak batu nisan? Kuburan?
Deg! Ian lemas. Ian mencoba melihat lebih jelas, batu nisan, batu nisan, batu nisan, pohon kamboja, batu nisan, kuburan?
Ada kompleks kuburan? Ian melepaskan hawa nggak enak yang tiba-tiba masuk. Ian mencoba melihat lebih jelas lagi. Kok gelap lagi, bukan ah, tanah kosong... ah... ah... ah. halusinasi gue kayaknya. Nggak ada kuburannya, tapi kok gelap? Ian geleng-geleng kepala sendiri. Tadi beneran kuburan atau halusinasi gue?
"Fiuhh, kalo halusinasi berarti tandanya apa?" Ian tiba-tiba merasakan tengkuknya merinding, benjolan-benjolan pori-porinya mengembang.
Ian menarik napasnya dan mengeluarkannya lagi, napasnya memburu, dadanya naik turun.
"Wooy, Ndut Bengong aja, ayo sini!" teriakan Riani menyadarkan Ian.
Tanpa sadar, Ian sudah agak jauh tertinggal dari teman-temannya. Ian menoleh ke kiri lagi, Gelap kok... nggak ada apa-apa, tapi tadi ada kuburan?
Angin malam berembus agak kencang. Ian menatap langit malam, mencoba meminta jawaban. Ian merinding lagi.
*
" O K E MULAI bagi tugas. Gue sama Arial bikin tenda. Ian sama Juple coba cari sesuatu yang bisa dibakar, ranting-ranting kecil atau sampah kering. Riani sama Dinda masak air panas, bikin kopi sama teh."
"Setuju?" Genta menatap ke teman-temannya.
"Oke Boss!"
Di antara dingin malam Ranu Pane mereka semua bergerak cepat mencoba melawan hawa dingin yang sangat menusuk.
"FIUH, JADI juga," Arial mengencangkan pasak terakhir yang ditanam ke tanah merah lembek. Tenda besar berukuran delapan orang itu berdiri tegak.
"Malam ini kita tidur di sini...," ujar Genta sambil memasukkan barang- barang mereka ke dalam tenda.
Ian dan Zafran tampak sedang melempar ranting-ranting kecil ke dalam api unggun yang mereka buat seadanya. Bunyi kletak-kletek kayu dimakan api terdengar satu-satu. Bau harum teh dan air panas tiba-tiba memenuhi penciuman mereka.
"Riani... Riani."
"Ian... Ian," balas Riani.
"Udah jadi ya?" Ian bertanya ke Dinda dan Riani.
"Udah! Mau apa, Ndut ? Kopi atau teh?"
"Dua-duanya...."
"Oke."
Mereka duduk mengitari api unggun, yang sedikit membantu menghangatkan udara sekitar.
"Taa... taa... mm... bah di... ngin...," Zafran menggigil. Ia mengambil teh panasnya lagi, panasnya air yang baru mendidih seperti tidak terasa oleh Zafran.
"Udah di bawah lima belas kali ya?" Riani bertanya ke Genta.
"Apalagi nanti di puncak, kayak apa?" Dinda menambahkan.
"Yang enak nanti si Teletubbies ini, lemaknya kan banyak banget kayak beruang kutub," Genta menyenggol kaki Ian.
"Hahaha...."
"Acara TV apa ya malam ini?" Arial menatap kosong ke depan.
"Gue sih nggak mau nonton TV malam ini. Ngapain malam begini nonton TV? Malam ini terlalu indah buat nontonTV,"
Zafran menoleh ke Arial.
"Tapi kalo mau nonton TV sih ada," kata Ian sambil tersenyum.
"Di mana?" Zafran mengerutkan keningnya.
"Di sini," kata Ian dengan menunjuk perutnya, "kan gue Teletubbies, jadi perut gue bisa ada TV."
"Iya, pinggang lo juga bisa jadi DVD nya." Zafran ngakak.
"Bukan! Dispenser lagi," Dinda menambahkan.
"Hahaha...." Tawa renyah memenuhi malam mereka.
"Kalo lagi begini, kalo ada film enaknya nonton apa?" Ian mencoba membawa topik baru.
"Karena baru terkesima sama Bromo dan padang pasirnya, gue mau nonton Pasir Berbisik- nya Christine Hakim dan Dian Sastro. Kan pengambilan gambarnya banyak di padang pasir Bromo," Riani menjawab pertanyaan Ian.
"Oh iya... ya...," Zafran mengangguk lemah.
"Yang lucu sekaligus berkesan puitis, Christine selalu memanggil Dian Sastro dengan kata 'nak'."
"Anak, bukan nak," Zafran menyambung.
"Sama adegan waktu si Dik Doank pake topeng di belakang kepala," Arial ikut ngomong, "Udah melihat ke depan kok masih pake topeng?"
"Itu keren tuh, apalagi di alang-alang gitu latar belakangnya padang pasir dan Bromo," tambah Genta. Hatinya tiba-tiba memberi perintah untuk melihat ke Riani.
Malam itu di kacamata Riani, Genta bisa melihat bayangan api unggun. Dagu Riani tampak terang disapu nyala api unggun.
Cantik sekali kamu Riani, batin Genta.
"Udah melihat ke depan kok masih pakai topeng?" Zafran berkata lagi, "Banyak artinya tuh."
"Banyak," kata Genta sambil menatap lurus ke depan.
"Main tebak-tebakan j adui (jaman dulu) yuk. Ada yang masih inget nggak?"
"Maksudnya?" Zafran nggak ngerti omongan Ian.
"Tebak-tebakan garing, siapa yang paling garing dia yang menang."
"Apa sih Ian?" Riani masih nggak ngerti.
Tapi Ian saklek. "Lemari apa yang bisa masuk kantong?"
tanya Ian.
"Lemari lipet."
"Lemari kecil segede kertas."
"Salah!"
"Lemari ajaib."
"Lemari yang udah diklik minimize."
"Salah." Ian tertawa senang karena nggak ada yang bisa.
"Apa?"
"Lema ribuan...," Ian tersenyum menang.
"Beggooo... hahaha...."
"Sekarang giliran gue," Zafran melihat ke teman-temannya.
"Kenapa... eng... patung yang di deket bunderan Ratu Plaza, tau kan? Yang lagi megang api itu.... Yang katanya kalo malam dia duduk kecapekan...."
"Hehehe... tau...," Dinda tersenyum manis sekali. Matanya condong melirik ke atas, bibir atasnya dikatupkan ke dalam.
Berpikir. Rambutnya yang hitam panjang tampak berkilat memantulkan cahaya api. Dinda memandang Zafran dengan tatapan lembut Zafran serasa terbang.
"Hehe bengong! Terasin." Ian melempar Zafran dengan ranting kecil.
"Oh... sori," Zafran kaget dia sedang menikmati keindahan Arinda.
"Kenapa... mmm... kenapa patung itu mukanya kayak lagi teriak keras begitu?"
"Kalo arti yang sebenarnya sih itu melambangkan semangat"
Arial coba menjawab.
"Orang lagi tebak-tebakan!" Riani menyenggol bahu Arial.
"Karena kepanasan megang api... hehehe... ketebak," Genta menjawab pertanyaan Zafran.
"Bisa! Tapi bukan itu jawabannya!" kata Zafran.
"Apa dong?"
"Karena dia malu nggak pake baju, kainnya robek-robek lagi, tiap hari diliatin orang dari pagi sampai malam." Sambil tersenyum Zafran menjawab garing.
"Haha... bego... garing banget., sumpah."
"Kan yang paling garing yang menang," Ian membela Zafran.
"Kenapa patung Tugu Tani adanya di tengah kota, nggak dipindah ke desa?" Ian punya lagi,
"Tau... garing nih... pasti," Riani tersenyum kecil.
"Karena patung itu sebenarnya mau pergi ke desa tapi nggak bisa, di bawahnya ada tulisan 'dilarang menginjak rumput',"
jawab Ian.
"Hahahaha...."
"Kenapa Doraemon punya pintu ke mana saja?" tanya Ian lagi.
"Biar nggak susah ke mana-mana," Arial menjawab lagi.
"Nggak kartun lo..." kata Ian.
"Nggak tau." Semua menggeleng.
"Karena kalo jendela ke mana aja susah, harus lompat dulu,"
jawab Ian.
"Ian bego... garing... garing!"
Angin malam Ranu Pane pun seperti menyapa muka mereka lagi. Kerinduan dari lelah mereka sekan terobati, sudah dua hari ini mereka bersama lagi setelah tiga bulan terpisah. Sejenak mereka terdiam menikmati angin malam menyapu wajah mereka.
"Kita harus tidur nih, badan masih capek, besok kita perlu tenaga ekstra," Arial tiba-tiba ngomong.
"Tommorou) is a big day\" Zafran menepuk-nepuk celananya
"Besok kita berangkat jam berapa, Ta?" Riani bertanya ke Genta.
"Sekarang jam sebelas, besok jam lima pagi kita bangun trus berangkat."
"Kita harus tidur?" Dinda mendesis pelan sambil melihat ke depan kosong. Ia menarik napas panjang, batinnya berkata sendiri, kok bayang-bayang dia dari tadi ada melulu ya?...
tingkahnya... sikapnya..., ada perasaan lain tumbuh di hatinya.
"Ntar dulu dong, jarang-jarang malam kayak gini nih," Zafran protes belum mau tidur.
"Lihat ke atas deh," Zafran mendongak ke atas.
Semuanya melihat ke langit malam.
"Perhatiin deh, bintangnya kayaknya lama-lama tambah banyak. Tadi nggak sebanyak ini. Gue kayak di ruangan kecil penuh bintang. Di sini kok kayaknya bintang jadi deket."
Mata Dinda nggak lepas melihat langit malam. Sebentar ia menoleh lembut ke Zafran.
Zafran berujar pelan, "Pick a shape..."
Zafran mendongak lama, melihat langit sambil menunjuk ke salah satu bintang dan membentuk putaran milky way, menirukan adegan film Russel Crowe dan Jeniffer Connelly, A Beautiful Mind. Semuanya ikutan mendongak ke atas lagi.
Langit hitam berkilauan bintang yang tak terhitung, dengan bulan yang seperti membiru di antara tipis awan, membuat rasa lain di hati mereka. Bunyi kletek-kletek api yang membakar ranting kecil menambah lain suasana.
Semua menarik napas panjang, merasa kecil sekali, merasa ada yang mendatangi mereka Langit malam di Ranu Pane indah sekali.
Arial mengutak-atik MP 3nya Select... Speaker... Speaker selected....
Open file... Songs... Indonesiaku Indah... Padi... Song 7... Selected... Play....
Hamparan langit maha sempurna
bertahta bintang bintang angkasa
namun satu bintang yang berpijar,
teruntai turun menyapa aku
ada tutur kata terucap.
Ada damai yang kurasakan...
bila sinarnya sentuh wajahku...
kerinduan ku pun terhapuskan...
A lam raya pun semua tersenyum
Menyambut dan memuja hadirnya...
Terpukau aku menatap wajahnya
aku merasa mengenal dia...
tapi ada entah di mana...
hanya hatiku mampu menjawabnya
mahadewi resapkan nilainya
penantian ku pun usai sudah...
Mahadewi resapkan nilanya
Mahadewi tercipta untukku...
Ada tutur kata terucap
ada damai yang kurasakan
(Piyu, Mahadewi, Padi)
MAHADEWI MENGALUN lembut di antara hamparan langit mahasempurna di atas mereka. Mereka terpesona, mengingat filosofi yang pernah diceritakan Piyu tentang Mahadewi, yang bukan sekadar lagu cinta antara seorang laki-laki dan wanita, tapi mahadewi bisa berarti banyak, bisa berarti cinta seorang ibu pada anaknya, dan banyak lagi. Genta tertegun menatap langit, badannya pun merendah bertumpu pada dengkulnya. Genta mencongkel tanah merah dan mendekatkan ke penciumannya, tanah merah itu memberikan bau tanah merah lembap yang khas. Genta melihat ke depan, permukaan air Ranu Pane tampak berkilap cahaya kecil bintang-bintang yang memantul di permukaannya. Genta biarkan matanya terpejam menikmati penciumannya, membiarkan angin dingin malam Ranu Pane menyatu ke tubuhnya. Perlahan Genta membuka matanya, membuka genggamannya, melihat tanah merah di genggamannya yang menyisakan kotor di telapaknya, Genta menarik napas panjang dan membatin, Salah satu Mahadewi itu bisa juga berarti tanah ini. Salah satu ibu itu...tanah ini.
Genta memejamkan matanya, membawa semua keindahan di luar sana ke hatinya. Malam itu Genta tertidur bersama sang mahadewi, ibu yang telah memberikan tanah dan airnya setiap hari semenjak Genta lahir, ibu yang hilang dan baru saja ditemu-kannya malam ini. Di kaki tumit gagah Mahameru, di pelukan dingin malam, sang ibu pun memberikan udara hangat penuh cinta melalui pelukannnya sambil tersenyum ke salah satu anaknya yang tidak pernah sedikit pun hilang di matanya. Air mata bahagia sang ibu sedikit menetes, sebagian hinggap di dedaunan menunggu pagi, sebagian jatuh membasahi tanah Ranu Pane.
*
04.30. Ranu Pane
Sepulu menit yang lalu Ian terbangun sendirian dan duduk di depan api unggun yang mulai menjadi abu dan mengeluarkan percik-percik kecil beterbangan sedikit-sedikit ke udara. Ian menatap dalam ke api unggun, melihat sekitarnya yang masih sepi, tenda-tenda yang terdiam dalam dingin. Beberapa orang mulai terbangun dan mondar-mandir. Di bukit kecil jalur masuk track Mahameru tampak cahaya-cahaya senter kecil, b e b e r a p a pendaki terlihat mulai berangkat...
"Eh gendut., udah bangun lo?" Zafran dengan mata sayu keluar dari tenda dan duduk di samping Ian.
"Ssuu... ssumm... ppa... h... di... ngin ba... nget," Zafran menggigil.
"Gue udah bikin air panas tuh... kalo mau bikin minum.''
Ian menggerakkan lehernya menunjuk ke termos kecil.
Zafran pun membuka kopi sachet dan mulai menyeduh kopi.
"Ple...."
"Iya, Yan."
"Inget nggak tadi malem waktu kita ngelepas Deniek, masa gue liat kuburan."
"Hah!?" Zafran mengucek-ucek matanya dan memandang Ian tajam.
Ian menyalakan rokoknya.
"Wah lo gila lo, Yan. Kan kayaknya tadi malem di situ nggak ada kuburan deh."
Ian tercekat. Berarti cuma gue yang ngeliat.
"Lo enggak liat, Ple?" „
Zafran menggeleng dan terus menatap Ian. uLo berhalusinasi kali, Yan. "Kalo gue bener berhalusinasi berarti tandanya apa?"
Zafran tercekat, tenggorokannya seperti tersedak.
"Tapi bener ada kuburan? Mata lo ngeliat kuburan?" Zafran mencoba meyakinkan.
Ian menoleh ke Zafran sambil menganggguk, mukanya tampak sayu diterangi api unggun yang mulai mengecil.
"Eh udah pada bangun!" Riani berteriak agak keras di depan tenda, tersenyum sambil mengikat rambutnya.
"Brrr... dingin banget ya." Tangannya mencengkeram halus pundak Ian. "Ayo, Ndut kita bikin Indomie."
"Siip!" Ian berdiri dan mulai menyalakan kompor paraffin.
Hatinya mencoba menyibukkan diri.
Arinda, Genta, dan Arial keluar dari tertda. Dindalangsung membantu Riani dan Ian membuat sarapan. Zafran mencoba melupakan obrolannya dengan Ian tadi, lalu membantu Arial dan Genta mencabuti pasak tenda. Langit hitam perlahan membiru. Keramaian para pendaki yang mulai bangun dan bersiap-siap terlihat di sekitar mereka.
"Ranu Panenya keliatan jelas." Riani berteriak kecil melihat Ranu Pane membiru muda dengan kabut dingin putih seperti kapas di atas permukaanya.
Semua menarik napas panjang, menggelengkan kepala berulang-ulang.
"Mahameru memang penuh kejutan. Nggak bosen-bosen nih mata dari kemarin sore." Arial terpana.
"Mistis...," Zafran mendesis.
Suasana sarapan jadi begitu indah. Genta tiba-tiba memanggil Ian yang masih menghabiskan Indomienya.
"Ian!"
"Iya, Ta."
"Ranu Pane keren ya?"
"Iya."
"Mistis ya, Yan?"
"Betul!"
'Jangan buka bisnis sepeda air atau banana boat di sini ya, nanti Ranu Pane jadi rame, jadi nggak mistis lagi."
"Hahaha...."
Genta lari menghindar dari kejaran Ian yang hendak menyiramnya dengan teh manis.
*
"Siap semua?" Genta memegang kedua tali carrier di pundak-nya, menatap tajam ke teman-temannya.
"Berangkat!"
Langkah mulai diayun, meninggalkan tanah kecil tempat mereka menginap semalam. Mahameru perlahan seperti muncul di antara kabut pagi dan langit biru. Angin dingin pagi dan sejuk, menerpa mereka sampai ke dalam dada. Tanpa sadar mereka berhenti sebentar di tempat tadi malam melepas Deniek.
Serentak mereka memandang ke atas puncak Mahameru dan inemincingkan mata, lalu membentuk lingkaran—tertunduk dan berdoa.
Ian membuka matanya pelan.
Deg! Di matanya, Ian kembali melihat batu nisan pohon kamboja, batu nisan yang berjejer, kompleks kuburan kecil.., muncul perlahan bersama kabut pagi di depannya. Ian tercekat lagi, Ya ampun gue berhalusinasi lagi, kenapa ya? Ian panik lagi, dadanya naik turun, napasnya berat.
Tiba-tiba suara berat kebapakan yang sudah pernah mereka dengar berteriak agak keras memecah pagi "Ini lagi yang paling keren dari petualangan di Mahameru. Sebelum kita berangkat, pasti kita melewati kompleks kuburan kecil, seperti sebuah peringatan antara hidup dan mati, dengan puncaknya yang agung di sana. Setiap akan mulai beijalan saya pasti tertegun dulu di sini, melihat kompleks perkuburan, seperti mengingatkan kita semua kalau kita ini adalah manusia yang pasti mati nantinya. Mahameru benar-benar sebuah perjalanan hati."
Si Bapak yang kemarin satu jip dengan mereka tampak berjalan sambil ngobrol dengan rombongannya. Ia dan rombongannya berhenti sebentar, melihat Mahameru di atas sana, sesekali melihat kompleks kuburan di sampingnya.
"Oh jadi tadi malam di samping kita ini kuburan, gelap banget sampe nggak keliatan." Arial melihat sekeliling, batu nisan dan pohon kamboja di serangkaian kabut pagi membuatnya agak merinding.
"Hihihi... serem juga, tadi malam di samping kita ternyata kompleks kuburan," Riani tersenyum kecil.
Zafran langsung menoleh ke Ian. Ian sudah terduduk lemas dan lega, lalu tertawa-tawa kecil dan geleng-geleng kepala.
"Ahhh... Ian bego, Ian bego," katanya sembari memukul-mukul jidatnya sendiri.
Ian berdiri dan tersenyum mantap.
"Kenapa lo, Ndut?"
"Tadi udah sarapan kan?"
"Ian kenapa, Yan?"
"Nanti gue ceritain," kata Ian tersenyum. Matanya melirik ke Zafran yang badannya masih berguncang menahan tawa.
"Ya udah yuk berangkat," Genta menatap teman-temannya.
Mereka masih bergeming.
"Yuk." Genta heran melihat teman-temannya yang belum mau melangkah.
"Itu."
"Itu lihat... dulu."
Mahameru tiba-tiba mengeluarkan asap putih lebih tebal dari biasanya. Langit pagi yang bersih membuat gumpalan asap jelas terlihat, bergerak membubung tinggi, menyambut awal perjalanan mereka. Rombongan si Bapak juga belum bergerak, masih mengagumi Mahameru yang gejolaknya sekarang terlihat jelas, tidak tertutup awan.
Riani memecah kesunyian, "Gue jadi inget..."
"Apa, Ni?"
"Kenal Sir Heniy Dunant?"
"Iya tau, dia kan Bapak Palang Merah sedunia."
"Bener... dia pernah bilang...," Riani berhenti sebentar, "Sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan."
Mendengar quotation yang bersemangat itu, refleks semua langsung melihat Riani yang masih tersenyum manis ke Mahameru.
"Kita berangkat!" Riani berteriak kecil sambil mengepalkan tangannya ke atas.
Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Dalam dingin pagi, langkah-langkah kecil mereka menyusuri tanah lembap dan dedaunan rimbun yang masih bermandikan embun pagi. Mahameru masih tertegun bijak bernaung biru muda langit pagi di kejauhan.
Keenam sahabat itu menembus rimbunnya hutan, dengan pohon-pohon besar dan ranting dedaunan yang sesekali harus mereka singkirkan dari wajah mereka. Beijalan semakin mendaki di antara sulur-sulur pohon yang menggantung. Goa-goa buatan pohon bambu bak gerbang menuju alam lain di depan mereka. Ranting pohon yang terkadang merintang harus mereka singkirkan. Genta dan kawan-kawan beijalan menyusur rimbunnya hutan dalam diam. Masing-masing sibuk dengan pemandangan yang masih baru di mata mereka.
Genta sedikit tersenyum, hatinya bertanya-tanya sendiri, Kenapa dari dulu kalau baru mulai mendaki, orang pasti banyak diamnya?
Sudah satu jam lebih mereka beijalan tanpa berhenti. Carrier yang hampir berukuran setengah badan dan mempunyai berat sekitar tiga puluh kilo lebih, mulai memperlambat pendakian.
"Genta ...break, Ta Hehh... hehh...," napas Riani memacu satu-satu. Riani terlihat kelelahan.
"Iya Bang Genta, break dulu." Keringat meluncur deras di kening Arinda.
"Oke sip. Itu di depan ada akar pohon. Kita break di situ."
Rombongan berhenti sebentar. Di hadapan mereka terlihat lembah dalam penuh alang-alang.
"Ruh...lumayan juga...," Dinda yang masih terengah-engah mengambil air mineral dan meneguknya.
"Udah jalan berapa lama kita?"
"Satu jam, kurang lebih." Ian tampak lelah. "Lama-lama carriem ya jadi berat... ya?"
"Bukan, tapi /o-nya yang tambah capek," Arial menepuk-nepeuk pundak Ian.
"Kita nanjak terus ya, Ta?"
"Iya."
"Track-nya. begini terus, Ta?"
"Yup! Kalo digambar pake es krim kita tuh lagi mvterin bulatan-bulatan es krim, lama-lama naik... putarannya makin kecil, makanya jadi jauh."
"Oh nggak kayak kalo kita ke Gunung Gede, lewat Putri terus mendaki tegak lurus?" Arial bertanya dengan sesekali meregangkan badannya.
Genta menggeleng. "Untung track- nya nggak terlalu berat, Ta."
"Belum...," jawab Genta datar. " Track di sini emang belum terlalu berat. Cuma jalan setapak di pinggiran lereng, tapi jauh karena kita nggak tegak lurus, tapi memutar agak lebar lagi.
Hanya hati-hati aja, jangan hilang keseimbangan." Genta melirik ke lembah yang dalam di depan mereka.
"Ada yang tegak lurus, Ta?" tanya Arial lagi.
"Pasti ada. Tapi harus buka jalur. Jalur yang ada kadang udah ketutup sama tanaman, jadi cari sendiri jalurnya. Cuma, kebanyakan yang mau ke atas lewat sini, biar jauh tapi santai dan nggak terlalu berat."
"Jam berapa sekarang?"
"Setengah tujuhan...."
"Santai aja, jangan buru-buru. Tengah hari nanti kita sampai di Ranu Kumbolo, kita istirahat dan makan siang di sana."
"Tengah hari?" Dinda mencoba meyakinkan apa yang dia dengar dari Genta.
"Yup."
"Masih jauh banget dong," Dinda menatap jalan setapak di depannya.
"Banget."
"Tapi kita santai aja, sambil ngobrol kek biar nggak capek.
Kalo ada yang capek bilang ya, jangan ada yang gengsi. Satu orang capek, semuanya berhenti. Kebanyakan orang gagal ke puncak karena kecapekan dan gengsi nggak mau bilang. Yang ada cuma maksa sehingga akibatnya nggak bisa ngelanjutin"
"Udah?" Arial menatap teman-temannya.
"Udah!"
"Berangkat!"
"Rambo, lo di depan... ya, kita tukeran. Lo ikuti track- nya aja, pokoknya jangan sampai masuk ke kedalaman hutan, kita sekarang ada di pinggir punggung gunung. Lihat aja arah matahari, jelas kok. Gue di paling belakang."
"Siiip." Arial mengacungkan jempolnya. Sekarang ia me-mimpin rombongan itu.
Peijalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru. Beberapa kali mereka berpapasan dengan rombongan kecil lain yang sedang istirahat Saling menyapa, saling tersenyum ramah. Keajaiban yang sering ditemukan para pendaki. Di gunung, semua seperti satu nasib satu tujuan.
Satu setengah jam telah lewat, kali ini mereka mendaki agak lama.
"Genta, Genta," Ian memanggil Genta yang berjalan di sampingnya. ,
"Ian, Ian," balas Genta.
"Hehehe...," keduanya tersenyum.
' "Udah saatnya deh, Ta...." Ian tiba-tiba nyeletuk.
"Apaan?"
"Itu di depan lo."
"Apaan?"
"Muna...."
"Apaan, Ndut?"
"Riani...."
Genta kaget sendiri, matanya melihat Riani di depan agak jauh.
"Emangnya gue anak kecil apa nggak tau?!!" Ian tersenyum sok tahu.
Genta masih diem, ingin melanjutkan obrolannya. "Gue males curhat ama /o...bokep mulu, Yan."
"Lo mau cari apa lagi sih, Ta? Udah jelas gitu di depan mata."
Genta menarik napas panjang.
"Lo berdua tuh pas banget deh, Ta. Pas abiss."
"Itu dia, Yan!"
"Kita cocok banget dalam segala hal, nanti kalo jadi pacar garing deh."
"Kata siapa, Ta?"
"Gue," Genta menatap Riani lagi di kejauhan.
"'Lo udah sayang sama dia belum?"
Banget, batin Genta tapi dia males ngomong ke Ian.
"Tunjukin dong kayak si Juple tuh."
"Dia mah emang ajaib. Dia kan dari planet lain."
"Eh lo liat Dindanya nggak, Ta? Kayaknya dia juga mulai kena sihir syair Al Ajnihah Al mutakassirah."
"Hah? Apaan tuh, Yan?"
"Sayap-sayap Patah.... The Great Kahlil Gibran."
"Oh... kalo dia jadinya Kahlil Zafran dong*."
"Iya, judulnya Sayap-sayap Ayam."
"Hahahaha...."
"Ta, kalo track- nya begini mulu sampai puncak Mahameru, gue sih bisa sampai."
"Heh jangan sombong, pantangan tuh di gunung."
Ian langsung diam melihat langit. Maap ya, kata Ian dalam hati.
11 Gue mau tunjukkin ke Riani, gimana? Kayaknya udah saling ngerti satu sama lain, udah terlalu deket, Yan."
"Iya ya... lo sih."
"Gue sih gimana? Gue sama dia emang udah apa adanya."
"Sukur /o...," Ian menyenggol bahu Genta.
"Hehehe... rese!"
"Kaki gue kayak ada barbelnya. Udah lama nih kita jalan, break dulu yaa," Ian memelas.
"Ya udah."
"Break!" Ian berteriak ke teman-temannya.
"FIUH."
Mereka berenam duduk di sebatang pohon yang telah tumbang.
"Fiuh.... Bener-bener olahraga." Zafran mengambil handuk kecil di kantongnya.
Riani dan Dinda menurunkan carrien iya. Genta mengeluarkan sebungkus gula jawa.
"Penambah tenaga...," ujar Arial sembari mengambil sebongkah.
"Kenapa bisa gula jawa ya?"
"Nggak tau tuh. Manis kali, jadinya nambah tenaga."
"Berarti yang manis-manis bisa nambah tenaga dong kayak gue," Zafran bergaya gila.
"Hahaha... tolol."
"Selain gula jawa apalagi, Ta?"
"Irex juga bisa," imbuh Genta menyebutkan obat penambah tenaga khusus pria.
"Hah?"
"Bener!"
"Oh...."
"Tapi kan biasanya sugesti doang."
"Eh ada bule..." tiba-tiba mereka melihat rombongan sekitar sepuluh 6rang, ditemani oleh beberapa porter.
"Mau naik ke Mahameru juga ya mereka?" Ian bertanya ke Zafran.
"Ya nggak-lah. Mereka mau ke Carrefour. Tuh di depan.
Kalo udah sampe sini ya pasti mau ke ataslah, pagirnane sih ente?"
Zafran melempar rumput liar ke Ian.
Rombongan bule itu lewat di depan mereka dan tersenyum ramah.
"Francois...," Zafran berbisik ke teman-temannya.
"Sok tau!"
"Dengerin aja ngomongnya pake idung."
Ian kepancing untuk iseng-iseng negur. " Comment allez-vous?" (apa kabar) Ian menegur salah satu bule perempuan di rombongan itu.
Benar. Rombongan bule Prancis. Buktinya, ia langsung menengok dan membalas, "Je vais bien." (baik)
"Tuh kan bener." Ian tampak senang.
"Zidane, Thierry Henry, Barthez, Silvestre, Napoleon, Carrefour," Ian teriak-teriak.
"Out., oui..."
"Zidane, Henry, Barthez... oui}. Napoleon oui... Carrefour?
Oui.. oui?" Bule Prancis itu tertawa bingung melihat Ian yang ngasal menyebutkan sebuah franchise hypermarket punya Prancis.
"Olimpic Marseille, Paris Saint German?" Ian sok tahu lagi.
"Nantes," jawab si bule.
"Oh... I see. f see," Ian salah bahasa.
"Hehehe...," Zafran dan yang lain ketawa ngeliat Ian yang sok tahu.
"Indonesia so beautiful, " kata si bule lagi.
Ian mengangguk-angguk lagi.
" See you up there...," kata si bule lagi.
"Oui, out..."
Ian mengangguk-angguk. Rombongan itu pun beijalan meninggalkan mereka.
"Sok tau lo, Yan," Zafran menyenggol Ian.
"Bahasa Prancis gue taunya cuma 'croissant de France' beli di Kemang. Enak tenank, nendank-nendank," Zafran nyeletuk.
"Hahaha...."
"Gue cuma tari tadi doang... hehehe... sama Napoleon.
Pokoknya apa aja yang bisa gue sebut."
"Nggak biasa nih jalan jauh banget, kaki gue udah pegel banget," Riani memijit-mijit kakinya.
"Wajarlah, baru pertama kali." Genta melihat aksi Riani.
"Iya... sama Kaki pegel sih biasa, asal jangan tekad yang pegel."
"Betul sekali...."
"Eh tau nggak Napoleon Bonaparte aja waktu masih SD
sebelum berangkat sekolah, dia pasti mampir dulu ke barak tentara," Arial membuka obrolan.
"Hah ngapam?"
Arial meneruskan, "Cita-cita Napoleon kan jadi tentara, jadi mulai dari kecil dia udah punya tekad \2\0gue mau jadi tentara, berarti mulai sekarang gue harus biasa sama apa pun yang berbau tentara'."
"Oh, hebat juga. Jadi, dia main-main ke barak tentara dulu sebelum berangkat sekolah," Zafran coba menyimpulkan.
"Bukan!"
"Lho? Trus ngapain dia tiap pagi ke barak tentara?" Dinda penasaran dengan cerita abangnya.
"Tukeran makanan."
"Maksudnya?"
"Dia tukar bekal sekolahnya yang enak dengan ransum tentara. Karena tentara itu makanannya ransum, maka menurut Napoleon kalo dia mau jadi tentara, dia harus biasa makan ransum dari sekarang."
"Keajaiban tekad," Riani memandang lurus jalan setapak di depannya.
"Udah sejak SD dia bertekad jadi tentara."
"Yup, hebat ya? Kebanyakan orang-orang besar emang punya tekad tinggi buat cita-citanya," Arial meneruskan.
"Bethoven biarpun udah mulai tuli, tetap bikin lagu sampai kupingnya dia tempel di kayu piano."
"Kalo di Indonesia Jenderal Sudirman kali ya. Walaupun sakit parah, dia tetap perang gerilya, mimpin pasukannya pake tandu."
"Berarti kalo kita mau sampai ke puncak Mahameru, kita harus mulai biasa pegel, mulai biasa capek." Ian tiba-tiba berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya
"Tul!"
"Jalan lagi?"
"Pastinye...."
"Mari kita kemon!"
"Rambo, lo depan lagi."
"Berangkat!!!"
Rombongan itu mulai berjalan lagi. Matahari mulai agak meninggi, menyambut datangnya siang di antara hutan tropis.
Jalan setapak menuju Mahameru mulai menanjak lebih tinggi.
Lembah-lembah ilalang makin terlihat dalam.
"Siapa, Dik?"
"Apa?"
'Jangan bohong deh, enggak b akal an bisa."
"Mmh... ketahuan juga. Susah deh punya kembar an, ada inner- nya."
"Hehehe... ketahuan."
"Siapa lagi ya temen Mas itu?" kata Dinda sambil menengok ke belakang sekilas.
"Lama-lama jadi kepikiran terus nih. Mas Ial setuju nggak?"
"Kalo dua-duanya sayang, gue mau apa lagi?"
Arinda tersenyum senang.
"Arinda jatuh cinta... hehehe." Arial melingkarkan tangannya ke leher adiknya.
'Jelek!" Dinda tersenyum dan mencubit bahu abangnya yang kekar.
Zafran beijalan sendirian. Pikirannya ke mana-mana, sosok Arinda di depannya membuat dia berpuisi makin dalam ke hatinya. Keindahan alam berpadu dengan keindahan seorang anak manusia di depannya, Zafran jadi pengen nyanyi. Zafran pun mulai bernyanyi-nyanyi, suaranya jelas terdengar di antara kerimbunan hutan lereng Semeru.
Sometimes
I wonder... if I'd ever make it through
Through this world without having you
I just wouldn't have clue
Sometimes I wanna give up, wanna give in, I wanna quit the fight Then one look at you baby and everything's alright Everything's alright
So alright
When I see you smile...I can face the world... oh. •
You know I can do anything
When I see you smile
I see a ray of light...
I see it shinnin' right through the rain
When I see you smile baby
Baby when I see you smile at me
"Gitu ^ongjuple... ada hiburan nih," Genta berteriak keras, yang lain tersenyum melihat Zafran mendendangkan When I See You Smile-nya Bad English.
"Ian... Ian."
"Riani... Riani."
"Hahaha...," Riani dan Ian tertawa renyah.
"Eh gendut," Riani mencubit bahu Ian.
"Enak aja ngatain\ Badan lo juga gendut"
"Tapi kan gendutnya Kate Winslet.. seksi."
"Hehehe...."
"Nggak enak ya jadi cewek."
"Lo lagi dapet ya?"
"Sialan lo."
"Kenapa nggak enak jadi cewek?"
"Kalo suka sama orang nggak bisa bilang, bisanya nunggu doang." Riani menatap wajah makhluk gendut di sebelahnya.
"Ah kuno lo. Bilang aja!"
"Abisnya udah temen sendiri sih, udah terlalu deket."
"Bukannya enak, kan malah udah ngerti satu sama lain, udah nyambung?"
"Eh betul juga lo, Yan."
Ian tersenyum dan berkata dalam hati, Tadi spesies jantannya yang curhat, sekarang betinanya.
Zafran pindah lagu. Sekarang Desire dari Pure Saturday.
Yesterday I found myself alone... in the dark and no one else
I hen to gain to me it might... "I said don't worry its alright"
1 want you to hold me in your soul... it makes me easy, makes me fine
But how the dream will be come true... look at tomorrow I'm in love.
"I can't say anything...," tiba-tiba Genta menimpali dari belakang. "Or bring you something... I hope you can feel this...."
"My desire...," Zafran pun meneruskan.
"Everything I want to say to you... its look around and find my world.
Commin' to my door don't be afraid... I got you back around your head...," keduanya bernyanyi, keduanya lagi jatuh cinta.
I cant say anything... - -
or bring you something
I hope you can feel this...
My desire...
Mereka terus beijalan melewati sulur-sulur pohon yang tinggi di lereng Mahameru. Zafran pindah lagu lagi. Sekarang Just The Way You Are dari Billy Joel. Matanya terus mengagumi Arinda yang beijalan di depannya.
Don't go changing to try and please me
You never let me down before... mmm
Don't imagine you're too familiar... and I don't see you anymore I would not leave you... in times of trouble... we never could have come this far... mmmm.
I took the good times, I'll take the bad times.
I'll take you just the way you are.
Genta ikut menimpali sambil matanya tak lepas melihat Riani.
Don't go trying some new fashion
Don't change the colour of your hair
You always have my unspoken passion
although I might not seem to care
I... dqn't want clever... conversation
I never want to work that hard
I just want someone that I can talk to...
I want you just the way you are.
Semua jadi ikut-ikutan nyanyi sendiri, mencoba melawan lelah yang terus menghinggapi mereka Just The way You Are terus berdendang.
Need to know... that you will always be
Same old someone that I knew
Ooo... what will it take till you believe in me The way that I believe in you
I... said I love you... that's forever
Guess I promise from the heart
I couldn't love you any better
I Love you just the way you are.
Perjalanan yang setiap langkahnya terasa semakin berat itu menjadi agak ringan. Zafran masih bingung kok akhirnya balik-balik lagi ke Evergreen Love Songs sih?
"Fiuh."
"Ini break kita terakhir yah, udah hampir jam sebelas lebih."
"Jam dua belas, paling lambat jam satu kita harus udah di Ranu Kumbolo, kita makan siang di sana."
Genta melihat ke teman-temannya, wajah mereka kelihatan memendam kelelahan yang tidak biasa. "Tapi kalo emang harus break, ya kita break," ujar genta lagi.
"Ini sepatu kayak ada barbelnya," Riani memijit-mijit sepatunya.
"Fiuh, fiuh, fiuh, fiuh...," Ian masih mengatur napasnya.
"Tambah lama tambah naik ya, Ta?"
"Nggak sampe sampe sih." Zafran melihat kosong ke jalan setapak.
"Sebentar lagi, kita udah.tinggi banget nih." Genta melihat sekitar, punggungnya mulai terasa pegal sekali. "Ada yang udah capek banget?"
Semua menggeleng. Muka Riani yang putih tampak memerah, menahan lelah dan panas.
"Masih bisa kok kita... sebentar lagi kan?" Arial bertanya ke Genta.
"Dengan ketinggian seperti ini? Sebentar lagi?"
"Sebentar lagi udah puncak?" Dinda menatap Genta.
"Bukan... Ranu Kumbolo. Puncaknya sih masih setengah hari lagi."
"Maksudnya setengah hari beneran?" Ian mencoba meyakinkan.
Genta mengangguk.
Zafran membuka sepatunya, kulit tumitnya terlihat menge-lupas lebar, mengeluarkan warna merah kontras. Kulit arinya tampak melipat terbuka.
"Lecet...."
Semua meringis melihat tumit Zafran.
"Gara-gara nyanyi mulu nih...," Zafran bercanda.
"Betadine di siapa?"
"Gue." Riani membuka tas pinggangnya dan mengeluarkan Betadine.
Di antara hawa siang yang panas, Zafran meringis menahan perih. "Sshhh...."
Dinda meringis iba. "Sepatu Bang Zafran sempit ya?"
"Nggak"
"Bukan, itu lecet karena terlalu banyak gesekan, bukan gara-gara sepatu. Kulit manusia kan ada yang sensitif—termasuk kulitnya si Juple tuh. Kalo yang nggak sensitif jadinya malah mengeras, apa ya namanya?" Arial mencoba menjelaskan.
"Kapalan!" Ian menjawab pertanyaan Arial.
"Iya kapalan."
"Gue pake sandal aja deh." Zafran mengeluarkan sandal gunungnya.
"Kita udah jalan lama banget makanya banyak gesekan."
"Udah nyaman, Ple?"
"Siip...," Zafran menggerak-gerakan kakinya.
"Nggak nyangka juga, udah secapek ini tapi masih jauh banget"
"Belum biasa aja," Genta membantu Zafran berdiri.
"Yuk, nanti kita istirahat yang lama di Ranu Kumbolo.
Sekarang jangan lama-lama," ajak Genta.
"Oke?"
"Oke Jek, siap berangkat lagi!"
"Juple sekarang lo di depan bisa?"
"Bisa... udah agak baikan kok lecetnya, tinggal ikut jalannya aja kan?"
"Baikan? Emangnya tadi lecet marahan sama siapa?" Riani bercanda dengan Zafran.
"Hehehe...."
"Yuk."
"Ian siap?"
"Siap Bang Genta...," sambut Ian sambil memejamkan satu matanya, menirukan gaya Jaja Miharja di kuis dangdut.
Sedikit canda tadi mencairkan kelelahan mereka.
Rombongan yang lelah itu mulai berjalan lagi. Keringat mengucur deras, langkah serasa berat sekali, jalan setapak makin menanjak membuat telapak kaki semakin tertusuk-tusuk, Udah satu setengah jam lebih jalan, Zafran berkata dalam hati sambil melihat jamnya. Zafran mendongak ke atas, jalan setapak seperti makin meninggi. Zafran menggelengkan kepalanya, napasnya coba dia atur satu-satu.
Bodo amat pokoknya jalan terus jangan dirasain, Zafran mengambil handuk kecilnya, membiarkan handuk itu menelusuri mukanya. Ia meringis sedikit melihat tumitnya yang kembali perih, lecetnya bertambah lebar.
Zafran menoleh ke belakang. Di jalan menanjak itu dia melihat muka lelah teman-temannya, kaos Ian tampak basah oleh keringat, muka Dinda dan Riani tampak memerah, Genta meringis melihat matahari, dan hanya Arial yang tampak belum terlalu terkena lelah. Zafran terus berjalan sambil menunduk, matanya malas melihat jalan setapak yang terus mendaki tanpa ujung.
Tak terasa permukaan tanah mulai mendatar. Di depan, Zafran melongok ke bawah, melihat jurang dalam yang hanya berjarak satu meter di depannya dengan pohon-pohon tinggi yang sekarang terlihat lebih rendah. Jalan setapak di depannya tampak mulai menurun. Zafran menoleh ke belakang lagi. Dengan interval hampir lima meter, tampak kelima temannya masih mencoba mendaki jalan menanjak yang sudah dilaluinya. Zafran memutuskan untuk menunggu, sekalian memeriksa tumitnya yang mulai mengeluarkan darah. Ia colek sedikit darah dari tumitnya dan menciumnya—bau amis hinggap di penciumannya.
"Kenapa berhenti, Ple?"
Tanpa menjawab pertanyaan Ian, Zafran memperlihatkan tumitnya yang mulai mengeluarkan darah. Ian menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.
"Perih, Ple?"
"Abbisss!"
Rombongan berhenti sebentar, Riani memberikan Betadine lagi.
"Fiuh... sumpah perih." Zafran terduduk meringis, ia tiup-tiup tumitnya.
"Oh kayaknya tadi itu tanjakan terakhir," Genta tiba-tiba berteriak dan tersenyum. Ia menunjuk ke jalan setapak menurun yang kemudian berbelok ke kanan di depan.
'Jadi selanjutnya turun semua?"
"Nggak semuanya, kebanyakan, tapi lumayanlah nggak terlalu capek."
"Udah deket dong."
Genta mengangguk. "Yuk terusin sebentar lagi."
Peijalanan yang berat pun mulai terasa sedikit ringan karena jalan setapak mulai menurun. Pemandangan di depan mereka bertambah terang. Tampak pohon pinus tua dan tinggi berjejer di pinggiran jalan setapak, cemara-cemara pun mulai terlihat di kejauhan. Angin siang yang berhawa lain menerpa wajah mereka, memberi sedikit kesejukan.
"Kita mulai keluar dari hutan ya, Ta?"
Genta hanya mengangguk.
"Kayaknya terang," Arial melihat sekelilingnya.
Zafran masih beijalan di depan, disusul Ian di belakangnya.
Mereka menelusuri kembali jalan menurun yang terlihat berbelok ke arah kanan di depannya.
"Ple...."
"Iya Yan."
"Masih sakit?"
"Masih."
"Masih ada minum, He? Punya gue udah abis... gile haus banget."
"Ada nih tinggal dikit ambil aja, Yan."
"Lo enggak mau?"
"Gue baru minum... abisin aja."
"Yah udah, nggak ada air lagi lho."
"Emangnya semuanya abis?"
Ian mengangguk. Zafran berhenti sebentar, wajahnya tampak panik, tenggorokan keringnya menelan ludah.
"Gawat nih, kita nggak ngitung persediaan air, masa baru sampai sini udah habis." Zafran melihat botol air mineralnya yang seperempat penuh.
"Minum aja sedikit, Yan. Sisain yang lain."
"Enggak deh, Ple. Gue masih bisa tahan."
"Kalo nggak ada air lagi gawat," Zafran meringis melihat matahari.
"Puncak masih jauh banget. Si Genta gimana sih, dia kan pernah ke sini, harusnya tadi kita bawa air yang banyak dari Ranu Pane. Kok bisa abis gini." Zafran meringis sambil menoleh ke teman-temannya. Matahari panas seperti sedang memukul-mukul wajah mereka
Fiuh...nggak ada air, gimana sih si Genta? Batin Ian yang masih beijalan menunduk di belakang Zafran. Tenggorokannya kering sekali, sesekali ia melihat botol air mineral ukuran satu liter yang menggantung di carrier Zafran. Gejolak air dalam botol tampak bergoyang-goyang menuruti irama langkah. Tinggal segitu air kita? Gawat!
Kelelahan yang sangat, membuat langkah Zafran dan Ian tanpa sadar melambat Di depan mereka jalan setapak kembali berbelok ke kanan, pohon pinus tinggi terlihat seperti berdebu, matahari makin terasa panas. •
Genta harus punya penjelasan yang bagus soal air ini, batin Ian.
Jalan setapak menurun itu pun menemui ujungnya dan mulai berbelok ke kanan.
Bleg!
Ian tiba-tiba dikagetkan oleh Zafran yang langsung terduduk lemas menatap kosong ke lembah di depannya. Hampir saja Ian menabrak Zafran.
"Ple, lo kenapa?" Ian menguncang guncang bahu Zafran.
"Gawat kecapekan nih dia."
Ian memberi lambaian ke teman-temannya yang berjarak hampir lima meter di belakang. Ian melambai sambil menunjuk-nunjuk Zafran yang masih terduduk.
"Genta! Arial! Sini cepet!"
Di kejauhan Arial dan Genta bergegas berlari menuruni jalan setapak. Genta tercekat melihat Zafran yang terduduk lemas membelakangi mereka. Ia makin mempercepat larinya.
Tiba-tiba sambil masih menatap ke depan Zafran memegang erat tangan Ian... dan berujar pelan, "Yan, kayaknya masalah air selesai deh"
Ian yang terkejut langsung menengok ke Zafran yang rupanya sedang mengembangkan senyum penuh arti. Zafran menunjuk ke depan, mata Ian pun mengikuti arah tangan Zafran. Ian mengucek-ngucek matanya, tidak percaya pada pemandangan di depannya.
"Hah?"
"Ki... ki... ta... la... gi... di... alam... lain ya?" Ian berkata pelan sekali.
Ian merasakan kuduknya berdiri, pemandangan di depannya membuat paniknya hilang. Ian ikut terduduk lemas di samping Zafran. Keduanya menengok satu sama lain, tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Genta, Arial, Dinda, dan Riani yang baru datang sampai jadi lega melihat kedua temannya tersenyum.
"Kenapa /o?"
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gerakan lembut leher Zafran, seolah ingin menunjukkan sesuatu. Keempat temannya seperti merasakan sesuatu yang sangat luar biasa menyapa penglihatan mereka. Suara tarikan napas keenam sahabat itu terdengar jelas di antara suara angin yang menerpa dedaunan.
"Ta, kita di surga ya?" " *
Genta menganggukkan kepala dan berujar pelan. "Itu...
Ranu... Kumbolo.... Surganya Mahameru."
Dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka. Sebuah danau di ketinggian dengan pohon pinus dan cemara yang berbaris rapi di sekelilingnya. Air danau tampak mengilap diterpa matahari, menimbulkan percahan-percahan cahaya kecil yang mengambang di atas permukaan. Di kejauhan tampak bukit pinus dan barisan cemara layaknya permukaan pinggiran mangkok hijau raksasa yang menjaga danau dengan tenang. Pantulan bayangan pohon cemara tampak terlihat jelas di permukaan air. Awan putih dan langit biru bercermin di permukaan danau, membuat langit seperti pindah dan menyatu dengan permukaan air. Awan putih menjadi sangat dekat dan bisa tersentuh. Riak-riak air yang bergerak lembut, terbawa angin di permukaan danau seperti seulas senyum lembut yang menyambut kedatangan mereka. - -
Semua masih terdiam melihat pemandangan luar bisa itu.
"Kita harus bikin kosa kata baru buat Ranu Kumbolo,"
ujar Riani sambil mengeluarkan handycamnya..
"Setuju..."
"Iya gue sampai nggak bisa ngomong."
"Apa ya ini namanya?" Ian mengeluarkan kameranya.
Mereka saling berpandangan, tersenyum, menarik napas lagi. Pantulan semesta di permukaan Ranu Kumbolo membuat mata mereka seperti tidak mau terpejam. Rombongan kecil itu masih terdiam di ketinggian menatap Ranu Kumbolo. Mata mereka seakan tidak kenal lelah mengagumi keindahan semesta yang saat itu terasa dekat sekali. Udara dari Ranu Kumbolo seakan naik menjangkau penciuman mereka, memenuhi penciuman dengan bau air danau segar. Angin lembap dan dingin seolah ditiupkan ke wajah mereka untuk melawan panas terik matahari. Kelelahan pun hilang dalam sekejap, berganti rasa tak terhingga yang ibarat kabut putih sejuk berputar-putar lembut di tubuh mereka.
Ranu Kumbolo
Hanya belasan menit kemudian mereka tiba di tanah lapang dengan danau biru kehijauan di depan mereka. Lembah yang menyerupai sebuah mangkok besar itu ibarat tembok hijau yang mengelilingi mereka.
Semua layaknya anak 'kecil, langsung menghambur ke pinggir danau yang menyambut mereka dengan ombak-ombak kecilnya. Rombongan itu terduduk lelah melepaskan seluruh barang bawaan berikut alas kaki di pinggir danau—sesekali mereka menceburkan kaki menikmati air danau yang dingin sekali. Lelah seperti hilang dalam sekejap, terpaan angin lembah menghantam wajah mereka. Rambut-rambut kecil beriapan terbang melambai-lambai.
"Ah...," Zafran menarik napasnya lama, matanya terpejam, perih di tumitnya seakan hilang dalam sekejap.
"Ta...."
"Iya, Yan."
"Tadi kita udaJh panik nggak ada air, lo nggak bilang di atas sini ada danau. Rese juga lo."
"Surprise dong. Kalo dikasih tau nanti lo bisa nebak. Kaget kan lo?" Ian tersenyum.
"Berarti ranu itu artinya danau ya, Ta?" Riani bertanya ke Genta.
"Iya...."
"Tadi di bawah Ranu Pane sekarang Ranu Kumbolo. Oh gitu." Riani menggumam sendiri sambil terus mengarahkan handycam-nysL ke seluruh lembah. Di sekitar mereka tampak banyak rombongan pendaki yang baru datang ataupun sedang beristirahat membuat makan siang.
"Bikin makan siang yuk."
"Sip...."
Arial membongkar carrier dan mengeluarkan kompor parafin. Genta menggelar sebuah terpal tebal dari tendanya, mereka semua duduk lesehan di pinggir Ranu Kumbolo.
"Hari ini kita makan siang Indomie telur komet, di pinggir Ranu Kumbolo bukan di Wiwid," celetuk Riani menyebutkan salah satu tongkrongan mereka, warung roti bakar di daerah Fatmawati, Selatan Jakarta.
Udara Ranu Kumbolo tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling danau dengan beberapa batang pohon teijulur di atas permukaan danau. Beberapa pendaki tampak bercengkerama di atas batang pohon itu dengan kaki teijuntai menyentuh-nyentuh permukaan air.
Zafran sudah menghabiskan makan siangnya. Matanya tak henti-hentinya memandang sekeliling.
"Ian."
"Iwya Pwle."
"Negara kita keren ya punya pemandangan segini hebat."
"Sewtuwjuw," Ian membenarkan pendapat Zafran, masih dengan mulut penuh Indomie.
"Ah enaknya, nggak ada yang ngalahin nih suasana seperti ini," Arial berujar lembut sambil menyeruput teh manis hangat- !
nya, kakinya terendam setinggi mata kaki di pinggir Ranu Kumbolo.
Riani melihat sekeliling dengan terus merekam lewat handy cam.
"Suasana kayak gini yang nantinya akan kita kenang seumur hidup. Halo ini Riani, kita sekarang ada di Ranu Kumbolo, lagi makan siang," Riani tersenyum manis merekam dirinya sendiri.
Kamera berputar mengarah ke teman-temannya.
"Dan ini Genta."
"Halo," Genta tersenyum ramah ke kamera.
"Ini Dinda...."
"Halo."
"Dan yang ini Arial...."
"Haloo...." Arial berlari ke depan dan menjulurkan wajahnya dekat sekali dengan lensa.
"Terus ada Zafran."
Cuma Zafran yang tidak tersenyum, pandangannya lurus ke depan seperti pemikir. Ia melihat tenang dan datar ke handycam seperti artis sinetron yang baru ditampar selingkuhannya. Teman-teman lain sudah siap-siap menyiramkan kuah Indomie ke kepalanya. Zafran tertawa keras sambil lari-lari an.
"Dan yang terakhir Ian...."
"Alo, di sini Ian!" Ian berteriak keras. Ia membelakangi lensa, tapi tiba- tiba berbalik. Ups! Ian mulai berdansa-dansa sendiri dengan gaya fasih gemulai bak Ari Tulang—disambung dengan nyanyi-nyanyi.
Don't you worry, Don't be angry...
Temanmu di sini
Kamu sangat berarti, istimewa di hati
Slamanya rasa ini., bila nanti kita tua dan hidup masing-masing ingatlah hari ini...
Semuanya tertawa renyah melihat Ian menyanyi sambil menari-nari ajaib, perut gendutnya tampak bergoyang ndid-ndulan.
Tapi Ian cuek, dia tetap menari, membuat cipratan-cipratan kecil di pinggiran Ranu Kumbolo. Mereka tertawa dan tersenyum melihat Ian, Zafran mengambil piring bekas makannya dan mencoba membuat ketukan irama dengan sendok. Tanpa sadar mereka mulai bersenandung sambil terus tersenyum menatap satu sama lain.
Kamu sangat berarti, istimewa di hati
Slamanya rasa ini... bila nanti kita tua dan hidup masing-masing ingatlah hari ini...
[Ingatlah hari ini, Project P)
Senandung lagu dan alam lain di Ranu Kumbolo seakan ikut tersenyum melihat kegembiraan mereka.
"Bang Genta... thanks ya buat ini semua." Sambil mengikat rambut indahnya, Dinda berujar pelan.
"Gue yang terima kasih banget sama kalian semua"
SATU JAM lebih telah berlalu di Ranu Kumbolo. Mereka masih duduk lesehan di beranda Ranu Kumbolo dan mengagumi keindahan yang telah semesta berikan pada mereka.
"Ta, kapan kita berangkat lagi?" Zafran menyeruput teh manis hangatnya.
Genta melihat jamnya. Pukul dua kurang sepuluh menit
"Nanti aja jam tiga tepat...."
"Asik."
"Tapi jangan becanda aja, mendingan tidur-tiduran ngilangin capek dulu, perjalanan masih jauh banget masih berat."
"Lo jangan loncat-loncat mulu kayak monyet-monyetan karet" Genta menegur Zafran.
"Enggak." Zafran yang mau lari-larian lagi langsung nurut.
Zafran langsung tiduran tengkurap menghadap Ranu Kumbolo. Rumput-rumput liar tampak besar di depan matanya, membingkai Ranu Kumbolo. Arial bersandar ke carriemya, matanya terpejam.
Ian ikutan tidur tengkurap. Riani dan Arinda rebahan berdua berbantalkan punggung Ian.
"Asik ada kasur air...."
"Yah mulai deh."
"Pinjem punggung bentar Yan, kan empuk."
"Emangnya gue permen Yupi, empuk."
"Hehehe...."
Genta mencoba memejamkan matanya duduk bersandar ke carrier- nya. Angin sepilas mengembus ke wajah mereka, membuat perasaan teduh dalam pejaman. Tiba tiba Zafran bersyair datar memecahkan keheningan.
And I don't even care to shake these zipper blues, and we don't know just where our bones will rest to dust, I guess
forgotten and absorbed into the earth below.
Ian menjawab syair Zafran, "1979, Corgan en' Iha, Smashing Pumpkins..."
Zafran bersyair lagi.
Woman I can hardly express
My mixed emotions at my thoughtlessness.
Woman I know you understand
The little child inside of a man.
Please remember my life is in your hands. And woman hold me close to your heart
However distance don't keep us apart
After all it is written in the stars
"Woman, John Lennon," kali ini Genta yang menjawab.
"Yah ketebak mulu," Zafran menelungkupkan mukanya.
"Kalo ini siapa ayo," kali ini giliran Genta.
Come up to meet ya, tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are,
I had to find you, tell you I need y a
And tell you I set you apart,
nobody said it was easy
Oh it's such a shame for us to part
nobody said it was easy
no one ever said it would be so hard
I'm going back to the start.
Semuanya terdiam sejenak.
"Ah... gue pernah denger nih... sumpah." Zafran langsung terbangun dan menatap Genta yang masih sayup terpejam.
"Ah... siapa ya?"
"Chris Martin, The Scientist, Coldplay." Riani menjawab sambil tersenyum dan mengangkat-angkat alisnya.
"Gimana sih katanya vokalis... kok nggak tau."
"Lupa, Yan."
'Juple sih, ingetnya Chris Martin yang cuma nyanyi doang bisa dapet Gwyneth Patrol."
"Kalo ini siapa?" Arial ikut-ikutan.
Menelusuri angin malam hari harimu terlewatkan kau hanya bicara berteman khayalan kau tak mendapat jawaban, bukan akhir segalanya bumi masih akan berputar senyummu masih menawan cerita cinta masih akan datang.
"Hah siapa tuh?" Genta berteriak kecil.
"Gue pernah denger, sumpah!"
"Tau nggak?" Arial menatap teman-temannya.
"'Ntar dulu, ntar dulu..."
"Gue tambahin lagi nih, kalo nggak tau keterlaluan."
Dan senyumlah seperti mentari tiada satu pun yang abadi biarkanlah kenangan itu menghias hatimu.
"Dan senyumlah, Sinikini!" Genta, Dinda, dan Ian berteriak berbarengan.
"Ketebak juga," Arial tersenyum.
"Kalo ini...," Ian ambil giliran.
Apalah artinya sebuah derita bila kau yakin itu pasti akan berlalu hai nonamanis... biarkanlah bumi berputar menurut kehendak yang kuasa Tuhan pun tahu hidup ini sangat berat tapi takdhpun tak mungkin selalu sama.
"Nah lho."
"Gue tau, itu lagunya Utha Likumahua tapi gue lupa judulnya."
Ian pun bersenandung, "Coba cobalah tinggalkan sejenak khayal mu esok kan masih ada...."
"Oh iya."
"Esok kan masih ada, Utha Likumahua, zamannya Album Minggu sama Selekta Pop."
"Kalo ini siapa?" sekarang giliran Riani.
Tautan waktu berjalan,iring langkah kita bersama mendewasakan semua rasa perasaan jiwa, tak akan mungkin mengingkari melawan arti cinta, perlahan kita mulai belajar melaraskan batin menyatukan ruang tingkap pengertian tak pernah ku merasakan penat menjadi beban meski peluh mengalir dan mesti terluka....
"Gilee...," Zafran langsung bangun dari selonjorannya.
"Keren tuh."
"Siapa ya?"
"Lagi, lagi...."
"Nggak mau," Riani menggeleng.
"Lagi... please," Zafran memelas-melaskan wajahnya.
Menyangsingkan cinta dalam keras kehidupan naif terlahir kewajar-an kodrati lelapkan semua.
"Keren...."
"Gue tau."
"Gue juga tau."
Semuanya spontan bersenandung.
Demi cinta bersandinglah...
dalam sisi hidupku ini...
demi cinta berjanjilah...
melangkah kita bersama.
"Piyu dan Fadli, Demi Cinta, Padi.'' Dinda berteriak keras.
"Sumpah keren banget liriknya.... Demi Cinta."
Pucuk cemara di kejauhan bergoyang sekenanya mengangguk-angguk bercengkerama dengan awan putih dan langit biru, semuanya seakan setuju dengan kata-kata Demi Cinta.
"Kalo ini siapa?" wajah Riani tampak berseri-seri.
You're the future, so do what you come here for...
The hidden treasure
locked behind the hidden doors
and the promise of a day that's shiny new, only a dreamer could afford this point of view But you're a driver not a passenger in life, and if you're ready, you won't have to try cause
you are the universe,
and there ain't nothin'you can't do
if you conceive it, you can achieve it
that's why I believe in you...
Semuanya langsung teriak," You are the Universe, The Brand New Heavies!"
. "Ketebak...."
"Lagu itu kan Riani banget"
"Keren lagi..., You are the universe and there ain't nothin'you can't do, if you conceive it you can achieve it.... And the promise of a day that shiny new.... Keren kan?" Riani tersenyum puas.
"Kalo kita mau, sebenarnya kita bisa raih apa aja yang jadi mimpi-mimpi kita."
"Gue setuju itu," Genta menatap teman-temannya dan melihat langit biru di atasnya.
"Sebenarnya kita nggak usah cari harta karun kebahagiaan karena semuanya udah ada di di diri kita sendiri. 'Tul nggak?"
Ian bergumam sendiri.
"Setuju!"
"Kebahagiaan sejati itu sebenarnya di sini," ujar Zafran pelan sambil menunjuk hatinya.
"Gue jadi inget, gue pernah baca buku. Di buku itu ditulis bahwa sebenarnya manusia terbagi atas dua jenis," Ian membuka pembicaraan.
"Apa aja?"
"Manusia internal dan Manusia eksternal"
"Maksudnya?" Zafran melihat ke Ian sambil mengerenyitkan keningnya.
Ian meneruskan, "Manusia eksternal adalah manusia yang selalu memandang sesuatu yang teijadi padanya sebagai akibat keadaan yang teijadi di luar dirinya. Manusia eksternal beranggapan bahwa semua keadaaan atau segala kejadian yang menimpa dirinya itu disebabkan oleh keadaan eksternal di luar kendalinya.
Kalo gampangnya, manusia yang selalu menyalahkan keadaan."
"Jadi manusia eksternal selalu berpikir keadaan yang selalu mengontrol dirinya, bukan dirinya yang mengontrol keadaan."
Arial mencoba menyimpulkan.
"Betul Bapak Rambo "
Zafran ikutan nyambung, "Contoh kecilnya kalo dia kalah main sepakbola yang disalahkan adalah lapangannya atau wasitnya."
Genta juga ikutan, "Oh gue ada contoh lagi tuh. Ada atlet kita yang kalah di kejuaraan apa gitu gue lupa, tapi yang paling gue inget, dia bilang kalau kekalahannya itu gara-gara ibunya nggak ikut nonton pertandingan. Kalo gue bilang sih alasannya nggak masuk akal."
"Gue setuju alasannya nggak masuk akal sama sekali. Kalah menang kan tergantung dia," Ian mengacungkan jempolnya.
"Dia yang harus ngontrol keadaan, jangan mau kalah sama keadaan," Dinda berujar pelan.
"Nah itu definisi manusia internal," Ian melanjutkan penjelasannya.
"Oh jadi..."
"Iya manusia internat adalah manusia yang beranggapan bahwa dirinyalah yang harus mengatur keadaan, bukan dirinya yang diatur oleh keadaaan."
"Manusia internal adalah manusia yang akan selalu melihat dahulu apa yang salah dalam dirinya, bukan lantas menyalahkan kedaaan."
"Mmm... gue ngerti. Kalo kata lirik tadi, You're the driver not a passenger in life," sambut Zafran.
Riani tersenyum senang. Iya, kita jangan sampai mau diatur oleh keadaan, kalo bisa kita yang mengatur, kita harus selalu jadi kalimat aktif selalu pakai awalan me- bukan kalimat pasif dengan awalan di-."
"Berarti, kalo kita mau sampai ke puncak Mahameru jangan sampai kita jadi manusia eksternal, kita harus jadi manusia internal, ya kan? Zafran menaikkan alisnya.
"Bukan di Mahameru aja, kayaknya setiap hari kita harus begitu deh, jangan pemah mau jadi manusia yang diatur oleh keadaan." Arial berargumen.
"Iya jangan pernah kalah sama keadaan."
"Yang bilang kita kalah itu siapa?"
"Ya kita sendiri."
"Kalo kita nggak bilang kalah, kita nggak akan pemah kalah."
"Enggak pernah ada manusia yang kalah, cuma pelajaran-nya aja mungkin agak berat dibanding yang lain." Ian menatap permukaan Ranu Kumbolo.
"tuL..."
"Atau mungkin dia sendiri yang berat- beratin."
"Tapi bukannya dia malah beruntung mendapatkan pelajaran yang lebih berat dari yang lain?" Dinda memandang teman-temannya.
"Betul juga, kalo dia memandangnya seperti itu berarti jadinya ke masalah sikap." Genta coba menyimpulkan.
Riani berteriak kecil, 'Jadi, apa pun itu, cobaan, kekalahan, kegagalan, tidak akan menjadi sesuatu yang buruk. Tapi tergantung bagaimana kita bersikap,, tergantung bagaimana kita me-nyikapinya."
"Betul lagi...," Ian mengacungkan jempolnya.
"Tapi sikap kan ada yang positif dan ada yang negatif, Ni?"
tanya Zafran ke Riani.
"Iya, jadi mungkin contohnya begini. Misalnya kita lagi dapet cobaan, kegagalanlah yang gampang contohnya, kalo kita memilih bersikap negatif sama kegagalan kita akan meng-aggapnya sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang menghalangi jalan kita. Kita seolah bikin tembok. Tapi, kalo kita bersikap positif sama kegagalan kita, kita akan menganggapnya sebagai suatu pelajaran yang amat berharga yang telah Tuhan berikan untuk kita. Kita ibarat bikin pintu ke jalan baru, bukannya tembok."
Zafran mengagguk-angguk.
"Ada yang pernah bilang...," Genta coba memperjelas,
"Kehidupan adalah 10% yang terjadi pada dirimu dan 90%
sisanya adalah bagaimana kamu menghadapinya."
"Keren...."
"Kalo begitu, sebenarnya Tuhan telah memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih apakah akan bersikap negatif atau positif terhadap suatu keadaan." Arial berbicara sambil melihat sekitarnya, langit biru di atas Ranu Kumbolo terlihat indah.
"Iya, sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan memilih. Memilih di persimpangan-persimpangan kecil atau besar dalam sebuah 'Big Master Plan' yang telah diberikan Tuhan kepada kita semenjak lahir. Jadi, semuanya ke masalah pilihan."
Mata Ian berbinar-binar.
"Gue setuju."
"Sepertinya begitu."
Riani menatap teman-temannya lagi, "Kalo begitu bagaimana kita bisa ngejelasin soal masih banyaknya kekacauan di alam semesta ini, masih ada aja perang, masih banyak manusia serakah, yang maunya cuma mengambil untung dari orang lain.
Apakah itu sebuah pilihan yang salah? Trus bagaimana sikap kita? Banyak argumen yang mengatasnamakan sikap positif dalam pengambilan keputusan yang ternyata salah."
"Contohnya?" Mata Genta menatap Riani.
"Yang paling gampang ya perang. Masa di peradaban modern ini keputusan perang masih diambil."
"Iya juga ya...," Genta mengangguk-angguk.
"Mungkin juga atas semua kejadian ini, Tuhan mencoba menyadarkan lagi dunia, menyadarkan lagi manusia," ujar Zafran.
"Memelihara tingkat kesadaran manusia," tambah Ian.
Arial menghela napas panjang, "Tapi kan emang dari dulu pasti ada yang baik dan buruk, ada yin ada yang, ada hitam ada putih, ada Hitler ada Gandhi, ada Power Rangers ada monster jahat, dan mungkin semuanya itu membuat manusia berpikir."
"Iya, kejahatan dan kebaikan akan selalu ada untuk mem-pertahankan tingkat pemikiran kita sebagai manusia bahwa ada lho orang yang jahat, ada lho orang yang baik...," Genta mencoba mempeijelas.
Dan ada orang yang di tengahnya," Zafran bergumam pelan.
"Maksudnya?"
"Orang yang selalu bertanya-tanya, masih bingung antara baik atau jahat," jawab Zafran, "Mungkin di belahan lain sana ada orang yang bingung seperti gue, seperti kita yang keijanya nanya mulu, nyari jawaban."
uGue pikir orang yang selalu bertanya itu harus juga ada..,"
Ian menatap Zafran.
"Iya juga, kadang orang itu bingung dia ada di mana dan di antara bingungnya itu, dia juga memelihara tingkat pertanyaan yang dari dulu sama dan akan selalu ada sepanjang masa," Zafran tersenyum dan menatap kosong. "Jadi, kalo menurut gue, iseng-iseng doang nih, golongan manusia bisa dibagi jadi tiga."
Zafran jeda sejenak, "Yang pertama, lo mungkin lihat orang baik itu seperti apa? Kadang dia cuma melakukan hal-hal yang baik aja tanpa dia sadari, tanpa pamrih, jadi teladan dan mungkin nggak perlu bertanya untuk apa dia lakukan itu."
"Enak tuh jadi orang kayak gitu," Ian nyeletuk.
Zafran meneruskan, "Yang kedua ada orang jahat yang menghalalkan segala cara untuk melakukan kejahatannya. Pasti kita pernah nemu deh, semua yang dia lakukan salah banget Iri, dengki, selalu merasa penting, selalu berpikiran jahat selalu merendahkan orang lain."
"Gue nggak mau jadi orang kayak gitu," Ian nyeletuk lagi.
Zafran tersenyum ke Ian dan meneruskan, "Yang ketiga orang yang akan selalu buat pernyataan-pernyataan... seperti Ian tadi, 'Enak tuh jadi orang kayak gitu...', 'Gue nggak mau jadi orang kayak gitu...'. Gue juga sama persis, orang yang selalu mencari jawab atas baik dan buruk, yang tahu sesuatu itu baik dan mau menjadi baik; yang tahu sesuatu itu buruk dan nggak pernah mau jadi orang yang buruk."
Zafran menghela napas panjang dan berujar pelan, "Tapi dia sendiri nggak tau, termasuk orang baik atau orang buruk karena kadang dia melakukan sesuatu yang baik, tapi juga pernah khilaf hingga melakukan hal yang buruk."
"Ada yang bilang, The man with the greatest soul will always face the greatest war with the low minded persons...," sambung Genta.
"Artinya?"
"Orang orang berjiwa besar akan selalu menghadapi perang besar dengan orang-orang berpikiran rendah dan pendek."
"Gilee...."
"Siapa tuh yang bilang, Ta?"
"Albert Einstein."
"Tapi nggak ada yang pernah tau kan siapa yang menang di perang itu?"
"Makanya ada orang yang selalu bertanya karena nggak ada yang tau, yang menang siapa?" Zafran berujar pelan.
"Tapi orang jenis ketiga itu emang ada kan? Lo liat di sekitar lo deh," Arial bertanya.
"Banyak, kadang-kadang dia melakukan hal yang baik, kadang-kadang dia melakukan hal yang buruk."
"Dan orang seperti itu harus a d a "
"Bukannya semua manusia begitu?"
Semuanya bertanya-tanya dan menggumam sendiri,
"Enggak tau juga...enggak juga..enggak juga."
"Bingung."
"Bingung? Nggak jelas. Ngerti tapi bingung? Nggak ada jawabnya."
"Gue ngerti tapi bingung."
"Sama!"
Riani coba menyimpulkan pelan, "Itulah mengapa Tuhan memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih.
Selanjutnya tinggal masalah pilihan. Itulah mengapa Tuhan sayang sama makhluknya. Ia menjaga tingkat ketidakjelasan-Nya, ketidakjelasan alam semesta ini dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian, supaya kita terus belajar tentang apa aja hingga akhirnya kita bermuara pada-Nya. Kalau kita perhatikan, enggak pernah ada satu yang pasti banget di dunia ini, kecuali ketidakpastian itu sendiri.Jodoh, rezeki, dan maut, semuanya nggak pasti."
Riani diam sebentar, lalu meneruskan, "Maut atau kematian bisa kapan aja datangnya...contohnya udah banyak banget.
"Rezeki? Rezeki katanya ada tiga macam, rezeki yang ada semenjak kita lahir, rezeki yang kita punya sekarang, dan rezeki yang ditangguhkan. Jadi, sebenarnya kita punya rezeki yang ditangguhkan, yang kalo kita mau, bisa kita kejar."
"Nabi Muhammad SAW pernah bilang, kalo kamu punya unta, serahkanlah unta itu pada Allah. Tapi jangan lupa, unta itu juga harus diikat "Intinya, jangan pernah nyerah sama keadaan, harus ada usaha," Genta coba memperjelas.
"Tul...."
Arial menatap teman-temannya, "Kalo soal jodoh, ada temen gue yang udah pacaran bertahun-tahun, tiba-tiba putus gitu aja, bus dia ketemu cowok, baru tiga bulan langsung nikah. Sekarang bahagia dan udah punya anak."
Zafran coba berargumen, "Tapi ada ada juga lho temen gue yang udah bertahun-tahun pacaran hingga akhirnya menikah, sekarang udah punya anak juga." .
"Untuk sekarang mereka bahagia, kita harus bilang begitu sebab kita nggak tau pelajaran apa lagi yang akan Tuhan berikan sama manusia Tuhan kan sayang banget sama kita, Dia akan terus memberikan hikmah-hikmahnya pada manusia setiap hari.
Membuat kita terus belajar agar tidak menjadi sepotong daging yang punya nama yang hanya bisa jalan-jalan doang!.T
"Betul, gue setuju."
"Iya ya, bingung ya, nggak ada yang pasti."
"Mimpi juga sesuatu yang nggak pasti. Tapi, kita harus punya mimpi. Apa jadinya kalo orang nggak punya mimpi. Kosong."
"Sama aja dengan manusia yang nggak percaya adanya Tuhan... kosong."
Semua mendongak melihat langit biru yang megah menaungi mereka dalam tanda tanya besar.
"Orang jahat dan orang baik juga ciptaan Tuhan, mungkin bagian dari rencana besar-Nya pada manusia."
"Pada setiap manusia, bukan pada manusia"
"Makanya kita punya agama."
"'tul...."
"Berarti rugi banget ^ong orang atheis yang nggak percaya atas keberadaaan Tuhan. Rugi banget! Sumpah! Ngebayanginnya aja males."
"Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian...."
"Dan Tuhan memelihara ketidakpastian itu pada seluruh umat manusia agar manusia terus belajar, terus bermimpi, dan ujung-ujungnya kita akan kembali pada-Nya."
"Kayak obrolan sok tau kita barusan," Zafran tertawa sendiri.
"Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian...
semuanya relatif."
"Itu kan Einstein juga ya?" Ian menatap Genta.
Genta mengangguk, "E=mc2"
"E=mc2 kan sebenernya tentang bagaimana membuat energi baru?" Ian bertanya lagi ke Genta.
"Energi yang paling dahsyat yang pernah ditemukan manusia," Riani mendesis pelan.
"Energi atom."
"Tul...."
"Kayak gimana tuh?"
"E=mc2 penjelasannya tuh gini.... Kalo nggak salah ya...,"
jabar Riani. "Kita bisa bikin energi dengan adanya massa dikali-kan dengan kuadrat kecepatan cahaya. E nya energi, yang mau dibikin, m-nya, massa dalam gram, c-nya kecepatan cahaya."
"Kecepatan cahaya itu berapa?" tanya Dinda ke Riani.
Riani menjelaskan lagi, "Sekitar 344.997 kilometer per detik atau 344.997.000 meter per detik. Itu batas pengetahuan matematis manusia."
"Gilee, cepat banget," Ian geleng-geleng kepala.
'Jakarta-Bandung berapa kilo?" tanya Ian.
"180 km."
"Berarti...," Ian mengutak-atik kalkulator di handphone- nya.
"1916 kali bolak-balik Jakarta Bandung. Atau, kalo satu mobil kita anggap 4 meter, berarti 86.249.250 mobil dibarisin panjang dan jarak segitu bisa ditempuh cahaya dalam satu detik saja." Ian kaget sendiri.
"Cepet banget." Arial berujar pelan.
Riani meneruskan, "Einstein bisa membuktikan kalo makin cepat gerak benda, semakin besar massanya, jadinya sebuah energi
"Semakin cepat gerak benda, semakin besar massanya"
"Bingung...."
Riani menjelaskan lagi, "Kalo kita lempar bola basket lemah ke tembok... temboknya bisa bolong nggak?"
"Nggak}. " Zafran menjawab cepat
"Tapi, kalo misalnya kita punya pistol terus kita tembakin ke tembok, temboknya bisa bolong nggak?"
"Bisa" Arial mengangguk.
"Kenapa?"
"Karena gerak peluru sama gerak bola lebih cepat peluru,"
Ian mencoba menyimpulkan.
"Betul..." Riani menatap teman-temannya yang tampak serius.
"Dan, waktu peluru itu tabrakan dengan tembok, eneigi yang dihasilkan di tabrakan itu akhirnya bisa bikin tembok bolong."
"Energi yang timbul gara-gara kecepatan peluru aja bisa bolongin tembok...."
"Dengan kata lain, peluru yang membentur tembok sebagai massanya...dan kecepatan peluru adalah geraknya. Semakin cepat gerak benda akan semakin besar massanya, kekuatannya...."
"Gue ngerti." Mata Ian berbinar-binar. "Jadinya...E=mc2, kecepatan kuadrat 344.997.000 meter per detik itu berapa? Itung, itung."
Ian mengutak-atik handphonenydi lagi. "119.022.930.009.000.000
meter per detik... Gilee...."
"E=mc2 itu dalam satuan apa, Ni?"
"Massanya, m dalam gram. Kecepatan cahayanya c dalam sentimeter per detik,"
"1 meter berapa sentimeter?" Ian bertanya ke teman-temannya
"Seratus," jawab Dinda cepat.
"1 gram?"
"Satu per seribu kilogram," jawab Dinda lagi.
"Satu Indomie itu beratnya 70 gram...," Ian tampak berpikir serius. "Satu per tujuh puluh berat Indomie.... Indomie dibagi menjadi tujuh puluh. Kecil banget"
Riani mengutak-atik kesimpulan. 'Jadi, dengan hanya satu gram benda atau satu per tujuh puluh kali berat Indomie, bila benda itu bergerak dengan kecepatan 119.022.930.009.000.000.000 atau seratus sembilan belas bilyun dua puluh dua trilyun sembilan ratus tiga puluh trilyun sembilan milyar cm per detik...."
"Bayangin aja cepetnya," Arial geleng-geleng kepala.
"Peluru aja, yang nggak keliatan, bisa bolongin tembok,"
Genta menambahkan. "Apalagi kecepatan segitu...."
Riani tersenyum bangga, "Itulah energi atom!"
"Kenapa bisa dibilang energi atom?" tanya Dinda.
"Satuan terkecil dari benda namanya apa?"
"Atom." •
"Sifat atom?"
"Selalu mengisi tempat kosong."
"Dinda bayangin deh, ada suatu benda lewat dengan kecepatan tadi. Udah berapa atom yang dilewatin dan diacak-acak dan berpendar ke segala arah? Berapa banyak atom yang bergerak mengisi tempat kosong yang dibuat oleh benda yang lewat tadi?
Riani meneruskan.
"Yang akhirnya jadi satu energi, seperti peluru yang nembus tembok tadi," Dinda tersenyum ke Riani.
"Kalo contoh yang gue baca, keajaiban dari energi atom itu adalah peledakan energi satu gram zat aja bisa memberikan listrik buat satu provinsi selama satu tahun. Atau...," Riani diam sejenak.
"Membuat provinsi itu hancur berkeping-keping rata dengan tanah hanya dalam hitungan menit! Einstein telah membuka pintu kematian sekaligus pintu kehidupan."
The Conversation
Percakapan terus berlanjut, mencoba mengagumi keindahan dan keajaiban yang telah dibuat oleh makhluk bernama manusia.
"Energi atom berarti dahsyat sekali ya... Kalo dibuat bom terus bomnya buat membunuh umat manusia, salah apa bener ya?"
"Salah...."
"Kalo dibuat energi untuk jadi listrik yang disalurkan ke rumah-rumah, bener nggak?"
"Bener."
"Tapi kan misalnya bom atom yang di Hiroshima, gara-gara itu perang berhenti... jutaan nyawa bisa selamat"
"Iya juga, ya...."
"Relatif lagi."
"Berarti, balik lagi ke manusianya."
"Bukan! Balik lagi ke pilihan manusia."
"Iya...."
"Dengan waktu dan kekuatan yang telah diberikan, manusia mau memilih apa? Kebebasan pilihan sudah diberikan...."
"Einstein dengan teori relativitasnya bisa membuktikan bahwa massa atau benda-benda adalah sesuatu yang relatif."
'Jadi semuanya relatif."
"Materi adalah sesuatu yang relatif karena materi selalu bergerak... nggak pernah diem."
"Kasih contoh dong..."
"Contohnya kalo lo dari kamar pindah ke ruang tamu. Ada materi baru yang mengisi tempat di kamar yang lo tinggalin. Dan, saat lo masuk ruang tamu ada materi yang pindah lagi karena ada lo yang masuk mengisi tempat di ruang tamu."
"Berarti materi selalu bergerak seperti atom yang sifatnya selalu mengisi tempat kosong...."
"Betul, materi kan terdiri dari atom-atom. Kata Einstein, nggak pernah ada suatu benda yang tidak bergerak. Semuanya bergerak"
"Tapi...."
"Untuk tahu bergeraknya sebuah materi, harus ada per-bandingan dengan benda lain yang bergerak juga."
"Bingung...."
"Nggak boleh ada kamar lo doang, harus ada ruang tamunya."
uNggak boleh ada ruang tamunya doang, harus ada kamar lo juga."
"Tapi kan gue bergerak sedikit aja di kamar gue, udah banyak materi yang berpindah tempat Dan waktu juga terus berjalan kan? Karena waktu terus bergerak."
"Itu dia. Maka timbullah Teori Relativitas Einstein. Dia bilang nggak pemah ada sesuatu yang pasti, dia menolak segala hal yang bersifat mutlak. Sesuatu itu selalu berubah, terus berubah, materi berubah karena gerak."
"The man with the greatest soul will always face the greatest war with the low minded persons."
"Kalo diliat dari kesimpulan sih pernyataan itu mungkin bisa berarti bahwa kebaikan akan selalu berperang dengan kejahatan. Betul nggak?"
"Nggak tau."
"Sekarang gue kayaknya kalo ngeliat sesuatu nggak mau langsung bilang bener atau salah. Harus dilihat dari sudut pandang mana ngeliatnya."
"Betul juga sih."
"Nggak juga sih."
"Tapi nggak juga deh. Pernyataan itu ada benemya, ada salahnya juga sewaktu-waktu. Belum pasti bener, belum pasti salah juga. Relatiflah."
"Iya relatif."
"Tuh kan balik ke relativitas lagi. Pada akhirnya semuanya emang begitu. Einstein sendiri tadi bilang satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian."
'Tapi tadi lo bilang pernyataan itu bisa bener juga sewaktu-waktu. Berarti ada lagi dimensi waktu yang bisa menimbulkan ketidakpastian tadi."
"Waktu...."
"Iya, relativitas itu sesuatu menjadi relatif karena ada dimensi waktu, seperti di kamar lo tadi, lo bergerak sedikit aja udah banyak yang bergerak, tapi kan waktu juga terus bergerak"
"Apa pun, menjadi relatif kalo ada dimensi waktu."
"Contohnya tadi, sesuatu bisa jadi salah atau bisa jadi bener tergantung kapan waktunya sesuatu itu diterapkan."
"Setuju nggak?"
"Waktu juga...."
"Waktu terus beijalan, ada lagi yang juga terus berubah, namanya waktu."
"Berarti seluruh relativitas Einstein bisa dikalahkan oleh waktu?"
"Bukan dikalahkan."
"Teori Relativitas itu teijadi karena ada waktu. Mungkin kalimatnya bisa dilanjutin jadi satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian dan ketidakpastian itu adalah sifat utama dari sebuah waktu."
"Dan, karena waktu adalah sesuatu yang berjalan sangat cepat maka waktu adalah suatu ketidakpastian yang sangat besar."
"Bingung?"
"Contoh... dong."
"Sekarang jam berapa?"
'Jam tiga kurang."
"Kurang berapa?"
"Tujuh belas menit."
"Tujuh belas menit kurang berapa?"
"Tujuh belas menit kurang... sebelas detik."
"Sebelas detik kurang berapa?"
"Hah?"
"Mana gue tau?"
"Kenapa?"
"Karena waktu terus beijalan."
"Berarti waktu adalah sesuatu yang bergerak terus...."
"Iya."
"Jadinya harus ada seperseratus atau seperseribunya. Baru sampai segitu kan manusia bisa ngitung?"
"Kecepatan gerak paling tinggi baru bisa dihitung manusia melalui kecepatan cahaya."
"Manusia baru sampai ke kekecepatan cahaya, yaitu 344.997.000
meter per detik. Itu batas pengetahuan matematis manusia."
"Fiuh...."
"Jadi, kalo setiap ada yang tanya sekarang jam berapa?"
"Berarti dia bohong."
"'tul...."
"Bohong tak terhingga berapa juta juta juta... multi mikro...
detik."
"Karena waktu selalu berjalan, cepat sekali."
"Dan karena waktu adalah sesuatu yang berjalan sangat cepat maka waktu adalah suatu ketidakpastian yang sangat besar."
"Kalo waktu berhenti?"
"Bukan berhenti kali yee...1."
"Kalo waktu nggak ada?"
"Nah lho?"
"Iya, kalo nggak ada waktu?"
"Hahaha...."
"Kayaknya nggak ada yang relatif, semuanya jadi pasti."
uLo pasti mati tanggal segini, rezeki lo tuh segini, jodoh lo tuh si ini."
"Berarti kita jadi nggak pirnya pilihan, nggak punya kebebasan memilih."
"Bukan nggak punya kebebasan memilih."
"Lo bahkan nggak akan pernah punya kebebasan sama sekali."
"Dan?"
"Dan manusia nggak akan pernah punya yang namanya Iman, cita-cita, keinginan, keyakinan, dan mimpi."
"Karena semuanya udah pasti."
"Lo nggak akan punya mimpi karena semuanya udah pasti."
"Apa jadinya...?"
"Seonggok daging yang punya nama, bisa jalan-jalan dan berbicara, bukan sebuah kehidupan."
"Berarti... karena semuanya udah tau, masa depan lo, siapa lo nantinya, apa yang bakal lo dapet, nggak ada yang namanya belajar dari pengalaman."
"Demi waktu..."
"Demi waktu...."
"Tapi gue yakin, pasti ada sesuatu yang pasti...yang nggak bisa ditawar, yang bahkan Albert Einstein nggak bisa jelasin."
Semua anak manusia itu melihat ke langit biru di atas Ranu Kumbolo. Tersenyum satu sama lain.
"Iya, yang di atas sana itu satu yang pasti."
"Tuh kan balik-baliknya pasti ke yang di atas sana."
Angin yang membelai wajah mereka lembut menemani hati mereka yang berdoa mengucap syukur.
"Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja dengan manusia yang nggak punya mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama."
I am enough of an artist to draw freely upon my imagination. Imagination is more
important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world.
(Albert Einstein)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates