Social Icons

Pages

(Donny Dhirgantoro) 5 cm. BAB 10/10

<<< SEBELUMNYA


Spectacular... Spectacular...
...yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya...
SEKALI LAGI, seribu kali lagi, sejuta kali lagi, CINTA.
Satu satu mereka masuk ke dalam tenda, kelelahan yang sangat membuat mereka terlelap cepat. Genta dan Riani masih ingin menikmati malam yang indah di Ranu Kumbolo. Mereka berdua duduk berdekatan di depan api unggun. Bintang-bintang bertebaran, bulan yang putih bersih tampak di permukaan danau.

Genta melihat rasi bintang Riani terpantul di permukaan Ranu Kumbolo. Genta sudah meyakinkan dirinya, Genta harus bilang sama Riani malam ini kalau rasi bintang Riani adalah yang paling indah yang ingin Genta bawa ke setiap malam di hatinya. Fly me to the Moon- nya Frank Sinatra bersenandung pelan di bibir Genta.
Fly me to the moon
and let me play among the star
Let me see what spring is like on Jupiter and Mars In others words, hold my hand
In other words, baby kiss me
Fill my heart with song... and let me sing forever more You are all I long for... all I worship and adore In other words please be true
In other words, I love you
"Ih Genta nyanyi... Sinatra ya, Ta?" Riani tersenyum dan menoleh ke Genta.
Genta mengangguk- sedikit rambut Riani yang jatuh di antara keningnya membuat rasa yang lain di hatinya. Genta bisa melihat kilatan bintang-bintang di kacamata Riani.
"Thanks ya, Ta, buat ini semua."
Genta mengangguk, matanya memandangi api unggun yang mulai mengecil, keremangan tempat itu membuat suasana menjadi indah.
"Kita sering banget berduaan begini ya, Ta?"
"Iya...."
"Seperti bapak sama ibunya anak-anak. Yang lain udah pada tidur, kita masih sering ngobrol berdua," ujar Riani lembut-Genta langsung menoleh ke Riani yang masih melihat bintang di atas sana. Hati Genta berdesir... memang ini saatnya.
Riani memandang ke langit—ada sesuatu yang ingin dia curahkan ke Genta.
Genta menarik napas panjang, mengumpulkan keberaniannya. Jari jarinya menarik-narik rumput liar di antara kakinya. Genta menoleh ke tenda tempat keempat temannya telah tertidur lelap.
Dan... helaan napas panjang pun terdengar jelas. Genta mo ngeluarkan suara lembut hampir tak terdengar, menyebut namu makhluk di sebelahnya yang wajahnya tak kenal lelah memenuhi pikiran Genta.
"Riani...."
Dan... kata-kata tumpah saat itu juga, penuh dengan cipratan-cipratan keindahan dan argumen lembut mengalir deras dipeluk malam yang sangat indah bagi mereka berdua di Ranu Kumbolo. Malam itu sebuah rahasia besar bagi seorang anak manusia terucap dalam kata-kata, mengalir indah penuh dengan keyakinan dan janji-janji manusia mengalahkan kekuatan waktu.
Bintang-bintang bersinar terang. Bulan pun kembali tersenyum, sambil menitikkan air mata bahagia. Senyum yang manis penuh dengan pertanyaan, tidak tahu harus berkata apa.
Sebuah keindahan cinta telah datang kembali malam ini.
Riani yang semenjak tadi mendengarkan, menoleh lembut ke Genta, matanya berkaca-kaca, tangannya lembutnya memegang erat tangan Genta.
"Terima kasih, Ta."
"Tapi... bukan... kamu, Ta."
Genggaman tangan Riani semakin keras, membuat Genta tidak percaya pada apa yang dikatakan Riani. Dengan jujur, kata-kata kembali tumpah di bibir lembut Riani. Dengan sabar dia ceritakan semuanya malam itu ke Genta yang sudah Riani anggap lebih dari seorang sahabat Seorang sahabat terbaik yang pasti sangat mengerti Riani. Riani terus bercerita penuh kelembutan, terus bercerita, dan nama seorang sahabat pun ter-ucapkan di situ.
"Dia... Zafran, Ta."
Mata Genta membesar tak percaya, Genta tersenyum lembut, kekecewannya luluh melihat kekuatan Riani selama ini melawan semua rasanya ke Zafran. Mata Riani sudah berkaca-kaca, tetapi tak ada sedikit pun air mata menetes. Entah kenapa kekecewaan Genta malam itu seperti hilang begitu saja. Melihat bagaimana kekuatan di mata Riani berbinar-binar bercerita tentang segala rasanya untuk Zafran, segala impiannya, segala tingkah laku Zafran yang selalu bisa membuat Riani tersenyum...
Genta belum pernah melihat Riani sebahagia itu. Keduanya me*
lewati malam yang indah bertaburan bintang di Ranu Kumbolo.
Genta menunjuk ke rasi bintang yang dibuatnya untuk Riani.
Rasi bintang yang paling indah buat Genta. Riani menceritakan bagaimana Zafran sering berpuisi sok tahu khas Zafran, tentang bintang-bintang yang membuat mereka tertawa lepas. Malam itu keduanya bahagia sekali. Genta tidak pernah melihat Riani sebahagia itu dan bagi Genta itu sudah cukup... sangat cukup.
Semua bebannya selama ini yang tidak terkatakan ke Riani seperti lepas, dan yang membuat Genta bahagia adalah akhirnya dia masih punya kesempatan dan belum terlambat untuk menyatakan segala perasaanya ke Riani. Itu adalah sebuah anugerah dari cinta yang tak terkatakan. Bagi Genta, itu sudah cukup. Riani tidak menitikkan setetes air mata walaupun matanya berkaca-kaca, kekuatan Riani telah meluluhkan Genta. Genta dan Riani tidak akan pernah melupakan malam yang indah ini di hati mereka selamanya. Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.
Mata Zafran terpejam, tapi ia masih mendengar degup di dadanya memukul-mukul semakin cepat Semua percakapan tadi dia dengar, bagaimana Riani dengan lembut menyebut namanya, ia memejamkan matanya menarik napas panjang, melihat wajah Arinda yang lembut tertidur di bahu Arial. Hati Zafran masih di situ, di antara senyum lembut Arinda yang selalu mengisi hari harinya selama ini. Zafran menggeleng gelengkan kepalanya, menyesal telah berkelakuan terlalu terus terang, tentang perasaannya kepada Arinda di depan Riani yang rupanya menyimpan ukiran rapi nama Zafran di hatinya. Cinta memang bukan untuk dimiliki.
Arinda masih terpejam tapi tidak hatinya, tidak pendengarannya. Ia langsung memeluk erat abangnya saat mendengar aliran lembut katarkata Genta. Malam itu, dalam pelukan abangnya Dinda mencoba terlelap, tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Selama ini hati Arinda tulus sudah ia serahkan untuk Genta, selalu untuk Genta...tidak ada yang lain... cuma Genta.
Dan, cinta sekali lagi membuktikan kekuatannya malam itu kalau cinta ada untuk cinta itu sendiri, bukan untuk dimiliki, bukan untuk Genta, bukan untuk Dinda, bukan untuk Riani, bukan untuk Zafran. Cinta memang ada untuk dicintai dan diungkapkan sebagai sebuah jembatan baru ke pelajaran-pelajaran kehidupan manusia selanjutnya. Cinta yang akan membuat manusia lebih mengerti siapa dirinya dan siapa penciptanya.
Dan, dengan penuh rasa syukur akhirnya manusia menyadari bahwa tidak ada cinta yang paling besar di dunia ini kecuali cinta Sang Pencipta kepada makhluknya. Tidak pernah ada cinta yang bisa dimiliki oleh manusia, kecuali cinta dari Sang Pencipta—yang tidak pernah berpaling dari manusia dan selalu mencintai makhluk terbaik ciptaan-Nya. Sang Pencipta tidak pemah memberikan apa yang manusia pinta, seperti cinta... Ia memberi apa yang manusia butuhkan.
Sepuluh tahun kemudian
Minggu pagi di Secret Garden.
"Arian!!! jangan cabut tanaman... Papa nggak suka...."
Arial menggendong buah hatinya yang baru berumur lima tahun. Arian memukul-mukul perut papanya yang mulai terlihat besar.
Mama Arian tampak mendatangi mereka. "Tuh Mama ngomel," ujar Arial.
"Kok belum pada dateng ya, Ma?"
"Tuh...!"
'Japlan...!!!" Arian berteriak senang.
"Alian!" seorang anak kecil berambut gondrong berteriak gembira mendatangi mereka.
Arial menurunkan Arian dari pangkuannya.
"Sana main sama Zafran."
"Zafran, benderanya Om Ial pegang ya, jangan sampai jatuh."
Zafran mengangguk, memberikan bendera kain merah putih ke Arial.
'Jaga sepelti om, jaga dili om sendili."
"Hahaha... persis bapaknya."
"Sana main berdua"
'Jangan nakal ya...," Indy membelai lembut rambut Arian, harta paling berharga di dunia yang ia miliki.
"Iya...," Arian mengangguk.
"Wooi Rambo...apa kabar lo?"
Zafran menepuk bahu Arial. Badannya sudah membesar, Zafran nggak kurus lagi.
"Baik, baik! Ple... Ple."
Arial geleng-geleng kepala. "Anak lo... lo apain? Kecil-kecil sok bersyair."
"Hahaha...Zafran Junior nggak jauh sama seniornya."
"Bini lo mana?" tanya Arial.
"Tuh!
"Ya ampun Juple... udah isi lagi?"
"Achilles memang tokcer... hahaha...," Zafran tertawa keras.
"Mama! ada Zafran nih sama mamanya Zafran," Arial berteriak keras memanggil Indy, meski bingung dengan kalimatnya.
Indy tersenyum manis menghampiri.
"Ya ampun... mamanya udah isi lagi. Lo apain Juple?"
"Halo Indy... apa kabar?"
"Baik, baik... ya ampun Juple... cewek? Cowok?"
"Belum ketauan, masih kecil gitu, mudah-mudahan cewek."
Zafran memegang-megang perut istrinya.
Arial merangkul Zafran dan berujar, "Kalo cewek jangan dinamain Riani junior juga, nggak kreatif amat sih lo."
"Nggak akan Iah... papanya emang geblek dari dulu," ujar Riani sambil membelai perutnya, tersenyum manis ke Arial dan Indy.
"Kalo cowok lagi... gue namain Achilles."
"Nggak boleh," Riani mencubit perut Zafran yang sudah mulai membuncit.
"Iya iya...."
"Genta mana, Ple?" tanya Arial.
"Tadi kayaknya udah dateng. Di depan kali, lagi ngobrol sama nyokap lo."
"Alian! Japlan!"
"Nah tuh jagoannya Genta!"
Sesosok anak kecil berambut tipis berlari kencang mendekati Arian dan Zafran Jr.
"AgaL. cini!"
"Udah dong mainnya kan halus latihan buat besok."
Aga mendekati teman-temannya dan menarik tangan mereka.
"Iya... udah ya mainnya!"
"Yuk."
Arian dan Jr pun nurut sama Aga.
"Hahaha... sumpah, Genta banget," Zafran tertawa keras.
"Halo semua...." Genta mendatangi mereka.
"Genta, perut lo?" Arial dan Zafran terkaget-kaget melihat Genta.
"Hahaha...tau nih, mamanya jago ngurus suami."
Genta merangkul istrinya yang tersenyum manis.
"Halo semua...."
"Citra apa kabar?"
"Baik, baik...."
"Riani sih nggak usah nanya kabar sama Citra, tiap hari ketemu di kantor, hari Minggu ketemu lagi di sini," kata Indy yang sedang membawa nampan penuh minuman.
"Hahaha...."
"Eh Dinda lagi di sini!" ujar Indy.
"Oh... ya?"
"Ya ampun, kangen gue sama Dinda," Riani langsung berdiri dan melongok ke dalam rumah.
"Mana, mana?" Riani bertanyartanya.
"Paling lagi di dapur... lagi masak. Sepertinya sih sama nyokap."
"Sama Deniek?" tanya Genta.
"Iya...."
"Tuh Deniek."
Deniek tampak menghampiri mereka, kedua tangannya menggendong seorang anak perempuan berumur tiga tahun dengan pipi tembem menggemaskan.
"Halo semua... apa kabar?" Deniek tersenyum. Kumis tipis sekarang menghiasi wajahnya.
"Baik, baik... udah punya momongan sekarang, Niek?"
"Iya dong?"
"Aduh lucu banget, siapa namanya, Niek?"
"Deninda."
"Oh Deniek dan Arinda."
"Tuh Pa, kasih nama kayak gitu, masa Zafran lagi, Achilles...
lah," Riani menepuk bahu Zafran.
"Konsekuensi kawin sama artis emang gitu Mama sayang,"
Zafran merangkul Riani mesra.
"Kapan datang dari Surabaya, Niek?"
"Tadi malam. Mamanya Deninda kangen sama ibunya."
"Halo semua," sosok Arinda mendatangi mereka.
"Pa kabar Mbak Riani?" Dinda memeluk Riani erat.
"Citra...."
"Bang Genta, Bang Zafran."
"Halo Dinda... Pa kabar?"
"Baik, baik," Dinda tersenyum manis.
"Halooo semua..." Keluarga Ian datang memakai baju seragam merah dengan tulisan besar di depannya. Baju Ian bertuliskan Ayah Ian, baju anaknya yang gembul bertuliskan nanda David, dan Istri Ian yang tampak cantik hari itu memakai baju bertuliskan Bunda Happy.
"Halo Mama Salma"
"Pa kabar?"
"Baik, baik... kalian?"
"Baik:"
David langsung lari menemui keempat teman TK-nya.
"Alo... cemua."
"Eh ada Dapid."
"Alo... aga."
"Alo... Japlan."
"Alo... Alian."
"Alo Dapid."
"Yuk udah cemua dateng... latian yuk...," Aga berkata polos kepada keempat temannya."
Keempatnya langsung berteriak lantang, "Udah! Mau latihan!"
"Iya, iya... SMA satu sekolah, nongkrong bareng, punya anak, TK-nya bareng.... Pusing, pusing, kapan gue bisa lepas dari lo semua? Hahaha...."
"Hahaha...."
"Achilles ngomel," Genta geli melihat Zafran.
"Lo inget nggak? Dulu waktu kita nongkrong di sekolah, kita ngayal nanti kalo udah punya anak, kayak gimana yah?
Bayangin anak kita masing-masing pada bercanda kayak bapaknya... pasti ancur."
"Ini kejadian!"
"Hahaha...."
"Tiangnya mana?"
"Tuh, udah dipasang... nih benderanya!"
*
Aga sebagai inspektur upacara berteriak keras sekali. "Upacala bendeya hawli cenen.... Pengibayan cang caka meyah pyutih."
"Ssst... sst," semuanya terdiam menahan senyum melihat latihan upacara buah hati mereka.
"Zafran Junior, Arian, dan David tampak berbaris sesuka-suka mereka, mendekati tiang bendera.
"Arian... bisa nggak pasang talinya?" Arial berteriak agak keras ke anaknya.
"Sst, biarin aja, Pa."
Dan, ssrt... bhet....
Zafran Junior menarik keras kain Sang Saka Merah Putih.
"Bendeyaaaa ciaaaap...." >
Genta, Arial, Riani, Zafran, Ian, Dinda, dan Deniek saling berpandangan, suara tarikan bendera tadi sangat familiar terdengar di telinga mereka. Aga berteriak keras lagi.
"Kepayda cang caka meyah pyutih holmaaaaat... glak!"
Semua di situ mengangkat tangannya, memberi peng-hormatan kepada Sang Saka Merah Putih.
Indonesia tanah airku...
Tanah tumpah darahku...
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia bersatu...
Indonesia Raya kembali berkumandang memenuhi hati mereka Puncak Mahameru serasa kembali di penglihatan, bendera yang naik merambat diiringi kepulan asap Mahameru masih membekas di hati mereka. Malam di Ranu Pane, malam di Arcopodo, malam di Ranu Kumbolo.
Riani dan Dinda berkaca-kaca melihat pemandangan di depannya. Deniek tampak khidmat melihat kain bendera yang perlahan naik. Sebuah teriakan mengagetkan mereka. "Papa...
Mama... Om, Tante... yang kelas dong nyanyinya... nggak ke-dengelan."
"Iya, iya...," sekumpulan orang tua itu tersenyum bahagia.
Hiduplah tanahku hiduplah negriku
Bangsaku rakyatku semuanya
bangunlah jiwanya...
bangunlah badannya untuk Indonesia raya
Genta tak berkedip memandang Sang Saka Merah Putih yang berkibar lembut. Senyumnya tampak mengembang puas melihat anaknya dengan gagah dan mata terpicing memberi hormat, diterangi sinar matahari pagi.
Arial, Ian, dan Zafran memandang penuh khidmat k iln bendera yang melambai-lambai di antara sinar matahari pagi Tangan tangan kecil buah hati mereka perlahan-lahan menarik Sang Dwi Warna ke puncaknya. Pemandangan yang membuut mereka sekali lagi melihat langit dan berterima kasih.
Indonesia raya... merdeka merdeka...
Tanahku negriku yang tercinta...
Indonesia raya merdeka merdeka...
Hiduplah Indonesia raya...
"Tgaaaap...! Glak...."
"Hole hole hole bicaaa... bica bica... bica... hole hole...."
Keempat anak kecil lucu itu melonjak-lonjak gembira. David tiba-tiba berlari kencang sekali menuju dapur. Ian langsung berlari, mengejar anaknya.
"Kenapa tuh si David?"
"Ayah David yah...Bunda Happy berteriak panik."
"Daviiid...!!!" Ian mengejar anaknya.
David kembali dengan membawa sebungkus Indomie.
"Hahaha..."
"Bapak sama anak sama aja."
*
"Hore... hebat anak Papa," Genta membelai rambut Aga lembut
"Berarti besok Senin nggak takut lagi dong." Arial ikut berbicara melihat keempat anak kecil yang masih berdiri polos.
"Tapi kan banyak oyang, takut" David melihat polos ke ayahnya.
"Ada bu guyu lagih," Zafran Junior tertunduk, memainkan rumput di kakinya.
"Tapi kamu harus yakin bisa ya!" Zafran membelai rambut anaknya yang malah terdiam bingung.
Keempat anak kecil itu saling bertatapan bingung.
"Kalo calah dimalahin bu guyu."
Zafran melihat keempat anak kecil itu. "Kalo Papa sama Om, Tante yang ada di sini sih percaya kalian bisa."
"Iya? Dali mana Papa tau?" Zafran Junior melihat papanya bingung.
"Pokoknya Papa tau kalian bisa."
"Benel?"
Zafran menarik napas dan melanjutkan, "Iya...sekarang kalian bayangin, kalian hari Senin bisa naikin bendera, terus semuanya mulai dari Bu Guru dan teman-teman...."
"Tukang es klim...."
"Iya tukang es krim."
"Copil jemputan...."
"Iya, sopir jemputan juga. Pokoknya semuanya tersenyum waktu benderanya udah sampai ke puncak tiang. Mereka tersenyum senang sama kalian, coba kalian bayangin."
"Merem!"
Keempat anak itu memejamkan matanya dengan keras. Wajah mereka terlihat lucu sekali.
"Buka!"
"Udah!!!"
"Gimana rasanya?"
"Ceneng banget."
Ian ikut membantu Zafran... "Nah sekarang taruh perasaan itu di sini. Di depan kening kalian.... Jangan pernah kalian lepas.
Sekarang latihan lagi... latihan terus... oke?"
"Oke... cup."
"Hole... hole...."
"Cepet...."
"Ayo! Ambil bendeyanya."
*
Keluarga besar itu berkumpul di bungalow Secret Garden, memandang anak-anak mereka yang terus berlatih menaikkan Sang Saka Merah Putih. Angin pagi dan hangatnya sinar matahari menambah teduh suasana hati.
"Kalau sudah besar, mereka harus jadi orang yang bisa membuat orang lain bisa bernapas lebih mudah... lebih lega... karena ada mereka di situ." - *
"Amin...."
Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka sudah menjadi seorang ibu. Entah kenapa setiap berdoa mereka merasakan sesuatu yang lain, merasa dekat dan percaya kalau doa mereka selalu didengar setiap saat setiap doa. Bungalow Secret Garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan tulus di hati anak manusia.
"Ta...."
"Iya, Yan."
uLo selalu pake 5 centimeter?"
"Selalu...."
"Gue juga."
"Sama... gue juga."
"Sama, gue juga."
"Selalu...."
"Sama... dan gue percaya itu."
"Nggak pemah gue lepas."
"Nggak pemah ilang."
"Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu... jangan menempel. Biarkan...."
"Dia..."
"Menggantung...."
"Mengambang...."
"5 centimeter... di depan kening kamu...."
'Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu."
Tarikan napas panjang jelas terdengar di antara mereka....
"Ada yang pernah bilang kalo idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda."
"kita udah buktiin kalo pendapat itu salah."
Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu sama lain, kehangatan keluarga di minggu pagi dalam bungalow Secret Garden pun menjauh... terbang ke langit biru, ke langit yang masih sama sepuluh tahun yang lalu di antara kegagahan Mahameru.... Masih sama dengan indahnya keajaiban mimpi-mimpi dan tekad mereka. Sebuah keyakinan yang tidak akan pernah padam.
Belum pernah ada bukti-bukti nyata dalam angka dan kalkulasi yang bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana keajaiban sebuah mimpi dan keyakinan bisa membuat begitu banyak perbedaan yang bisa mengubah kehidupan manusia. Belum pernah ada. Hanya mimpi dan keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk lain. Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia sangat istimewa di mata Sang Pencipta. Dan, yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya hanya mereka tinggal mempercayainya.
Untuk mereka yang masih belum percaya—walaupun manusia tidak akan pernah bisa memutar kembali waktu untuk mengulang kembah semuanya dari awal—Tuhan telah memberikan kebebasan bahwa setiap manusia bisa memulai kembali semuanya dari sekarang, untuk membuat akhir yang baru, akhir yang lebih indah.
Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi....
Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates